Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA,

TINDAK PIDANA KESUSILAAN, EKSIBISIONISME,

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

2.1 Tindak Pidana

2.1.1 Pengertian Tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia disamping istilah

Tindak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict sebagaimana yang dipakai

oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil

dikenal juga beberapa terjemahan yang lain seperti Perbuatan Pidana, Pelanggaran

Pidana, Perbuatan yang boleh di hukum atau Perbuatan yang dapat dihukum.43

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang

ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah strafbaar feit

adalah:

43
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT Pradnya
Paramitha, Jakarta, h.37.

28
29

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-

undangan. Hampir seluruh peraturam perundang-undangan menggunakan

istilah tindak pidana.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya MR. R

Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana. Pembentukan perundang-

undangan juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dalam Pasal 14 Ayat 1.

3. Delik, berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk

menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

4. Pelanggaran Pidana, dapat dujumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum

Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam

bukunya yang berjudul “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”.44

Perumusan strafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang undang-undang atau

yang diancam dengan hukum. Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan

pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar larangan tertentu.45

44
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
67.
45
Moeljatno, op.cit, h. 59.
30

Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan

pidana, yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan

yang dilarang.46 Marshall dalam buku Andi Hamzah mengatakan bahwa perbuatan

pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi

masyarakat, dan dapat dipidana bersadarkan prosedur hukum yang berlaku.47

Bersadarkan beberapa pendapat para sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa

tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang

siapa yang melakukan.

2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu dari

sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Sudut teoritis ialah berdasarkan

pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusan sedangkan sudut

undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi

tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

Berikut unsur tindak pidana menurut beberapa pendapat para Ahli Hukum

dalam bukunya Roeslan Saleh:

1. Unsur tindak pidana menurut Moeljatno, meliputi unsur perbuatan, yang


dilarang (oleh aturan hukum), ancaman pidana (bagi yang melanggar
larangan).

46
Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Roeslan Saleh I), h.13.
47
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 89.
31

2. Unsur tindak pidana menurut R. Tresna, meliputi perbuatan/rangkaian


perbuatan, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
diadakan tindakan penghukuman.
3. Unsur tindak pidana menurut Vos, meliputi kelakuan manusia, diancam
dengan pidana, dalam peraturan Perundang-Undangan.
4. Unsur tindak pidana menurut Jonkers (menganut paham monisme),
meliputi perbuatan, melawan hukum, kesalahan, dipertanggungjawabkan.
5. Unsur tindak pidana menurut Schravendijk, meliputi kelakuan,
bertentangan dengan keinsyafan hukum, diancam dengan hukuman,
dilakukan oleh orang dipersalahkan/kesalahan.48

Berikut unsur tindak pidana dari sudut undang-undang:

1. Unsur Tingkah Laku

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu

perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah

laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana

terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen) juga dapat disebut

perbuatan materiil (materiil feit) dan tingkah laku pasif atau negatif

(natalen). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku untuk

mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerak atau

gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, sedangkan tingkah

laku pasif adalah berupa tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas

tertentu tubuh atau bagian tubuh yang seharusnya seseorang itu dalam

keadaan tertentu, harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak

48
Ibid.
32

berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena melaksanakan

kewajiban hukumnya.

2. Unsur Sifat Melawan Hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu

perbuatan, yang sifatnya bersumber pada undang-undang (melawan

hukum formil) dan dapat bersumber dari masyarakat (melawan hukum

materiil).

3. Unsur Kesalahan

Kesalahan atau schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran

batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur

ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif.

4. Unsur Akibat Konstitutif

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada tindak pidana materiil (materiel

delicten) atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya

tindak pidana; tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai

syarat pemberat pidana, tindak pidana dimana akibat merupakan syarat

dipidananya pembuat.

5. Unsur Keadaan yang Menyertai

Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa

semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan.
33

Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak

pidana dapat:

a. Mengenai cara melakukan perbuatan;

b. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan;

c. Mengenai obyek tindak pidana;

d. Mengenai subyek tindak pidana;

e. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan

f. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.

6. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapat Dituntut Pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan yaitu tindak pidana

yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak

mengadu.

7. Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana

Unsur syarat ini bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang

bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya

unsur ini.

8. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana

Unsur ini berupa keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan

dilakukan artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak


34

timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan si

pembuat tidak dapat dipidana.49

2.1.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana

Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana atau tindak pidana

dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah

rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas

apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak.

Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-

benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan

keadilan. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru

disadari sebagai perbuatan pidana karena undang-undang merumuskannya sebagai

delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat

karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana. 50

Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana formil, dan tindak pidana

materiil. Tindak pidana formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya

dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu tindak pidana telah dianggap

selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tanpa

mempersoalkan akibatnya, sedangkan perbuatan pidana materiil adalah perbuatan

49
Ibid, h. 83-111.

50
Mahrus Ali, op.cit, h. 101.
35

pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang yaitu tindak

pidana ini baru dianggap telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang

dilarang itu telah terjadi.51

Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana tunggal dan tindak pidana

berganda. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang cukup dilakukan dengan

satu kali perbuatan, misalnya penipuan, pencurian, pembunuhan. Sedangkan tindak

pidana berganda terjadi apabila terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan,

misalnya penadahan.52

Tindak pidana yang dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan

adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan

dari pihak yang terkena atau yang dirugikan. Delik aduan dibedakan dalam dua jenis,

yaitu delik aduan absolute dan delik aduan relative. Delik aduan absolute adalah delik

yang mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya.

Sedangkan delik aduan relative adalah delik yang dilakukan masih dalam lingkungan

keluarga. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan

untuk penuntutannya.53

Tindak pidana juga didasarkan atas tindak pidana yang berlangsung terus-

menerus dan tindak pidana yang tidak berlangsung terus menerus. Perbuatan pidana

51
Mahrus Ali, op.cit, h. 102.
52
Mahrus Ali, log.cit

53
Mahrus Ali, log.cit.
36

yang berlangsung terus menerus memiliki ciri bahwa perbuatan perbuatan yang

terlarang itu berlangsung terus, misalnya delik merampas kemerdekaan orang

sedangkan yang dimaksud perbuatan pidana yang tidak berlangsung terus menerus

adalah perbuatan pidana yang memiliki ciri bahwa keadaan yang terlarang itu tidak

berlangsung terus menerus, misalnya pencurian dan pembunuhan.54

Jenis tindak pidana juga dibedakan atas delik komisi (commission act), dan

delik omisi (omission act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Sedangkan delik omisi adalah

delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang

diperintah. Tindak pidana juga dibedakan atas delik dolus dan delik culpa. Delik

dolus adalah delik yang memuat kesengajaan, sedangkan delik culpa adalah delik

yang memuat unsur kealpaan.

Jenis tindak pidana yang dibedakan atas delik biasa dan delik kualifikasi.

Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsur

bersifat memberatkan. Sedangkan delik yang dikualifikasikan adalah tindak pidana

dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga

ancaman pidananya menjadi diperberat.55

2.2 Pertanggungjawaban Pidana

54
Mahrus Ali, op.cit, h. 103.

55
Mahrus Ali, log.cit.
37

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai criminal

responsibility, atau crimial liability. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk

menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas

suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah

terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa

tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum, dan terdakwa mampu

bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkann kesalahan dari pembuat

yang membentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan

tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan

bertanggungjawab dari petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan

dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya dan dapat menentukan

apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak.

Dikatakan seseorang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar),

bilamana pada umumnya:

a. Keadaan jiwanya:
1. tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair);
2. tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya;
3. tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam, nyidam, dan
sebagainya dengan kata lain dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya:
1. dapat menginsyafi hakekat dan tindakannya;
2. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak; dan
38

3. dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 56

2.4.1 Kemampuan Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang

normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membedak-bedakan hal-hal

yang baik dan yang buruk, 57 atau dengan kata lain mampu menginsyafi sifat melawan

hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk

menentukan kehendaknya.58 Jadi paling tidak ada dua faktor yang menentukan

adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal,

yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak

diperbolehkan sedangkan kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya

dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat.

Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak

boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan tersebut

menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana

ketika melakukan tindak pidana. Dapat dipertanggungjawabnkan karena akalnya

56
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 24.
57
M. Abdul Kholiq, loc.cit.
58
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan ketiga, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Roeslan
Saleh II), h.80.
39

yang sehat dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang

ditentukan hukum.59

Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti memenuhi syarat

untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas tiada pertanggungjawaban pidana

tanpa kesalahan maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai

kesalahan. Keadaan batin normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan

yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau mampu

bertanggungjawab merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan.

Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan

bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia

mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus

sebagai syarat kesalahan.60

Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa “kebanyakan undang-undang

merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP diseluruh dunia pada umumnya

tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur ialah

kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab”.61

Dengan demikian halnya dengan ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi:

59
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, h. 89.
60
Ibid.
61
Andi Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 260.
40

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat

dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena

penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau

terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya

orang itu dimasukan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun

sebagai waktu percobaan.

Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak

mampu bertanggungjawab atas perbuaatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah

satu antara dua hal, yaitu sebagai berikut:

1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental semenjak pertumbuhannya, hingga

akalnya kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang

buruk. Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana.

2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh

suatu penyakit hingga akalnya kurang berfungsi secara sempurna atau

kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan hal-hal yang
41

buruk. Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit

epilepsy yang melakukan perbuatan pidana. 62

Chairul Huda mengatakan bahwa “tidak jelas betul batas antara tidak, dan

kurang dapat dipertanggungjawabkan itu. Kapan gangguan jiwa, kapan penyakit jiwa,

dan retardasi mental mengakibatkan pembuatnya tidak dapat atau kurang dapat

dipertanggungjawabkan, tidak dengan mudah menentukannya. Padahal

konsekuensinya sangat berlainan.63

Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi

pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda seseorang tidak mampu bertanggungjawab

dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana,

maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat

dikenakan tindakan, tapi tidak dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa apakah

ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan dalam dirinya.

Kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan pidana,

tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapus pidana. Pertanggungjawaban pidana

menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan

memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari

sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang, seseorang akan dipertanggungjawab-

pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan

62
M. Abdul Kholiq, op.cit, h. 130.
63
Chairul Huda, op.cit, h. 96.
42

hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk

itu. Sedangkan dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya

seseorang yang “mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawabkan.

2.4.2 Hubungan Batin Antara Pembuat Dengan Perbuatannya

Hubungan batin antara pembuat dengan perbuatan yang dilakukannya

merupaka syarat kedua dari penetapan kualifikasi pertanggungjawaban pidana pada

seseorang. Hal ini berkaitan dengan kesalahan. Kesalahan dapat dilihat sebagai suatu

kesengajaan atau juga kealpaan (secara sempit). Kealpaan merupakan sifat ketidak

hati-hatian. Von Liszt mengatakan, kesalahan dibentuk oleh keadaan psikis tertentu

dari pembuat. Fletcher mengemukakan teori kesalahan psikologis sebagai teori

deskriptif tentang kesalahan, mengingat unsur mental terdeskripsi secara nyata

sebagai bagian tindak pidana. Kesalahan selalu dipahami sebagai keadaan psikologis

pembuat ketika melakukan tindak pidana. Ajaran kesalahan dalam bahasa latin

dikenal dengan sebutan mens rea.

Doktrin mens rea didasarkan kepada bahwa seseorang bersalah kecuali jika

pikiran orang tersebut jahat. Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa mens rea

dipahami sebagai keadaan psikologis pembuat ketika melakukan tindak pidana.

Seiring perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan, teori ini mengalami

perubahan pada akhir abad ke-19. Kesalahan kemudian dilihat sebagai dapat

dicelanya pembuat pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat
43

berbuat lain jika ia tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Teori ini disebut

dengan teori kesalahan normatif.

Terdapat tiga komponen utama dalam pengertian tersebut, yaitu:

1. Dapat dicela

Dapat dicela mempunyai pengertian yaitu dapat dipertanggungjawabkan

dalam hukum pidana. Pengertian yang pertama, kesalahan diberi makna

dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana. Kata „dapat‟

menunjukan bahwa celaan atau pertanggungjawaban pidana hilang, jika

pembuat memiliki alasan penghapus kesalahan.

