PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia disamping istilah
Tindak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict sebagaimana yang dipakai
oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil
dikenal juga beberapa terjemahan yang lain seperti Perbuatan Pidana, Pelanggaran
Pidana, Perbuatan yang boleh di hukum atau Perbuatan yang dapat dihukum.43
ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah strafbaar feit
adalah:
43
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta, h.37.
28
29
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
44
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
67.
45
Moeljatno, op.cit, h. 59.
30
pidana, yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang.46 Marshall dalam buku Andi Hamzah mengatakan bahwa perbuatan
pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi
tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu dari
sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Sudut teoritis ialah berdasarkan
pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusan sedangkan sudut
Berikut unsur tindak pidana menurut beberapa pendapat para Ahli Hukum
46
Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Roeslan Saleh I), h.13.
47
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 89.
31
laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana
terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen) juga dapat disebut
perbuatan materiil (materiil feit) dan tingkah laku pasif atau negatif
(natalen). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku untuk
laku pasif adalah berupa tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas
tertentu tubuh atau bagian tubuh yang seharusnya seseorang itu dalam
48
Ibid.
32
kewajiban hukumnya.
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu
materiil).
3. Unsur Kesalahan
batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada tindak pidana materiil (materiel
dipidananya pembuat.
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa
semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan.
33
pidana dapat:
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan yaitu tindak pidana
yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak
mengadu.
Unsur syarat ini bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang
unsur ini.
timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan si
Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana atau tindak pidana
dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah
apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak.
Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-
Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana formil, dan tindak pidana
dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu tindak pidana telah dianggap
selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tanpa
49
Ibid, h. 83-111.
50
Mahrus Ali, op.cit, h. 101.
35
pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang yaitu tindak
pidana ini baru dianggap telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang
Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana tunggal dan tindak pidana
berganda. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang cukup dilakukan dengan
pidana berganda terjadi apabila terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan,
misalnya penadahan.52
Tindak pidana yang dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan
adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan
dari pihak yang terkena atau yang dirugikan. Delik aduan dibedakan dalam dua jenis,
yaitu delik aduan absolute dan delik aduan relative. Delik aduan absolute adalah delik
Sedangkan delik aduan relative adalah delik yang dilakukan masih dalam lingkungan
keluarga. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan
untuk penuntutannya.53
Tindak pidana juga didasarkan atas tindak pidana yang berlangsung terus-
menerus dan tindak pidana yang tidak berlangsung terus menerus. Perbuatan pidana
51
Mahrus Ali, op.cit, h. 102.
52
Mahrus Ali, log.cit
53
Mahrus Ali, log.cit.
36
yang berlangsung terus menerus memiliki ciri bahwa perbuatan perbuatan yang
sedangkan yang dimaksud perbuatan pidana yang tidak berlangsung terus menerus
adalah perbuatan pidana yang memiliki ciri bahwa keadaan yang terlarang itu tidak
Jenis tindak pidana juga dibedakan atas delik komisi (commission act), dan
delik omisi (omission act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran
terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Sedangkan delik omisi adalah
delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang
diperintah. Tindak pidana juga dibedakan atas delik dolus dan delik culpa. Delik
dolus adalah delik yang memuat kesengajaan, sedangkan delik culpa adalah delik
Jenis tindak pidana yang dibedakan atas delik biasa dan delik kualifikasi.
Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsur
dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga
54
Mahrus Ali, op.cit, h. 103.
55
Mahrus Ali, log.cit.
37
suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah
terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa
tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum, dan terdakwa mampu
yang membentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan
a. Keadaan jiwanya:
1. tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair);
2. tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya;
3. tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam, nyidam, dan
sebagainya dengan kata lain dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya:
1. dapat menginsyafi hakekat dan tindakannya;
2. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak; dan
38
normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membedak-bedakan hal-hal
yang baik dan yang buruk, 57 atau dengan kata lain mampu menginsyafi sifat melawan
hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk
menentukan kehendaknya.58 Jadi paling tidak ada dua faktor yang menentukan
adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal,
yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat.
Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak
56
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 24.
57
M. Abdul Kholiq, loc.cit.
58
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan ketiga, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Roeslan
Saleh II), h.80.
39
ditentukan hukum.59
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau mampu
bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia
merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP diseluruh dunia pada umumnya
59
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, h. 89.
