A. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam
WvS Belanda namun tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
36
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Jakarta, hlm. 67
44
45
dari perbuatan pidana, yaitu tindak pidana. Istilah ini, karena tumbuhnya
“tindak” tidak menunjuk pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi
gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-
suatu hukum pidana.38 Maka, sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak
37
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2008, hlm. 60
38
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 1
46
pada suatu saat akan sulit memenuhi kebutuhan hukum dari masyarakat.
pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas
ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan dari pada ketentuan
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan
dirumuskan dengan an act not make a person guilty, unless the mind is
legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus
39
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 10 - 11
40
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 155
47
yang terlarang atau perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan
secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena
sedangkan dasar dapat dipidana pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti
41
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjaaban Pidana, Jurnal Hukum, Vol.6 No. 11 Tahun 1999, hlm 27
42
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Pidana; Dua Pengrtian Dasar dalam Hukum Pidana,
Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 75
43
Cahirul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 68
48
namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana, yaitu orang
tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” (geen straf zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas
Mereka tidak puas dengan materi yang diperoleh selama ini melalui jalan
44
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah, FH UNDIP, Semarang, 1988, hlm. 85
45
Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 157
49
oleh orang-orang kelas bawah akan tetapi juga bisa dilakukan kalangan
tidak ada pengecualian para pelakunya yang dapat saja dilakukan oleh
atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain47.
berasal dari kata asal corrumpiere atau corrupteia suatu kata Latin yang
lebih tua. Dari bahasa aslinya, korupsi dapat dimaknai sebagai “bribery”
46
Teguh Sulistia, op.cit, hlm 81.
47
Aziz Syamsuddin, op.cit, hlm. 15
50
kepada seorang agar orang tadi berbuat untuk guna keuntungan (dari
pemberi).
pihak, yaitu pihak yang menduduki jabatan publik dan pihak yang
pihak memberikan sesuatu yang berharga (uang atau aset lain yang bersifat
oleh pejabat publik (ilegal commision), dan kontribusi uang secara ilegal
ada padanya.
Karakteristik dari tindak pidana kerah putih atau white collar crime ini
48
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi, Rafika Aditama, 2015, hlm. 20-22
52
a. Low Visibility
kompleks.
b. Complexcity
c. Defussion Of Responsibility
d. Defusion Of Victimization
antara penegak hukum dan pelaku. Dalam hal ini pelaku tindak pidana
dan manajer di satu sisi dan diantara kantor pusat, bagian-bagian dan
yakni adanya organisasi kejahatan (criminal group) yang sangat solid baik
pidana ini (protector), yang antara lain terdiri atas para oknum penegak
hukum dan para oknum yang bersifat profesional. Unsur ketiga, tentu saja
tersebut50.
49
ibid. hlm. 49-50
50
ibid, hlm. 51
54
yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni
yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si
dalam hatinya.
e. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam
Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtelijk itu selalu harus dianggap
Unsur yang terpenting dari white collar crime adalah status si pelaku
(the status of offeder) dan karakter jabatan atau pekerjaan dari kejahatan si
51
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 183-184.
56
antara lain:
Governance);
52
Teguh Sulistia, op.cit, hlm 81-82.
53
Aziz Syamsuddin, Loc.cit.
57
berkaitan erat dengan karakter hakiki dalam diri manusia itu sendiri.
ada).
Pada umumnya, manusia memiliki rasa tidak puas. Karena rasa tidak
puas dan rendahnya rasa malu serta rendahnya integritas maka tindak
2) Kolonialisme.
korupsi.
54
Kristian dan Yopi Gunawan, op.cit, hlm. 55-56
60
sarana pendidikan.
Antikorupsi.
6) Struktur Pemerintahan.
7) Perubahan Radikal.
akan menutupi mukanya karena rasa malu yang luar biasa. Nilai
8) Keadaan Masyarakat.