2. Dilihat dari segi masyarakat

Komponen ini merupakan penegasan dari penilaian normatif terhadap

adanya kesalahan itu. Titik penekanannya disini terletak pada penilaian

normatif terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan

batin tersebut dengan tindak pidananya, sehingga orang tersebut dapat

dicela karena perbuatannya.

3. Dapat berbuat lain

Yang terkandung dalam komponen ketiga ini adalah selalu terbuka bagi

pembuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana, dalam arti


44

sebenarnya pembuat dapat berbuat lain jika ia tidak ingin melakukan

tindak pidana. 64

2.4.3 Tidak Ada Alasan Pemaaf

Syarat terakhir dalam kualifikasi seseorang patut dipidana atau tidak adalah

tidak adanya alasan pemaaf. Alasan pemaaf merupakan alasan yang dapat menghapus

kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan

hukum, dan merupakan suatu perbuatan pidana tetapi ia tidak dipidana karena tidak

ada kesalahan. Alasan-alasan yang dapat menghapuskan kesalahan pada diri terdakwa

dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Alasan yang terdapat di dalam diri pembuat (Pasal 44 KUHP), orang

dapat dikualifikasikan dalam Pasal 44 KUHP adalah orang-orang yang

nalar dan akalnya tidak berfungsi dengan baik serta cacat jiwa dalam

pertumbuhannya, seperti orang gila, epilepsy dan orang yang mengalami

retradasi mental. Keadaan-keadaan diluar keadaan tersebut dalam hukum

pidana Indonesia dinilai memiliki kemampuan bertanggungjawab

selayaknya orang normal dengan kondisi batin yang normal dan sehat

serta memiliki akal dan nalar yang mampu membeda-bedakan antara

perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum dan yang dilarang oleh

hukum.

64
Roeslan Saleh, 1994, Masih Saja Tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, h. 53.
45

2. Alasan yang terdapat diluar diri pembuat yaitu alasan pemaaf dan alasan

pembenar yang terdapat dalam Pasal 48-51 KUHP

2.3 Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan dan Eksibisionisme

2.2.1 Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan

Sebelum membahas pengertian delik kesusilaan, terlebih dahulu akan

dijelaskan mengenai norma kesusilaan yang menjadi salah satu dasar bertingkah laku

dalam masyarakat. Norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan bertingkah laku

dalam hubungan antar sesama manusia yang dalam banyak hal didasarkan kepada

“kata hati nurani”. Tegasnya, norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan tentang

tingkah laku yang baik dan yang jahat.

Kesusilaan dalam arti luas, bukan hanya menyangkut soal kebirahian atau sex

saja, akan tetapi meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dan berakhal dalam

suatu kelompok masyarakat (tertentu) yang sesuai dengan sifat-sifat dari masyarakat

yang bersangkutan. Norma kesusilaan dalam masyarakat tidak hanya mengatur

tingkah laku manusia saja, tetapi terdapat sanksi apabila melanggar. Perbuatan yang

tergolong melanggar norma kesusilaan dalam KUHP disebut sebagai kejahatan

terhadap kesusilaan atau delik kesusilaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisi kesusilaan yaitu perihal susila;

yang berkaitan dengan adab dan sopan santun; norma yang baik; kelakuan yang baik;
46

tata krama yang luhur.65 Menurut Kamus Hukum pengertian kesusilaan diartikan

sebagai tingkah laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan

dengan norma-norma kesopanan yang harus/dilindungi oleh hukum demi

terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat. 66

Bab XIV Buku Kedua dan Bab VI Buku Ketiga KUHP, membagi dua jenis

tindak pidana yakni:

1. Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan


melanggar kesusilaan terdapat pada Pasal 281 sampai dengan Pasal 299,
sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan
dalam Pasal 532 sampai Pasal 535.
2. Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan,
artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan
kesopanan ini dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap kesopanan
(diluar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan
dalam Pasal 236 sampai dengan Pasal 547.67

Pendapat Wirjono tersebut didasarkan pada tafsir terjemahan pada kata yang

termuat dalam teks aslinya yakni zedelijkheid dan zeden. Dalam naskah asli, Bab XIV

dan Bab VI memiliki titel Misdrijven tegen de zeden dan Overtredingen betreffende

de zeden. Oleh ahli hukum Indonesia kata zeden diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia sebagai kesusilaan dan kesopanan. Kata zeden memiliki arti yang lebih luas

dari kesusilaan. Kesopanan (zeden) pada umumnya adalah mengenai adat kebiasaan

65
Definisi Kesusilaan, URL: http://kamusbahasaindonesia.org/kesusilaan/mirip, diakses
tanggal 12 Oktober 2015.
66
Soedarso, 1992, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 6.