60
Ibid.
61
Andi Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 260.
40
orang itu dimasukan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak
akalnya kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang
kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan hal-hal yang
41
Chairul Huda mengatakan bahwa “tidak jelas betul batas antara tidak, dan
kurang dapat dipertanggungjawabkan itu. Kapan gangguan jiwa, kapan penyakit jiwa,
dan retardasi mental mengakibatkan pembuatnya tidak dapat atau kurang dapat
maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat
dikenakan tindakan, tapi tidak dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa apakah
ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan dalam dirinya.
menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan
62
M. Abdul Kholiq, op.cit, h. 130.
63
Chairul Huda, op.cit, h. 96.
42
hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk
seseorang. Hal ini berkaitan dengan kesalahan. Kesalahan dapat dilihat sebagai suatu
kesengajaan atau juga kealpaan (secara sempit). Kealpaan merupakan sifat ketidak
hati-hatian. Von Liszt mengatakan, kesalahan dibentuk oleh keadaan psikis tertentu
sebagai bagian tindak pidana. Kesalahan selalu dipahami sebagai keadaan psikologis
pembuat ketika melakukan tindak pidana. Ajaran kesalahan dalam bahasa latin
Doktrin mens rea didasarkan kepada bahwa seseorang bersalah kecuali jika
pikiran orang tersebut jahat. Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa mens rea
perubahan pada akhir abad ke-19. Kesalahan kemudian dilihat sebagai dapat
dicelanya pembuat pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat
43
berbuat lain jika ia tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Teori ini disebut
1. Dapat dicela
Yang terkandung dalam komponen ketiga ini adalah selalu terbuka bagi
tindak pidana. 64
Syarat terakhir dalam kualifikasi seseorang patut dipidana atau tidak adalah
tidak adanya alasan pemaaf. Alasan pemaaf merupakan alasan yang dapat menghapus
kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan
hukum, dan merupakan suatu perbuatan pidana tetapi ia tidak dipidana karena tidak
ada kesalahan. Alasan-alasan yang dapat menghapuskan kesalahan pada diri terdakwa
nalar dan akalnya tidak berfungsi dengan baik serta cacat jiwa dalam
selayaknya orang normal dengan kondisi batin yang normal dan sehat
hukum.
64
Roeslan Saleh, 1994, Masih Saja Tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, h. 53.
45
2. Alasan yang terdapat diluar diri pembuat yaitu alasan pemaaf dan alasan
dijelaskan mengenai norma kesusilaan yang menjadi salah satu dasar bertingkah laku
dalam hubungan antar sesama manusia yang dalam banyak hal didasarkan kepada
Kesusilaan dalam arti luas, bukan hanya menyangkut soal kebirahian atau sex
saja, akan tetapi meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dan berakhal dalam
suatu kelompok masyarakat (tertentu) yang sesuai dengan sifat-sifat dari masyarakat
tingkah laku manusia saja, tetapi terdapat sanksi apabila melanggar. Perbuatan yang
yang berkaitan dengan adab dan sopan santun; norma yang baik; kelakuan yang baik;
46
tata krama yang luhur.65 Menurut Kamus Hukum pengertian kesusilaan diartikan
sebagai tingkah laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan
Bab XIV Buku Kedua dan Bab VI Buku Ketiga KUHP, membagi dua jenis
Pendapat Wirjono tersebut didasarkan pada tafsir terjemahan pada kata yang
termuat dalam teks aslinya yakni zedelijkheid dan zeden. Dalam naskah asli, Bab XIV
dan Bab VI memiliki titel Misdrijven tegen de zeden dan Overtredingen betreffende
de zeden. Oleh ahli hukum Indonesia kata zeden diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia sebagai kesusilaan dan kesopanan. Kata zeden memiliki arti yang lebih luas
dari kesusilaan. Kesopanan (zeden) pada umumnya adalah mengenai adat kebiasaan
65
Definisi Kesusilaan, URL: http://kamusbahasaindonesia.org/kesusilaan/mirip, diakses
tanggal 12 Oktober 2015.
66
Soedarso, 1992, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 6.
67
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama,
Yogyakarta, h. 111.