B. Sanksi Pidana
Latin “sanction” yang berkaitan dengan kata kerja “sancire”. Arti asal kata
Sanksi pidana adalah reaksi delik yang banyak berwujud suatu nestapa
pula bahwa hukum adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang
Jadi dalam sistem hukum kita yang menganut asas praduga tidak
55
ibid, hlm. 57-58
56
Loebby Loqman, Pidana dan Pemidanaan, DATACOM, Jakarta, 2001, hlm.6
62
boleh dilanggar. Dengan adanya sanksi tersebut, maka suatu norma akan
berlaku sedemikian rupa, sehingga mereka yang diatur oleh norma tersebut
dengan hukum-hukum yang lain, hal ini dapat terlihat di dalam bentuk
Ciri hukum pidana adalah memberi bentuk tertentu terhadap paksaan atau
57
Muladi dan Bardanawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 2005, hlm.1
58
Loebby Loqman, Op Cit, hlm 8
63
oleh pemerintah, dan dalam hukum tidak boleh dilakukan oleh seseorang
pidana dapat ditandai dengan suatu ciri yang menyangkut paksaan untuk
hal semacam itu juga dapat terjadi secara lisan (verbal), sehingga ciri yang
bahwa sanksi yang dianut oleh hukum pidana berbeda dengan bagian
59
Loebby Loqman, Op Cit, hlm 9
64
kesatuan (for the public as a whole). Hukum pidana tidak hanya melihat
penderitaan korban atau penderitaan terpidana (not only for the person
utuh61.
tersebut adalah:
aturan-aturan hukum;
penyelesaian konflik62.
60
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. 105
61
ibid, hlm. 4
62
Loebby Loqman, Op Cit, hlm. 109
65
menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Diatur dua
pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas
empat jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri atas tiga jenis pidana.
berikut:
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda.
a. Pidana Pokok
1) Pidana Mati
sebagainya.
2) Pidana Penjara
tahun.
4. Pelepasan bersyarat.63
3) Pidana Kurungan
63
Bambang Waluyo, Op Cit, hlm 12-16
68
negeri.
rendah satu hari dan paling lama enam bulan. Untuk satu
penjara64.
4) Pidana Denda
64
Loebby Loqman, Op cit, hlm. 63-64
69
akan tetapi dapat dibayar pidana denda tersebut oleh orang lain.
akan tetapi harus dicicil oleh anak tersebut dengan mengambil dari
yaitu:
65
ibid, hlm 64-65
71
VI;
ini, belum mendapat perhatian bagi para ahli hukum pidana, jenis
66
Bambang Waluyo, Op Cit, hlm. 20
72
sebenarnya sudah dikenal sejak lama, namun baru pada abad ini
atau kurungannya paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-
b. Pidana Tambahan
diperoleh korporasi.
hak tertentu, hanya ada beberapa hak tertentu saja yang dapat
dicabut adalah:
67
Suhariyo, Op cit, hlm. 13-15
68
Bambang Waluyo, Op Cit, hlm. 22
75
lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
tindak pidana;
pidana.
69
Loebby Loqman, Op Cit, hlm. 65-66
76
dari orang yang mempunyai. Perampasan barang dalam hal ini juga
kejahatan71.
Artinya siapapun dapat melihat putusan Hakim. Akan tetapi dalam hal
70
Bambang Waluyo, Op Cit, hlm. 22-23
71
Loebby Loqman, Opcit, hlm. 66
77
C. Tujuan Pemidanaan
diakui sebagai hukum sanksi istimewa74. Hal ini dikarenakan hukum pidana
tindak pidana untuk dikenakan sanksi pidana, tetapi sanksi pidana yang
dijatuhkan harus selalu memiliki tujuan, seperti yang dijelaskan oleh Loebby
72
ibid
73
Bambang Waluyo, Op Cit, hlm. 23
74
Edi Setiadi, Hukum Pidana dan pengembangannya, Bandung, Fakultas Hukum Unisba, 1999, hlm. 11
75
Loebby Loqman, Op Cit, hlm. 55
78
masyarakat;
dari itu sanksi pidana memiliki landasan yang sangat besar, karena
benar. Selain itu sanksi pidana atau pemidanaan merupakan nestapa bagi yang
dipahami.