67
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama,
Yogyakarta, h. 111.
47

yang baik dalam hubungan antara berbagai anggota masyarakat. Sedangkan

kesusilaan (zedelijkheid) juga merupakan adat kebiasaan yang baik tersebut (zeden)

namun khusus setidaknya mengenai kelamin (seks) seseorang.

Konteks maksud pembentuk KUHP, kesopanan (zeden) memiliki dua ranah

pengaturan secara substansial yakni kesopanan dibidang kesusilaan (disebut

zedelijkheid) dan kesopanan diluar bidang kesusilaan (disebut zeden). Kata kesusilaan

dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berhubungan

dengan seksual atau dengan nafsu birahi.68 Selanjutnya R. Soesilo dengan jelas

menyebut kesusilaan dalam penjelasan KUHP Pasal 281 sebagai perasaan malu yang

berhubungan dengan nafsu kelamin.

Seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan

maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan atau tindakan yang melanggar

kesusilaan dengan kata lain yaitu telah dilakukannya tindak pidana kesusilaan.

Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah

kesusilaan. Delik kesusilaan diatur dalam KUHP Bab XIV Buku Kedua dengan judul

“Kejahatan Terhadap Kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai

dengan Pasal 297 KUHP.

Berkaitan dengan pengertian perbuatan yang melanggar kesusilaan, yaitu

telah dilakukannya perbuatan yang melanggar adab kebiasaan yang baik yang

berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi tersebut khusus mengenai

68
Ibid.
48

kelamin (seks) seseorang, kemudian apabila seseorang yang telah melanggar

kesusilaan tersebut berbuat suatu tindakan pidana lain berupa hal-hal yang

berhubungan dengan kontak fisik terkait dengan pelanggaran kesusilaan terhadap

korbannya maka perbuatan tersebut dapat dikatakan dengan perbuatan “cabul” atau

dilakukannya suatu perbuatan “pencabulan”.

Pengertian cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah keji dan

kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Terkait dengan kata cabul,

dikenal juga kata pencabulan yang diartikan sebagai proses, cara, perbuatan cabul

atau mencabuli.69 Cabul adalah keinginan atau perbuatan yang tidak senonoh

menjurus ke arah perbuatan seksual yang dilakukan untuk meraih kepuasan diri di

luar ikatan perkawinan.70

Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang

berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-

maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan

dengan pandangan umum untuk kesusilaan.71

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual

dengan orang yang tidak berdaya seperti anak baik pria maupun wanita baik dengan

69
Cabul, URL: http://kbbi.web.id/cabul, diakses tanggal 16 Oktober, 2015.
70
Gilbert Lumoindong, 2010, Menang atas Masalah Hudup, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, h. 39.

71
P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung, h.
159.
49

kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau kata cabul dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut:

Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya, tidak
sesuai dengan adap sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul:
berzina, melakukan tindak pidana asusila, mencabuli: menzinahi,
memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji
dan kotor, tidak senonoh, (melanggar kesusilaan, kesopanan). 72
Kejahatan pencabulan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kesusilaan,

yaitu terjadinya hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari seorang wanita,

bahkan didahului dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan. Tindak pidana

kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu Tindak pidana perkosaan

untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan tindak pidana perkosaan

untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289 - 296 KUHP.