47
kesusilaan (zedelijkheid) juga merupakan adat kebiasaan yang baik tersebut (zeden)
zedelijkheid) dan kesopanan diluar bidang kesusilaan (disebut zeden). Kata kesusilaan
dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berhubungan
dengan seksual atau dengan nafsu birahi.68 Selanjutnya R. Soesilo dengan jelas
menyebut kesusilaan dalam penjelasan KUHP Pasal 281 sebagai perasaan malu yang
kesusilaan dengan kata lain yaitu telah dilakukannya tindak pidana kesusilaan.
Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah
kesusilaan. Delik kesusilaan diatur dalam KUHP Bab XIV Buku Kedua dengan judul
“Kejahatan Terhadap Kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai
telah dilakukannya perbuatan yang melanggar adab kebiasaan yang baik yang
berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi tersebut khusus mengenai
68
Ibid.
48
kesusilaan tersebut berbuat suatu tindakan pidana lain berupa hal-hal yang
korbannya maka perbuatan tersebut dapat dikatakan dengan perbuatan “cabul” atau
Pengertian cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah keji dan
kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Terkait dengan kata cabul,
dikenal juga kata pencabulan yang diartikan sebagai proses, cara, perbuatan cabul
atau mencabuli.69 Cabul adalah keinginan atau perbuatan yang tidak senonoh
menjurus ke arah perbuatan seksual yang dilakukan untuk meraih kepuasan diri di
dengan orang yang tidak berdaya seperti anak baik pria maupun wanita baik dengan
69
Cabul, URL: http://kbbi.web.id/cabul, diakses tanggal 16 Oktober, 2015.
70
Gilbert Lumoindong, 2010, Menang atas Masalah Hudup, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, h. 39.
71
P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung, h.
159.
49
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau kata cabul dalam
Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya, tidak
sesuai dengan adap sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul:
berzina, melakukan tindak pidana asusila, mencabuli: menzinahi,
memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji
dan kotor, tidak senonoh, (melanggar kesusilaan, kesopanan). 72
Kejahatan pencabulan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kesusilaan,
yaitu terjadinya hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari seorang wanita,
bahkan didahului dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan. Tindak pidana
kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu Tindak pidana perkosaan
untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan tindak pidana perkosaan
untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289 - 296 KUHP.
dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295 dan Pasal 296
KUHP, juga diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksusal
oleh pelaku atau orang yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas
72
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Edisi-3, Jakarta, h. 142.
50
korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan
seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi, atau
diluar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Bila mengambil pengertian
dari definisi buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual,
Soesilo menjelaskan perbuatan cabul di dalam KUHP yaitu “segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam
2.2.2 Pengertian Tindak Pidana Eksibisionisme dalam Ilmu Hukum Dan Ilmu
Sosial Lainnya
dan hukum. Secara umum dalam bahasa Inggris, eksibisionis berasal dari kata
73
Ray Pratama, 2012, Kejahatan Pencabulan/Persetubuhan, URL:
http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/kejahatan-pencabulanpersetubuhan.html, diakses tanggal 17
Oktober 2015.
51
one’s body atau mempertontonkan secara tidak sopan salah satu bagian tubuhnya.74
tandai dengan tindakan menunjukkan alat kelaminnya kepada orang lain dan yang
menerima tindakan itu sebagai hal yang tidak pantas. Seorang “eksibisionisme”
depan orang lain kemudian orang lain menunjukkan reaksi kaget ataupun takut
terhadap kejadian tersebut. Beberapa kasus tindakan eksibisionis ini juga diikuti
dengan tindakan masturbasi saat melihat ekspresi dari korban yang merupakan
kepuasan seksual bagi pelaku tersebut. Akibat dari banyaknya korban yang merasa
dilecehkan, tindakan ini sering dikategorikan sebagai sebuah kejahatan seksual dan
pasal yang mengatur mengenai perbuatan yang melanggar kesusilaan dan eksibisionis
merupakan salah satu perbuatan yang melanggar kesusilaan yang selanjutnya di atur
dalam KUHP Bab XIV Buku Kedua dengan judul “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”.
74
St. Paul, Minn, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, United Stated
of America, h.595.
52
(berkembang biak) dan sexual pleasure (pemberi kepuasaan). Aktivitas seksual yang
tidak sesuai dengan norma mengenai perilaku seksual seringkali disebut sebagai
sexual disorder atau perilaku seksual yang tidak teratur. Sexual Disorder terbagi
bentuk sexual disorder atau sexual deviation.75 Diagnostic and Statistical Manual of
“eksibisionisme”.76
terhadap objek yang tidak wajar atau aktifitas seksual yang tidak pada umumnya
dengan kata lain terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Ketika
tersebut, angka tingkat penangkapan mungkin lebih rendah dari yang sebenarnya,
karena banyak kejahatan yang tidak dilaporkan. Gangguan ini sering memiliki
75
Morgan, Clifford Thomas, 1986, Introduction to Psychology (International Edition),
McGraw-Hill Book Co, Singapore, h. 28.
76
Langstrom, Niklas, 2009, The DSM Diagnostic Criteria for Exhibitionism, Voyeurism, and
Frotteurism, American Psychiatric Association Arc Sex Behavior, America, h. 39: 317-324.
53
konsekuensi hukum, hal ini dikarenakan orang yang mengidap parafilia tidak begitu
saja mendapatkan pasangan yang mau menuruti semua keinginannya, bahkan tidak
jarang orang yang mengidap parafilia melakukan pelanggaran terhadap hak orang
lain.77
Parafilia berasal dari bahasa Yunani, para yang berarti “lebih” dan philia
merujuk pada dorongan seksual, atau respon seksual terhadap objek atau situasi yang
tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Istilah parafilia
pertama sekali disebutkan oleh seorang psikoterapis bernama Wilhelm Stekel dalam
bukunya yang berjudul Sexual Aberrations pada tahun 1925. Pemakaian istilah itu
tidak begitu menyebar hingga tahun 1950an dan ketika DSM (1980an) menggunakan
istilah tersebut.78
77
Gerald C. Davison, John M. Neale, dan Ann M. Kring, Op.cit, h. 621-622.
78
Muhammad Alhada Faudillah Habib, Parafilia (Perilaku Seksual Tidak Normal), URL:
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-120632-
EsayPARAFILIA%20%28PERILAKU%20SEKSUAL%20TIDAK%20NORMAL%29.html, diakses
tanggal 11 Oktober 2015.
54
memuja atau menyukai sesuatu hal yang di luar normal dari lawan
jenisnya. Benda tersebut bisa berupa benda mati yang dimiliki lawan
atau umum.
anak di mana anak tersebut masih belum mencapai masa puber dan
seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang
keluarga sendiri .
kenikmatan. Kompulsi seksual ini bisa berupa telepon seks yang tanpa
hambar.
Penulisan skripsi ini hanya mengambil satu jenis gangguan seksual yang
kecendrungan untuk memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin
seksual kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menginginkannya kadang kepada
seorang anak.
dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenal yang tidak
menduganya.
3. Orang yang ditunjukkan alat vital tersebut atau bisa disebut korban, tidak
79
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Op.cit, h. 184.
57
kelainan seksual yang termasuk dalam kategori Paraphilia, yaitu objek pemenuhan
melihat reaksi korban saat terkejut, takut, menjerit, teriak, atau lari. Di situ dia
rangsangan seksual.
2. Orang yang ditunjukkan alat vital tersebut atau bisa disebut korban, tidak
seks menyimpang ini adalah 4:1. Hal ini dilihat dari banyaknya pelapor yang menjadi
korban tindak “eksibisionisme” oleh para pria. Gejala awal seseorang menderita
80
Anonim, 2014, Ciri-Ciri Eksibisionis, URL: http://m.bisnis.com/ini-3-ciri-eksibisionis,
diakses tanggal 12 Oktober 2015.
81
Deliana Praditha Sari, 2013, Ini 3 Ciri Eksibisionis, URL:
http://kabar24.bisnis.com/read/20131106/220/184807/ini-3-ciri-eksibisionis, diakses tanggal 12
Oktober 2015.
82
Ibid.
58
kelainan seksual “eksibisionisme” dapat dideteksi pada pria atau wanita berusia 15
hingga 17 tahun. Namun kelainan ini akan semakin berkurang ketika penderita
Para ahli mengatakan gangguan ini biasanya mengalami gangguan buruk pada
pasangan seks nya. Mereka tak percaya diri dalam hal seksual, dan biasanya tidak
matang dalam halnya sebagai seorang pria, penyebabnya pengalaman pada masa
perkembangan anak-anak, pada masa anak dia menunjukkan alat kelaminnya dan
korban merasa excited (terkejut, takut, malu dan jijik) maka si penderita merasa itu
dengan apodysophilia atau lady godiva syndrome, yaitu suatu keinginan yang kuat
83
Ibid.