akan tetapi tidak semua malum pasionis merupakan pemidanaan. Oleh karena
tertulis, atau dengan kata lain pemidanaan merupakan suatu sanksi yang
bersifat subsidair, yakni baru akan diterapkan apabila sanksi yang lainnya
tahap pelaksanaan pidana, yaitu dari mulai taraf legislatif sampai pada tahap
yudikatif.
pidana. Di satu pidah hal itu tertuju pada organ-organ tertentu yang diberi
demikian, maka dengan sendirinya asas tidak ada hukuman apabila tidak ada
pidana (yaitu perilaku yang dari sudut moral dianggap tidak pantas).
bersifat umum (tertentu pada umum dan bukan pada pribadi). Pada taraf
bertitik tolak pada hal-hal yang umum, namun dalam pemilihan jenis-jenis
sanksi-sanksi alternatif76.
harus berlandaskan pada teori pemidanaan, dan pada sekarang ini teori
masyarakat.
a. Teori Retributif
yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana.
dapat dinyatakan gagal bila penderitaan ini tidak dirasakan oleh terpidana.
76
Ibid, hlm. 17-18
82
eyes for eyes, life for life tooth, hand for hand, foot for foot, burn to burn,
sekunder sifatnya.
Retributif Positif.
Dalam hal ini, efek lain dari sanksi yang dianggap positif, bila dalam
Namun demikian alat yang dipakai guna mencapai tujuan ini amat
83
relative. Pemidanaan yang keras atau lama belum tentu dapat mencapai
bagian ini. Pandangan ini melihat harus ada batasan yang tegas atas
penal measure must not exceed the limit that is appropriate to his
oleh John Kaplan di dalam bukunya Romli Atmasasmita,77 bahwa teori ini
dibagi ke dalam dua jenis, yaitu The revenge Theory (teori pembalasan)
korban dan keluarganya, sementara teori yang kedua melihat dari sudut
77
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung, Mandar Maju, 1995, hlm.83
84
dilakukannya. John Kaplan dalam hal ini berusaha adil dengan melihatnya
Muladi dan Barda Nawawi Arief, yang menyatakan bahwa untuk hukum
penting sekali dalam penerapan hukum pidana agar tidak terjadi main
sanksi harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit, selain itu
b. Teori Deterrence
deterrence memandang adanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada
adalah:
dan penanggulangan kejahatan, tetapi ide utama teori ini sangat berbeda
General Deterrence
78
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op cit, hlm 31
79
ibid,
80
ibid,
86
dapat dicapai dengan jalan lain (diluar penjatuhan sanksi pidana), hal ini
Special Deterrence
dibuat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana serupa
sebagai calon pelaku untuk berfikir bila akan melakukan tindak pidana.
Teori diatas banyak mendapat kritikan terkait dengan ukuran dari sanksi
hanya melingkupi pembatas hak-hak tertentu dari pelaku, akan tetapi aspek
Begitu pula di dalam pidana mati, maka bukan hanya unsur pembalasan
yang diterapkan tetapi juga unsur prevensi secara umum disamping unsur
prakteknya penerapan suatu teori akan terkait pula dengan teori lainnya,
berlakubagi satu teori saja tetapi juga berlaku bagi teori lainnya. Menurut
eva achjani, dalam perumusan suatu sanksi pidana atau penerapannya tidak
pernah ada penyebutan bahwa tujuan itu merupakan cerminan dari satu
81
M Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Doble Track System dan Implementasinya,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 44
82
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung Refika Aditama, 2006, hlm. 28
88
83
Dewi Asri, Upaya Penanggulangan Pelanggaran Kesusilaan di Dalam Peraturan Daerah Dihubungkan Dengan
Tujuan Pemidanaan di Indonesia, Disertasi, Bandung, Universitas Padjadjaran, 2015, hlm. 121
84
Dwidja Priyanto, Op Cit, hlm. 27