Pengaturan Tentang Kejahatan Pencabulan selain diatur dalam KUHP, yaitu

dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295 dan Pasal 296

KUHP, juga diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

Terdapat berbagai perbedaan definisi mengenai pencabulan di berbagai

negara. Amerika mendefinisikan pencabulan adalah “kontak atau interaksi antara

anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksusal

oleh pelaku atau orang yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas

72
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Edisi-3, Jakarta, h. 142.
50

korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan

seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi, atau

memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda

memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu “persetubuhan

diluar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Bila mengambil pengertian

dari definisi buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual,

maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk

mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan”. R

Soesilo menjelaskan perbuatan cabul di dalam KUHP yaitu “segala perbuatan yang

melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin.73

2.2.2 Pengertian Tindak Pidana Eksibisionisme dalam Ilmu Hukum Dan Ilmu

Sosial Lainnya

Pengertian mengenai “eksibisionisme” dapat ditemui dalam literatur psikologi

dan hukum. Secara umum dalam bahasa Inggris, eksibisionis berasal dari kata

„exhibition’ yang artinya pameran, memamerkan atau mempertontonkan alat kelamin.

73
Ray Pratama, 2012, Kejahatan Pencabulan/Persetubuhan, URL:
http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/kejahatan-pencabulanpersetubuhan.html, diakses tanggal 17
Oktober 2015.
51

1. Dalam Ilmu Hukum

Pengertian “eksibisionisme” dalam ilmu hukum dapat dijumpai dalam Black’s

Law Dictionary, mengartikan bahwa exhibitionism sebagai The indecent display of

one’s body atau mempertontonkan secara tidak sopan salah satu bagian tubuhnya.74

“Eksibisionisme” merupakan sebuah fantasi seksual menyimpang yang di

tandai dengan tindakan menunjukkan alat kelaminnya kepada orang lain dan yang

menerima tindakan itu sebagai hal yang tidak pantas. Seorang “eksibisionisme”

merasa mendapatkan kenikmatan seksual ketika ia menunjukkan alat kelaminnya di

depan orang lain kemudian orang lain menunjukkan reaksi kaget ataupun takut

terhadap kejadian tersebut. Beberapa kasus tindakan eksibisionis ini juga diikuti

dengan tindakan masturbasi saat melihat ekspresi dari korban yang merupakan

kepuasan seksual bagi pelaku tersebut. Akibat dari banyaknya korban yang merasa

dilecehkan, tindakan ini sering dikategorikan sebagai sebuah kejahatan seksual dan

kemudian dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana. Terdapat KUHP pasal-

pasal yang mengatur mengenai perbuatan yang melanggar kesusilaan dan eksibisionis

merupakan salah satu perbuatan yang melanggar kesusilaan yang selanjutnya di atur

dalam KUHP Bab XIV Buku Kedua dengan judul “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”.

2. Dalam Ilmu Psikologi

74
St. Paul, Minn, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, United Stated
of America, h.595.
52

Aktivitas seksual merupakan aktivitas yang memiliki fungsi procreation

(berkembang biak) dan sexual pleasure (pemberi kepuasaan). Aktivitas seksual yang

tidak sesuai dengan norma mengenai perilaku seksual seringkali disebut sebagai

sexual disorder atau perilaku seksual yang tidak teratur. Sexual Disorder terbagi

menjadi tiga bentuk yaitu dysfunction, paraphilia, dan gender-identity disorder.

Paraphilia atau fantasi seksual yang menyimpang merupakan salah satu

bentuk sexual disorder atau sexual deviation.75 Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) mengklasifikasikan beberapa bentuk paraphilia dalam

DSM-III-R diantaranya adalah Fetisme, Pedofilia, Voyeurisme, dan

“eksibisionisme”.76

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV-TR,

parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencangkup ketertarikan seksual

terhadap objek yang tidak wajar atau aktifitas seksual yang tidak pada umumnya

dengan kata lain terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Ketika

di kalangan masyarakat banyak orang yang mengalami Parafilia, mungkin lebih

memilih untuk tidak mengungkapkan penyimpangan mereka. Sejalan dengan hal

tersebut, angka tingkat penangkapan mungkin lebih rendah dari yang sebenarnya,

karena banyak kejahatan yang tidak dilaporkan. Gangguan ini sering memiliki

75
Morgan, Clifford Thomas, 1986, Introduction to Psychology (International Edition),
McGraw-Hill Book Co, Singapore, h. 28.
76
Langstrom, Niklas, 2009, The DSM Diagnostic Criteria for Exhibitionism, Voyeurism, and
Frotteurism, American Psychiatric Association Arc Sex Behavior, America, h. 39: 317-324.
53

konsekuensi hukum, hal ini dikarenakan orang yang mengidap parafilia tidak begitu

saja mendapatkan pasangan yang mau menuruti semua keinginannya, bahkan tidak

jarang orang yang mengidap parafilia melakukan pelanggaran terhadap hak orang

lain.77

Parafilia berasal dari bahasa Yunani, para yang berarti “lebih” dan philia

berarti “teman”, atau “bersenang-senang”. Parafilia merupakan gangguan mental

merujuk pada dorongan seksual, atau respon seksual terhadap objek atau situasi yang

tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Istilah parafilia

pertama sekali disebutkan oleh seorang psikoterapis bernama Wilhelm Stekel dalam

bukunya yang berjudul Sexual Aberrations pada tahun 1925. Pemakaian istilah itu

tidak begitu menyebar hingga tahun 1950an dan ketika DSM (1980an) menggunakan

istilah tersebut.78

Gangguan parafilia dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain:

1. Eksibisionisme: Pelaku ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan

seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang

lain yang sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik

dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi seperti

ini sebagian besar pelakunya adalah pria, modusnya dengan

77
Gerald C. Davison, John M. Neale, dan Ann M. Kring, Op.cit, h. 621-622.
78
Muhammad Alhada Faudillah Habib, Parafilia (Perilaku Seksual Tidak Normal), URL:
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-120632-
EsayPARAFILIA%20%28PERILAKU%20SEKSUAL%20TIDAK%20NORMAL%29.html, diakses
tanggal 11 Oktober 2015.
54

memperlihatkan alat kelaminnya yang bisa dilanjutkan dengan

masturbasi hingga ejakulasi. Bisa juga pelaku tanpa rasa malu

menunjukkan alat kelaminnya kepada orang lain sekedar untuk

menunjukkannya dengan rasa bangga.

2. Fetishism: merupakan ekspresi seksual seseorang di mana subyek sangat

memuja atau menyukai sesuatu hal yang di luar normal dari lawan

jenisnya. Benda tersebut bisa berupa benda mati yang dimiliki lawan

jenis yang disukainya atau bagian tubuh dari lawan jenisnya.

3. Froteurisme: suatu bentuk parafilia di mana seorang individu laki-laki

mendapatkan kepuasan seksual dengan cara menggesekkan atau

menggosokkan alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik

atau umum.

4. Pedophilia: merupakan orang yang senang berhubungan dengan anak-

anak di mana anak tersebut masih belum mencapai masa puber dan

perbedaan umur anak minimal 5 tahun dengan pelaku.

5. Voyeurisme: Pengidap kelainan ini akan memperoleh kepuasan

seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang

telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual.

Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan

tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Ejakuasinya


55

dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip

atau melihat korbannya.

6. Incest: hubungan seks yang dilakukan dengan sesama anggota

keluarga sendiri .

7. Nekrofilia: Bentuk parafilia dimana individu pelaku nekrofilia memiki

orientasi kepuasan seksual melalui kontak fisik yang bersifat

merangsang atau hubungan seksual dengan pasangan yang dipilih adalah

jenasah atau orang yang telah meninggal.

8. Zoofilia: salah satu bentuk parafilia dimana terdapat orang atau

individu yang terangsang melihat hewan dan selanjutnya melakukan

hubungan seks dengan hewan.

9. Perilaku seksual kompulsif: adalah pengulangan tindakan erotik tanpa

kenikmatan. Kompulsi seksual ini bisa berupa telepon seks yang tanpa

akhir, one-night stand (affair singkat), atau masturbasi beberapa kali

dalam sehari, penderitanya seringkali mengaku merasa “tidak terkendali”

sebelum aktivitas dan merasa bersalah atau malu setelahnya. Apapun

kepuasan seksual yang didapatnya, tindakan tersebut adalah dangkal dan

hambar.

Penulisan skripsi ini hanya mengambil satu jenis gangguan seksual yang

digolongkan dalam gangguan parafilia dengan jenis gangguan

eksibisionime”Eksibisionisme” merupakan kelainan jiwa yang ditandai dengan


56

kecendrungan untuk memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin

pada lawan jenis.79

“Eksibisionisme” adalah dorongan fantasi sexual yang mendesak dan terus-

menerus dengan memamerkan bagian genitalnya kepada orang lain. Dorongan

tersebut bertujuan untuk menakuti, mengejutkan atau untuk dikagumi.

”Eksibisionisme” adalah prefensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan kepuasan

seksual kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menginginkannya kadang kepada

seorang anak.

Adapun ciri-ciri dari “eksibisionisme” adalah:

1. Berulang, intens dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi,

dorongan atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan

dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenal yang tidak

menduganya.

2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut atau

dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan orang tersebut mengalami

distress atau mengalami masalah interpersonal.

3. Orang yang ditunjukkan alat vital tersebut atau bisa disebut korban, tidak

bersedia untuk melihatnya, bahkan menghindar dan mencoba pergi.

4. Aktifitas menunjukan alat vital terhadap korban sudah merupakan bentuk

interaksi seksual tanpa adanya hubungan badan.80

79
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Op.cit, h. 184.
57

Menurut Tri Hadi, Psikolog Klinis, mengatakan “eksibisionisme” adalah suatu

kelainan seksual yang termasuk dalam kategori Paraphilia, yaitu objek pemenuhan

kebutuhan seksual yang tidak lazim dan dianggap menyimpang. Penderita

“eksibisionisme” atau disebut eksibisionis mendapatkan rangsangan seksual ketika

melihat reaksi korban saat terkejut, takut, menjerit, teriak, atau lari. Di situ dia

membayangkan wajah korban dan mulai masturbasi sampai mencapai orgasme.81

Terdapat 3 kriteria untuk menentukan seseorang merupakan eksibisionisme

atau bukan, yaitu:

1. Orang memamerkan alat vitalnya di depan orang lain untuk mendapatkan

rangsangan seksual.

2. Orang yang ditunjukkan alat vital tersebut atau bisa disebut korban, tidak

bersedia untuk melihatnya, bahkan menghindar dan mencoba pergi.

3. Aktifitas menunjukan alat vital terhadap korban sudah merupakan bentuk

interaksi seksual tanpa adanya hubungan badan. 82

Eksibisionisme biasanya adalah pria. Perbandingan pria dan wanita pelaku

seks menyimpang ini adalah 4:1. Hal ini dilihat dari banyaknya pelapor yang menjadi

korban tindak “eksibisionisme” oleh para pria. Gejala awal seseorang menderita

80
Anonim, 2014, Ciri-Ciri Eksibisionis, URL: http://m.bisnis.com/ini-3-ciri-eksibisionis,
diakses tanggal 12 Oktober 2015.

81
Deliana Praditha Sari, 2013, Ini 3 Ciri Eksibisionis, URL:
http://kabar24.bisnis.com/read/20131106/220/184807/ini-3-ciri-eksibisionis, diakses tanggal 12
Oktober 2015.
82
Ibid.
58

kelainan seksual “eksibisionisme” dapat dideteksi pada pria atau wanita berusia 15

hingga 17 tahun. Namun kelainan ini akan semakin berkurang ketika penderita

menginjak usia 40 tahun.83

Para ahli mengatakan gangguan ini biasanya mengalami gangguan buruk pada

pasangan seks nya. Mereka tak percaya diri dalam hal seksual, dan biasanya tidak

matang dalam halnya sebagai seorang pria, penyebabnya pengalaman pada masa

perkembangan anak-anak, pada masa anak dia menunjukkan alat kelaminnya dan

korban merasa excited (terkejut, takut, malu dan jijik) maka si penderita merasa itu

adalah sebuah pujian dan kejantanan baginya.

Eksibisonism dalam istilah psikologi sering disebut juga

dengan apodysophilia atau lady godiva syndrome, yaitu suatu keinginan yang kuat

atau kondisi psikologis yang kompulsif untuk memamerkan atau memperlihatkan

tubuhnya untuk menarik perhatian, terutama lawan jenisnya.

83
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai