Anda di halaman 1dari 291

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan

melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan

orang lain atau kepentingan umum. Tindak pidana (strafbaar feit) menurut

Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa yang melanggar aturan tersebut, dalam hal ini terdapat 3 (tiga) hal yang perlu

diperhatikan:

1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana.

2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan oleh suatu

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedang ancaman pidana

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, karena antara

kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu terdapat hubungan yang

erat. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan

1
2

orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang

ditimbulkan olehnya.

Hukum Pidana Belanda membedakan antara misdrijven, yaitu tindak pidana

yang lebih serius yang secara garis besar dapat dibandingkan dengan tindak pidana

yang tergolong berat yang diistilahkan sebagai kejahatan dan overtredingen

(pelanggaran) atau tindak pidana yang lebih ringan.

Kejahatan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan

dalam masyarakat yang terlihat damai sekalipun. Cicero, seorang filsuf Yunani

ribuan tahun yang lalu sudah menyatakan bahwa di mana ada masyarakat, maka di

situ ada hukum dan ada kejahatan (ubi societas, ibi ius, ibi crime). Kejahatan dapat

terjadi karena adanya konflik dalam masyarakat. Kelompok masyarakat yang satu

akan menganggap kelompok lain memiliki perilaku yang menyimpang apabila

perilaku kelompok lain tersebut tidak sesuai dengan perilaku kelompoknya.

Perilaku yang menyimpang tersebut dinilai sebagai suatu kejahatan.

Pendapat Emile Durkheim juga sejalan dengan pendapat Cicero. Kejahatan,

menurut Emile Durkheim akan selalu hadir dalam masyarakat. Emile Durkheim

secara rinci berpendapat, bahwa 1:

1
Emile Durkheim, “Pidana Ganti Rugi : Alternarif Pemidanaan di Mada Depan dalam
Penanggulangan Kejahatan Tertentu”,<http://www.library.usu.ac.id.>, [02/04/ 2019].
3

“Crime is present not only in the majority of societies of one particular


species but in all society that is not contronted with the problem of
criminality. It is form changes : the act thus caracterized are not the same
every where and always, there have been men who have behaved in such
away as to draw upon then selves penal repression” (Kejahatan tidak saja
timbul dalam lingkungan mayoritas spesies khusus, akan tetapi di seluruh
masyarakat yang berhadapan dengan masalah kriminalitas. Hal ini
disebabkan oleh berbagai perubahan : segala tindakan yang dicerminkan
tidak selalu sama di setiap lingkungan, karena terdapat orang yang
cenderung menyalahkan diri dengan menghukum diri sendiri secara berat).
Kriminalitas atau kejahatan bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan

sejak lahir atau warisan), juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku

kriminalitas dapat dilakukan oleh siapapun juga, baik laki-laki maupun

perempuan, anak, dewasa atau lanjut usia. Tindak kejahatan dapat dilakukan

secara sadar, setengah sadar atau tidak sadar sama sekali. Tingkah laku manusia

yang jahat, immoril dan antisosial banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan

kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas sangat merugikan kepentingan

umum, oleh karena itu kejahatan harus diberantas demi terciptanya ketertiban,

keamanan dan keselamatan masyarakat. Warga masyarakat secara keseluruhan

bersama-sama dengan lembaga resmi yang berwenang, diantaranya kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, lembaga permasyarakatan dan lain-lain, wajib

menanggulangi kejahatan semaksimal mungkin. Upaya yang dilakukan oleh

manusia dalam menanggulangi kejahatan memiliki sejarah yang panjang sejalan

dengan perkembangan pengorganisasian masyarakat itu sendiri 2.

2
Romli Atmasasmita, Dikutip dalam Muladi (Editor), Hak Asasi Manusia – Hakekat,
Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Refika
Aditama, 2007), Hlm. 143.
4

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan atau tindak

pidana adalah dengan memberikan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan. Salah satu

asas yang paling fundamental dalam Hukum Pidana dan menjadi salah satu unsur

pertanggungjawaban pidana dari subjek hukum adalah asas tiada pidana tanpa

kesalahan (keine strafe ohne schuld/ geen straf zonder schuld/nulla poena sine

culpa).

Pemberian sanksi pidana bagi pelaku kejahatan harus didahului dengan

pemeriksaan tindak pidana di pengadilan yang merupakan salah satu tahap dalam

penegakkan hukum pidana in concreto, yaitu penerapan hukum pidana materiil

secara nyata di kehidupan masyarakat. Pemeriksaan tindak pidana diawali dengan

pengajuan dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Panuntut Umum (JPU) hingga

penjatuhan putusan oleh hakim di sidang pengadilan. Salah satu tahap dalam

pemeriksaan tindak pidana adalah tahap pembuktian. Pembuktian merupakan

sarana untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.

M. Yahya Harahap berpendapat bahwa secara yuridis, pembuktian adalah

ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang berbagai cara yang

dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur mengenai

alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh digunakan hakim untuk
5

membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan dalam hal ini tidak boleh bertindak

sesuka hati dan membuktikan kesalahan terdakwa dengan sewenang-wenang.3

Andi Hamzah berpendapat bahwa pembuktian tentang benar atau tidaknya

terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting

dari acara pidana4. Pembuktian juga memegang peranan penting dalam

menentukan keyakinan hakim untuk menyatakan bersalahnya seseorang 5.

Pembuktian merupakan tahap penting dalam pemeriksaan perkara pidana di

pengadilan jika dikaji, baik dari dari segi Sistem Peradilan Pidana (Criminal

Justice System) maupun dari segi Hukum Acara Pidana (Formeel Strafrecht/straf

Procesrecht). Hal ini dikarenakan pembuktian merupakan tahap penentu, terbukti

atau tidaknya seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana.

Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencapai kebenaran materiil, agar

tujuan tersebut dapat tercapai, maka tindak pidana yang terjadi harus digali sampai

ke akar-akarnya yang didasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang diajukan

dalam sidang pengadilan. Tercapainya kebenaran materiil akan mewujudkan nilai

keadilan substansial dalam penegakan hukum pidana in concreto.

3
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta : Sinar Grafika,
2012), Hlm.273.
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,2014), Hlm.
241.
5
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya), (Bandung : Alumni, 2012), Hlm. 158.
6

Pembuktian tindak pidana telah diatur dalam Bab XVI Bagian Keempat

Pasal 183-Pasal 189 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana atau lazimnya disebut dengan hukum acara pidana dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) merupakan Hukum Acara Pidana yang bersifat umum (lex

generalist) yang berlaku sebagai pedoman bagi penegak hukum pidana untuk

menangani tindak pidana umum. Hukum Acara Pidana yang bersifat khusus diatur

diluar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau yang sering

disebut undang-undang khusus (lex spesialis). Hukum Acara Pidana khusus juga

mengatur pembuktian tindak pidana.

Pembuktian diatur dalam Pasal 183 – 202 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). Pasal 183 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), mengatur tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana, dimana

pasal tersebut menyebutkan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
7

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah Hakim

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan dalam Pasal 183 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertujuan untuk menjamin

tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia bagi

seseorang atau setiap Warga Negara Indonesia yang didakwakan telah melakukan

suatu tindak pidana.

M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa berdasarkan ketentuan dalam

Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembentuk

undang-undang telah memilih sistem pembuktian yang paling tepat dalam

kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian

hukum. Hal itu karena dalam sistem pembuktian tersebut, terpadu kesatuan

penggabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian

menurut undang-undang secara positif (positive wettelijk stelsel).

Andi Hamzah menyimpulkan bahwa dari rumusan Pasal 183 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembuktian harus didasarkan kepada

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah

dan disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. 6

Ketentuan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

6
Andi Hamzah, Loc. Cit., Hlm. 254 – 256.
8

(KUHAP) hampir sama dengan ketentuan dalam Pasal 341 ayat (4) Ned. Sv, yang

rumusannya adalah sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”.

Hukum Acara Pidana Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 183

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut sistem

pembuktian negatif (negatif wettelijk) yang mirip dengan sistem pembuktian

convicition in raisone. Hakim berdasarkan sistem pembuktian ini dalam

mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh

alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim

sendiri, dengan demikian dalam sistem negatif terdapat 2 (dua) hal yang

merupakan syarat untuk membutikan kesalahan terdakwa, yaitu wettelijk (alat

bukti yang sah yang telah ditentukan undang-undang) dan negative (keyakinan

hakim).7

Andi Hamzah berpendapat bahwa berdasarkan sistem pembuktian negatif

(negative wettelijk bewijstheorie), maka pemidanaan didasarkan pada pembuktian

berganda (dubbel en grondslag), yaitu didasarkan pada peraturan undang-undang

dan keyakinan hakim. Menurut undang-undang, keyakinan hakim bersumber pada

peraturan undang-undang.8 Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa dalam


7
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung :
Mandar Maju, 2003), Hlm. 6.
8
Andi Hamzah, Loc. Cit., Hlm. 256.
9

menjatuhkan pidana, hakim harus mendasarkan pendapatnya pada minimal 2 (dua)

alat bukti dan keyakinannya. Keyakinan hakim harus dibangun dengan minimal 2

(dua) alat bukti, tanpa itu maka keyakinan hakim tidak akan terbangun.

Pendapat tersebut jika direnungkan lebih jauh sangat berbahaya dan

sewenang-wenang, hal ini dikarenakan penilaian kesalahan terdakwa hanya

ditentukan oleh keyakinan. Keyakinan bersifat abstrak, tersembunyi dan sulit

mengujinya dengan cara dan ukuran objektif. Sistem pembuktian menurut

keyakinan hakim karenanya mempunyai kecenderungan untuk menyerahkan

sepenuhnya penentuan salah atau tidaknya terdakwa kepada penilaian subjektif

hakim, sedangkan masalah subjektif seorang manusia sangat dipengaruhi oleh latar

belakang kehidupan yang bersangkutan. Setiap manusia memiliki sikap keyakinan

yang berbeda, sehingga dikhawatirkan akan timbul praktik penegakkan hukum

yang beragam dalam pemidanaan. Sebaliknya, jika pemidanaan terdakwa hanya

digantungkan kepada ketentuan cara dan menurut alat-alat bukti yang sah tanpa

didukung keyakinan hakim, maka kebenaran dan keadilan yang diwujudkan dalam

upaya penegakkan hukum, kemungkinan agak jauh dari kebenaran sejati karena

hanya mewujudkan kebenaran formal dan dapat menimbulkan tekanan batin

kepada hakim karena menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang diyakininya tidak

benar-benar bersalah.9

9
Ibid. Hlm. 281.
10

Alat bukti dalam tahap pembuktian merupakan unsur yang sangat penting.

Alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk

menentukan benar atau tidaknya suatu tuduhan. Berdasarkan ketentuan dalam

Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat

bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa.

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat saat ini mengakibatkan

perubahan-perubahan di berbagai bidang kehidupan, termasuk di bidang Hukum

Acara Pidana, di mana saat ini dikenal adanya alat bukti lain yang tidak diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu alat bukti

elektronik, seperti informasi elektronik, data atau dokumen elektronik,

pemeriksaan saksi dengan menggunakan audio visual (teleconference), microfilm,

rekaman radio kaset, VCD (Video Compact Disk), DVD (Digital Versatile Disk),

foto, faximile, hasil rekaman CCTV (Clossed Circuit Television), SMS (Short

Message Service) dan MMS (Multimedia Messaging Service).

Pendapat Mahkamah Agung (MA) dalam suratnya kepada Menteri

Kehakiman Nomor39/TU/88/102/Pid berbeda dengan putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menyebutkan bahwa Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak dapat dijadikan alat bukti jika tidak

dilakukan dalam rangka penegakkan hukum atas permintaan Kepolisian,

Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan


11

undang-undang. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka CCTV

(Clossed Circuit Television) tidak termasuk alat bukti yang sah dalam persidangan

jika pemasangan dan perekaman yang dilakukan oleh CCTV (Clossed Circuit

Television) tidak dilakukan atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan dan/atau

institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang.

Padahal hampir setiap rumah di kota-kota besar, fasilitas publik, maupun tempat-

tempat umum lainnya telah dipasang CCTV (Clossed Circuit Television) agar

mempermudah pemantauan keamanan kondisi setempat. Dengan kata lain, maka

CCTV (Clossed Circuit Television) tidak lagi menjadi berguna sebagaimana

tujuan awalnya, yakni sebagai pemantau kondisi kemanan dan sebagai alat bukti

yang dapat diajukan dalam persidangan jika terjadi suatu tindak pidana.

Beberapa kasus tindak pidana umum yang menggunakan CCTV (Clossed

Circuit Television) dan menimbulkan pro dan kontra antara lain adalah :

1. Pada putusan Mahkamah Agung Nomor: 498 K/PID/2017 Kedudukan

CCTV (Clossed Circuit Television) yang di pasang di cafe Oliver sebagai

alat bukti dalam kasus Jesicca Kumala Wongso yang di duga telah

memasukkan sianida dalam kopi Mirna, berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi (MK), dinyatakan tidak sah karena dipasang bukan atas

permintaan Penyidik.
12

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1185 K/Pid/2006 CCTV (Clossed

Circuit Television) di Singapore yang dijadikan alat bukti oleh penyidik

dalam kasus pembunuhan Munir tidak dapat diterima oleh Hakim.

3. CCTV (Clossed Circuit Television) tidak di akui di peradilan sebagai alat

bukti oleh hakim pada kasus pembunuhan mahasiswi Trisakti di Mall

SCBD pada tahun 2015. Alat bukti yang diakui hanya hasil otopsi, baju

yang digunakan tersangka, keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana ( KUHAP), bukti elektronik tidak dapat dikategorikan ke dalam alat

bukti yang sah, namun Mahkamah Agung (MA) dalam suratnya kepada Menteri

Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid pada tanggal 14 Januari 1988 menyebutkan

bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah

dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan

microfilm tersebut telah dijamin autentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari

registrasi maupun berita acara.10 Berdasarkan pendapat Mahkamah Agung (MA),

bukti eletronik berupa microfilm atau microfiche merupakan alat bukti yang sah

sebagai pengganti bukti surat.

Perkembangan teknologi informasi melahirkan aturan baru di Indonesia,

yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

10
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Loc. Cit., Hlm. 63.
13

Materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik secara

umum terbagi ke dalam 2 (dua) bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi

dan transaksi elektronik serta pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang11.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, menyebutkan bahwa :

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk


tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
Elecronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa :

1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah;

2. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang

sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka alat bukti yang disebut dengan
11
Nur Laili Asma dan Arima Koyimatun, “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi
Elektronik pada Dokumen Elektronik serta Hasil Cetaknya dalam Pembuktian Tindak
Pidana”, Jurnal Penelitian Hukum Volume 1, Nomor 2, Juli 2014, Hlm. 110.
14

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dengan mudah

membuktikan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik karena alat bukti tesebut merupakan perluasan

dari alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa :

“Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa


hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagaian
dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakkan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi lainnya yang
kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang”.

Informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti selanjutnya ditegaskan

dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, yang menyebutkan bahwa :

“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan


menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan;
dan
2. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”
15

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 44 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dapat

diketahui bahwa bukti elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri dan

merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Hukum

Acara Pidana yang berlaku di Indonesia, oleh karena itu dapat digunakan sebagai

alat bukti di persidangan.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

merupakan terobosan terbaru dari perkembangan alat bukti dan merupakan

jawaban dari permasalahan utama dalam perkembangan kejahatan dunia maya

(cyber crime) serta mampu mengakomodasi alat bukti yang paling diperlukan

dalam kejahatan dunia maya (cyber crime), yaitu alat bukti elektronik berupa

informasi elektronik dan dokumen elektronik.12

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 20/PUU-

XVI/2016. Putusan tersebut merupakan hasil pemeriksaan uji materiil (judicial

review) yang diajukan oleh Setya Novanto melalui kuasa hukumnya terkait

ketentuan bukti elektronik (informasi dan/atau dokumen elektronik) berupa hasil


12
Alcdini Wijayanti, “Perkembangan Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana
berdasarkan Undang Undang Khusus dan Implikasi Yuridis Terhadap KUHAP,”
Diponegoro Law Review Vol. 1,No. 4 (2012), Hlm. 3.
16

penyadapan (intersepsi) dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b

UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekteronik serta

Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Mahkamah Agung, dalam putusannya menyatakan bahwa hasil

penyadapan termasuk bukti elektronik (informasi dan/atau dokumen elektronik).

Pengaturan bukti elektronik, dalam perkembangannya juga dapat ditemui

dalam beberapa undang-undang khusus, diantaranya adalah :

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa :

“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud Pasal
188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.”
17

Penjelasan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang

disimpan dalam micro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-

ROM) atau Write Once Read Many (WORM). “Alat optik atau yang

serupa dengan itu” yang dimaksud dalam ayat ini tidak terbatas pada data

penghubung elektronik (Electronic Data Interchange/ EDI), surat

elektronik (eletronic-mail/e-mail), telegram, teleks, dan faksimile.

Merujuk pada ketentuan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya maka

status bukti elektronik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bukti

petunjuk.

Terkait dengan petunjuk Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :

a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.


18

b. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh

dari :

1) keterangan saksi;

2) surat;

3) keterangan terdakwa.

M. Yahya Harahap berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 182 ayat

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membatasi

kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk. 13 Sumber

yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas

dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan Pasal 188 ayat (2)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana

ketentuan dalam pasal tersebut secara tegas menetapkan dengan perkataan

“hanya”. Apabila ketentuan dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) dikaitkan dengan Pasal

26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsimaka alat bukti petunjuk berasal dari keterangan saksi,

surat, keterangan terdakwa, dan bukti elektronik berupa informasi dan

dokumen.

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

13
M. Yahya Harahap, Loc. Cit, Hlm. 315. n
19

Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

menyebutkan bahwa:

a. Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

b. Alat bukti lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

1) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan

secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2) Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau

didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain

kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi

tidak terbatas pada :

1. Tulisan, suara dan/atau gambar;

2. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

3. Huruf, tanda, angka, simbol, sandi atau perforasi yang memiliki

makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau

memahaminya.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyebutkan bahwa :


20

“Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang

adalah :

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

dan/atau

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa

optik dan dokumen”.

Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut dapat

diketahui bahwa alat bukti elektronik, dalam beberapa undang-undang pidana

khusus dirumuskan secara tegas dan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang

sah, namun terdapat perbedaan kebijakan mengenai status alat bukti elektronik,

dalam perundang-undangan yang satu alat bukti elektronik diakui sebagai

perluasan alat bukti petunjuk, sedangkan dalam perundang-undangan yang lain

diakui sebagai alat bukti yang berdiri sendiri.14

Bukti elektronik yang berupa informasi dan/atau dokumen elektronik

merupakan alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana, berstatus sebagai

pengganti surat, alat bukti yang berdiri sendiri, dan perluasan dari bukti petunjuk.

Ketiga status bukti elektronik itu tidak terdapat di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun pengaturannya terdapat dalam beberapa

14
Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidaan Siber, (Bandung: Refika Aditama, 2012), Hlm.
222.
21

undang-undang khusus dan instrumen hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah

Agung (MA). Bukti elektronik diakui dalam praktik peradilan pidana dan diatur

dalam beberapa undang-undang khusus serta instrumen hukum yang dikeluarkan

oleh Mahkamah Agung (MA).

Sigid Suseno berpendapat bahwa alat bukti yang dikumpulkan oleh penyidik

harus dapat diterima oleh pengadilan. Dalam konteks kerja sama internasional

persyaratan dapat diterimanya suatu alat bukti digital (informasi dan dokumen

elektronik) harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dan

aparat penegak hukum suatu negara. Apabila diperlukan, maka peraturan

mengenai cara bagaimana alat bukti digital diperoleh dan dikumpulkan harus

dibentuk. Di Amerika Serikat misalnya, alat bukti dapat diterima oleh pengadilan

bila diperoleh secara sah, yaitu alat bukti harus diperoleh berdasarkan hukum yang

mengatur mengenai penggeledahan dan penyitaan.15 Alat bukti yang memenuhi

syarat yang dikumpulkan oleh penyidik (termasuk bukti elektronik) tidak boleh

ditolak oleh pengadilan.

Menurut Edmon Makarim,16 meskipun suatu informasi atau dokumen

elektronik mempunyai kerentanan keamanan terhadap adanya perubahan, namun

melalui sistem keamanan informasi dan komunikasi maka keauntetikannya harus

melalui proses e-identification and e-authentication system (e-IDAS) yang

15
Ibid, Hlm. 227
16
Edmon Makarim, “Keautentikan Dokumen Publik Elektronik dalam Administrasi
Pemerintahan dan Pemerintahan Publik,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, no. 4 (2015).
Hlm. 518.
22

mencakup layanan penyelanggaraan jasa sertifikasi (trust services provider)

berdasarkan kualifikasi tertentu (quality assurance level) untuk memperjelas aspek

kepercayaan terhadap keberadaan sistem pengamanan itu sendiri (electronic

signature, electronic seal, electronic time-stamping, electronic registered delivery

services, dan web-site authentication). Integritas konten dalam suatu bukti

elektronik (informasi dan/atau dokumen elektronik) menjadi terjamin

keautentikannya melalui sistem keamanan informasi yang certified.

Pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang

dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Terkait dengan hal tersebut, maka hakim harus

selalu hati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan

pembuktian. Hakim harus meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan

pembuktian (bewijs krachts) dari setiap alat bukti yang diatur dalam Pasal 184

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penelitian terkait alat

bukti sudah banyak diteliti, untuk melihat perbedaan dengan penelitian

sebelumnya maka peneliti uraikan sebagai berikut :

Pertama, disertasi Rena Zavania Ritonga dari Universitas Pelita Harapan

Surabaya dengan judul “Keabsahan alat bukti elektronik dalam persidangan

inabsentia”. Disertasi ini membahas tentang hukum pembuktian, suatu alat bukti

dikatakan sebagai alat bukti yang sah adalah tidak hanya alat bukti tersebut diatur

dalam suatu undang-undang (bewijsmiddelen) tetapi bagaimana alat bukti tersebut


23

diperoleh dan cara pengajuan alat bukti tersebut di pengadilan (bewijsvoering),

serta dan kekuatan pembuktian (bewijskracht) atas masing-masing alat bukti yang

diajukan tersebut juga sangat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menilai

keabsahan suatu alat bukti.

Kedua, Disertasi Hani Amalia Susilo dari Universitas Bandar Lampung,

yang berjudul “Eksistensi penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian

tindak pidana terorisme”. Disertasi ini membahas tentang alat bukti dalam

pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme yang diatur dalam Pasal 27 Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pengaturan mengenai alat bukti pemeriksaan perkara pidana terorisme lebih luas

daripada alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketiga, Disertasi Efa Laila Fahkiyah dari Universitas Sebelas Maret, dengan

judul “Perkembangan alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata menuju

pembaharuan hukum acara perdata”. Disertasi ini meneliti tentang perkembangan

alat bukti dalam perkara perdata, di mana alat bukti yang diatur dalam undang-

undang adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah,

pemeriksaan setempat, keterangan saksi ahli, dan secara khusus media elektronik

yang menyimpan dokumen perusahaan (menurut undang-undang Dokumen

Perusahaan) seperti microfilm dan media penyimpan lainnya yaitu alat penyimpan

informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat
24

menjamin keaslian dokumen yang dialihkan ke dalamnya. Dalam praktik muncul

berbagai jenis yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik seperti

misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan video conference

(teleconference), sistem layanan pesan singkat/SMS, hasil rekaman kamera

tersembunyi/CCTV (Clossed Circuit Television), informasi elektronik, tiket

elektronik, data/dokumen elektronik, dan sarana elektronik lainnya sebagai media

penyimpan data. Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat

pembuktian yang dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi

atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya.

Keempat adalah disertasi Sinta Dewi HTP dari Universitas Indonesia, yang

berjudul “Kajian yuridis terhadap keterangan saksi melalui audio visual

(teleconfrence) di persidangan perkara pidana”. Disertasi ini berkaitan dengan

maraknya kejahatan global seperti terorisme dan narkotika, yang melibatkan

jaringan di banyak negara, menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya

sulitnya menyelesaikan perkara jika pihak-pihak yang terlibat berada di negara-

negara yang berbeda, misalnya seorang tersangka berada di Indonesia sedangkan

saksi yang dapat memberikan penjelasan terhadap kasus tersebut di tahan di

Amerika.

Kelima, Disertasi Siti Ainun Rachmawati dari Universitas Indonesia, yang

berjudul “Kekuatan pembuktian dukumen elektronik sebagai alat bukti dalam

sistem hukum pembuktian di Indonesia”. disertasi ini memfokuskan pada nilai


25

pembuktian alat bukti elektronik yang masih dikategorikan sebagai alat bukti biasa

dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian, oleh

karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain yaitu didukung

dengan keterangan saksi ahli.

Keenam, Disertasi yang ditulis oleh Arief Heryogi dari Universitas

Brawijaya, dengan judul “Fungsi Bukti elektronik dalam Hukum Acara Pidana

pasca putusan Makamah Konstitusi nomor 20/PUU-XIV/2016”. Disertasi ini

meneliti tentang implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-

XIV/2016 pada fungsi bukti elektronik dalam Hukum Acara Pidana. Fokus

pembahasan disertasi tersebut adalah : 1) Putusan tersebut menimbulkan

ketidakpastian hukum terhadap keabsahan alat bukti elektronik dan 2) Adanya

perbedaan antara pengaturan yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 20/PUU-XIV/2016 dengan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang akan

mengakibatkan perbedaan penafisran oleh penegak hukum.

Ketujuh, Disertasi Adi Kusuma Wardhana dari Universitas Pembangunan

Nasional, dengan judul “Kekuatan hukum penggunaan rekaman video sebagai alat

bukti dalam penanganan tindak pidana terorisme”. Peneliti dalam disertasinya

memberikan gambaran mengenai penggunaan bukti digital (digital evidence)

berupa rekaman video dalam pembuktian Hukum Acara Pidana di Indonesia.


26

Kedelapan, Disertasi Dian Erdianto dari Universitas Diponegoro dengan

judul “Kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui media

teleconference di Indonesia”. Disertasi ini membahas tentang cara pemeriksaan

saksi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang dikenal dengan

istilah teleconference. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui

media teleconference saat ini dan masa yang akan datang.

Kesembilan, Disertasi Nur Laili Isma – Universitas Gadjah Mada dengan

judul “Kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik pada dokumen

elektronik serta hasil cetaknya dalam pembuktian tindak pidana”. Penelitian ini

membahas tentang kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik pada

dokumen elektronik serta hasil cetaknya dalam pembuktian tindak pidana.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan

alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya dalam

pembuktian tindak pidana serta bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti

informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya dalam

pembuktian tindak pidana ?

Kesepuluh adalah disertasi yang ditulis oleh Siswandi dari Universitas

Pasundan, dengan judul “Problematika penggunaan rekaman Closed Circuit

Television (CCTV) sebagai alat bukti dalam perkara pencurian dihubungkan

dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juncto Undang
27

Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan transaksi elektronik”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan rekaman Closed Circuit

Television (CCTV) sebagai alat bukti dalam perkara pidana berdasarkan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) dan Undang – Undang Nomor

19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta mengetahui

mekanisme pengambilan alat bukti rekaman Closed Circuit Television (CCTV)

yang dibenarkan oleh ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara ( KUHAP),

untuk mengetahui pertimbangan - pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap penggunaan kamera Closed Circuit Television (CCTV) sebagai alat bukti

dalam perkara kasus pencurian

Perkembangan teknologi membawa perubahan dalam dunia hukum, salah

satunya adalah penggunaan audio visual dalam memberikan keterangan atau

kesaksian di depan persidangan perkara pidana. Audio visual merujuk kepada

penggunaan komponen suara (audio) dan komponen gambar (visual), dibutuhkan

beberapa peralatan untuk menyajikan hal ini, film dan program televisi adalah

beberapa contoh dari penyajian audio visual. 17

Penggunaan audio visual di satu sisi merupakan terobosan positif dalam

peradilan pidana di Indonesia, namun di sisi lain menimbulkan kontroversi karena

penyelenggaraan audio visual dalam pemeriksaan saksi tidak diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kenyataannya audio visual

17
N.N., “Audio Visual”, http://wikipedia, http://id.wikipedia.org [03/04/ 2019].
28

digunakan untuk memeriksa saksi-saksi dalam persidangan perkara pidana

diantaranya dalam perkara tindak pidana korupsi, pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM) berat pasca jajak pendapat di Timor Timur dan perkara tindak pidana

terorisme. Terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban memberikan pilihan bagi saksi dalam memberikan

kesaksiannya yang tidak harus hadir ke pengadilan tetapi dapat melalui sarana

elektronik.

Pemeriksaan saksi melalu audio visual pada prinsipnya merupakan

komunikasi langsung secara interaktif di mana para pihak dapat berdialog

walaupun berada di tempat yang berbeda, dengan demikian keterangan saksi yang

disampaikan melalui audio visual di depan persidangan pada dasarnya sama

dengan keterangan saksi yang diatur dalam ketenuan Pasal 184 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka penelitian yang dilakukan oleh

peneliti dalam disertasi judul “AUTENTIKASI AUDIO VISUAL SEBAGAI

ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA UMUM

MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA” berbeda dengan

penelitian lain yang sebelumnya telah diuraikan oleh peneliti.


29

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat oleh peneliti dalam penulisan disertasi ini

adalah sebagai berikut

1. Bagaimana eksistensi audio visual dijadikan sebagai alat bukti dalam

proses pembuktian Tindak Pidana Umum di Indonesia ?

2. Bagaimana konsep pembuktian audio visual dalam teori sebagai alat bukti

menurut Hukum Acara Pidana ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian atas masalah yang disebutkan dalam Identifikasi

Masalah diatas adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis dan menemukan tentang eksistensi audio visual

dijadikan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian Tindak Pidana

Umum di Indonesia.

2. Untuk menganalisis dan menemukan konsep pembuktian audio visual

dalam teori sebagai alat bukti menurut Hukum Acara Pidana.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian atas masalah yang disebutkan

dalam Identifikasi Masalah diatas adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan secara Teoritis


30

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum

pada umumnya dan bagi Hukum Pidana serta Hukum Acara Pidana pada

khususnya.

2. Kegunaan secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pemangku kebijakan

publik, terutama untuk Penyidik, sehingga dapat dijadikan acuan dalam

menetapkan berbagai kebijakan.

E. Kerangka Pemikiran

Perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek akan

melahirkan berbagai teori yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu penelitian,

termasuk penelitian hukum, pembatasan atau kerangka, baik kerangka teori

maupun kerangka konseptual merupakan hal yang penting agar peneliti tidak

terjebak dalam polemik yang tidak terarah. Hal ini juga dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji yang berpendapat bahwa kerangka teoritis

dan kerangka konseptual merupakan unsur yang sangat penting.18 Menurut

Soerjono Soekanto, kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain tergantung pada

metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga ditentukan oleh teori.19

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai

landasannya. Radbruch berpendapat bahwa tugas teori hukum adalah untuk

18
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif - SuatuTinjauan
Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), Hlm. 7.
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), Hlm. 6.
31

membuat jelas nilai-nilai hukum oleh postulat-postulat hukum sampai kepada

penjelasan filosofis yang tertinggi. Teori hukum akan mempertanyakan hal-hal

seperti mengapa hukum berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya, apa yang

menjadi tujuan hukum, bagaimana hukum dipahami, apa hubungannya dengan

individu dan masyarakat, apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum, apakah

keadilan itu dan bagaimana hukum yang adil.20 Penelitian dalam disertasi ini tidak

terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem

pemikiran ahli hukum itu sendiri. Seorang ilmuwan tidak hanya mempunyai

tanggung jawab sosial karena ilmuwan adalah warga masyarakat yang

kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, melainkan juga karena

ilmuwan mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup masyarakat.21

Ilmu hukum seperti ilmu sosial lainnya merupakan suatu ilmu yang

berkembang begitu cepat, kompleks dan rumit, namun apabila disusun strukturnya,

maka dalam ilmu hukum, selain paradigma dikenal pula struktur seperti rumpun

teori yang dapat dikelompokkan dalam Grand Theory, Middle Range Theory dan

Applied Theory. Grand Theory pada umumnya adalah teori-teori makro yang

mendasari berbagai teori di bawahnya. Disebut Grand Theory karena pada saat ini

teori-teori tersebut menjadi dasar lahirnya teori-teori lain di berbagai level.

Disebut makro karena teori-teori ini berada di level makro, berbicara mengenai

20
Radbruch, Dikutip dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 2000),
Hlm. 254.
21
Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer,(Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 1999), hlm. 237.
32

struktur dan tidak berbicara tentang fenomena-fenomena mikro. Middle Range

Theory berada pada level mezzo, level menengah di mana fokus kajiannya makro

dan mikro, sedangkan Applied Theory disebut juga sebagai Application Theory

Karena teori ini berada di level mikro dan siap untuk diaplikasikan dalam

konseptualisasi.22

Peneliti menggunakan 3 (tiga) teori sebagai dasar untuk menganalisis

permasalahan. Penyusunan teori-teori yang digunakan secara sistematis dan

berurutan di awali dengan sifat teori yang memiliki tingkat keabstrakan yang lebih

tinggi hingga teori yang bersifat aplikatif. Peneliti dalam mengkaji berbagai

permasalahan dalam ranah Hukum Pidana pada umumnya dan ranah Hukum Pidana

Formil pada khususnya, mengacu pada pendapat Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa

pemikiran Hukum Pidana tidak sempurna dan tidak utuh jika dilepaskan dari pandangan

falsafah yang seharusnya mendasarinya. Masalah pertanggung jawaban pidana tidak dapat

dilepaskan dari 2 (dua) aspek yang dilihat dari segi falsafah, yaitu aspek keadilan dan

aspek kelakuan.23 Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini sebagai pisau

analisis dan koridor bergeraknya hukum pidana. Peneliti menggunakan teori-teori sebagai

berikut :

1. Grand Theory

22
Syamsul, “Teorisasi dalam Penelitian Kualitatif”, <http://komunikasi-syamsul-
huda.blogspot.com> [03/04/ 2019].
23
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban Pidana. Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), Hlm. 7-8.
33

Teori Kepastian Hukum dari Gustav Radbruch menjadi grand theory

dalam penelitian ini. Kepastian dalam atau dari hukum akan tercapai jika

hukum itu berdasarkan pada undang-undang, dalam undang-undang tersebut

tidak ada ketentuan yang saling bertentangan. Undang-undang tersebut dibuat

berdasarkan kenyataan hukum dan undang-undang tersebut tidak ada istilah-

istilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. Selain itu

disebutkan, bahwa kepastian mempunyai arti bahwa dalam hal kongkrit kedua

pihak berselisih dapat menentukan kedudukan mereka. Tugas hukum menjamin

kepastian dalam hubungan-hubungan yang kedapatan dalam pergaulan

kemasyarakatan.

Gustav Radbruch menyatakan bahwa:24

Hukum dinegara berkembang ada dua pengertian tentang kepastian

hukum yaitu kepastian oleh karena hukum, dan kepastian dalam hukum.

Menjamin kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari hukum. Hukum

yang berhasil menjamin banyak kepastian dalam hubungan- hubungan

kemasyarakatan adalah hukum yang berguna.

Tugas dari hukum juga yaitu menjamin kepastian hukum dalam

hubungan-hubungan yang ada dalam masyarakat. Jika tidak adanya kepastian

hukum yang jelas maka masyarakat akan bertindak sewenang-wenang pada

sesamanya karena beranggapan bahwa hukum itu tidak pasti dan tidak jelas.

Kepastian hukum itu sendiri juga menjadi dasar dari perwujudan asas legalitas.
24
E. Utrecht, Pengertian dalam Hukum Indonesia Cet. Ke-6, Balai Buku Ichtiar, Jakatra, 1959, hlm.26.
34

Menurut Sudargo Gautama, dapat dilihat dari dua sisi yaitu:25

1. Dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan

kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap

hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan

dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum.

2. Dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum.

Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu

merupakan batas kekuasaan bertindak negara.

Kepastian hukum juga sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum

suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiaban setiap warga negara.

Secara normatif suatu kepastian hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat

dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

dalam artian tidak menimbulkan keragu- raguan dan logis tidak menimbulkan

benturan dan kekaburan norma dalam sistem norma satu dengan yang lainnya.

Kekaburan norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan hukum, dapat

terjadi multi tafsir terhadap sesuatu dalam suatu aturan.

Kepastian hukum juga menjadi ciri yang tidak dapat dipisahkan dari

hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian

akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai perilaku bagi
25
Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1973, hlm.9.
35

setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.

Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan

ketentuan hukumyang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka

seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Dalam

tata kehidupan bermasyarakat berkaitan erta dengan kepastian dalam hukum.

Kepastian hukum merupakan kesesuaian yang bersifat normatif baik

ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksana

tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan

konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya

subjektif dalam kehdupan masyarakat.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :

- Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu

adalah perundang-undangan.

- Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada

kenyataan.

- Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga

menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping mudah

dilaksanakan.

- Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.


36

Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil

yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta

dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim selalu dituntut untuk selalu dapat

menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan

dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang

terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili secara utuh,

bijaksana, dan objektif. Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian

hukum akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan

dibidang hukum. Hal ini disebabkan putusan hakim yang sudah mempunyai

kekuatan hukum tetap, bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang

memutuskan perkara, tetapi sudah merupakan pendapat dari institusi pengadilan

dan menjadi acuan masyarakat dalam pergaulan sehari-hari.

Gustav Radbruch juga berpendapat bahwa hukum harus mengandung 3

(tiga) nilai identitas, yaitu :

a. Asas Kepastian Hukum (rechmtigheid). Asas ini meninjau dari sudut

yuridis.

b. Asas Keadilan Hukum (gerechtigheid). Asas ini meninjau dari sudut

filosofis, di mana keadilan merupakan kesamaan hak untuk semua

orang di pengadilan.

c. Asas Kemanfaatan Hukum (zwechmatigheid/doelmatigheid/utility.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Kaum positvisme lebih menekankan pada kepastian


37

hukum, sedangkan kaum fungsionalis m. lebih mengutamakan kemanfaatan

hukum. salah satu adagium yang dikenal dalam hukum menyebutkan bahwa

summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux yang artinya adalah

hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya,

dengan demikian, kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-

satunya tetapi tujuan hukum yang substantif adalah keadilan. 26

Hukum dapat ditegakkan apabila memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus

mendapat perhatian yang seimbang namun dalam praktiknya sulit

mengusahakan keseimbangan antara ketiga hal tersebut. Tanpa kepastian

hukum maka orang tidak akan tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga

menimbulkan keresahan. Terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum,

terlalu ketat mentaati aturan akibatnya akan menjadi kaku dan menimbulkan

perasaan tidak adil.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma

adalah pernyataan yang menekankan pada aspek seharusnya atau das sollen

dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang seharusnya

dilakukan. Norma merupakan produk dari aksi manusia yang deliberative.

Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi

pedoman bagi individu untuk bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalam

26
Dosminikus Rato, Filsafat Hukum : Mencari dan Memahami Hukum, (Yogyakarta :
Presindo, 2010), Hlm. 59.
38

hubungannya dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan

masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi batasan bagi masyarakat dalam

membebani atau melakukan suatu tindakan terhadap individu. Aturan dan

pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. 27

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat

dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas

dalam arti menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

menimbulkan benturan dan tidak menimbulkan konflik norma. Kepastian

hukum menunjuk pada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan

konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan

yang bersifat subjektif. Kepastian dan keadilan bukan sekedar tuntutan moral
28
melainkan secara faktual mencirikan hukum.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu

mengetahui perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan yang bersifat umum itu maka individu dapat mengetahui

apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.29

27
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), Hlm. 58.
28
Christine Cst Kansil dan S.T. Kansil, Engelien R, Palandeng, Godlieb N. Mamahit,
Kamus Istilah Hukum, (Jakarta, 2009), Hlm. 385.
29
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999), Hlm. 23.
39

Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis-dogmatik yang

didasarkan pada pemikiran aliran positivisme di dunia hukum yang cenderung

melihat hukum sebagai sesuatu yang bersifat otonom (mandiri). Hukum bagi

penganut aliran ini merupakan kumpulan berbagai aturan dan tujuan hukum

tidak lain dari sekedar mewujudkan kepastian hukum. Kepastian hukum

diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan

hukum yang bersifat umum, sifat umum dari aturan hukum membuktikan

bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,

melainkan semata-mata untuk kepastian. 30

Fance M. Wantu merumuskan kepastian hukum sebagai berikut : 31

a. Melakukan solusi autotorif yaitu memberikan jalan keluar untuk

menciptakan stabilitas, yakni memberikan ketertiban dan ketentraman

bagi para pihak dan masyarakat.

b. Efesiensi, prosesnya cepat, sederhana dan biaya ringan.

c. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu undang-undang yang dijadikan

dasar dari putusan untuk memberikan kepastian dalam hukum itu

sendiri dan kepastian karena hukum.

d. Mengandung equality yang memberikan kesempatan yang sama

kepada para pihak.

30
Achamd Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta :
Gunung Agung, 2002), Hlm. 82.
31
Fance M. Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam
Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Gorontalo, Volume 12
Nomor 3, September 2012.
40

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan

adanya kepastian hukum maka masyakat akan lebih tertib. Hukum bertugas

untuk menciptakan kepastian hukum karena dengan kepastian hukum maka

ketertiban masyarakat akan tercapai. Namun, apabila terlalu menitikberatkan

pada kepastian hukum akan mengakibatkan hukum menjadi kaku dan

menimbulkan rasa tidak adil karena apapun yang terjadi peraturannya adalah

demikian dan harus ditaati.32 Undang-undang itu sering terasa kejam apabila

dilaksanakan dengan ketat, sebab berlakulah lex dura, sed tamen scripta,

Undang-undang adalah keras akan tetapi memang demikian bunyinya. 33

Kepastian hukum merupakan harapan bagi para pencari keadilan terhadap

tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang bersifat

arogan dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Masyarakat akan

tahu hak dan kewajibannya menurut hukum karena adanya kepastian hukum.

Kepastian hukum meliputi sejumlah aspek yang saling berkaitan. Salah

satu aspek dari kepastian hukum adalah perlindungan yang diberikan kepada

individu dari kesewenang-wenangan dari individu lainnya. Herlin Boediono

menyatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat

dipisahkan dari hukum, terutama untuk hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

32
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum – Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,
2005), Hlm. 160.
33
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1993), Hlm. 14.
41

kepastian akan kehilangan maknanya karena tidak dapat dijadikan pedoman

perilaku bagi semua orang.34

Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki 2 (dua) segi,

yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan

hukum. Hal ini berarti bahwa pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui

apa yang menjadi hukum dalam hal tertentu sebelum memulai perkara dan

perlindungan bagi pihak dalam kesewenangan hakim. 35

Penegakkan Hukum Pidana, baik Hukum Pidana Formil maupun Hukum

Pidana Materiil harus memperhatikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum

dan keadilan. Pengaturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) merupakan kaidah-kaidah umum karena diatur dalam suatu

undang-undang yang tidak ditujukan kepada orang atau pihak tertentu tetapi

kepada siapapun yang dikenai perumusan kaidah-kaidah umum. 36

2. Middle Range Theory

Teori Pembuktian digunakan sebagai middle range theory dalam

penelitian ini. Pembuktian dalam perkara perdata berbeda dengan pembuktian

dalam perkara pidana. Pembuktian dalam perkara pidana (Hukum Acara

34
Herlin Boediono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia – Hukum
Perjanjian berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2006), Hlm. 208.
35
A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berasaskan keadilan dan Kepastian
Hukum, (Jakarta : Fikahati Aneska, 2009), Hlm.98.
36
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Cetakan Keenam,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), Hlm. 31.
42

Pidana) bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau

kebenaran yang sesungguhnya. Pembuktian dalam perkara perdata (Hukum

Acara Perdata) bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya Hakim tidak

boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara.

Hakim dalam kebenaran formal cukup membuktikan dengan preponderance of

evidence, sedangkan Hakim dalam mencari kebenaran materiil harus

membuktikan peristiwanya (beyond reasonable doubt).37

Pembuktian adalah suatu proses pembuatan, cara pembuktian, suatu usaha

untuk menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang

pengadilan.38 Pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam

Hukum Acara Pidana untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang

terdakwa di persidangan.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, pembuktian mengandung maksud

dan usaha untuk menyatakan kebenaran dalam suatu peristiwa sehingga dapat

diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian dalam

Hukum Acara Pidana adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menetapkan tahapan-

tahapan dalam mencari kebenaran sejati, yaitu melalui : a) penyidikan; b)

penuntutan; c) pemeriksaan di persidangan; dan d) pelaksanaan, pengamatan

37
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana – Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Rangkang
Education, 2013), Hlm. 241.
38
Ebta Setiawan, Arti atau Makna Pembuktian, http://KBBI.web.id., Diakses pada Hari
Sabtu, 12 Oktober 2019, Pukul 16.45 WIB.
43

dan pengawasan. Pembuktian dengan demikian hanya merupakan salah satu

fase atau prosedur dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana secara keseluruhan

sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).39

J.C.T. Simorangkir berpendapat bahwa pembuktian adalah usaha dari

pihak yang berwenang untuk mengemukakan kepada Hakim sebanyak mungkin

hal-hal yang berkaitan dengan suatu perkara yang bertujuan agar dapat

digunakan oleh Hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan dalam

perkara tersebut.

Hukum Pembuktian merupakan sebagian dari Hukum Acara Pidana yang

mengatur berbagai macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang

dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti-

bukti tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak dan menilai

suatu pembuktian. Sumber-sumber Hukum Pembuktian adalah sebagai

berikut:a) Undang-undang; b) doktrin atau ajaran; dan c) yurisprudensi.40

Teori Pembuktian dari Andi Hamzah digunakan sebagai Middle Range

Theory, yakni sebagai berikut:

a. Sistem atau teori berdasarkan Undang-Undang secara positif (positive

wetteljik bewijstheorie).
39
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, (Jakarta : Ghalia,
1983), Hlm. 12.
40
Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung : Mandar Maju, 2003), Hlm. 10.
44

b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja

(conviction intime).

c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan

yang logis (laconviction raisonnee).

d. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

negatif (negatief wettellijk bewijstheotrie).

Pembahasan lebih lanjut mengenai keempat teori dalam sistem

pembuktian Hukum Acara Pidana sebagaimana dijelaskan oleh pakar ahli

Hukum Pidana, adalah sebagai berikut :

a. Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif (positive wetteljik

bewijstheorie).

Menurut Simons, system atau teori pembuktian berdasar undang-undang

secara positif (positif wettelijke bewijstheorie) dimaksudkan untuk

menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat

hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.

b. Pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim (conviction intime)

Pembuktian ini merupakan pembuktian dimana proses-proses yang

menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh

penilaian keyakinan hakim. Hakim tidak terikat oleh berbagai macam

alat bukti yang ada, hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk
45

memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa, atau mengabaikan

alat bukti dengan hanya menggunakan keyakinan yang disimpulkan

dari keterangan saksi dan pengakuan terdakwa.41

c. Pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim secara Logis (Conviction

Raisonnee)

Pembuktian ini menekankan pada keyakinan hakim berdasarkan alasan

yang jelas, apabila system pembuktian conviction intime memberikan

keluasan kepada seorang hakim tanpa adanya pembatasan dari mana

keyakinan tersebut muncul, pada system pembuktian conviction

raisonnee memberikan pembatasan di mana keyakinan seorang hakim

harus berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan

menjelaskan setiap alasan-alasan yang mendasari keyakinan nya atas

kesalahan seorang terdakwa.42

d. Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Negatif (Negatief

Wettellijk Bewijs Theorie)

Pembuktian ini merupakan percampuran antara pembuktian conviction

raisonnee dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif.

Berdasarkan sistem pembuktian ini, salah atau tidaknya seorang

41
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di
Indonesia), (Malang: Setara Press, 2014), Hlm. 171.
42
Ibid.
46

terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara

dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.43

Alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184 ayat (1)

KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa. Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan

pembuktian yang sama dalam persidangan acara pidana.

3. Applied Theory

Teori autentikasi digunakan sebagai applied theory dalam penelitian

ini. Menurut Dawn M. Turner, Autentikasi adalah suatu metode cara dan

proses untuk menyatakan bahwa informasi betul-betul asli, atau orang yang

mengakses atau memberikan informasi adalah betul-betul orang yang

dimaksud. Autentikasi adalah tindakan membuktikan pernyataan, seperti

identitas pengguna sistem komputer. Selain itu autentikasi juga merupakan

salah satu dari banyak metode yang digunakan untuk membuktikan bahwa

dokumen tertentu yang diterima secara elektronik asli datang dari orang yang

bersangkutan dan tidak berubah keasliannya.44

Sedangkan menurut Edmon Makarim, keautentikan informasi tidak

lepas dari kaedah sistem komunikasi elektronik yang aman (secured

communication), yakni: confidentiality (kerahasiaan), integrity (keutuhan),


43
Ibid.
44
Turner, Dawn M. Digital Authentication: The Basics, Cryptomathic. Archived,2016. Hlm. 495
47

authorization/authenticity (otoritas), dan non-repudiation (nir-penyangkalan).

Derajat pemenuhan kaedah keamanan tersebut yang akan menentukan

sejauhmana tingkat reliabilitas sistem keamanan yang akan menentukan nilai

pembuktian nantinya.45

Dalam perspektif teknis, keautentikan lebih dilihat secara proses yang

memperhatikan aspek materilnya karena melihat bagaimana melakukan

autentikasi baik terhadap identitas, dokumen ataupun perangkat. Sementara

dalam perspektif hukum, makna keautentikan lebih dilihat kepada obyeknya

yakni keberadaan suatu bukti yang diasumsikan secara hukum mempunyai

nilai pembuktian yang sempurna karena telah terjamin formilitasnya. Namun

menarik untuk dicermati bahwa secara teknis jika suatu dokumen telah

melalui proses autentikasi dan diterima sebagai suatu hal yang autentik, maka

secara otomatis dokumen tersebut digunakan atau berjalan kepada proses

berikutnya tanpa terhenti. Sementara dalam prosedural hukum acara, suatu

dokumen atau perangkat autentik meskipun mempunyai kekuatan pembuktian

yang sempurna, dalam pelaksanaannya tetap dimungkinkan adanya kondisi-

kondisi yang membuat ia tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.46

Autentikasi, dalam hukum pembuktian adalah proses dimana bukti

dokumenter dan bukti fisik lainnya terbukti asli, dan bukan pemalsuan. Secara

umum, autentikasi dapat ditampilkan dalam salah satu dari dua cara. Pertama,

45
Edmon Makarim, Buku Seri Hukum Telematika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 75.
46
Ibid. hal. 77
48

seorang saksi dapat memberikan kesaksian mengenai rantai tahanan melalui

mana bukti-bukti berlalu dari saat penemuan sampai persidangan. Kedua,

bukti dapat diautentikasi dengan pendapat seorang saksi ahli yang memeriksa

bukti untuk menentukan apakah ia memiliki semua sifat yang diharapkan

dimiliki jika itu autentik.47

Jenis bukti tertentu, seperti bukti dokumenter, tunduk pada persyaratan

bahwa pihak pemberi penawaran memberikan sejumlah bukti kepada hakim

pengadilan (yang tidak perlu banyak dan tidak perlu sangat kuat)

menunjukkan bahwa item yang ditawarkan berupa bukti nyata (misalnya,

dokumen, pistol) adalah apa yang diklaim oleh pihak pemberi penawaran.

Persyaratan otentikasi ini telah diimpor terutama dalam uji coba juri. Jika

bukti keaslian kurang dalam persidangan, hakim persidangan hanya akan

menolak bukti sebagai tidak persuasif atau tidak relevan. Jenis bukti lain dapat

diotentikasi sendiri dan tidak memerlukan apa pun untuk membuktikan bahwa

item tersebut adalah bukti nyata.48

Dalam pengertian teknis, proses autentikasi berarti menjalankan suatu

metode keautentikan, setidaknya untuk:

47
Legal information institute, Peraturan 902. Bukti yang Mengotentikasi Diri". LII / Lembaga Informasi
Hukum 2011
48
Op. cit. hal. 501
49

1. mengidentifikasi atau menemukan dan memastikan kebenaran

identitas subyek hukum (baik orang ataupun badan hukum) yang

menyampaikan informasi (e-identification),

2. memeriksa dan menjamin validitas identitas konten informasi itu

sendiri sehingga tidak dimungkinkan adanya suatu penampikan (e-

authentication). Dengan kata lain, yang dicari adalah rantai

keautentikan itu sendiri.

Dikaji lebih dalam, maka proses autentikasi tersebut akan memperhatikan

beberapa hal sebagai berikut:49

1. keabsahan, kebenaran, atau validitas identitas pihak dari mana suatu

Informasi atau Dokumen Elektronik berasal dan pihak yang

mengirimkan dan menerima Informasi atau Dokumen Elektronik

tersebut,

2. keabsahan wewenang pihak yang membuat, mengirimkan, dan

menerima Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut,

3. keabsahan atau validitas dari peralatan (atau secara lebih luas, sistem

informasi dan komunikasi, termasuk sistem elektronik) yang digunakan

untuk membuat, menyimpan, mengirimkan, dan menerima Informasi

atau Dokumen Elektronik tersebut,

49
Op. cit. hal. 503
50

4. keabsahan/validitas proses dalam pembuatan, penyimpanan,

pengiriman, dan penerimaan Informasi atau Dokumen Elektronik,

5. jaminan keutuhan/integritas Informasi atau Dokumen Elektronik yang

berarti bahwa informasi atau dokumen tersebut memang informasi atau

dokumen yang benar dan sah, atau unik, yang memang dibuat pertama

kali untuk keperluan yang dituju tanpa ada pengubahan secara tanpa

hak/wewenang.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Objek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative law

research). Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan

cara meneliti berbagai bahan kepustakaan (data sekunder), yang meliputi asas-

asas hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.50

Penelitian hukum normatif menggunakan studi kasus normatif berupa

produk perilaku hukum, misalnya mengkaji peraturan perundanag-undangan.

pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah

yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.

Penelitian hukum normatif dengan demikian memfokuskan diri pada

inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum


50
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penulisan Hukum, (Yogyakarta :Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2007), Hlm. 222.
51

dalam perkara in concreto¸ sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan

hukum dan sejarah hukum. 51

Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum yang deskriptif analitis,

yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan

dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang

menyangkut permasalahan.52 Penelitian ini memberikan gambaran secermat

mungkin mengenai fakta-fakta yang ada, baik berupa data sekunder bahan

hukum primer, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 20/PUU-XVI/2016, data sekunder

bahan sekunder berupa pendapat para ahli, hasil-hasil penelitian, hasil karya

dari kalangan hukum serta bahan hukum tersier berupa data yang berkaitan

dengan penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang

jelas dan menyeluruh mengenai hal-hal yang berkaitan dengan autentikasi audio

visual sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana umum menurut

Hukum Acara Pidana Indonesia.

Dalam ilmu hukum, kajian terhadap penerapan aturan hukum yang di

dukung oleh teori dan konsep-konsep di bidang hukum dihadapkan dengan

51
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan I, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2004, Hlm. 52.
52
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1988), Hlm. 35.
52

fakta hukum menimbulkan permasalahan karena terdapat perbedaan antara

keadaan yang diharapkan (das sollen) dan kenyataan (das sein).

2. Pendekatan Penelitian

Suatu penelitian hukum dilakukan dengan melakukan penelusuran

terhadap bahan-bahan hukum sebagai dasar untuk membuat keputusan hukum

(legal decision making) terhadap kasus-kasus hukum yang konkret. Cara

pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian hukum normatif

memungkinkan peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum

empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi

hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. 53

Beberapa pendekatan dalam penelitian hukum normatif, yaitu: 54

a. Pendekatan Prundang-undangan (Statute Approach)

Penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-

undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang

menjadi fokus atau tema sentral penelitian.

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena

dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal

yang diabstraksikan dari hal-hal yang partikular.

53
Johni Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Cetakan III, (Malang :
Bayumedia Publishing, 2007), Hlm. 300.
54
Ibid.
53

c. Pendekatan Analitis (Analytical Approach)

Analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang terkandung

dalam berbagai istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan

secara konseptual sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan

keputusan-keputusan hukum.

d. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam

penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal

institution) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang kurang

lebih sama dari sistem hukum yang lain.

e. Pendekatan Historis (Historycal Approach)

Pendekatan sejarah memungkinkan peneliti untuk memahami hukum secara

lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga atau suatu pengaturan

hukum tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam

pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum

tertentu.

f. Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)

Filsafat bersifat menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Tugas filsafat bukan

menjawab pertanyaan yang diajukan tetapi mempersoalkan jawaban yang

diberikan. Ciri khas filsafat ditambah dengan beberapa pendekatan yang tepat

dapat membentuk fundamental research yaitu suatu penelitian untuk

memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi sosial dan

efek penerapan suatu peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat


54

atau kelompok masyarakat yang melibatkan penelitian terhadap sejarah,

filsafat, ekonomi dan lain-lain terhadap pemberlakuan suatu peraturan

hukum.

g. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari

penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam

praktik hukum.

Titik berat penelitian ini adalah :

a. Pendekatan normatif atau pendekatan perundang-undangan yang

dilakukan dengan mengkaji semua peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan autentikasi audio visual sebagai alat bukti

dalam pembuktian tindak pidana umum menurut Hukum Acara Pidana

Indonesia

b. Pendekatan kasus yang dilakukan dengan menganalisis kasus-kasus

yang berkaitan denganautentikasi audio visual sebagai alat bukti dalam

pembuktian tindak pidana umum menurut Hukum Acara Pidana

Indonesia.

c. Pendekatan komparatif yang dilakukan dengan membandingkan proses

pembuktian dengan menggunakan alat bukti audio visual di negara lain

berkaitan dengan autentikasi audio visual sebagai alat bukti dalam

pembuktian tindak pidana umum menurut Hukum Acara Pidana

Indonesia.
55

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber dalam penelitian hukum dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : 55

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan dan putusan-putusan Hakim. Bahan hukum

merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif. Bahan hukum

primer dalam penelitian ini adalah berbagai peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan autentikasi audio visual sebagai alat

bukti dalam pembuktian tindak pidana umum menurut Hukum Acara

Pidana Indonesia, antara lain adalah :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 20/PUU-XVI/2016.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder terdiri dari semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

55
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), Hlm. 141.
56

hukum dapat berupa buku-buku teks, jurnal hukum dan berbagai

komentar atas putusan pengadilan.

Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang dapat memberikan

penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain pendapat para ahli,

hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum.

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalalah berbagai bahan

yang terkait dengan autentikasi audio visual sebagai alat bukti dalam

pembuktian tindak pidana umum menurut Hukum Acara Pidana

Indonesia.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan

informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, yang berupa :

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia

2) Black’s Law Dictionary Sixth Edition.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk mendapatkan

data, tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan

mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. 56

56
Sugiyono, Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2011), Hlm.
224.
57

Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada natural setting

(kondisi yang alamiah) dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada

observasi, wawancara dan dokumentasi. 57

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara :

a. Observasi

Observasi adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan

dengan jalan mengadakan pengamatan yang disertai dengan

pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran

yang dilakukan secara langsung pada lokasi yang menjadi objek

penelitian.58

Pengamatan yang dilakukan peneliti harus berdasarkan pada tujuan

penelitian serta dilakukan secara sistematis melalui perencanaan yang

matang. Pengamatan dimungkinkan terfokus pada fenomena sosial

atau perilaku sosial dengan ketentuan bahwa pengamatan itu harus

tetap selaras dengan judul, tipe judul dan tujuan judul penelitian. 59

Berdasarkan keterlibatan pengamat dalam berbagai kegiatan dari

orang yang diamati, observasi yang dilakukan oleh peneliti

57
Ibid.
58
Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta :
Rineka Cipta, 2006), Hlm. 104
59
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002),
Hlm. 67.
58

menggunakan observasi partisipan. Observasi partisipan maksudnya

adalah bahwa peneliti harus terlibat dalam kegiatan sehari-hari dari

orang yang sedang diamati atau orang yang digunakan sebagai sumber

data dalam penelitian. 60

b. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui proses tanya

jawab lisan yang berlangung 1 (satu) arah, artinya pertanyaan datang

dari pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh orang yang

diwawancarai.

c. Dokumentasi

Dokumentasi ditujukan untuk memperoleh data langsung dari tempat

penelitian, yang meliputi buku-buku yang relevan, peraturan-

peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, film dokumenter dan data yang

relevan dengan penelitian. 61

Metode dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap

dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Studi dokumen

adalah mengumpulkan berbagai dokumen dan data yang diperlukan

dalam permasalahan penelitian yang kemudian ditelaah secara


60
Irawan Soeharto, Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004),
Hlm. 69.
61
Ridwan, Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, (Bandung : Alfabeta, 2006), Hlm. 105.
59

mendalam sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan

dan pembuktian atas suatu kejadian.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif

dengan menggunakan cara deskriptif analitik, yaitu dengan cara

mendeskripsikan data penelitian yang kemudian dianalisis, serta menggunakan

cara berfikir induktif yaitu metode dari suatu pengamatan terhadap persoalan

yang bersifat khusus kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan yang bersifat

umum. 62

Teknis analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik

analisa data kualitatif, yaitu menjelaskan hubungan antara fakta (gejala) dan

hukum tidak menggunakan angka angka atau statistik tetapi dengan cara :

a. Bahan hukum primer dianalisis dengan melakukan penafsiran menurut

ilmu hukum,seperi penafsiran autentik, penafsiran gramatikal dan

penafsiran sistematik.

b. Bahan hukum sekunder dianalisis dengan content analysis analisa isi

bahan pustaka yang di gunakan dalam penelitian ini.

c. Langkah berikutnya dilakukan sistematika dan kontruksi untuk

mengambil suatu kesimpulan.

62
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), Hlm. 223.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS TERHADAP AUTENTIKASI AUDIO VISUAL

SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA UMUM

MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

A. Hukum Pidana, Pidana dan Tindak Pidana pada Umumnya

1. Pengertian Hukum Pidana

Notohamidjojo mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan peraturan

yang tertulis dan tidak tertulis yang pada umumnya bersifat memaksa, untuk

kelakuan manusia dalam masyarakat negara (serta antar negara), yang

mengarah kepada keadilan demi terwujudnya tata dama, dengan tujuan

memanusiakan manusia dalam masyarakat. 63

W.L.G. Lemaire berpendapat bahwa Hukum Pidana terdiri dari norma-

norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang oleh

pembentuk undang-undang telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa

hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Hukum Pidana dapat

juga dikatakan sebagai suatu sistem norma yang menentukan terhadap

tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam

63
O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, (Salatiga : Griya Media, 2011),
Hlm. 121.
61

keadaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan

tersebut. 64

Hukum Pidana dengan demikian dapat diartikan sebagai suatu ketentuan

hukum atau undang-undang yang menentukan perbuatan yang dilarang atau

pantang untuk dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggar larangan

tersebut. Para ahli banyak yang berpendapat bahwa Hukum Pidana menempati

tempat tersendiri dalam sistematika hukum. Hal ini disebabkan karena Hukum

Pidana tidak menempatkan norma tersendiri tetapi memperkuat norma-norma di

bidang hukum lainnya dengan menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran

norma-norma di bidang hukum lain tersebut. 65

Hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini di suatu negara.

Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum positif dengan memperhatikan

waktu, tempat dan bagian penduduk yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-

ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keharusan dan kepada

orang yang melanggar diancam dengan pidana, menentukan pula bilamana dan

dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertanggungjawabkan, serta

ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan

pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat pada

keadilan.66 Hukum Pidana sebagai salah satu bagian independen dari Hukum
64
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru, 1984),
Hlm. 1.
65
M. Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015),
Hlm. 3.
66
Andi Hamzah, Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2006),
Hlm. 27.
62

Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat penting

keberadaannya. Hukum Pidana mempunyai peranan yang sangat penting dalam

menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana.

Karakteristik hukum adalah memaksa yang disertai dengan ancaman dan

sanksi, tetapi hukum bukan dipaksa untuk dipaksa membenarkan persoalan

yang salah, atau memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak

mempunyai uang. Agar peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar

dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum maka peraturan

kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Oleh karena

itu hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang agar mentaati

tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa

hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya. 67

Aturan-aturan yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat

untuk mematuhi dan mentaati aturan tersebut akan menimbulkan keseimbangan

dan kedamaian dalam masyarakat, oleh karena itu para ahli Hukum Pidana

mengatakan bahwa tujuan Hukum Pidana antara lain adalah untuk : 68

a. Menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan

(preventif).

67
Suharto dan Junaedi Efendi, Panduan Praktis bila Menghadapi Perkara Pidana, mulai
Proses Penyelidikan sanpai Persidangan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2010), Hlm. 25
68
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika
Aditama, 2003), Hlm. 20.
63

b. Mendidik atau memperbaiki orang yang sudah menandakan suka

melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya

(represif).

Ahli Hukum Pidana lainnya menyebutkan bahwa tujuan Hukum Pidana

adalah untuk melindungi kepentingan individu atau Hak Asasi Manusia

(HAM). Tujuan Hukum Pidana di Indonesia harus sesuai dengan Pancasila

sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia yang mampu membawa kepentingan

yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan Hukum Pidana dengan

demikian adalah untuk mengayomi seluruh rakyat Indonesia.

Teguh Prasetyo berpendapat bahwa tujuan Hukum Pidana dapat

dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 69

a. Tujuan Hukum Pidana sebagai Hukum Sanksi

Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafat yang memberi dasar adanya

sanksi pidana. Tujuan ini pada umumnya tidak tertulis dalam pasal-

pasal peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Pidana tetapi

dapat dibaca dari semua ketentuan Hukum Pidana dan penjelasannya.

69
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), Hlm. 7.
64

b. Tujuan dalam Penjatuhan Sanksi Pidana terhadap Orang yang

Melangar Hukum Pidana

Tujuan ini bersifat pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret

yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya pelanggaran

Hukum Pidana dan orang yang melakukan pelanggaran Hukum

Pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.

Hukum, termasuk Hukum Pidana tentu mempunyai fungsi tertentu.

Menurut Sudarto, fungsi Hukum Pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua),

yaitu:70

a. Fungsi Umum

Hukum Pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena

itu fungsi Hukum Pidana sama dengan fungsi hukum pada umumnya,

yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk

menyelenggarakan tata dalam masyarakat.

b. Fungsi Khusus

Fungsi khusus Hukum Pidana adalah untuk melindungi kepentingan

hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan

sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih tajam dibandingkan dengan

sanksi pada cabang hukum lainnya. Sanksi pidana mengandung suatu

tragic (sesuatu yang sangat menyedihkan) sehingga seringkali Hukum


70
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto, 1990), Hlm. 9.
65

Pidana dikatakan “mengiris dagingnya sendiri” atau sebagai “pedang

bermata dua” yang berarti bahwa Hukum Pidana bertujuan untuk

melindungi kepentigan hukum (misalnya nyawa, harta benda dan lain-

lain), namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan atau

perintahnya maka justru akan mengenakan perlakuan (menyakiti)

kepentingan (benda) hukum si pelanggar.

2. Istilah Pidana dan Tindak Pidana

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai

dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapapun yang

melanggar larangan tersebut. Pertanggungjawaban pidana atau dapat tidaknya

seseorang dipidana karena kesalahannya harus memenuhi rumusan sebagai

berikut :71

a. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan.

b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan

dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan

(culpa).

c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau

kesalahan bagi si pembuat.

71
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2001), Hlm. 74.
66

Dipidananya seseorang tidak cukup dengan membuktikan bahwa orang

itu telah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau

bersifat melawan hukum. Seseorang, untuk dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya harus memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan

tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). 72

Pengertian pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang atau

subjek hukum yanag berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum atau tidak

sesuai dengan perundang-undangan, sedangkan tindak pidana adalah perbuatan

atau tidak melakukan sesuatu yang oleh suatu peraturan perundang-undangan

dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Untuk dapat

dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan

diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan maka perbuatan tersebut

juga harus melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum

masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum,

kecuali ada alasan pembenar. 73

Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan

dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, sosial, melanggar hukum

serta undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya

seorang terdakwa adalah mampu bertanggung jawab. Tujuan dipidananya

72
Nikmah Rosidah, Asas-asas Hukum Pidana, (Semarang : Pustaka Magister, 2011), Hlm.
40.
73
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2002), Hlm. 35.
67

seorang terdakwa bukan suatu pembalasan melainkan suatu pembinaan bagi

terdakwa yang telah melakukan kesalahan dan agar dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Syarat seseorang dianggap mampu

untuk bertanggung jawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal

yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan untuk dilakukan

dan perbuatan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Faktor kehendak

yaitu menyesuaikan antara tingkah lakunya dengan keinsyafan yang mana yang

boleh dilakukan dan yang mana yang tidak boleh dilakukan.74

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam Hukum

Pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, walaupun istilah tersebut terdapat dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Hindia Belanda namun tidak terdapat penjelasan resmi

mengenai pengertian strafbaar feit.

Istilah lain yang pernah digunakan dalam peraturan perundang-undangan

dan berbagai litelatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit

adalah sebagai berikut :75

a. Tindak pidana

b. Peristiwa pidana

c. Delik

74
M. Solly Lubis, Penegakkan Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 1989), Hlm. 63,
75
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I – Stelsel Pidana, Tindak
Pidana,Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2002), Hlm. 68.
68

d. Pelanggaran pidana

e. Perbuatan yang boleh dihukum.

f. Perbuatan yang dapat dihukum.

g. Perbuatan pidana.

Tindak pidana dapat diartikan sebagai tindakan yang tidak hanya

dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).76 Istilah

tindak pidana merupakan istilah yang paling umum digunakan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kementerian Kehakiman juga

menggunakan istilah tindak pidana. 77

Istilah lainnya adalah peristiwa pidana, di mana pengertian peristiwa lebih

luas daripada perbuatan karena peristiwa tidak hanya menunjuk pada perbuatan

manusia tetapi juga pada seluruh kejadian yang disebabkan oleh manusia dan

juga alam.

Istilah delik secara harafiah pada dasarnya tidak ada kaitannya dengan

strafbaar feit, karena secara etimologis, delik berasal dari bahasa Latin, yaitu

delictum namun pengertian delik tidak berbeda dengan pengertian strafbaar

feit. Pengertian delik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai

berikut :78

76
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Cet ke-2, (Jakarta : Storia
Grafika,2002), Hlm. 204.
77
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung : Refika
Aditama, 2003), Hlm. 79.
78
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2, (Jakarta : Balai Pustaka,
1989), Hlm. 219.
69

“Delik adalah suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.

Para ahi hukum Indonesia mengistilahkan strafbaarfeit dalam arti yang

berbeda. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan

yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa

melanggar larangan tersebut.79 Menurut Moeljatno, pengertian perbuatan pidana

lebih tepat dari tindak pidana, dengan alasan sebagai berikut :80

a. Yang dilarang adalah perbuatannya, artinya larangan tersebut

ditujukan pada perbuatannya sedangkan ancaman pidana ditujukan

pada orang.

b. Terdapat hubungan antara larangan dengan ancaman pidana.

c. Untuk menyatakan adanya hubungan tersebut digunakan istilah

perbuatan pidana.

Moeljatno, selain menggunakan istilah perbuatan pidana juga

menggunakan istilah peristiwa pidana. Peristiwa pidana menggambarkan hal

yang konkret yang menunjuk pada suatu kejadian tertentu. Menurut Moeljatno,

istilah tindak pidana tidak tepat karena menunjuk pada hal yang abstrak.

79
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Pidato
diucapkan pada Peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gadjah Mada di Sitihinggil
Yogyakarta pada Tanggal 19 Desember 1955, Hlm. 17.
80
Moeljatno, sebagaimana Dikutip dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-
pokok Hukum Pidana, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), Hlm. 54.
70

Berkaitan dengan pengertian perbuatan pidana, salah satu ahli hukum

Belanda, Enschede memberikan definisi tentang perbuatan pidana, yaitu:81

“Een menselijke gerdraging die valt binnen de grenzen van

delictsomschrijving, wederechtelijke is en aan schuld te wijten (Kelakuan

manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan dapat

dicela)”.

Definisi sederhana yang dikemukakan oleh Enschede mencakup

perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Kelakuan manusia yang

memenuhi rumusan delik berkaita dengan perbuatan pidana, melawan hukum

dan dapat dipidana berkaitan dengan kesalahan sebagai unsur mutlak

pertanggungjawaban pidana.

Jonkers mendefinisikan perbuatan pidana secara singkat dan luas, yaitu

sebagai berikut : 82

De korte definitie luidt : een strafbaar feit is een feit, dat door de wet is
strafbaar gesteld. Een langere en ook beteekenisvollere defenitie is : een
strafbaar feit is een feit met opzet of schuld in verband staande
onrechmatig (wederechteleijke) gedraging begaan door een
toerekenisvatbaar persoon (definisi singkat : perbuatan pidana adalah
suatu perbuatan yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana.
Definisi luas : perbuatan pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja
atau alpa yang dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan)”.

81
Ch. J. Enschede, Beginselen van Strafrecht, (Kluwer : Deventer,2002), Hlm. 156.
82
J.E. Jonkers, Handboek van Het Nederlandansch – Indische Strafrecht, (Leiden : E.J.
Brill, 1946), Hlm. 83
71

Berdasarkan definisi singkat yang dikemukakan oleh Jonkers, perbuatan

pidana tidak menyinggung pertanggungjawaban pidana, tetapi dalam definisi

luas, perbuatan pidana meliputi pertanggungjawaban pidana. Apabila dikaitkan

dengan Teori Pertanggungjawaban, menurut Roeslan Saleh, dalam Hukum

Pidana dikenal adanya 3 (tiga) unsur pokok, yaitu : 83

a. Unsur Perbuatan.

Perbuatan atau tindakan seseorang adalah titik penghubung dan dasar

bagi pemberian pidana.

b. Unsur Orang atau Pelaku

Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana. Hubungan unsur orang

atau pelaku dengan pidana adalah mengenai hal kebatinan, yaitu

kesalahan pelaku tindak pidana.

c. Unsur Pidana, melihat dari Pelaku

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu tersebut.

Pompe berpendapat bahwa strafbaar feit merupakan suatu tindakan yang

menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang

dapat dihukum.84 Pendapat Vos sejalan dengan pendapat Pompe, menurut Vos,

strafbaar feit adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan.

83
Roeslan Saleh, Pebuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Aksara
Baru, 1999), Hlm. 52.
84
Pompe, sebagaimana dikutip dalam Adami Chazawi, Op. Cit., Hlm. 72.
72

R. Tresna, seperti halnya Moeljatono, menggunakan istilah peristiwa

pidana untuk strafbaar feit. Menurut R. Tresna, peristiwa pidana adalah suatu

perbuatan atau rangkaian pebuatan manusia yang bertentangan dengan undang-

undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, perbuatan tersebut

dikenakan tindakan penghukuman. R. Tresna selanjutnya mengemukakan

syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu peristiwa pidana, yaitu sebagai

berikut :85

a. Harus ada perbuatan manusia.

b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan yang digambarkan dalam

ketentuan hukum.

c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, orang tersebut

harus dapat mempertanggungjawabkan .

d. Perbuatan tersebut harus berlawanan dengan hukum.

e. Terhadap perbuatan tersebut harus ada ancaman hukumannya yang

diatur dalam undang-undang.

Pada syarat pertama, perkataan perbuatan menunjukkan adanya suatu

kejadian nyata, sedangkan pada syarat kedua, ketentuan hukum yang dimaksud

adalah rumusan tindak pidana tertentu dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan syarat yang ketiga, orang yang terbukti telah melakukan suatu

tindak pidana tidak selalu dijatuhi pidana karena untuk mempidana seseorang

maka pelaku disyaratkan mempunyai kemampuan pertanggungjawab pidana.


85
R. Tresna, sebagaimana Dikutip dalam Ibid, Hlm. 73.
73

3. Unsur-unsur Tindak Pidana

Secara garis besar, unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2

(dua), yaitu : 86

a. Unsur Objektif

Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar pelaku, unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan di mana tindakan-tindakan si

pelaku itu harus dilakukan, terdiri dari :

1) Sifat melanggar hukum

2) Kualitas dari pelaku

3) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif

Unsur subjektif yaitu unsur yang terdapat atau melekat pada diri si

pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku, termasuk di

dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur ini terdiri dari :

1) Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa)

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menyebutkan, bahwa :
86
Teguh Prasetyo, Op. Cit, Hlm. 48-49
74

“Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman bila

maksud pembuat sudah nyata dengan dimulainya suatu perbuatan

itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal

yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan,

pencurian, penipuan, pemerasan dan sebagainya.

4) Merencanakan terlebih dahulu seperti tercantum dalam Pasal 340

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu pembunuhan

yang direncanakan terlebih dahulu.

Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menyebutkan, bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih


dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena
pembunuhan yang direncanakan (moord), dengan hukuman mati
atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
20 (dua puluh) tahun”.

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menyebutkan, bahwa:

“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang


kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan
anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud
untuk melepaskan diri dari padanya, maka maksimum pidana
tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh”.
75

Selain itu, unsur-unsur tindak pidana juga dapat dibedakan dari 2 (dua)

sudut pandang, yaitu :

a. Sudut Teoritis

Unsur tindak pidana ditinjau dari sudut teoretis didasarkan pada

pendapat para ahli hukum, diantaranya adalah Moeljatno. Menurut

Moeljatno. unsur-unsur tindak pidana adalahsebagai berikut:

1) Perbuatan;

2) Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Jika dilihat dari unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno dapat

diketahui bahwa aturan hukum menentukan jenis-jenis perbuatan yang

dilarang dilakukan dan tidak dapat dipisahkan antara orang dengan

perbuatannya. Unsur ancaman pidana menggambarkan bahwa

perbuatan tersebut dalam kenyataannya tidak selalu betul-betul

dipidana.

R. Tresna mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3) Diadakan tindakan penghukuman.

Berbeda dengan Moeljatno yang berpendapat bahwa tidak semua

perbuatan yang melanggar dikenakan pidana, R. Tresna justru


76

berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang akan selalu diikuti dengan tindakan penghukuman.

Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Kelakuan manusia;

b. Diancam dengan pidana;

c. Dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketiga unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh Vos

dapat diketahui bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si

pembuat atau dipidananya pembuat tetapi hanya mengenai

perbuatannya.

Schravendijlk mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara lebih

rinci, yaitu :

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

c. Diancam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);

e. Dipersalahkan/ kesalahan.

Berdasarkan unsur-unsur dalam tindak pidana yang dikemukakan oleh

Schranvendelijk dapat disimpulkan bahwa Schranvendelijk tidak

memisahkan antara unsur perbuatan dengan unsur mengenai diri

orangnya.
77

b. Sudut Undang-Undang

Unsur tindak pidana ditinjau dari sudut undang-undang dirumuskan

dalam berbagai pasal pada peraturan perundang-undangan yang ada.

Berdasarkan rumusan tindak pidana tertentu dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diketahui adanya 8 (delapan)

unsur tindak pidana, yaitu :

1) Tingkah Laku.

Tingkah laku merupakan unsur mutlak dalam tindak pidana.

Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif

atau positif (handelen) yang disebut juga perbuatan materiil

(materieel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten).

Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk

mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan-

gerakan dari tubuh atau bagian tubuh manusia.

Tingkah laku pasif adalah tingkah laku membiarkan (nalaten), suatu

bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu yang

seharusnya dalam keadaan tertentu seseorang harus melakukan

perbuatan aktif, dengan tidak berbuat demikian maka seseorang

disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya.

b) Melawan Hukum

Unsur melawan hukum merupakan unsur mutlak dalam tindak

pidana. Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau


78

terlarangnya suatu perbuatan. Sifat tercela tersebut dapat bersumber

dari undang-undang (melawan hukum formil/ formelle

wederrechtelijk) atau pada masyarakat (melawan hukum

materiil/materieel wederrechtelijk).

c) Kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran

batin seseorang sebelum atau pada saat memulai suatu perbuatan,

oleh karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat

subyektif.

Unsur kesalahan mengenai keadaan batin pelaku merupakan unsur

yang menghubungkan antara perbuatan, akibat dan sifat perbuatan

melawan hukum pelaku, dengan adanya hubungan antara ketiga hal

tersebut dengan keadaan batin pembuatnya maka

pertanggungjawaban dapat dibebankan pada orang yang

bersangkutan dan orang yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana.

Pengertian kesalahan (schuld) dalam Hukum Pidana berbeda

dengan pengertian kesalahan pada umumnya. Kesalahan dalam

Hukum Pidana terkait dengan pertanggungjawaban dan terdiri dari

2 (dua), yaitu kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa).

d) Akibat Konstitutif

Unsur konstitutif terdapat pada tindak pidana materiil (materieel

delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat


79

selesainya tindak pidana, tindak pidana yang mengandung unsur

akibat sebagai syarat pemberat pidana dan tindak pidana di mana

akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.

Unsur akibat konstitutif jika dilihat dari perumusannya dibedakan

menjadi 2 (dua), yaitu akibat konstitutif yang disebutkan secara

tegas dalam rumusan tindak pidana dan akibat konsitutif yang tidak

secara tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana tetapi sudah

ada dengan sendirinya atau terdapat dan melekat pada unsur tingkah

laku.

e) Keadaan yang Menyertai

Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana berupa

semua keadaan yang ada dan berlaku di mana perbuatan tersebut

dilakukan, yaitu sebagai berikut :

1) Mengenai cara melakukan perbuatan;

2) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan;

3) Mengenai obyek tindak pidana;

4) Mengenai subyek tindak pidana;

5) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana;

6) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.

f) Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana

aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika
80

terdapat pengaduan dari pihak yang berhak mengadu. Pengertian

pengaduan pada dasarnya sama dengan laporan yaitu keterangan

atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang

disampaikan kepada penyelidik atau penyidik. Perbedaannya adalah

pengaduan hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak mengadu

(korban atau wakilnya yang sah) dan diperlukan hanya pada tindak

pidana aduan. Kedua syarat tersebut tidak diperlukan dalam

laporan.

g) Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana

Unsur ini merupakan alasan untuk memperberat pidana, bukan

unsur syarat untuk terjadinya atau selesainya tindak pidana. Unsur

ini bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan.

h) Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana yaitu berupa unsur

keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan,

yang menentukan untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Hal ini

berarti bahwa apabila setelah perbuatan dilakukan dan keadaan ini

tidak timbul maka perbuatan tersebut tidak bersifat melawan

hukum, oleh karena itu si pembuat tidak dapat dipidana.

Unsur kesalahan dan melawan hukum merupakan unsur subyektif,

selebihnya merupakan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur

yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya,


81

sedangkan unsur obyektif adalah semua unsur yang berada di luar

keadaan batin manusia yaitu semua unsur mengenai perbuatan,

akibat perbuatan dan keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan

dan obyek tindak pidana.

4. Jenis-jenis Tindak Pidana

a. Kejahatan (Missdaden) dan Pelanggaran (Overtredingen)

Andi Hamzah menyatakan bahwa pembagian delik atas kejahatan dan

pelanggaran dalam WvS Belanda 1886 dan WvS Indonesia 1918 (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana) menimbulkan perbedaan secara teoretis.

Kejahatan sering disebut sebagai delik hukum, artinya sebelum diatur dalam

undang-undang, sudah dipandang sebagai keharusan dipidana. Pelanggaran

sering diartikan sebagai delik undang-undang, artinya adalah dipandang

sebagai delik karena tercantum dalam undang-udang. Andi Hamzah lebih

lanjut menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara kejahatan

dan pelanggaran, hanya saja pelanggaran tidak pernah diancam pidana. 87

Lamintang berpendapat bahwa orang pada umumnya baru mengetahui

jika tindakannya merupakan suatu pelanggaran yang bersifat melawan

hukum sehingga dapat dihukum yaitu setelah tindakan tersebut dinyatakan

dilarang dalam undang-undang. Lamintang selanjutnya mengemukakan

87
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta :Rineka Cipta, 2008),
Hlm. 106.
82

bahwa pada pelanggaran tidak terdapat ketentuan adanya pengaduan sebagai

suatu syarat penuntutan. 88

Jenis pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan. Hal ini terlihat

dari ancaman pidananya, pada pelanggaran tidak ada ancaman pidana

penjara hanya pidana kurungan dan denda, sedangkan pada kejahatan

didominasi oleh ancaman pidana penjara.

b. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang

dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Sebaliknya, dalam

rumusan tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada menimbulkan

akibat yang dilarang.

c. Tindak Pidana Sengaja (Doleus Delicten) dan Tindak Pidana Kelalaian

(Culpose Delicten)

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya

dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Tindak

pidana kelalaian adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya berupa

kelalaian, kurang hati-hati dan tidak karena sengaja.

88
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung :Citra Aditya Bakti,
2011), Hlm. 212.
83

Menurut Moeljatno, pertanggungjawaban seseorang berkaitan dengan

kesalahan.Moeljatno selanjutnya berpendapat bahwa kesalahan seseorang

dalam Hukum Pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : 89

1) Kesengajaan

2) Kurang Hati-hati

d. Tindak Pidana Aktif (Delik Commisionis) dan Tindak Pidana Pasif

(Delik Omisionis)

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa

perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (perbuatan materiil) adalah

perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari

anggota tubuh orang yang berbuat.

Tindak pidana pasif adalah suatu keadaan yang mewajibkan seseorang

dibebani kewajiban hukum tertentu untuk melakukan suatu kewajiban yang

apabila orang tersebut tidak melakukan perbuatan tersebut maka orang

tersebut telah melanggar kewajiban hukum. Tindak pidana pasif disebut juga

sebagai tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.

Tindak pidana pasif dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

1) Tindak pidana pasif murni, yaitu tindak pidana pasif yang

dirumuskan secara formil.

89
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana,
(Yogyakarta : Bina Aksara, 2002), Hlm.1.
84

2) Tindak pidana pasif tidak murni, yaitu tindak pidana yang pada

dasarnya berupa tindak pidana positif tetapi dapat dilakukan dengan

cara tidak berbuat aktif, dilakukan tidak dengan berbuat atau

mengabaikan.

e. Tindak Pidana Terjadi Seketika (Aflopende Delicten) dan Tindak

Pidana Berlangsung Terus (Voortdurende Delicten)

Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikan rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu

seketika, misalnya pencurian, jika perbuatan mengambilnya selesai maka

tindak pidana itu menjadi selesai sempurna.

Tindak pidana berlangsung terus adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana berlangsung

lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana masih berlangsung

terus. Tindak pidana ini disebut juga sebagai tindak pidana yang

menciptakan suatu keadaan terlarang, misalnya perampasan kemerdekaan,

dimana perampasan kemerdekaan berlangsung lama dan akan berhenti

setelah korban dibebaskan atau terbebaskan.


85

f. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kodifikasi hukum

pidana materiil.

Tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar

kodifikasi tersebut, misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana

psikotropika.

g. Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propria

Tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) apabila dilihat dari

subyek hukumnya, yaitu tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua

orang (delicta communia) dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan

oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).

Tindak pidana communia dirumuskan untuk diberlakukan pada semua

orang, tetapi ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan

pada orang tertentu, misalnya pegawai negeri pada kejahatan jabatan,

malpraktek pada dokter dan lain-lain.


86

h. Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten) dan Tindak Pidana Aduan

(Klacht Delicten)

Tindak pidana biasa merupakan tindak pidana yang untuk

dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan

adanya pengaduan dari pihak yang berhak. Sebagian besar tindak pidana

merupakan tindak pidana biasa.

Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapat

dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya

pengaduan dari orang yang berhak mengajukan pengaduan.

i. Tindak Pidana dalam Bentuk Pokok, yang Diperberat dan yang

Diperingan

Tindak pidana, apabila dilihat dari berat ringannya dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga), yaitu :

1) Tindak pidana dalam bentuk pokok atau sederhana (eenvoudige

delicten) Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara

lengkap. Hal ini berarti bahwa semua unsurnya dicantumkan dalam

rumusan.

2) Tindak pidana dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde

delicten)
87

3) Tindak pidana dalam bentuk yang diperingan (gepriviligieerde

delicten)

Pada tindak pidana dalam bentuk yang diperberat atau yang diperingan

tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok tetapi hanya menyebut

kualifikasi bentuk pokok atau pasal pokoknya kemudian ditambahkan unsur

yang memberatan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

j. Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum yang Dilindungi

Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi maka tindak pidana

dibedakan dalam :

1) Rumusan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap keamanan negara.

2) Kejahatan terhadap Penguasa Umum, untuk melindungi

kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi Penguasa

Umum.

3) Tindak Pidana Pencurian, Penggelapan, Pemerasan, Pengancaman

dan lain-lain. Kepentingan hukum yang dilindungi tidak terbatas

pada jenis-jenis tindak pidana di atas, tetapi akan terus berkembang

sejalan dengan perkembangan dan kemajuan manusia.


88

k. Tindak Pidana Tunggal (Enkelvoudige Delicten) dan Tindak Pidana

Berangkai

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya suatu tindak pidana

dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan 1 (satu) kali perbuatan saja.

Sebagian besar tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

adalah tindak pidana tunggal.

Tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya suatu tindak pidana

dan dapat dipidananya si pembuat, disyaratkan dilakukan secara berulang.

5. Waktu dan Tempat Tindak Pidana

Undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai waktu dan tempat

tindak pidana, oleh karena itu terdapat beberapa teori mengenai waktu dan tempat

tindak pidana. Teori-teori ini mempunyai peranan yang sangat penting karena

menjadi pedoman bagi hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut

waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. Teori-teori terkait waktu dan

tempat tindak pidana adalah sebagai berikut : 90

90
Adam Chazawi, Op. Cit., Hlm. 136.
89

a. Teori Perbuatan Jasmani atau Perbuatan Materiil (Leer van het Materiele

Feit)

Menurut teori ini, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan

tempat di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu

pada kenyataannya diwujudkan.

b. Teori Alat (Leer van het Instrument)

Berdasarkan teori ini, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan

tempat di mana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya

tindak pidana.

c. Teori Akibat(Leer van het Gevolg)

Menurut teori ini, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan

tempat di mana akibat perbuatan tersebut timbul.

6. Kemampuan Bertanggung Jawab (Toerekeningsvatbaarheid)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskan

dengan tegas pengertian kemampuan bertanggung jawab, sebaliknya, Pasal 44

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) justru merumuskan

tentang keadaan bilamana seseorang tidak mampu bertanggung jawab. Hal ini

berarti bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan

perihal kebalikan (negatif) dari kemampuan bertanggung jawab.


90

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana dapat disimpulkan bahwa mampu bertanggung jawab

merupakan suatu hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk

menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Untuk

terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan apakah seseorang memiliki

kemampuan bertanggung jawab atau tidak. Terjadinya tindak pidana tidak

selalu diikuti dengan penjatuhan pidana pada pelakunya, namun ketika untuk

menjatuhkan pidana pada pelaku terdapat keragu-raguan mengenai keadaan

jiwa pelaku maka harus diperhatikan tentang ketidakmampuan bertanggung

jawab dan hal tersebut harus dibuktikan untuk tidak dipidananya pelaku.

Apabila telah terbukti terjadi suatu tindak pidana dan terbukti bahwa

pelaku tidak mampu bertanggung jawab pidana maka amar putusan hakim

harus berisi melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (ontslag van

rechtsvervolging) dan bukan pembebasan (vrijspraak), karena tindak pidana

terbukti telah diwujudkan namun adanya alasan pemaaf karena pelaku tidak

mampu bertanggung jawab.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), 2 (dua) keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung

jawab adalah : a) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan; atau b) jiwanya

terganggu karena penyakit. Orang dalam keadaan jiwa yang demikian tidak

boleh dipidana apabila melakukan tindak pidana.


91

J.E.Jonkers menyebutkan adanya 3 (tiga) syarat mengenai pertanggung

jawaban pidana, yaitu : 91

a. Kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu

perbuatan.

b. Mengetahui maksud sesungguhnya dari perbuatan tersebut.

c. Keinsyafan, bahwa hal tersebut dilarang dalam masyarakat.

Terkait kemampuan bertanggung jawab, D. Simons berpendapat bahwa

ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada

umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya,

mempunyai pandangan normal dan dapat menerima secara normal pandangan-

pandangan dihadapannya, yang di bawah pengaruh pandangan tersebut, orang

yang bersangkutan mampu untuk menentukan kehendaknya secara normal.

Berdasarkan beberapa pendapat terkait dengan kemampuan bertanggung

jawab, Moeljatno menyimpulkan bahwa kemampuan bertanggung jawab

adalah:

a. Harus memiliki kemampuan untuk membedakan perbuatan yang baik

dan buruk sesuai, sesuai dengan hukum atau melawan hukum.

b. Harus memiliki kemampuan untuk menentukan kehendaknya

berdasarkan keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan.

91
J.E. Jonkers, sebagaimana Dikutip dalam Ibid, 144.
92

B. Ruang Lingkup Hukum Acara Pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

a. Pengertian Hukum Acara Pidana secara Umum

Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur hal-hal yang

terkait dengan proses beracara atau secara umum dikenal dengan Hukum

Formil. Hukum Acara Pidana di Indonesia dirangkum dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP). Istilah Hukum Acara Pidana dianggap sudah tepat jika

dibandingkan dengan istilah Hukum Proses Pidana atau Hukum Tuntutan

Pidana. Belanda menggunakan istilah strafvordering yang apabila

diterjemahkan adalah tuntutan pidana. Inggris menggunakan istilah Criminal

Procedure Law, istilah dalam bahasa Inggris lebih tepat dibandingkan

dengan istilah dalam bahasa Belanda. 92

Hukum Acara Pidana berkaitan erat dengan Hukum Pidana, oleh

karena itu Hukum Acara Pidana merupakan rangkaian peraturan yang

memuat tata cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa,

yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan bertindak untuk mencapai

tujuan negara dengan mengadakan Hukum Pidana. 93

Hukum Acara Pidana dengan demikian merupakan hukum acara yang

melaksanakan dan mempertahankan Hukum Pidana Materiil (Kitab Undang-

92
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Hlm. 2.
93
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur
Bandung, 1977), Hlm. 13.
93

Undang Hukum Pidana/KUHP). Hukum Acara Pidana, dengan menerapkan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memperhatikan

kebenaran materiil dan kesalahan materiil. Hal ini mengingat bahwa dalam

hukum, kebenaran dan kesalahan akan menentukan dapat tidaknya seseorang

dihukum.

b. Pengertian Hukum Acara Pidana menurut Pendapat Para Ahli

Keberadaan Hukum Acara Pidana (Formeel Strafrecht/Straf-

procesrecht) sangat penting untuk menjamin, menegakkan dan

mempertahankan Hukum Pidana Materiil. Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tidak memberi batasan limitatif tentang pengertian Hukum Acara

Pidana, tetapi menyerahkan sepenuhnya pada pandangan, doktrin, kebiasaan

praktik peradilan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Berdasarkan hal tersebut, Lilik Mulyadi mengasumsikan bahwa

Hukum Acara Pidana pada dasarnya merupakan : 94

1) Peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan

mempertahankan eksistensi Hukum Pidana Materiil (Materieel

Strafrecht) untuk mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran

materiel atau kebenaran yang sesungguhnya.

94
Lilil Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), Hlm. 8.
94

2) Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses

pengambilan putusan oleh hakim.

3) Peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan terhadap

putusan hakim yang telah diambil.

S.M.Amin berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana adalah sederet

aturan dan peraturan yang dibuat dengan tujuan memberikan sebuah

pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi tindak

pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang bersifat materiil.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana adalah sederet

aturan yang memuat peraturan dan tata cara bagaimana badan-badan

pemerintahan berkuasa, seperti pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan

wajib mengadakan tindakan Hukum Pidana sebagai tujuan negara.

Bambang Purnomo berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana memiliki

tata cara serta norma-norma yang berlaku, bahkan jika dilihat dari substansi,

Hukum Acara Pidana mengandung struktur ambivalensi dari segi

perlindungan manusia dan segi kemajemukan alat-alat negara dalam rangka

usaha mempertahankan pola integrasi kehidupan.

Menurut Van Hammel, Hukum Acara Pidana atau Hukum Pidana

Formil adalah menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang

mengikat pemberlakuan Hukum Pidana Materiil.

Menurut Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana merupakan bagian dari

hukum dalam arti yang luas. Hukum Pidana dalam arti yang luas meliput,
95

baik Hukum Pidana substantif (materiil) maupun Hukum Pidana Formal atau

Hukum Acara Pidana.

Hukum Acara Pidana atau Hukum Pidana Formil menurut Simos

adalah suatu hukum yang mengatur tata cara negara dengan alat-alat negara

menggunakan hak kekuasaan untuk memberikan hukum serta menjatuhkan

hukuman.

Ruang lingkup Hukum Acara Pidana lebih sempit, hanya mulai pada

saat pencarian kebenaran, penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada

pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak

termasuk dalam Hukum Acara Pidana.

2. Sifat Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana merupakan bagian dari Hukum Publik (Public Law)

dengan esensi mempertahankan Hukum Pidana Materiel. Konsekuensi logis

dari hal ini adalah bahwa Hukum Acara Pidana secara eksplisit bersifat

mengacu pada aspek kepentingan umum (algemene belangen). Berdasarkan hal

tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sifat dari Hukum Acara Pidana adalah

sebagai berikut :95

a. Ketentuan-ketentuannya Bersifat Memaksa (Dwingen Recht)

Hukum Acara Pidana melindungi kepentingan bersama untuk menjaga

keamanan, ketentraman dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat,


95
Ibid, Hlm. 11.
96

oleh karena itu Hukum Acara Pidana bersifat memaksa. Negara dalam

hal ini dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadap pelaku

yang melanggar keamanan, ketentraman, dan kedamaian.

b. Mempunyai Dimensi Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia

(HAM).

Konsekuensi logis dari negara hukum (rechtstaat) adalah melindungi

kepentingan hak-hak orang yang dituntut (tersangka atau terdakwa),

dengan dipenuhinya kepentingan orang yang dituntut, Hukum Acara

Pidana menghendaki agar orang tersebut mendapat perlakuan yang adil

sehingga dapat dihindari kesalahan mengadili seseorang (error in

persona) dan diterapkannya asas praduga tak bersalah (presumption of

innocence).

3. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana

Berdasarkan ketentuan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, tujuan Hukum Acara Pidana adalah :

“Mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran


materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur
dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Tujuan Hukum Acara Pidana yang berusaha untuk mewujudkan hakikat

kebenaran materiel dapat melahirkan manifestasi fungsi Hukum Acara Pidana.


97

Menurut pendapat van Bemmelen, fungsi Hukum Acara Pidana adalah sebagai

berikut :96

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

b. Pemberian keputusan oleh Hakim;

c. Pelaksanaan keputusan.

Mencari dan menemukan kebenaran merupakan fungsi Hukum Acara

Pidana yang terpenting karena setelah menemukan kebenaran melalui alat bukti

dan bahan bukti maka hakim akan sampai pada suatu keputusan yang adil dan

tepat dan kemudian putusan tersebut akan dilaksanakan oleh jaksa.

4. Sumber Formal Hukum Acara Pidana di Indonesia

a. Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945

1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

96
Van Bemmelen, sebagaimana Dikutip dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana
Indonesia – Edisi Revisi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Hlm. 8.
98

3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

diatur dalam undang-undang.

b. Peraturan Perundang-undangan, antara lain adalah :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981).

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

7) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

5. Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana mengenal beberapa asas atau prinsip, yaitu :

a. Asas Legalitas
99

Legalitas secara etimologis berasal dari bahasa Latin, legalis

yang berarti sah menurut undang-undang. Berbeda dengan asas

legalitas dalam Hukum Pidana Materiil yang didasarkan pada Pasal 1

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan,

bahwa :

“Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan

kekuatan perundang-undangan sebelumnya”.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut dapat diketahui

bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggunakan

istilah perundang-undangan pidana, sedangkan dalam Hukum Acara

Pidana digunakan istilah undang-undang (wet).

b. Asas Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum

(Equality Before the Law)

Asas perlakuan yang sama antara lain disebutkan dalam Pasal 4

ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan, bahwa :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang”.

Selanjutnya, asas perlakuan yang sama ditegaskan pula dalam

Penjelasan Umum butir 3a Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) yang menyebutkan, bahwa :


100

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum

dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.

c. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

Asas ini dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyebutkan, bahwa :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah

sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya

dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Asas praduga tak bersalah memberikan pedoman pada penegak

hukum untuk menggunakan prinsip akusator dalam tingkat

pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari

pemeriksaan yang inkuisitor, yang menempatkan tersangka atau

terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai objek yang dapat

diperlakukan sewenang-wenang. Prinsip inkuisitor dulu dijadikan

landasan pemeriksaan dalam periode HIR yang tidak memberikan

kesempatan yang wajar kepada tersangka atau terdakwa untuk

membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. 97

97
Mohammad Taufik Makarao dan Suhansil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), Hlm.4.
101

d. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum

Pasal 69 – 74 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

mengatur tentang bantuan hukum, di mana tersangka atau terdakwa

mendapat kebebasan yang sangat luas, antara lain :

1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap

atau ditahan.

2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat

pemeriksaan.

3) Penasihat Hukum dapat menghubungi tersangka atau

terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

4) Pembicaraan antara Penasihat Hukum dan tersangka tidak

didengar oleh Penyidik dan Penuntut Umum kecuali pada

delik yang menyangkut keamanan negara.

5) Turunan Berita Acara akan diberikan kepada tersangka atau

Penasihat Hukum guna kepentingan pembelaan.

6) Penasihat Hukum berhak mengirim dan menerima surat dari

tersangka atau terdakwa.

e. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Ketentuan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa


102

untuk keperluan sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali

dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) akan

mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.

Sifat terbuka untuk umum dari suatu proses pemeriksaan baik

pada perkara perdata atau pidana tidak terletak pada dapat atau

tidaknya orang keluar masuk ruang sidang pengadilan tetapi terletak

pada pemberitaan yang bebas oleh pers dan dapat

dipertanggungjawabkan sehingga the fair administration of justice

tidak menjadi terdesak karenanya. Persidangan terbuka untuk keadilan,

hak seseorang atas persidangan terbuka untuk umum tidak boleh

mengakibatkan hak seseorang untuk diadili secara terbuka berubah

sifatnya menjadi orang tersebut diadili oleh orang banyak (publik). 98

f. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Asas ini bertujuan agar proses persidangan berjalan dengan

mudah, karena jika penerapan sidang ternyata mempersulit para pihak

maka persidangan berjalan tidak efektif dan bahkan dapat melanggar

kepentingan para pihak.

98
Alvi Syahrin, Acara Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri,(Medan :
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997), Hlm. 31.
103

g. Pemeriksanan Hakim yang Langsung dan Lisan

Pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan oleh Hakim secara

langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan saksi. Hal ini berbeda

dengan Hukum Acara Perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh

kuasanya. Pemeriksaan Hakim juga dilakukan secara lisan, artinya

bukan tertulis, antara Hakim dengan terdakwa. Hakim dalam hal ini

berhak mengorek keterangan lebih jauh, baik kepada terdakwa atu

kepada saksi guna penyelesaian kasus.

Andi Hamzah mengemukakan bahwa asas-asas yang terpenting dalam

Hukum Acara Pidana antara lain adalah : 99

a. Asas Peradilan Cepat,Sederhana dan Biaya Ringan

Peradilan cepat (contante justitie, speedy trial) banyak

dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang diwujudkan dalam kalimat “segera”. Pasal 2 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan bahwa :

“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya

ringan”.

b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

Asas ini ditemui dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


99
Andi Hamzah, Op. Cit, Hlm. 10.
104

c. Asas Oportunitas

Hukum Acara Pidana mengenal suatu badan khusus yang

diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan,

yaitau Penuntut Umum yang disebut juga dengan Jaksa. Wewenang

penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum sebagai monopoli, artinya

tidak boleh ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal ini

disebut dominus litis.

Asas opotunitas menurut A.Z. Abidin Farid adalah asas hukum

yang memberi wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut

atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi

yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Asas oportunitas disebutkan dalam Pasal 35 c Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang

menyatakan bahwa:

“Jaksa Agung mempunyai wewenang dan tugas

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.

d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa :

“Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk

umum, kecuali undang-undang menentukan lain”.

e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim


105

Asas ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

f. Peradilan Dilakukan oleh Hakim karena Jabatannya dan Tetap

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa :

“Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-

undang”.

g. Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Ketentuan ini ditegaskan dalam The International Covenant in

Civil and Political Right Article 14 sub 3d, yang menyebutkan bahwa :

“To be tried in his presence, and to defend himself in person or


through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he
does not have legal assistance, of this right, and to have a legal
assistance assigned to him, in any case where the interest justice
so require, and without payment by him in any such case if the
does not have sufficient means to pay for itu”.

(Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri secara pribadi


atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya
sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak
mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum
untuk dia, jika untuk kepentingan peradilan penting untuk itu,
dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum, ia
dibebaskan dari pembayaran)”.

h. Asas Akusator dan Inkisitor

Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum

menunjukkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


106

(KUHAP) menganut asas akusator. Berdasarkan asas inkisitor,

tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan, asas inkisitor saat ini

sudah banyak ditinggalkan karena dianggap bertentangan dengan Hak

Asasi Manusia.

i. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Hal ini berarti bahwa Hakim secara langsung memerika saksi

atau terdakwa, berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat

diwakili oleh kuasanya.

C. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia

1. Pengertian Bukti

Dalam kosa kata bahasa Inggris, terdapat 2 (dua) istilah yang dalam

bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan sebagai bukti, walaupun kedua

istilah tersebut pada dasarnya memiliki perbedaan pengertian secara prinsip.

Pertama adalah kata evidence dan yang kedua adalah proof. Evidence diartikan

sebagai informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu

keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu adalah benar.

Proof adalah kata dengan beberapa arti. Proof dalam bahasa Inggris mengacu

pada hasil asuatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence

atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu pada proses itu sendiri. 100

100
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta : Erlangga, 2012), Hlm. 2.
107

Bukti adala sesuatu yang menyatakan kebenaran akan suatu peristiwa,

kebenarannya, saksi, tanda, hal yang menjadi tanda perbuatan jahat. 101

Subekti mendefinisikan bukti sebagai sesuatu untuk meyakinkan akan

kebenaran suatu dalil atau pendirian alat bukti.

2. Pembuktian

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan

dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang

boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena sudalam

membuktikan kesalahan terdakwa.

Pengertian pembuktian jika ditinjau dari Hukum Acara Pidana adalah

ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan

mempertahankan kebenaran, baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau

penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat

bukti yang ditentukan undang-undang.

101
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 2008), Hlm.133.
108

Darwan Prinst berpendapat bahwa pembuktian adalah bahwa benar suatu

peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya

sehingga harus mempertanggungjawabkannya.102 Pendapat lain tentang

pembuktian dikemukakan oleh Martiman Prodjohamidjojo yang menyatakan

bahwa pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan

kebenaran atas sesuatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap

kebenaran peristiwa tersebut. 103

Makna penting dari pembuktian adalah mencari kebenaran atas suatu

peristiwa dalam konteks hukum yang mempunyai sebab akibat, oleh karenanya

dalam Hukum Acara, pembuktian merupakan inti dari persidangan. Aspek

pembuktian dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana memegang peranan yang

menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana

oleh hakim.104

Menurut Van Bummelen dan Moeljatno, membuktikan adalah

memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) mengenai 2 (duata,

1984) hal, yaitu apakah hal-hal tersebut sungguh terjadi dan apa sebabnya

terjadi demikan. Sejalan dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo

berpendapat bahwa membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk

102
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktek,(Jakarta : Djambatan, 1988), Hlm.
133
103
Martiman Prodjohamidjoho, Komentar atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Cetakan III, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1990, Hlm. 11
104
Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia : Perspektif Pembaharuan
Hukum, Teori dan Praktik Peradilan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 43
109

menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga aka dapat menerima

peristiwa tersebut.

Hal-hal yang harus dibuktikan dalam persidangan adalah perbuatan-

perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan

tindak pidana, sedangkan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah segala

sesuatu yang secara umum sudah diketahui.

Pembuktian dalam proses pemeriksaan mempunyai tujuan dan kegunaan

tertentu bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, antara lain adalah :

a. Bagi Penuntut Umum, pembuktian merupakan usaha untuk

meyakinkan Hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar

menyatakan bahwa terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan

Terdakwa.

b. Bagi Terdakwa atau Penasihat Hukum, pembuktian merupakan usaha

untuk meyakinkan Hakim, berdasarkan alat bukti yang ada agar

menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum

atau untuk meringankan pidananya. Terdakwa atau Penasihat Hukum

dalam hal ini harus mengajukan alat bukti yang menguntungkan atau

meringankan pihaknya.

c. Bagi Hakim, atas dasar pembuktian, yaitu dengan adanya alat-alat

bukti dalam persidangan, baik yang berasal dari Penuntut Umum

maupun dari Terdakwa atau Penasihat Hukum maka dapat dibuat suatu

putusan.
110

Secara teoretis terdapat 6 (enam) parameter dalam hal pembuktian yang

ditinjau dari aspek Hukum Acara Pidana, yaitu :105

a. Bewijstheories, yaitu teori pembuktian yang biasanya digunakan

sebagai dasar dari pembuktian oleh Hakim di pengadilan. Sistem

hukum pembuktian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia

menganut negatief wettelijkbewijstheorie sebagaimana yang

dinyatakan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), yaitu sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

b. Bewijsmiddelen, yaitu alat-alat bukti yang digunakan untuk dapat

mbembuktikan bahwa telah terjadi suatu peristiwa hukum. Alat bukti

yang dimaksud merujuk pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHAP), yaitu : keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk, dan keterangan terdakwa.

c. Bewijvoering, yaitu tata cara pembagian dalam menyampaikan alat-

alat bukti kepada Hakim di pengadilan (prosedur formil), baik dari

menemukan, mengumpulkan, memperoleh dan menyampaikan alat

105
Eddy O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta : Erlangga, 2012), Hlm. 15
111

bukti tersebut di pengadilan. Alat bukti yang sah harus memenuhi

persyaratan materiil dan persyaratan formil. Syarat materiil berkaitan

dengan substansi.

Sistem pembuktian merupakan pengaturan berbagai macam alat bukti

yang boleh digunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara bagaimana Hakim

harus membentuk keyakinan, begitu pula dengan cara menggunakan dan

menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti harus

dilakukan dalam batas yang dibenarkan oleh undang-undang. Hal ini

dimaksudkan agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan,

Hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Ada 6

(enam) butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, yaitu

sebagai berikut :106

a. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan

pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar.

b. Alat-alat bukti yang digunakan oleh Hakim untuk mendapatkan

gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau.

c. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada

Hakim dalam sidang pengadilan.

d. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat bukti dalam

rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan.

106
Bambang Purnomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Yogyakarta : Liberty,
2004), Hlm. 39.
112

e. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk

membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan.

f. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat

kebebasan hakim.

3. Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu

perbuatan, di mana alat-alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai bahan

pembuktian untuk menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu

tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Pihak yang dapat mengajukan alat bukti yang sah di dalam persidangan

menurut undang-undang pada dasarnya adalah Penuntut Umum jika ada alat

bukti yang memberatkan (adercharge) dan Terdakwa atau Penasihan Hukum

jika ada alat bukti yang bersifat meringankan (acharge) atau bahkan dapat

membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. 107


Terdakwa pada dasarnya tidak

dibebani dengan kewajiban pembuktian karena dianutnya asas praduga tak

bersalah (presumption of innocence). Hal ini diatur dalam Pasal 66 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Macam-macam alat bukti berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah sebagai berikut :

107
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia,
(Bogor : Raih Asas Sukses, 2012), Hlm. 23.
113

a. Keterangan Saksi

Menjadi saksi dalam suatu persidangan merupakan kewajiban.

Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban tesebut dapat

dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Hal ini diatur dalam Pasal 159 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan, bahwa :

“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan


sah dan Hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk
menyangka bawa saksi itu tidak akan mau hadir, maka Hakim
ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut
dihadapkan ke persidangan”.

Perintah menghadapkan saksi di persidangan tersebut bila

perlu dengan pengawalan polisi negara. Saksi dapat dibedakan

bermacam-macam, yaitu :108

1)Saksi Adercharge

Yaitu saksi yang memberikan keterangan menguatkan pihak

terdakwa.

2) Saksi Acharge

Yaitu saksi yang memberikan keterangan yang menguatkan

pihak Jaksa dan melemahkan pihak terdakwa.

3) Saksi Mahkota (Kroongetuige)

108
Ibid, Hlm. 63.
114

Yaitu suatu kondisi di mana salah seorang terdakwa dapat

menjadi saksi kehormatan dengan mendapat perlakuan

istimewa, yaitu tidak dituntut atas tindak pidana di mana ia

sebenarnya merupakan salah satu pelaku. Pelaku yang menjadi

saksi tersebut dapat dimaafkan kesalahannya.

4) Saksi Relatif (Enbevoegd)

Yaitu orang-orang yang tidak mampu secara nisbi atau relatif.

Orang-orang tersebut didengar tetapi tidak sebagai saksi,

misalnya anak yang belum deewasa atau orang gila.

5) Saksi Absolut (Anbevoegd)

Yaitu saksi di mana hakim dilarang untuk mendengar mereka

sebagai saksi, misalnya keluarga sedarah, semenda, suami atau

istri salah satu pihak.

6) Saksi De Auditu

Yaitu saksi yang tidak perlu didengar kesaksiannya karena

mendengar dari pihak ketiga.

7) Saksi Verbalisan (Penyidik)

Apabila dalam suatu persidangan terdakwa mencabut

keterangannya dalam Berita Acara Penyidik akan dipanggil

menjadi saksi.
115

8) Saksi Bersuara

Yaitu saksi yang ditemukan oleh Hakim dan Jaksa, seperti

surat-surat, segel, visum dari dokter dan lain-lain.

9) Saksi Diam

Yaitu berupa sidik jari, darah yang menempel di dinding atau di

lantai, sperma dan lain-lain.

10) Saksi yang Berdiri sendiri

Hakim harus memperhatikan banyak hal untuk menilai dapat

tidaknya seorang saksi dipercayai. Berdasarkan ketentuan

dalam Pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), dalam menilai keterangan saksi, Hakim

harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal sebagai

berikut :

a) Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang

lain.

b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang

lain.

c) Alasan yang mungkin digunakan oleh saksi dalam

memberikan keterangan tertentu.


116

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang

pada umumnya mempengaruhi penilaian dapat tidaknya

mempercayai seorang saksi.

Suatu kesaksian agar mempunyai kekuatan sebagai alat bukti

harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

1)Syarat Objektif

a) Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;

b) Tidak boleh ada hubungan keluarga; dan

c) Mampu bertanggung jawab.

2) Syarat Subjektif/ Internal

a) Saksi mendengar apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami

sendiri.

b) Dasar alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar

dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.

3) Syarat Formal

a) Kesaksian harus diucapkan dalam sidang.

b) Kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah,

tidak terkena asas unus testis nullus testis

Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang dinyatakan

oleh saksi di sidang pengadilan. Keterangan saksi merupakan alat bukti

yang paling utama dalam perkara pidana. Jika dikaitkan dengan

ketentuan dalam Pasal 1 butir 27 Kitab Undang - Undang Hukum


117

Acara Pidana (KUHAP), yang harus diterangkan dalam sidang adalah

apa yang saksi lihat sendiri, apa yang saksi dengar sendiri dan apa

yang saksi alami sendiri dengan menyebut alasan mengapa saksi dapat

melihat, mendengar dan mengalami hal tersebut.

Keterangan saksi di depan Penyidik bukan merupakan

keterangan saksi jadi bukan merupakan alat bukti, tetapi hanya sebagai

pedoman Hakim untuk memeriksa perkara dalam sidang. Apabila

terdapat perbedaan keterangan saksi yang diberikan di depan Penyidik

dengan yang di depan sidang maka Hakim berkewajiban untuk

menanyakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan dicatat.

Terkait dengan keterangan saksi sebagai alat bukti, terdapat asas unnus

testis, nullus testis, yang artinya adalah satu saksi bukan merupakan

saksi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (2) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa :

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan”.

Asas unnus testis nullus testis tersebut dapat disimpangi

berdasarkanPasal 185 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) yang menyebutkan, bahwa :

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku

apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.


118

Berdasarkan tafsir acontrario, keterangan seorang saksi cukup

untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan

1 (satu) alat bukti lainnya, misalnya keterangan saksi ditambah dengan

keterangan terdakwa, atau 1 (satu) keterangan saksi ditambah 1 (satu)

alat bukti surat. Menurut Modderman, sebenarnya inti dari ketentuan

satu saksi bukan saksi, tidak terletak pada jumlahnya tetapi jika hanya

terdapat 1 (satu) keterangan saksi maka tidak mungkin dilakukan

pengecekan timbal balik.

b.Keterangan Ahli

Pengertian ahli dan keterangan ahli dapat ditemui dalam

rumusan Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), yang menyebutkan bahwa :

1) Dalam hal Penyidik menganggap perlu, ia dapat minta

pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian

khusus.

2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janjji di

muka Penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut

pengetahuannya yang sebaik-baiknya, kecuali bila disebabkan

karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang

mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk

memberikan keterangan yang diminta.


119

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 120 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat disimpulkan bahwa

ahli orang yang mempunyai keahlian khusus. Keterangan ahli adalah

keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian

khusus mengenai hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 186 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), keterangan ahli adalah apa yang

seorang ahli nyatakan di depan sidang pengadilan. Keterangan ahli

baru mempunyai nilai pembuktian apabila ahli tersebut bersumpah

dahulu di depan Hakim sebelum memberikan keterangan.

Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas karena tidak

mengikat Hakim untuk memakai keterangan ahli tersebut apabila

bertentangan dengan keyakinan Hakim. Keterangan ahli di

persidangan berguna sebagai alat bantu bagi Hakim untuk menemukan

kebenaran dan Hakim dalam hal ini bebas untuk menggunakan

pendapatnya sendiri atau menggunakan keterangan ahli.

c.Surat

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang

dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan

buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai bahan pembuktian.


120

Menurut Asser-Anema, surat adalah segala sesuatu yang mengandung

tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksudkan untuk mengeluarkan

isi pikiran.

Ketentuan mengenai surat diantaranya terdapat dalam Pasal

187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang

menyebutkan bahwa:

“Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c,

dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan

sumpah,adalah :

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat

dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau

keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,

disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

keterangannya itu.

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal

yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung

jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu

hal atau suatu keadaan.


121

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan

yang diminta resmi daripadanya.

4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya

dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), dapat diketahui bahwa surat resmi dalam hal

ini hanyalah surat yang diatur dalam Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Surat resmi yang

diatur dalam Pasal 187 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) adalah surat biasa yang berlaku jika ada

hubungannya dengan alat bukti yang lain, misalnya :

1) Surat ancaman pembunuhan dari terdakwa kepada korban

dalam perkara pembunuhan.

2) Surat cerita antara terdakwa dengan saksi dalam perkara

membawa lari seorang gadis di bawah umur.

Surat-surat resmi yang diatur dalam Pasal 187 huruf a, b dan c

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat

digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu :

1) Acte Ambtelijk

Yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan

akta otentik sepenuhnya merupakan keinginan dari pejabat


122

umum tersebut, dengan demikian surat tersebut berisi

keterangan dari pejabat umum tentang apa yang dilihat dan

dilakukan, misalnya Berita Acara tentang Keterangan Saksi

yang Dibuat oleh Penyidik.

2) Acte Partij

Yaitu akta otentik yang dibuat oleh para pihak di hadapan

pejabat umum. Isi akta otentik merupakan keterangan yang

berisi kehendak para pihak.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menganut sistem negatif, oleh karena itu harus ada keyakinan

dari hakim terhadap alat bukti yang diajukan ke persidangan.

Alat bukti tersebut bernilai bebas. Hukum Acara Pidana

mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati,

konsekuensinya hakim bebas untuk menggunakan atau

mengesampingkan surat.

d.Petunjuk

Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan, bahwa :

1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang

karena persesuaiannya, baik antara yang satu dan yang lain,


123

maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa

telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

diperoleh dari :

a) Keterangan saksi.

b) Surat.

c) Keterangan terdakwa

3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam

setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif

bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh

kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Petunjuk berbeda dengan alat bukti yang lain karena petunjuk

diperoleh dari alat bukti yang lain, baik dari keterangan terdakwa,

keterangan saksi maupun surat. Alat bukti petunjuk bukan alat bukti

langsung (indirect bewijs), oleh karena itu ada yang berpendapat

bahwa petunjuk bukan merupakan alat bukti.

Ahli hukum yang berpendapat bahwa petunjuk bukan merupakan alat

bukti antara lain adalah Van Bemmelen dan Lamintang. Van

Bemmelen berpendapat bahwa kesalahan yang utama adalah bahwa

orang telah menganggap bahwa petunjuk merupakan alat bukti,

padahal kenyataannya tidak demikian. Senada dengan Van Bemmelen,


124

Lamintang juga berpendapat bahwa petunjuk bukan merupakan alat

bukti.

e.Keterangan Terdakwa

Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) menyebutkan, bahwa :

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa

dan diadili di sidang pengadilan”.

Pasal 1 butir 14 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana

menyebutkan, bahwa :

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai

pelaku tindak pidana”.

Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang - Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) menyebutkan, bahwa :

“Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di

sidang tentang perbuatan yanag ia lakukan atau yang ia ketahui

sendiri atau alami sendiri”.

Pengertian keterangan terdakwa lebih luas dibandingkan

dengan pengakuan terdakwa krena keterangan terdakwa kemungkinan


125

berisi pengakuan terdakwa. Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti

mempunyai 2 (dua) syarat, yaitu : 1) mengaku ia melakukan delik yang

didakwakan; dan 2) mengaku ia bersalah. Namun, ada kemungkinan

terdakwa memberikan pengakuan untuk sebagian. Terdakwa mengaku

melakukan delik yang didakwakan tetapi tidak mengaku bersalah,

misalnya terdakwa mengaku melakukan pembunuhan tetapi tidak

mengaku bersalah karena membela diri.

Dalam pembuktian tindak pidana hal yang perlu dibedakan yaitu

antara barang bukti dan alat bukti. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang

sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan

terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut

stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-

undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa di

luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang

sah.  Sedangkan barang bukti dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud

dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan

mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a.      benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau


sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana;
126

b.      benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan


tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.      benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan
tindak pidana;
d.      benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana;
e.      benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan,
 Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang

disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang

bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (HIR) juga terdapat

perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai,

pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan

pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang

yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang

didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan

barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

a.      Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)

b.      Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana


(corpora delicti)

c.      Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana


(instrumenta delicti)

d.  Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk


memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
127

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-

undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan

doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan,

barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik

tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat

yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan

hasil dari suatu delik.

Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

a.      Merupakan objek materiil


b.      Berbicara untuk diri sendiri\
c.      Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana
pembuktian lainnya
d.      Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan
terdakwa 
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

a.      Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana


b.      Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu
tindak pidana
c.      Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana
d.      Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
e.      Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi
penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun
berupa rekaman suara
f.       Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi
128

kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara


pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses
pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak
pidana penghinaan secara lisan.
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika

Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure

Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti

adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan

judicial notice. Dalam sistem Common Law ini,  real evidence (barang bukti)

merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang

bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan

antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa

untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim

memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.


129

D. Audio visual sebagai Alat Bukti dalam Persidangan

1. Pengertian Audio Visual

Audio visual merujuk kepada penggunaan komponen suara (audio) dan

komponen gambar (visual), dibutuhkan beberapa peralatan untuk menyajikan

hal ini, film dan program televisi adalah beberapa contoh dari penyajian audio

visual. Presentasi bisnis, sekolah, perkuliahan dan lain-lain saat ini seringkali

disampaikan secara audio visual.109

2. Audio Visual sebagai Salah Satu Alat Bukti dalam Persidangan

Perkembangan teknologi membawa perubahan dalam dunia hukum, salah

satunya adalah penggunaan audio visual (teleconference) dalam memberikan

keterangan atau kesaksian di depan persidangan perkara pidana. Di satu sisi,

penggunaan fasilitas ini merupakan terobosan positif ,dalam peradilan pidana di

Indonesia, namun di sisi lain menimbulkan kontroversi karena penyelenggaraan

audio visual dalam pemeriksaan saksi tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia. Walaupun pada kenyataannya

sarana tersebut dipakai untuk memeriksa saksi-saksi dalam persidangan perkara

pidana diantaranya dalam perkara tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM

berat pasca jajak pendapat di Timor Timur, dan perkara tindak pidana

terorisme.

109
Audio Visual, wikipedia, http://id.wikipedia.org. Diakses pada hari Rabu, tanggal 3 April
2019, pukul 1.12 WIB.
130

Terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban memberikan pilihan bagi saksi dalam

memberikan kesaksiannya yang tidak harus hadir ke pengadilan tetapi dapat

melalui sarana elektronik.

Pemeriksaan saksi melalu audio visual pada prinsipnya merupakan

komunikasi langsung secara interaktif di mana pihak satu satu sama lain dapat

berdialog (tanya jawab) walaupun masing-masing berada di tempat yang

berbeda dan dapat bertatap muka meskipun melalui monitor (layar) dengan

demikian keterangan saksi yang disampaikan melalui audio visual di depan

persidangan pada dasarnya adalah sama dengan keterangan saksi yang diatur

dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

Penggunaan audio visual juga telah memenuhi asas-asas umum yang

berlaku pada Hukum Acara Pidana, dengan demikian keterangan saksi melalui

audio visual dapat dijadikan alat bukti yang sah sebagai alat bukti keterangan

saksi sepanjang saksi tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagai saksi, harus

mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu (Pasal 160 ayat (3) juncto Pasal

185 ayat (7) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual di muka sidang

pengadilan (merupakan perluasan dari Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana/ KUHAP), isi keterangan harus mengenai hal

yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri serta menyebutkan alasan dari
131

pengetahuannya itu dan keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama

lain (Pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undag Hukum Acara Pidana (KUHAP)).

Penggunaan teknologi audio visual dalam pemeriksaan perkara pidana di

sidang pengadilan memang masih menimbulkan beberapa kendala selain

kendala teknis juga kendala karena belum ada kesamaan pandangan dalam

menyikapi penggunaan audio visual. Untuk itu pemerintah diharapkan segera

merevisi KUHAP terutama yang berkaitan dengan Hukum Pembuktian.

Perkembangan teknologi informasi melahirkan aturan baru di Indonesia,

yaitu diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian dirubah dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa :

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk

tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,peta, rancangan, foto,

Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail).telegram,

teleks, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.


132

Keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik mengikat

dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum

terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama

dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang

dilakukan melalui sistem elektronik. Khusus untuk informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau

perekaman yang merupakan bagaian dari penyadapan harus dilakukan dalam

rangka penegakkan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/ atau

institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Terkait dengan bukti, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa :

a. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

b. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan

alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di

Indonesia.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka adanya alat bukti yang

disebut dengan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bisa


133

dengan mudah untuk membuktikan tindak pidana yang diatur karena dalam alat

bukti tesebut merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur dalam Pasal 184

KUHAP .

Beberapa peraturan perundang-undangan yang menerangkan tentang alat

bukti elektronik, diantaranya adalah :

a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentanag Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang.

d. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

f. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

g. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Pengrusakan Hutan.

h. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.


BAB III

AUDIO VISUAL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA TINDAK PIDANA DI INDONESIA

A. Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perkara Tindak

Pidana

Eksistensi alat bukti elektronik sebelum diundangkannya Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebenarnya telah tersebar dalam

beberapa peraturan perundang-undangan, namun eksistensi alat bukti elektronik

sebagai alat bukti yang sah semakin diperkuat dengan diundangkannya Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Alat

bukti elektronik adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang

memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materiil yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekteronik.

Informasi elektronik merupakan satu atau sekumpulan data elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

Electronic Data Intercharge (EDI), surat elektronik (electronic mail/e-mail),

telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol

atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya. Sedangkan dokumen elektronik adalah setiap


135

informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan

dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat

dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau

sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki

makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya,

informasi elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan

dokumen elektronik. Informasi elektronik merupakan data atau kumpulan data

dalam berbagai bentuk, sedangkan dokumen elektronik merupakan wadah dari

informasi elektronik. Misalnya, file musik dalam MP3, maka semua musik yang

keluar dari MP3 adalah informasi elektronik sedangkan MP3 merupakan dokumen

elektronik.

Eksistensi alat bukti elektronik diatur secara tegas dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

menyebutkan, bahwa :

(1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil


cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)Informasi Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian, yaitu : 1)


136

Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik; dan 2) Hasil cetak dari

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Informasi elektronik dan

dokumen elektronik akan menjadi alat bukti elektronik (digital evidence),

sedangkan hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik akan

menjadi alat bukti surat.

Maksud dari perluasan alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah : 1) Menambah alat bukti yang telah diatur

dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia; dan 2) Memperluas cakupan dari alat

bukti yang telah diatur dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia.

Alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana dengan berlakunya Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak

saja terbatas pada alat bukti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana tetapi juga termasuk alat bukti yang disebutkan dalam ketentuan

dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ketentuan tersebut menimbulkan perubahan dalam Hukum Pembuktian yang

berlaku dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, yaitu diakuinya secara sah bukti

elektronik berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil

cetaknya sehingga dapat diajukan ke pengadilan. Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur adanya syarat formil dan
137

materiil yang harus dipenuhi agar informasi elektronik dan dokumen elektronik

dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu bahwa informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut

peraturan perundang-undangan harus dibuat dalam bentuk tertulis. Sedangkan

syarat materiil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang pada intinya menyatakan

hahwa informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keotentikannya,

keutuhan dan ketersediaannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materiil

maka dalam banyak hal dibutuhkan digital forensic. Dengan demikian maka

email, file rekaman atas chatting dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat

digunakan sebagai alat bukti yang sah.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang menerangkan tentang

perluasan alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) antara lain adalah :

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Pengalihan data tertulis ke dalam bentuk data elektronik telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen


138

Perusahaan. Bagian Menimbang Hufuf F Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan menyebutkan bahwa:

“Kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang


dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat
secara langsung dalam media elektronik”.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen

Perusahaan menyebutkan, bahwa :

“Dokumen perusahaan adalah data, catatan, dan/atau keterangan yang


dibuat dan/atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan
kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam
dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca atau didengar”.

Ketentuan tersebut selanjutnya dipertegas dalam Pasal 12 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan,

yang menyebutkan bahwa :

“Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media

lainnya”.

Kekuatan pembuktian dari dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam

mikrofilm atau media lainnya, disebutkan selanjutnya dalam Pasal 12 ayat

(4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

yang menyebutkan, bahwa :

“Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau


media lainnya adalah naskah asli yang mempunyai kekuatan pembuktian
otentik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu, pimpinan
perusahaan wajib menyimpan naskah asli tersebut”.

Kekuatan pembuktian dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam

mikrofilm atau media lainnya tersebut selanjutnya dipertegas dalam Pasal


139

15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen

Perusahaan yang menyebutkan, bahwa :

“Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media


lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti yang sah”.

Ketentuan dalam pasal tersebut memperlihatkan bahwa dokumen

elektronik, khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat

bukti yang sah jauh sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas telah

menimbulkan kerugian dalam jumlah yang sangat besar dan merugikan

keuangan negara. Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran

terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Penanganan

tindak pidana korupsi harus dilakukana dengan cara yang luar biasa.

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi diperlukan untuk menjamin kepastian hukum.


140

Status bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti yang sah digunakan

juga untuk pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Penjelasan Umum

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menyebutkan bahwa Ketentuan perluasan mengenai sumber

perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa

mengenai petunjuk selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan

keterangan terdakwa juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa

informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara

elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak

terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange),

surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari

dokumen, yakni setia rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik

apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang

berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka

atau perforasi yang memiliki makna.

Mengenai alat bukti, hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 26A Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

yang menyebutkan bahwa :


141

“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman dan/atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, huruf, tanda,
angka atau perforasi yang memiliki makna.”

Penjelasan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “disimpan secara elektronik”, misalnya data yang

disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only Memory (CD- “alat

optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data

penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-

mail), telegram, teleks, faksimile.

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Terorisme

Terorisme merupakan serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan

untuk membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.


142

Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara

peperangan oleh karena itu seringkali warga sipil menjadi korban. Salah

satu pertimbangan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme adalah karena

terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan

menimbulkan ketakutan pada masyarakat secara luas, hilangnya

kemerdekaan serta kerugian harta benda.

Alat bukti dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 27 Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Terorisme, yang menyebutkan bahwa :

“Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :


a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
1) Tulisan, suara atau gambar;
2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya”.
143

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang.

Perdagangan orang atau manusia adalah segala transaksi jual beli

terhadap orang atau manusia. berdasarkan Protokol Palermo, aktivitas

transaksi jual beli orang atau manusia meliputi perekrutan, pengiriman,

pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur tentang alat bukti, yaitu

sebagai berikut :

“Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang


Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa :
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
1) Tulisan, suara atau gambar;
2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya”.

5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang


144

dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana transnasional yang

dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi

canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan telah banyak

menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda. Hal ini

merupakan salah satu pertimbangan diundangkannya Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

mengatur tentang alat bukti dalam perkara tindak pidana narkoba, yaitu

sebagai berikut :

(1)Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud


dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2)Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
1) Tulisan, suara atau gambar;
2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
3) Huruf, tanda, angka, simbol, sandi atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya”.

Informasi yang diperoleh dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana

narkotika dapat diperoleh melalui penyadapan. Berdasarkan ketentuan

dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


145

Narkotika, penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan

penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan,

informasi dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon

dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.

6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang (money laundering) merupakan suatu upaya perbuatan

untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul tuang/dana atau

harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan

agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari

kegiatan yang sah/legal.

Aspek pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus

tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang, yang menyebutkan bahwa :

“Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang
adalah :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
dan/atau
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa
optik dan dokumen”.
146

7. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, menyebutkan

bahwa :

“Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pendanaan


terorisme ialah :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa
optik; dan/atau
c. Dokumen”

Pengertian dokumen disebutkan dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme, yaitu :

“Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,


dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik
apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada :
a. Tulisan, suara atau gambar;
b. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; dan
c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Penggunaan audio visual dalam pemeriksaan saksi dan ahli juga

disebutkan secara tegas dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme, yang menyebutkan bahwa :


147

“Pemeriksaan saksi dan ahli di sidang pengadilan terhadap tindak pidana

pendanaan terorisme dapat dilakukan melalui komunikasi jarak jauh

dengan media audio visual yang disesuaikan dengan kebutuhan dan

kondisi yang dihadapi”.

8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan.

Hutan merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas

alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan

yang lainnya.

Hutan merupakan paru-paru dunia, oleh karena itu keberadaan hutan

sangat penting bagi seluruh makhluk hidup pada umumnya dan bagi

seluruh umat manusia pada khususnya.

Perusakan hutan menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan adalah proses, cara atau perbuatan merusak hutan

melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa ijin

atau penggunaan ijin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan

pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah

ditunjuk ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah.


148

Perusakan hutan merupakan tindak pidana. Alat bukti dalam perusakan

hutan yang dapat diajukan ke pengadilan disebutkan dalam Pasal 37

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, yaitu :

“Alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan, meliputi :


a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana; dan/atau
b. Alat bukti lain berupa:
1. Informasi elektronik
2. Dokumen elektronik; dan/atau
3. Peta”

9.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk

itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu pertimbangan pemerintah untuk mengundangkan Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah bahwa Hak

Cipta merupakan kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan dan

sastra yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung

pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana

diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Perkembangan teknologi yang sangat pesat dewasa ini ternyata tidak

hanya menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Salah


149

satu dampak negatif dari perkembangan teknologi adalah meningkatkan

berbagai tindak pidana, termasuk tindak pidana di bidang Hak Cipta.

Apabila terjadi tindak pidana di bidang Hak Cipta tentu memerlukan

pembuktian dan alat bukti tertentu. Pembuktian dan alat bukti terkait

tindak pidana di bidang Hak Cipta diatur dalam Pasal 111 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan

bahwa :

(1) Pembuktian yang dilakukan dalam proses pemeriksaan di tingkat


penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik diakui sebagai alat
bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana dengan merujuk pada Pasal

184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) adalah : 1) keterangan saksi; 2) keterangan ahli;3) surat; 4) petunjuk; 5)

keterangan terdakwa. Sistem pembuktian dalam Hukum Acara Pidana menganut

stelsel negatief wettlijk, artinya hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-

undang yang dapat digunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa alat bukti di

luar ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. 110

Terkait dengan hal tersebut, Yahya Harahap berpendapat bahwa Pasal 184

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menentukan

110
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2003, Hlm. 19.
150

secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Oleh karena itu, di luar

alat bukti tersebut tidak dibenarkan digunakan untuk membuktikan kesalahan

terdakwa. Dengan demikian, Ketua Sidang, Penuntut Umum, Terdakwa atau

Penasihat Hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan menggunakan alat-alat

bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) tersebut. Kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat bukti

tersebut.

Namun, dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,

maka pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya diadakan perubahan dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44

huruf b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya

merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara

yang berlaku di Indonesia, yaitu perluasan dari Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perluasan di sini maksudnya adalah : 1)

Menambah alat bukti yang telah diatur dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia,

misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti elektronik menambah jenis
151

alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan 2)

Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam Hukum Acara Pidana di

Indonesia, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Hasil cetak dari informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti surat

yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 111

Informasi dan/atau dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti elektronik

karena keberadaan informasi dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui

sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap

penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama dalam hal

pembuktian dan yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan dengan

menggunakan sistem elektronik.

Terkait dengan hal tersebut kiranya perlu diperhatikan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menjelaskan hal sebagai berikut :

“Frase “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5


ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka
penegakkan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi
penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.

Komisaris Besar (Kombes) Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar berpendapat

bahwa pada praktiknya di kalangan penegak hukum (Hakim dan Jaksa) terdapat 2

111
Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana,
(Jakarta : Tatanusa, 2012), Hlm 98.
152

(dua) pendapat yang berbeda mengenai alat bukti elektronik. Pendapat pertama

memposisikan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti keenam,

sedangkan pendapat kedua memposisikan alat bukti elektronik sebagai perluasan dari

alat bukti berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Komisaris Besar (Kombes) Polisi

Muhammad Nuh Al-Azhar, kedua pendapat tersebut tidak salah, yang terpenting

adalah alat bukti tersebut didapat secara sah.

Komisaris Besar (Kombes) Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar selanjutnya

menyatakan bahwa ahli digital forensic akan menentukan keabsahan suatu alat bukti

elektronik di persidangan. Pendapat ini didasari oleh adanya prinsip bahwa every

evidence can talk. Ahli digital forensic dapat membuat alat bukti elektronik

“berbicara”. Rekonstruksi alaat bukti elektronik akan dilakukan berdasarkan

penjelasan ahli digital forensic dan hal inilah yang akan membuat terang jalannya

persidangan. Seiring dengan berjalannya perkembangan teknologi informasi yang

sangat pesat maka eksistensi seorang ahli digital forensic akan sangat dibutuhkan.112

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut terkait dengan alat bukti

elektronik, terdapat 2 (dua) pendapat tentang alat bukti elektronik dan dokumen

elektronik, yaitu sebagai berikut :

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa bukti elektronik dikategorikan sebagai

bukti yang sudah ada, artinya tidak berdiri sendiri.

112
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta : Sinar Graafika,
2010), Hlm. 79.
153

Hal ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang

Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa alat bukti elektronik

merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dokumen

elektronik dalam hal ini merupakan bagian dari dokumen perusahaan dan

dokumen perusahaan merupakan bagian dari alat bukti surat.

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan secara tegas bahwa alat

bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah yang berupa

petunjuk. Hal ini terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Pendapat kedua sebaliknya menyatakan bahwa alat bukti elektronik

merupakan alat bukti yang berdiri sendiri di luar ketentuan dalam Pasal 184

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Alat bukti elektronik diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang ITE, alat bukti

informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetakannya merupakan

perluasan alat bukti berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seharusnya tidak perlu dipertentangkan lagi

mengenai alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil
154

cetakannya, apakah merupa kan perluasan alat bukti surat atau alat bukti petunjuk

atau bukan, karena pada dasarnya alat bukti informasi elektronik dan hasil cetaknya

merupakan penambahan alat bukti baru selain yang terdapat dalam Undang-Undang

ITE.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa alat bukti dalam

pembuktian perkara pidana terdiri dari 5 (lima) alat bukti yang diatur dalam Pasal

184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan 1 (satu) alat bukti

yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang ITE, yaitu sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti pertama yang disebut dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Umumnya, tidak ada perkara

yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara

pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan saksi.

Menurut Waluyadi, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri.113

2. Keterangan Ahli

Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan, bahwa :

113
Waluyadi, Pengetahuan Hukum, Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus),
(Bandung :Mandar Maju, 1999, Hlm 47.
155

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh orang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara

pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Selanjutnya, Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan, bahwa :

“Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur secara

khusus mengenai syarat apa didengarkannya keterangan ahli di dalam

pemeriksaan di pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) hanya menekankan bahwa selama seseorang memiliki keahlian khusus

mengenai hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan

diajukan oleh pihak-pihak tertentu maka keterangan tersebut akan didengar untuk

kepentingan pemeriksaan.

Pendapat lain menyebutkan bahwa keterangan ahli adalah suatu penghargaan

dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan

keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan maka

sebelum memberikan keterangan maka ahli yang bersangkutan harus

mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.

Tim Pengkaji Kejakaan Republik Indonesia dalam artikel yang berjudul Peranan

Alat Bukti Keterangan Ahli dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

menyatakan bahwa seorang ahli dalam memberikan keterangan bukan mengenai

segala hal yang dilihat, didengar atau dialami sendiri melainkan mengenai hal-hal
156

yang menjadi atau di bidang keahliannya yang berhubungan dengan perkara yang

sedang diperiksa.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menyebutkan

dengan jelas definisi dari ahli, oleh karena itu dengan perkembangan teknologi,

terutama teknologi informasi yang semakin cepat maka akan semakin banyak

keahlian yang dapat membuat terangnya suatu persidangan.

Seorang ahli pada umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya, baik

formal maupun non formal,oleh karena itu tidak perlu ditentukan adanya

pendidikan formal. Sepanjang sudah diakui keahliannya maka Hakim yang akan

menentukan seorang ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya.

3. Surat

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa surat adalah segala sesuatu yang

memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau

untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan

definisi yang jelas terkait dengan alat bukti surat, hanya memberi penjelasan

bahwa surat sebagai alat bukti harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan

dengan sumpah. Berdasarkan hal tersebut maka yang dapat dikategorikan sebagai

alat bukti surat hanya surat yang dibuat di atas sumpah jabatan atau yang

dikuatkan dengan sumpah. Di luar kedua syarat tersebut maka tidak dapat

dikategorikan sebagai alat bukti surat.


157

4. Petunjuk

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan/atau keadaan

yang karena kesesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana

dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat

dan keterangan terdakwa.

Jika tidak ada hambatan maka alat bukti petunjuk akan diganti dengan alat

bukti pengamatan Hakim selama sidang yang sudah tercantum dalam draft revisi

atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

Menurut Andi Hamzah, perubahan alat bukti penunjuk menjadi alat bukti

pengamatan Hakim dikarenakan sebenarnya alat bukti petunjuk secara teknis

tidak ada. Selain itu, pengertian pengamatan Hakim lebih luas daripada

pengertian petunjuk. Berdasarkan alat bukti pengamatan Hakim maka Hakim

dapat mengambil kesimpulannya berdasarkan pengamatan selama persidangan.

Andi Hamzah selanjutnya menyatakan bahwa sebelum melakukan usulan

tersebut telah dilakukan studi banding ke beberapa negara, misalnya Belanda,

Amerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon. Di Belanda, alat bukti petunjuk

telah dihapus sejak 70 (tujuh puluh) tahun yang lalu dan diganti dengan

pengamatan Hakim. Sedangkan di Amerika Serikat dan negara-negara Anglo

Saxon, indication bukan merupakan alat bukti, yang menjadi alat bukti adalah

judicial notice.
158

5. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang

pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia

alami sendiri. Keterangan terdakwa tidak sama dengan pengakuan karena

pengakuan sebagai alat bukti harus memenuhi syarat-syarat, diantaranya adalah :

a) mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan; dan b) mengaku ia

bersalah.

Oleh karena itu keterangan terdakwa ditafsirkan sebagai keterangan yang

bernilai sebagai pengakuan atau penyangkalan dan hal tersebut dapat dijadikan

sebagai alat bukti, yang terpenting adalah bahwa keterangan tersebut dinyatakan

di sidang pengadilan.

Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam Hukum Acara

Pidana selamanya tetap diperlukan walaupun terdakwa mengakui tindak pidana

yang didakwakan kepadanya. Oleh karena itu, seandainya terdakwa mengakui

kesalahan yang didakwakan kepadanya maka Penuntut Umum dan persidangan

tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat

bukti yang lain. Pengakuan bersalah dari terdakwa tidak melenyapkan kewajiban

Penuntut Umum dan persidangan untuk menambah dan menyempurnakan

pengakuan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal

189 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

menyebutkan, bahwa :
159

“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.

6. Informasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya.

Kekuatan alat bukti dalam Hukum Acara Pidana pada dasarnya adalah sama,

tidak ada alat bukti yang mempunyai kekuatan lebih besar dari alat bukti yang

lain. Hukum Acara Pidana tidak mengenal hierarkhi dalam kekuatan alat bukti,

namun dalam Hukum Acara Pidana terdapat ketentuan yang mensyaratkan

adanya keterkaitan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain. Oleh karena itu

Hukum Acara Pidana mengenal bukti yang bersifat pelengkap.

Hukum Pembuktian modern saat ini pada dasarnya mengenal alat bukti

universal, antara lain adalah dokumen, termasuk dokumen eletronik beserta hasil

cetaknya. Berbeda dengan alat bukti konvensional, terhadap alat bukti dokumen

elektronik yang merupakan alat bukti modern harus dilakukan verifikasi lebih

lanjut. Terdapat 3 (tiga) hal yang terkait dengan dokumen (termasuk dokumen

elektronik) sebagai alat bukti, yaitu : 1) terkait dengan keaslian dokumen tersebut

(originalitas); 2) isi dokumen atau substansinya; dan 3) mencari alat bukti lain

yang memperkuat alat bukti dokumen elektronik. Alat bukti informasi elektronik

dan dokumen elektronik sangat rentan untuk dimanipulasi sehingga keaslian alat

bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik sangat penting dalam

pembuktian.
160

B. Audio Visual Sebagai Alat Bukti

Para ahli di bidang Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, diantaranya

adalah Kyoto Ziunkey menyatakan bahwa teknologi informasi semakin

dibutuhkan dalam kehidupan manusia, oleh karena itu “you have to be married

with IT”. Hal ini menggambarkan bahwa betapa sangat pentingnya teknologi

informasi dalam kehidupan manusia. perkembangan teknologi informasi yang

sangat pesat tersebut membawa banyak perubahan yang terjadi di berbagai bidang

kehidupan manusia.114

Sejarah perkembangan teknologi informasi dimulai saat terjadinya revolusi

industri di Eropa dengan ditemukannya telegram oleh Samuel Morse pada tahun

1844. Syarat utama untuk menjadi negara modern bagi suatu negara adalah adanya

masyarakat yang memiliki akses yang sangat luas ke berbagai bentuk dan sumber

informasi.115 Teknologi pengalihan (transfer) informasi dan teknologi transformasi

informasi di abad ke-21 diperkirakan akan menjadi 2 (dua) sumber kekuatan

utama di era reformasi.116

Perkembangan dunia saat ini dibangun dengan fenomena kemajuan

teknologi informasi dan globalisasi di berbagai bidang kehidupan. Globalisasi

pada dasarnya dimulai pada awal abad ke-20, yaitu ketika terjadi revolusi

114
Kyoto Ziunkey, Megatrend 2000, (Mastchussetts : Harvard University Press, 2002), Hlm.
212.
115
Michael Coonors,The Race to the Inteligent State, (Capstone Publishing Limited, 1997),
Hlm. 11.
116
Abu Bakar Munir, Cyberlaw Policy and Challenges, (Malaysia : Butterworths
Asia,1999), Hlm. 3.
161

transportasi dan elektronika yang mempercepat dan menyebarluaskan lalu lintas

barang dan jasa antara negara yang satu dengan negara yang lainnya.

Didik J. Rachbini berpendapat bahwa teknologi informasi dan media

elektronika diangga sebagai pelopor yang akan mengintegrasikan seluruh sistem di

dunia dengan berbagai aspeknya, termasuk aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi,

keuanga dan lain-lain. Dunia akan menjadi global village yang menyatu, saling

mengetahui satu sama lain, saling terbuka dan saling bergantung. 117

Kemajuan dan perkembangan teknologi pada umumnya dan telekomunikasi,

multimedia serta teknologi informasi (telematika) pada khususnya, akhirnya akan

dapat merubah tatanan organisasi dan hubungan sosial masyarakat di berbagai

bidang, termasuk dalam bidang hukum. Saat ini, kembali teknologi memberikan

kemudahan dengan adanya audio visual, dengan teknologi audio visual maka

dalam berkomunikasi, manusia tidak hanya dapat mendengar suara orang lain

yang jauh keberadaannya melalui pesawat telepon, tetapi juga dapat melihat

gambar secara virtual orang yang diajak berkomunikasi sehingga seolah-olah

saling berhadapan.

Teknologi virtual di Indonesia sebenarnya sudah dikenal di Indonesia sejak

tahun 1990-an pada saat Soeharto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Soeharato saat itu sering tampil dalam acara “Tele Wicara” yang disiarkan secara

langsung oleh TVRI secara rutin setiap bulan. Soeharto dalam acara tersebut

117
Didik J. Rachbini, Mitos dan Implikasi Globalisasi – Catatan untuk Bidang Ekonomi dan
Keuangan, Pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul dan Grahame Thompson,
Globalisasi adalah Mitos, Jakarta : Yayasan Obor, 2001, Hlm 89.
162

menggunakan media televisi dan telepon (TVRI bekerja sama dengan Telkom)

untuk berbicara dengan rakyat yang berada di daerah lain, dengan demikian

seolah-olah rakyat berbicara dan bertatap muka secara langsung dengan

presidennya.

Perkembangan teknologi informasi di era modern saat ini menimbulkan

banyak perubahan di berbagai bidang, termasuk di bidang hukum. Salah satu

perubahan tersebut adalah penggunaan audio visual (teleconference) dalam

memberikan keterangan atau kesaksian di persidangan dalam perkara pidana. Di

satu sisi, penggunaan fasilitas ini merupakan terobosan baru dalam persidangan

perkara pidana di Indonesia, namun di sisi lain hal tersebut menimbulkan

kontroversi karana penyelenggaran audio visual dalam pemeriksaan saksi tidak

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU/2016 yang dimohonkan oleh

SN dan perdebatan tentang alat bukti CCTV pada kasus JKW memunculkan

pendapat yang pro dan kontra mengenai alat bukti CCTV di pengadilan. Hal ini

dipertajam lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa penyadapan harus dilakukan

Penyidik. Hal ini berarti bahwa apabila penyadapan tidak dilakukan oleh Penyidik

maka dianggap tidak sah.

Pembuat undang-undang seharusnya menegaskan perbedaan pengertian

antara penyadapan telekomunikasi yang berjenis audio, visual dan audio visual.
163

Ketiga jenis saluran telekomunikasi tersebut berbeda penanganannya. Penyadapan

pada awalnya hanya ditujukan pada saluran komunikasi telepon, namun dengan

perkembangan teknologi informasi maka pengertian penyadaan diperluas sejalan

dengan perkembangan bentuk bertelekomunikasi.

Pengertian penyadapan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11

Elektronik yang menyebutkan, bahwa :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik

tertentu milik orang lain”.

Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan

Transaksi Elektronik menguraikan tentang pengertian penyadapan sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk


mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau
mencatat transmisi Informasi Eklektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan nirkabel, seperti
pancaran elektromagnetik atau radio frekuensi”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka pembuat undang-undang telah

mengklasifikasi jenis-jenis penyadapan, yaitu mendengarkan, merekam,

membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat. Pembuat undang-

undang juga dalam hal ini telah melakukan perluasan pengertian penyadapan,
164

dimana penyadapan tidak terbatas pada penyadapan telepon tetapi juga

penyadapan pada berbagai bentuk saluran komunikasi.

Terkait dengan CCTV sebagai salah satu bentuk audio visual terdapat kata

kunci dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang berarti ada CCTV

yang bersifat publik dan ada yang bersifat privat.

C. Pengaturan Audio Visual sebagai Alat Bukti di Negara Lain

Meningkatnya berbagai jenis kejahatan transnasional (transnational crimes)

yang melibatkan jaringan di berbagai negara merupakan suatu permasalahan

tersendiri. Hal ini dikarenakan dalam kejahatan transnasional, para pihak yang

terlibat kejahatan tersebut pada umumnya berada di negara yang berbeda,

misalnya tersangkanya Warga Negara Indonesia (WNI), sedangkan korban adalah

Warga Negara Amerika dan lain-lain. Apabila kedua negara mempunyai perjanjian

ekstradisi, kemungkinan saksi dapat dihadirkan, namun jika tidak maka tentu akan

sulit mengadakan proses pemeriksaan dan lain-lain.

Departemen Kehakiman di berbagai negara, untuk mengantisipasi kejahatan

transnasional, seperti terorisme, perdagangan narkotika, perdagangan manusia dan

lain-lain, mengadakan kerjasama untuk mewujudkan peradilan global melalui

teknologi audio visual, pemanfaatan dokumen elektronik dan tanda tangan digital

dalam melakukan penyidikan dan pemeriksaan perkara yang melibatkan lebih dari

1 (satu) negara. Hal ini tentunya akan menghemat waktu dan biaya.
165

Saat ini sejumlah negara tengah merespon perkembangan di bidang

teknologi informasi dan komunikasi, yaitu dengan melakukan berbagai

penyesuaian serta upaya yang diharapkan akan memungkinkan negara-negara

tersebut mendapatkan berbagai manfaat yang maksimal yang ditawarkan oleh

perkembangan di bidang teknologi dan informasi itu sendiri. Respon dari berbagai

negara tersebut bermacam-macam, mulai dari melakukan pembangunan

infrastruktur teknologi informasi, peninjauan ulang dan penyesuaian terhadap

berbagai ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan. Amerika Serikat

dan Inggris misalnya, saat ini tengah membangun Infrastruktur Informasi Global

(Global Information Infrastructure/GII), Malaysia sedang membangun Super

Koridor Multimedia (Multimedia Super Coridor) dan Singapura sedang

menyiapkan SingaporeONE. 118

Berbagai infrastruktur di bidang teknologi informasi tersebut diharapkan

dapat memfasilitasi dan menawarkan berbagai potensi aplikasi yang akan sangat

bermanfaat bagi berbagai bidang, termasuk di bidang hukum. Penggunaan audio

visual di bidang hukum dapat dimanfaatkan untuk melakukan pemeriksaan

terhadap saksi, baik saksi ahli maupun terdakwa. Seluruh infrastruktur teknologi

informasi tersebut akan memenuhi dunia dengan superhighway informasi sehingga

seluruh umat manusia akan dapat berhubungan dan berkomunikasi dalam sebuah

komunitas global.

118
Andrew C.L.Ong & Partner, et.al., Your Guide to E-Commerce Law in Singapore,
(Singapore:Drew & Napier Estd, 2000), Hlm. 96.
166

1. Pengaturan Audio Visual di Singapore

Sistem Hukum Singapura tidak dapat dipisahkan dari common law system

Inggris.119 Penerimaan hukum Inggris di Singapura terjadi pada 27 November

1826 sesuai dengan Piagam Keadilan (Charter of Justice). Pada tanggal 12

November 1993, Parlemen Singapura memberlakukan Application of English

Law Act (AELA) atau Undang-Undang Penetapan Hukum Inggris. Pasal 3

Application of English Law Act (AELA) mengatur bahwa common law Inggris

sudah menjadi bagian dari hukum Singapura dan akan terus menjadi bagian dari

Hukum Singapura, selama itu berlaku untuk situasi lokal dan penduduknya

dengan berbagai perubahan yang mungkin diperlukan.120 Pasal 7 A Application

of English Law Act (AELA) menyatakan sejauh mana hukum Inggris berlaku di

Singapura.

Singapura dipisahkan dari Malaysia tahun 1965 dan menjadi negara yang

berdaulat dan independen. Undang-Undang Badan Peradilan diundangkan pada

tahun 1969 sehingga menciptakan Badan Peradilan Singapura yang terdiri dari

the Supreme Court dan the Subordinate Court. Kedua pengadilan tersebut

mengadili baik kasus perkara maupun kasus pidana. The Supreme Court terdiri

dari High Court dan Court of Appeal. Sedangkan the Subordinate Court

119
Common Law merupakan salah satu dari keluarga hukum atau tradisi hukum utama
dunia selain civil law dan socialist law .
120
Peter de Cruz, Comparative Law in a Changing World, (London –Sydney : Cavendish
Publish Limited, 1999), Hlm. 175 – 176.
167

meliputi Small Claim Tribunal, Coroner’s Court, Family and Juvenile Court,

Magistrate Court dan District Court.

Pengaturan alat bukti terdapat dalam Pasal 97 Undang-Undang Bukti

(Evidence Act) dan dalam common law. Hukum Pembuktian di Singapore

mengenal beberapa istilah terkait dengan alat bukti, yaitu : a) primary evidence

(bukti yang asli atau salinannya/tembusannya); b) secondary evidence (bukti

yang tidak asli atau bukti terbaik yang tersedia); c) direct evidence (bukti yang

langsung diberikan oleh saksi atau keterangan saksi langsung tentang fakta

yang sebenarnya dialami dan dirasakan sendiri oleh saksi); d) extrinsic

evidence (bukti yang diberikan secara lisan atau keterangan berkaitan dengan

suatu dokumen), biasanya hal ini digunakan pada bukti yang diberikan di

pengadilan oleh pembuat keterangan saksi secara tertulis; e) hearsay evidence

(bukti keterangan saksi yang tak langsung mengenai apa yang dirasakan atau

dialami yang diperoleh dari orang lain atau dokumen lain);f) oral evidence

(bukti atau keterangan yang secara lisan diberikan oleh saksi di pengadilan);

dan g) real evidence (bukti yang diambil dari, atau terdiri dari benda

material).121

Alat bukti elektronik telah dikenal Singapura sejak tahun 1960 dengan

digunakannya rekaman audio (audio recording) sebagai bukti dalam

pemeriksaan perkara di persidangan. pada tahun 1980, rekaman audio (audio

121
Edwar Wilding, Computer Evidence : a Forensic Investigation Handboek, (London
:Sweet & Maxwell, 1997), Hlm. 74.
168

recording) dan rekaman video (video recording) telah menggantikan

keterangan saksi. Pada Pasal 32 Criminal Act Tahun 1988, saksi yang berada di

luar United Kingdom dapat memberikan kesaksiannya melalui teleconference

atau sebagai bukti tertulis (documentary evidence) untuk dokumen atau data

elektronik. Hasil cetak komputer diakui sebagai alat bukti yang secara sah

diatur dalam undang-undang

Proses penyelesaian perkara melalui pengadilan (proses litigasi) di

Singapura sudah dilakukan secara elektronik (justice online system) dari mulai

pengajuan perkara sampai kepada putusan dan proses upaya hukum.

Implementasi teknologi informasi di Pengadilan secara terintegrasi di ruang-

ruang sidang dan kamar-kamar(chambers) dimulai sejak awal tahun 1995.

Pada tahun 1996, di Singapura, teleconference telah digunakan dalam

.gugatan hukum yang diajukan oleh Las Vegas Hilton Corporation. Singapura

saat ini merupakan negara pelopor dalam membangun teknologi canggih di

dalam ruang sidang. Pengadilan Singapura kemungkinan besar merupakan

pengguna terbesar dari penggunaan video conferencing.

Fasilitas video conferencing, pemeriksaan bukti dengan menggunakan

multi media dan rekaman bukti secara digital telah berhasil ditemukan dan

diperkenalkan. Electronic Files System yang diresmikan pada bulan Maret 1997

membawa Supreme Court of Singapore selangkah maju dengan menjadi a

paperless court (Pengadilan dengan Sistem Komputer). Sistem ini


169

memperbolehkan Pengacara untuk menyimpan, mencabut dan mengirimkan

berbagai dokumen dari berbagai pirikhak di mana saja.

Proses peradilan dengan sistem online (Justice Online System) sejak

tahun 2002 digunakan juga dalam pengajuan permohonan kepailitan dan

pemeriksaan awal kasus pidana. Justice Online System merupakan layanan

pengadilan yang dilakukan melalui internet sehingga para pencari keadilan

tidak perlu mendatangi gedung pengadilan untuk mengajukan gugatan atau

melengkapi berkas perkara. Pemanggilan untuk datang ke Pengadilan

diperlukan untuk pemeriksaan kebenaran dokumen dan pembuktian dalam hal

pemeriksaan saksi dan bukti-bukti lainnya.

Section 62A Evidence Act yang berkaitan dengan “Evidence through

live-video or live-television links” diterapkan juga pada proses selain proses

pidana, yaitu sebagai berikut :122

“Evidence through live video or live video links :


(1) Not withstanding any other provission of this act, a person may, with
leave of the Court, give evidence through a live video or live
television link in any proceedings, other than any proceedings in a
criminal matter, if :
(a) The witness is below the age of 16 years;
(b) It is expressly agreed between the parties to the proceedings that
evidence may be so given;
(c) The witness is outside Singapore; or
(d) The Court is satisfied that it is expedient in the interest of justice
to do so.
(2) In considering whether to grant leave for a wittness outside
Singapore to give evidence by live video or live television link under

122
N.N., Supreme Court of Singapore, Hall of Justice, (Singapore: Typeset in Garamond
Colourscan Co. Ptd. Ltd, 2006), Hlm. 45.
170

this section, the Court shall have regard to all the circumstances of
the case including the following :
(a) The reasons for the witness being unable to give evidence in
Singapore;
(b) The administrative and technical facilities and arrangements
made at the place where the witness is to give his evidence; and
(c) Whether any party to the proceedings would be unfairly
prejudiced”.

Berkaitan dengan hasil keluaran komputer (computer output) sebagai alat

bukti dalam pemeriksaan perkara pidana dan perdata telah diatur dalam The

Evidence Act of Singapore (Amandement) 1996. Section 35 The Evidence Act

of Singapore (Amandement) 1996 menyebutkan bahwa keluaran komputer

diakui sebagai alat bukti yang sah menurut hukum dan mempunyai kekuatan

pembuktian. Keluaran komputer yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) The

Evidence Act of Singapore (Amandement) 1996 adalah sebagai berikut :

“Computer output means a statement or representation (whether in

audio, visual, graphical, multi-media, printed, pictorial, written or any

other form), which : a.Produced by a computer, or b. Accurately

translated from a statement or representation so produced”.

2. Pengaturan Audio Visual di Inggris

Berdasarkan Hukum Inggris, pemberian bukti melalui video conferencing

secara tegas telah diatur dalam Statuta Roma. Prosedur untuk video

conferencing telah ditetapkan melalui Practice Direction. Berdasarkan the

Civil Procedure Rules, Rule 32 (3) provides that “The Court may allow the
171

witness to give evidence through a video link or by other means” and the

Practice Direction - Written evidence, Para 29.I and the Annexure to it

provide the mode how video conrefencing can be uilized to give evidence.”

Selain itu, berdasarkan Section 32 of The Criminal Justice Act,

dinyatakan bahwa untuk pembuktian dengan menggunakan television link,

yaitu :

“Clause (1) of this sub section states that “(1) A person other than the
accused may give evidence through a live television link in proceedings
before Service Courts if :
(a) The witness is outside the United Kingdom;or
(b) The witness is a child or is to be cross-examined following the
admission under Section 32S below of a video recording of testimony
from him, and the offence is one to which sub-section (2) below
applies, but evidence may no be so given without the leave of the
court”.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka video conferencing diperbolehkan

berdasarkan hukum Inggris tetapi dengan ijin Pengadilan yang wajib dipenuhi.

Hukum Pembuktian di Inggris juga menyatakan, bahwa :

(1)Bukti komputer dapat diterima harus dapat dibuktikan bahwa

komputer bekerja di bawah perintah pada waktu yang berkaitan.

(2)Bagaimanapun hanya terdapat 1 (satu) jalan untuk mempercayai bukti

komputer adalah harus ditandatangai oleh seseorang yang bertanggung

jawab atas penggunaan komputer tersebut.


172

3. Pengaturan Audio Visual di Belanda

Alat bukti berdasarkan Pasal 339 Ned. Sv Belanda adalah sebagai berikut:

a. Eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh Hakim).

b. Verklaringen van de verdacte (keterangan terdakwa).

c. Verklaringen van een getuige (keterangan saksi).

d. Verklaringen van een deskundige ( keterangan seorang ahli).

e. Schriftelijke bescheiden (surat-surat).

4. Pengaturan Audio Visual di Amerika Serikat

Alat bukti menurut Criminal Procedure Law yang disebut form evidence,

terdiri dari :

a. Real evidence (bukti nyata).

b. Documentary evidence (bukti dokumen).

c. Testimonial evidence (bukti saksi).

d. Judicial evidence (pengamatan Hakim).

Amerika Serikat baru-baru ini telah berhasil menyelesaikan amandemen

Code of Criminal Procedure yang mengatur pemanfaatan media

teleconference untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi, saksi ahli dan

terdakwa yang berada di wilayah negara Amerika Serikat.

Sebelumnya, pengadilan banding 4 th Circuit Amerika Serikat dalam

kasus United States vs Baker memutuskan bahwa penggunaan perangkat

video untuk menghubungkan secara visual antara terdakwa, Pengacara dan


173

Hakim yang secara fisik saling terpisah dalam pemeriksaan persidangan

dianggap memenuhi ketentuan proses pemeriksaan terhadap terdakwa. Kasus

ini merupakan kasus pertama di Amerika Serikat terkait penggunaan audio

visual dan merupakan hasil studi percontohan yang direkomendasikan oleh

United State Yudicial Conference yang dilaksanakan untuk menguji kelayakan

penggunaan audio visual dalam proses persidangan.

Pada bulan April 2000, di Pengadilan New Jersey telah dipasang salah

satu jaringan videoconference terbesar untuk sistem pengadilannya. Paling

tidak terdapat 22 negara bagian Amerika Serikat yang menggunakan atau

mengijinkan proses videoconference di ruang sidang.

D. Perkara Tindak Pidana Umum yang Menggunakan Audio Visual sebagai

Alat Bukti dalam Persidangan

1. Kasus Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak

Dede Rohayati adalah seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang

bekerja di rumah Thahir Hakim dan Rostina Sitorus yang memiliki 3 (tiga)

orang anak, yaitu Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe (6 tahun), Azka

Elhamidi Dalimunthe (2 tahun) dan seorang bayi berumur 3 (tiga) bulan. Dede

Rohayati pada hari Rabu, tanggal 17 Oktober 2018 melakukan tindakan

pelecehan seksual atau pencabulan terhadap Alkhalifi Fawwazi Usman

Dalimunthe.
174

Awalnya, Dede Rohayati membuka celana Alkhalifi Fawwazi Usman

Dalimunthe sampai sebatas paha, kemudian memegang penis dan mengambil

foto penis Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe dengan menggunakan

kameranya. Dede Rohayati menaikkan kembali celana Alkhalifi Fawwazi

Usman Dalimunthe karena Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang lain, yaitu

Saribah memasuki ruangan karena mendengar suara bayi, adik Alkhalifi

Fawwazi Usman Dalimunthe menangis.

Dede Rohayati kembali mengulangi tindakan pelecehan seksual atau

pencabulan terhadap Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe, bahkan hingga

mengulum penis Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe, memotret Alkhalifi

Fawwazi Usman Dalimunthe dan memotret dirinya sendiri pada saat sedang

mengulum penis Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe.

Kejadian tersebut langsung diketahui oleh Rostina Sitorus yang saat itu

sedang bekerja, melalui rekaman CCTV yang ada di rumah dengan cara

streming melalui handphone Rostina Sitorus. Rostina Sitorus kemudian

langsung menghubungi Thahir Hakim, memanggil Dede Rohayati dan menyita

handphone Dede Rohayati.

Dede Rohayati ternyata telah berkali-kali melakukan tindakan pelecehan

seksual atau pencabulan terhadap Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe. Dede

Rohayati juga seringkali membentak, mencubit dan menendang kaki kiri

Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe apabila Alkhalifi Fawwazi Usman

Dalimunthe menolak tindakan Dede Rohayati. Thahir Hakim dan Rostina


175

Sitorus sebagai orang tua dari Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe kemudian

langsung melaporkan kejadian tersebut ke Polres Metro Jakarta Selatan.

Pada saat persidangan, alat bukti yang diajukan adalah :

a. 1 (satu) buah baju koko;

b. 1 (satu) buah calana dalam berwarna putih bergaris bergambar boneka;

c. 1 (satu) buah celana pendek;

d. 1 (satu) unit handphone bermerk Advan;

e. 1 (satu) buah flasdisk rekaman CCTV. Alat bukti yang diajukan ke

persidangan telah sah disita secara sah menurut hukum oleh karena itu

dapat diajukan sebagai alat bukti di depan persidangan.

Berdasarkan fakta yang terungkap di depan persidangan berupa

keterangan saksi (Thahir Hakim, Rostina Sitorus, Saribah) dan keterangan

terdakwa (Dede Rohayati) dan dihubungkan dengan barang bukti yang ada

maka Dede Rohayati terbukti melakukan tindak pidana, yaitu melanggar Pasal

82 ayat (1) juncto Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,

atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul”.
176

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka perbuatan Dede Rohayati

terhadap Alkhalifi Fawwazi Usman Dalimunthe telah memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut :

a. Setiap Orang

b. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan

tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 82 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2016, menyebutkan bahwa :

“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 15(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5

Miliar”.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak memberikan

definisi dari kata cabul. Menurut pendapat R. Soesilo, perbuatan cabul adalah

segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji,

semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya cium-ciuman,

meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.

2. Kasus Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor

Hadi Ismail dan Nasrudin alias Udin telah melakukan tindak pidana pencurian

di beberapa tempat, diantaranya :


177

a. Melakukan tindak pidana pencurian pada hari Kamis tanggal 15 November

2018 sekitar jam 11.20 WIB di depan toko Raihan Dudun, jalan Jagakarsa

Rt005/002, kel Jagakarsa, kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Barang

yang dicuri adalah 1 (satu) unit sepeda motor jenis Honda Beat milik

Muklisin.

b. Melakukan tindak pidana pencurian pada hari Kamis tanggal 15 November

2018 sekitar jam 10.30 WIB di depan toko sembako 17, jalan Kebagusan.

Barang yang dicuri yaitu 1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat milik

Mar’atun Soleha.

c. Melakukan tindak pidana pencurian pada hari Rabu tanggal 14 November

2018 sekitar jam 12.20 WIB di parkiran Indomaret, jalan Pinang Raya,

kelurahan Pondok Labu, kecamatan Cilandak Jakarta Selatan. Barang yang

dicuri adalah 1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat milik Hayati Maulani.

d. Melakukan tindak pidana pencurian pada hari Rabu tanggal 14 November

2018 sekitar jam 16.00 WIB di depan Sekolah Dasar (SD) 01 Cilandak,

jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Barang yang dicuri adalah 1 (satu) unit

sepeda motor merk Yamaha Vixion milik Amir.

Alat bukti yang diajukan ke persidangan antara lain adalah :

a. Keterangan saksi, yaitu para pihak yang motornya dicuri oleh pelaku,

penadah motor curian, joki sepeda motor hasil curian, angota Kepolisian

Republik Indonesia (Polri) yang melakukan penangkapan terhadap Hadi

Ismail dan Nasrudin alias Udin.


178

b. Keterangan terdakwa, yaitu Hadi Ismail dan Nasrudin alias Udin.

c. Petunjuk, yaitu adanya kesesuaian antara keterangan saksi, keterangan

terdakwa dan barang bukti di persidangan.

d. Barang bukti.

Barang bukti yang ke persidangan adalah :

1) 1 (satu) lembar Surat Keterangan Kepemilikan Kendaraan Bermotor dari

leasing FIF Group.

2) 1 (satu) lembar surat keterangan jaminan dari leasing dar PT Summit Oto

Finance Kantor Cabang Fatmawati.

3) 1 (satu) lembar STNK sepeda motor Yamaha Vixion.

4) 1 (satu) unit sepeda motor merek Honda Beat.

5) 1 (satu) buah kunci Letter T berikut 11 (sebelas) anak kunciny

6) 2 (dua) buah alat magnet buka tutup kontak.

7) 1 (satu) pucuk senjata api jenis Revolver.

8) 1 (satu) buah tas selempang

9) 1 (satu) buah handphone merk Samsung warna hitam.

10) 1 (satu) buah handphone merek Samsung warna putih

11) 1 (satu) buah handphone merk Nokia XL.

12) 1 (buah) flashdisk berisi rekaman CCTV pencurian sepeda motor pada

tanggal 14 November 2018.

Berdasarkan barang bukti yang diajukan ke persidangan yang telah disita sah

menurut hukum dan fakta yang terungkap di persidangan, baik berupa


179

keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun surat maka Hadi Ismail dan

Nasrudin alias Udin didakwa telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 363

ayat (1) ke-4 dan ke-5, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

a. Barang siapa.

b. Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang

lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

c. Yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih.

d. Yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada

barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat,

atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan

palsu.

3. Kasus Tindak Pidana Pembunuhan terhadap Munir

Dalam Putusan Nomor 1185 K/Pid/2006. Polly Carpus Budihari Priyanto yang

berprofesi sebagai Pilot di maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways

didakwa telah melakukan perbuatan dengan sengaja dan direncanakan terlebih

dahulu dengan menghilangkan jiwa Munir yang merupakan Ketua Dewan

Pengurus Kontras dan Direktur Eksekutif Imparsial, dengan cara memberikan

minuman orange juice yang telah dicampur dengan racun arsen. Perbuatan

tersebut dilakukan oleh Polly Carpus Budihari Priyanto di dalam pesawat

Garuda Indonesia Airways dengan nomor penerbangan GA-974 dengan tujuan

Singapura.
180

Polly Carpus Budihari Priyanto dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan menggunakan surat palsu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) juncto Pasal55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dan Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Barang bukti yang diajukan ke persidangan di Pengadilan Tinggi Daerah

Khusus Ibukota (DKI) adalah sebagai berikut :

a. 1 (satu) lembar asli surat dengan kop Garuda Indonesia Nomor

GARUDA/DZ-2270/04 tanggal 11 Agustus 2004 perihal Surat Penugasan

yang ditujukan kepada Polly Carpus Budihari Priyanto/522659 Unit Flight

Operation (JKTOFGA) dan ditandatangani oleh Indra Setiawan selaku

Direktur Utama PT Garuda Indonesia.

b. 1 (satu) lembar asli Surat Interoffice Correspondence dengan kop Garuda

Indonesia yang ditujukan kepada OFA No. Ref : IS/1177/04 tanggal 4

September 2004, penugasan yang ditandatangani oleh M. Ramelgia Anwar

(Vice Corporate Security).

c. 1 (satu) lembar asli Surat Interoffice Correspondence dengan kop Garuda

Indonesia yang ditujukan kepada OFA Nomor Ref : IS/1174/04 tanggal 15

September 2004 perihal penugasan yang ditandatangani oleh M. Ramelgia

Anwar (Vice Corporate Security) dengan Nomor Seri 00781.


181

d. 3 (tiga) lembar asli surat tanggal 8 September 2004 yang ditandatangani

oleh Polly Carpus Budihari Priyanto BHP yang ditujukan kepada Bapak VP

Corporate Security PT Garuda Indonesia.

e. 2 (dua) lembar asli surat tanggal 8 September 2004 yang ditandatangani

oleh Polly Carpus Budihari Priyanto yang ditujukan kepada Manager

Operasi Penerbangan PT Garuda Indonesia.

f. 1 (satu) bundel asli surat tanggal 8 September 2004 yang ditujukan kepada

Bapak VP Corporate Security PT Garuda Indonesia yang ditandatangani

oleh Polly Carpus Budihari Priyanto/522659 tentang Laporan Penugasan

PDZ-2270/04

g. 1 (satu) lembar asli Tax Invoice Novotel Apollo Singapore atas nama Polly

Carpus Budihari Priyanto F/O Garuda GA 826 Room No.1618 tiba tanggal

6 September 2004 berangkat tanggal 7 September 2004.

h. Monthly Schedule Original atas nama Polly Carpus Budihari Priyanto

tanggal 1 Agustus sampai dengan 26 September 2004.

i. 1 (satu) buah ID Card asli atas nama Polly Carpus Budihari Priyanto No.

522659 Jabatan Aviation Security dikeluarkan pada tanggal 16 Juni 2004

yang ditandatangani oleh VP HR Management Daan Achmad.

j. 1 (satu) eksemplar asli General Declaration penerbangan Singapura –

Amsterdam tanggal 7 September 2004.

k. 1 (satu) lembar photo copy surat dari Chief Pilot A 330 yang ditandatangani

oleh Rohanil Aini Nota OFA/210/04 tanggal 31 Agustus 2004 perihal


182

mohon perubahan atas perubahan jadwal penerbangan atas nama Polly

Carpus Budihari Priyanto.

l. 1 (satu) lembar photocopy surat dari Chief Pilot A 330 yang ditandatangani

oleh Rohanil Aini Nota OFA/219/04 tanggal 6 September 2004 perihal

mohon perubahan atas jadwal penerbangan atas nama Polly Carpus

Budihari Priyanto.

m. 1 (satu) bundel asli Kininklijke Merechaussee Distric Schipol Algemene

Recherche, Dossier Onderzoek Niet Batuurlijke Dood Munir Geboren:08-

12-1965 te Malang, Indonesia.

n. Copy surat Verslag Betreffende een Niet Natuurlijke Dood yang dikeluarkan

oleh HB Dammen selaku de officer van Justitie in het Arrondissement

Haarlem, 7 September2004.

o. Surat Voorlopige Bevindungen yang dikeluarkan oleh dr R. Visser selaku

Phatoloog dari Menisterie van Justitie-Nederlands Forensich Instituut di

Rijkwijk 8 September 2004.

p. 16 (enam belas) halaman berisi foto-foto jenazah Munir selama Sectie

tanggal 8 September 2004.

q. Surat dari dr Visser dari NFI kepada Mr. E. Visser, pejabat

Arrondissementsparket Harleem tanggal 13 Oktober 2004.

r. Surat hasil pemeriksaan postmortem Pro Justitia No. 04-419/R/102 dibuat

oleh dr R. Vissser dari Ministrie van Justitie – Nederlands Forensich

Instituut tanggal 13 Oktober 2004.


183

s. Surat Deskundigenrapport, voorlopig rapport, yang dikeluarkan oleh dr

K.J. Lusthov, apotheker – toxicoloog dari Minstrie van Justitie –Nederlands

Forensich Instituut, Zaaknumer 2004.09.0.8.036, Uw Kenmerk BPS/XPOL

Nummer : PL278C/04-08133, Sectie Nummer : 2004419, tanggal 1 Oktober

2004.

t. Surat Deskundigenrapport, voorlopig rapport yang dikeluarkan oleh dr.

K.J. Lushtov, apotheker – toxicoolog, dari Ministrie van Justitie –

Nederlands Forensich Instituut, Zaaknummer 2004.09.08.036 Uw Kenmerk

BPS/XPOL Nummer : PL278C/04-08133, Sectie Nummer : 2004419,

tanggal 4 November 2004.

u. Copy Surat Tanda Penyerahan berkas yang sudah dilegalisirdari Ministrie

van Justitie kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia tanggal 25

November 2004.

v. 1 (satu) eksemplar photo copy dilegalisir General Declaration penerbangan

Jakarta – Singapura tanggal 6 September 2004.

w. 1 (satu) buah buku Memo Pad milik Polly Carpus Budihari Priyanto.

x. 1 (satu) buah handphone merk Nokia casing coklat hitam berikut nomor

kartu (Sim Card) nomor 081596690617.

y. Handphone merk Nokia 9210, CE 168 type RAE-3N.

z. Sim Car Nomor Telkomsel Nomor 6210100013006566.

aa. Pakaian yang dikenakan Munir pada penerbangan Jakarta – Singapura –

Amsterdam.
184

bb. Note Book merk Acer Travel Mate seri 4000 model ZL berikut tasnya.

4. Kasus Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan oleh Jessica Kumala

Wongso

Dalam Putusan Nomor 498 K/PID/2017. Jessica Kumala Wongso pada hari

Rabu tanggal 6 Januari 2016 di Restaurant Olivier, West Mall, Ground Floor,

Grand Indonesia, kelurahan Kebon Kacang, kecamatan Tanah Abang, Jakarta

Pusat, dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa

Wayan Mirna Salihin, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Jessica Kumala Wongso berteman dengan Wayan Mirna Salihin, Boon

Juwita alias Hani dan Vera Rusli di kampus Billy Blue Collage of Design,

Australia. Pada sekitar pertengahan tahun 2015, Wayan Mirna Salihin

menyarankan agar Jessica Kumala Wongso putus dengan pacaranya. Sarana

tersebut membuat Jessica Kumala Wongso merasa sakit hati dan

memutuskan komunikasi dengan Wayan Mirna Salihin.

b. Jessica Kumala Wongso kemudian ternyata memang putus dengan pacarnya

dan terlibat beberapa peristiwa hukum yang melibatkan pihak kepolisian

Australia. Hal ini membuat Jessica Kumala Wongso semakin merasa sakit

hati dan mempunyai keinginan untuk membalas sakit hatinya dengan

menghilangkan nyawa Wayan Mirna Salihin.

c. Jessica Kumala Wongso kemudian berusaha untuk kembali menjalin

komunikasi dengan Wayan Mirna Solihin melalui aplikasi WhatsApp (WA)


185

pada tanggal 5 Desember 2015 pada saat Jessica Kumala Wongso dalam

perjalanan dari Australia ke Indonesia.

d. Jessica Kumala Wongsotiba di Indonesia pada tanggal 6 Desember 2015

dan pada 7 Desember 2015 kembali menghubungi Wayan Mirna Solihin.

Wayan Mirna Solihin merespon komunikasi dari Jessica Kumala Wongso.

Jessica Kumala Wongso kemudian bertemu dengan Wayan Mirna Solihin

yang ditemani oleh suaminya, Arief Setiawan Soemarko.

e. Jessica Kumala Wongso kemudian meminta Wayan Mirna Solihin untuk

membuat Group Whatsapp (WA) yang anggotanya terdiri dari Jessica

Kumala Wongso, Wayan Solihin, Boon Juwita alias Hani. Jessica Kumala

Wongso melalui percakapan di Group Whatsapp (WA) mengajak Wayan

Mirna Salihin untuk kembali bertemu pada tanggal 6 Januari 2016 pukul

18.30 WIB di Restaurant Olivier, West Mall, Ground Floor, Grand

Indonesia, kelurahan Kebon Kacang, kecamatan Tanah Abang, Jakarta

Pusat.

f. Pada hari Rabu tanggal 6 Januari 2015, Jessica Kumala Wongso

mempersiapkan diri untuk mewujudkan rencananya pada pukul 12.58 WIB.

Jessica Kumala Wongso melalui group WhatsApp (WA) mengatakan akan

mentraktir Wayan Mirna Salihin, Hani dan Vera. Jessica Kumala Wongso

berinisiatif untuk memesankan Vietnamese Iced Coffe (VIC) yang

merupakan minuman kesukaan Wayan Mirna Salihin.


186

g. Jessica Kumala Wongso sampai di Restaurant Olivier pada pukul 15.30

WIB dan langsung memesan tempat untuk 4 (empat) orang di area tidak

merokok (no smoking area). Jessica Kumala Wongso selanjutnya

mengawasi keadaan di Restaurant Olivier tersebut.

h. Jessica Kumala Wongso kemudian membeli 3 (tiga) buah sabun di toko

Bath and Body Works di Lantai 1, WestMall, Grand Indonesia. ketiga buah

sabun tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam 3 (tiga) paper bag.

i. Jessica Kumala Wongso kembali ke Restaurant Olivier pada pukul 16.14

WIB dan langsung meletakkan 3 (tiga) paper bag berisi sabun di atas meja,

memesan minuman VIC untuk Wayan Mirna Solihin dan 2 (dua) coctail

serta langsung membayar (closed bill).

j. Minuman yang telah dipesan oleh Jessica Kumala Wongso diantarkan oleh

Marlon pada sekitar pukul 16.28 WIB.

k. Jessica Kumala Wongso dalam rentang waktu antara pukul 16.30 – 16.45

WIB memasukkan racun Natrium Sianida (NaCN) ke dalam gelas VIC.

l. Sekitar pukul 17.18 WIB, Wayan Mirna Salihin dan Hani datang ke

Restaurant Oliavier dan langsung meminum VIC yang telah dipesan dan

telah dimasukkan racun Natrium Sianida (NaCN). Wayan Mirna Salihun

kepala tersandar ke arah belakang sofa dan dengan mulut yang berbuih,

pandangan mata kosong serta kejang-kejang. Hani berusaha untuk

membangunkan dengan memanggil nama Wayan Mirna Salihin, tetapi

Jessica Kumala Wongso hanya duduk diam dan tidak bereaksi.


187

m. Wayan Mirna Salihin kemudian dibawa ke klinik Damayanti cabang Grand

Indonesia, Jakarta Pusat. Dokter umum pada klinik Damayanti, yaitu dr

Andr Yosua melihat kondisi Wayan Mirna Salihin seperti orang pingsan,

badan agak kaku tetapi masih hidup. Wayan Mirna Salihin selanjutnya di

bawa ke RS Abdi Waluyo di jalan H.O.S. Cokroaminoto 31 – 33, Menteng

Jakarta Pusat.

n. Wayan Mirna Salihin tiba di RS Abdi Waluyo sekitar pukul 18.30 WIB dan

diperiksa oleh dr Adiyanto selaku dokter jaga. Saat itu, kondisi Wayan

Mirna Solihin sudah tidak bernafat, tidak ada denyut jantung dan denyut

nadi tidak teraba, namun dr Adiyanto tetap melakukan tindakan medis

kepada Wayan Mirna Salihin berupa bantuan nafas dan resusitasi (pompa

jantung dan paru-paru) selama 15 (lima belas menit). Namun usaha tersebut

tidak berhasil dan Wayan Mirna Salihin dinyatakan meninggal dunia pada

pukul 18.30 WIB, sebagaimana Surat Rumah Sakit Abdi Waluyo Nomor

004/DIR/RSAW/I/2016 tanggal 11 Januari 2016 yang berisi Resume Medis

atas nama Wayan Mirna Salihin.

o. Perbuatan Jessica Kumala Wongso telah menyebabkan meninggalnya

Wayan Mirna Salihin sesuai dengan Visum et Repertum (VeR) Nomor Pol.

R/007/1/2016/Rumkit.Bhay.Tk.1 tanggal 10 Januari 2016 yang dibuat dan

ditandatangani oleh dr Arief Wahyono, Sp.F dan dr Slamet Poernomo,

Sp.F., DFM.
188

p. Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti

menyebutkan bahwa Sisa Minuman dan Organ Cairan Tubuh Nomor Lab :

086.A/KTA/2016 pada hari Kamis tanggal 21 Januari 2016 yang

ditandatangani oleh Dra Noordayati, Azhar Darlan, M.Si, Helmiyadi, S.Si,

Eti Susanti, A.Md. Farm., dan diketahui oleh Dr Nursamran Subandi, M.Si

selaku Kabid KIMBIOFOR pada Pusat Laboratorium Forensik Badan

Reserse Kriminal Polri, dengan kesimpulan sebagai berikut :

1) Pada BB I (Minuman Ice Vietnamese Coffe dalam gelas) positif

mengandung zat/bahan beracun dan/atau berbahaya, yaitu Ion Sianida

(CN) = 7.400 mg/l. Setara dengan NaCN 14 g/l dengan ph= 13,0;

2) Pada BB II (Minuman Ice Vietnamese Coffe dalam botol) positif

mengandung zat/bahan beracun dan/atau berbahaya, yaitu Ion Sianida

(CN) = 7.900 mg/l setara dengan NaCN 15 g/l dengan ph = 13,0;

3) Pada BB IV (lambung) mengadung zat/bahan beracun dan/atau

berbahaya, yaitu Ion Sianida (CN) = 0,20 mg/l dengan ph = 5,5;

4) Menurut litelatur, nilai Lethal Dosis (LD) Natrium Sianida untuk

manusia adalah LDLo : 2857 mg/kg.

5) Pada BB I (Minuman Ice Vietnamese Coffe dalam gelas), BB II

(Minuman Ice Vietnamese Coffe dalam botol), BB III (minuman

pembanding), BB V (lambung), BB VI (empedu dan hati), BB VII

n(urine) positif mengandung za/bahan aktif yaitu kafein yang secara

alami merupakan senyawa aktif yang terkadung dalam kopi.


189

Berdasarkan hal tersebut maka dr. Arief Wahyono, Sp.F dan dr Slamet

Poernomo, SpF., DFM selaku Ahli Kedokteran Forensik yang melakukan

pemeriksaan VeR terhadap Wayan Mirna Solihin menyimpulkan bahwa

penyebab kematian Wayan Mirna Solihin adalah karena Sianida (NaCN)

yang jauh lebih besar dari Lethal Dosis (LDLo) sehingga menyebabkan erosi

pada lambung Wayan Mirna Solihin.

Tindakan Jessica KumalaWongso merupakan tindak pidana pembunuhan

yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 340

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Barang bukti yang diajukan ke persidangan dalam hal ini adalah

1) 1 (satu) gelas yang berisi sisa cairan minuman Ice Vietnamese Coffee.

2) 1 (satu) botol yang berisi sisa cairan minuman Ice Vietnamese Coffee.

3) 1 (satu) buah tas perempuan merk Charles & Keith berwarna coklat.

4) Pakaian atas wanita berwarna coklat.

5) Beberapa potong rambut.

6) 1 (satu) buah botol cairan bioderma.

7) 1 (satu) kotak obat senraline sandoz 50 mg berisi 3 lembar (30 tablet).

8) 1 (satu) botol merk6 2 Tang yang berisi obat Cina.

9) 2 (dua) tablet obat Razole 20 mg.

10) 2 (dua) tablet obat Maxpharm 15 mg.

11) 3 (tiga) tablet obat Provelyn 75 mg.


190

12) 1 (satu) buah Iphone 5 warna putih berikut Sim Card Nomor

087780806012.

13) Sim Card Optus Nomor 04033711888.

14) 3 (tiga) buah botol berisi cairan dibungkus kertas warna putih diikat pita

warna merah, berlabel kertas motif kotak-kotak merah putih bertuliskan

Bath & Bodyworks dan 3 (tiga) buah tas kertas belanja motif kotak-kotak

warna biru dan putih bertuliskan Bath & Bodyworks yang masing-masing

tas kertas belanja berisi 1 (satu) buah botol berisi cairang dibungkus

kertas warna putih diika piita warna merah berlabel kertas motif kotak-

kotak merah putih bertuliskan Bath & Bodyworks.

15) Sandal sepatu.

16) Potongan tiket.

17) Celana dalam perempuan dengan pembalut.

18) 2 (dua) buah sempel celana panjang tersangka yang hilang.

Barang bukti nomor 1 sampai dengan 18, dirampas untuk dimusnahkan.

19) 1 (satu) unit Flashdisk Toshiba 32 GB warna abu-abu S/N

1430A7A412CAT rekaman CCTV dari Restaurant Olivier West Mall

Grand Indonesia.

20) 1 (satu) unit harddisk eksternal Mer WD My Passport Ultra 500 GB

warna hitam.

21) 1 (satu) bundel print out transaksi IVC.

22) 1 (satu) bundel print out WA Group Billy Blue.


191

23) 1(satu) berkas laporan lengkap tentang Jessica Kumala Wongso yang

dibuat oleh NSW Police Head Quarter 1 Charles St Paramatta NSW,

terdiri dari 15 (lima belas) laporan.

24) 7 (tujuh) lembar surat keterangan dari kantor NSW Ambulance Australia

berupa Dokumen Nomor IB16/XX n/a dengan lampiran.

25) 1 (satu) berkas print out percakapan Jessica Kumala Wongso yang

mengancam Kristine Louise Carter dan percakapan lainnya.

26) Email dari Kristine Louise Carter kepada Monica semard@afp.govau

tentang email Jessica Kumala Wongso.

27) 1 (satu) bendel kronologis dan Surat Pemberhentian Jessica Kumala

Wongso dari NSW Ambulance.

28) 8 (delapan) bundel bill penjualan IVC.

29) 1 (satu) bundel printcit.

Barang bukti dari nomor19 sampai 29 tetap terlampir dalam berkas perkara.

30) 1 (satu) buah Iphone 6S warna rosegold berikut Sim Card Nomor

08161475360

Barang bukti nomor 30 dikembalikan kepada saksi Arief Budiman

Soemarko.

31) 1 (satu) unit mesin penggiling kopi/grinder

32) 1 (satu) unit teko untuk air panas.

33) 1 (satu) unit teko lock and lock plastik untuk tempat susu.

34) 1 (satu) set meja kursi table 54.


192

35) 2 (dua) kaleng contoh susu kental manis.

36) 1 (satu) bungkus contoh kopi Robusta dalam kemasan plastik hitam.

37) 1 (satu) buah contoh gelas yang digunakan untuk penyajian Ice

Vietnamese Coffee.

38) 1 (satu) buah contoh saucer atau piring kecil atau lepek.

39) 2 (dua) buah contoh sedotan warna hitam.

40) 3 (tiga) lembar contoh kertas penyaring kopi.

41) 1 (satu) unit DVR (Decoder Video Record) merk Telview model FD

161S Serial Number 47895448 warna hitam.

42) 1 (satu) unit kabel power DVR warna hitam.

43) 1 (satu) buah pipet.

44) 1 (satu) gelas contoh yang digunakan untuk penyajian IVC.

45) 1 (satu) gelas IVC asli sebagai pembanding.


BAB IV

AUTENTIKASI ALAT BUKTI AUDIO VISUAL DALAM PROSES

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA UMUM

A. Eksistensi Audio Visual Dijadikan Sebagai Alat Bukti Dalam Proses

Pembuktian Tindak Pidana Umum Di Indonesia

Proses pembuktian dalam hukum acara pidana yang mengalami permasalahan

diantara eksistensi alat bukti elektronik dalam bentuk rekaman audio visual dengan

eksistensi alat bukti elektronik yang tidak diakui dalam sistem hukum acara pidana

umum, secara nyata telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan diantara hukum

yang dicita-citakan (das sollen) dengan hukum dalam kenyataan (das sein). Hukum

yang dicita-citakan menghendaki hukum dapat memberikan keadilan, kepastian

hukum dan kemanfaatan hukum sebagaimana tujuan hukum secara filosofis.

Permasalahan dikotomi pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai alat

bukti dalam tindak pidana umum pada faktanya harus dapat ditinjau berdasarkan

beragam aliran filsafat yang berkembang hingga saat ini. Filsafat hukum dianggap

sebagai pisau analisis yang dapat mengatasi permasalahan kesenjangan diantara

penggunaan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum

dengan kebutuhan hukum di masyarakat untuk menciptakan tujuan hukum secara

filosofis.

Permasalahan dikotomi pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti

dalam tindak pidana umum akan ditinjau berdasarkan beberapa aliran filsafat, seperti:
194

aliran filsafat hukum alam, aliran filsafat positifisme hukum dan aliran filsafat hukum

pragmatis legal realisme yang masing-masing analisis secara filosofis lebih lanjut

dapat dijelaskan sebagai beirikut:

1. Aliran filsafat hukum alam dalam autentikasi rekaman audio visual sebagai alat

bukti dalam tindak pidana umum.

Autentikasi rekaman audio visual dalam sudut pandang aliran filsafat

hukum alam didasarkan atas bentuk pertanggungjawaban pelaku sebagai kodrat

manusia. Setiap manusia merupakan mahkluk Tuhan yang Maha Esa yang

secara kodrati memiliki tanggungjawab untuk berbuat baik kepada setiap umat

manusia. Setiap manusia yang memiliki kesalahan kepada manusia yang

lainnya harus bertanggungjawab atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Aliran filsafat hukum alam yang memandang setiap hukum yang ada dan

berlaku merupakan hukum dari Tuhan yang Maha Esa menghendaki bahwa,

setiap hukum harus dapat mencerminkan keadilan bagi setiap umat manusia.

Aliran filsafat hukum alam menghendaki keadilan sebagai nilai dasar hukum

bagi setiap hukum yang lebih lanjut dapat memberikan suatu kepastian hukum

dan kemanfaatan hukum. Aliran filsafat hukum alam menghendaki setiap

hukum harus dapat mencerminkan nilai keadilan yang berasal dari Tuhan yang

Maha Esa; dan hal ini tidak dapat ditafsirkan terpisah dengan nilai kepastian

hukum dan kemanfaatan hukum itu sendiri.

Aliran filsafat hukum alam menghendaki hubungan kausalitas secara

kongkret tanpa dipengaruhi dengan tata cara formal yang dibentuk oleh
195

manusia atau penguasa. Aliran filsafat hukum alam menghendaki setiap

manusia harus mendapatkan hak dan kewajiban sesuai dengan perbuatannya

masing-masing. Hal ini memiliki arti bahwa, setiap pelaku tindak pidana umum

harus mampu dibebankan pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang

telah memberikan dampak kerugian/penderitaan bagi korban; Dan pihak korban

tindak pidana umum harus mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dan ganti rugi

dari pihak pelaku tindak pidana umum atas penderitaan dan kerugian yang telah

dialami oleh korban.

Aliran filsafat hukum alam dihubungkan dengan tidak diakuinya rekaman

audio visual sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Indonesia, maka setiap pelaku tindak pidana umum harus dibebankan

pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang telah dilakukan kepada

korban, meskipun alat bukti yang menggambarkan suatu peristiwa pidana hanya

terdapat dalam rekaman audio visual yang secara formal tidak diakui dalam

Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Aliran filsafat hukum alam juga

menghendaki korban tindak pidana umum mendapatkan kompensasi yang

sesuai dengan besarnya penderitaan dan kerugian yang telah dialami akibat

perbuatan pelaku, meskipun peristiwa tindak pidana umum tersebut hanya

digambarkan dalam rekaman audio visual yang tidak diakui dalam Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

Meninjau autentikasi rekaman audio visual yang tidak diakui sebagai alat

bukti dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia dihubungkan


196

dengan aliran filsafat hukum alam yang menekankan atas nilai filosofis hukum,

maka sebenarnya pembatasan atau tidak diakuinya rekaman audio fisual dalam

Undang-Undang Hukum Acara Pidana bukan merupakan permasalahan yang

sangat mendasar. Hal ini didasarkan atas hirarki diantara nilai asas hukum

pidana dan nilai filosofis hukum yang diakui dalam ilmu hukum selama ini.

Adapun analisis terhadap hirarki diantara nilai asas hukum dan nilai

filosofis hukum yang terdapat dalam hukum pidana dihubungkan dengan

autentikasi dan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum dengan aliran filsafat hukum alam lebih lanjut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Eksistensi autentikasi rekaman audio visual dalam asas hukum pidana.

Permasalahan tidak diakuinya rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam

Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebabkan adanya asas mendasar

dalam hukum pidana, yaitu: asas nulum delictum, noela poena sine previa

lege poenali yang secara langsung memberikan akibat terhadap

pemberlakuan hukum acara pidana. Hal ini yang menyebabkan paradigma

yang berkembang dan digunakan oleh para aparat penegak hukum dalam

memandang rekaman audio visual sebagai alat bukti sangat sempit.

Nilai asas nulum delictum, noela poena sine previa lege poenali yang

menjadi dasar dalam hukum pidana dianggap sebagai asas sakral yang tidak

dapat dilanggar kecuali dengan peraturan perundang-undangan yang

memiliki tingkat hirarki yang sama. Sebagian para penegak hukum hanya
197

terkurung atau dibatasi dengan nilai formalistik yang diciptakan oleh para

penguasa, penegak hukum dan/atau manusia itu sendiri, sehingga melupakan

nilai yang lebih mendasar dari hanya mengikuti peraturan formalistik yang

secara nyata telah tidak memberikan kontribusi apapun bagi cita hukum itu

sendiri secara filosofis.

Keberadaan rekaman audio visual sebagai alat bukti secara kongkret

telah banyak membantu dalam mengungkap dan menyelesaikan perkara

hukum yang terjadi di masyarakat, khususnya perkara-perkara tindak pidana

khusus yang secara lex specialis derogat legi generali telah diatur secara

substantif dalam undang-undang yang mengatur secara khusus. Walaupun

demikian menjadikan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum masih sangat sulit untuk dilakukan akibat keberadaan Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang secara substantif telah ketinggalan

dengan kebutuhan hukum masyarakat saat ini. Hal ini salah satunya dapat

dilihat dari pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Hukum Acara

Pidana yang telah ada sejak puluhan tahun lalu; Dan hal ini akan sangat

berbeda dengan kebutuhan hukum masyarakat pada saat ini.

b. Eksistensi autentikasi rekaman audio visual dalam filsafat hukum alam.

Autentikasi rekaman audio visual untuk dijadikan sebagai alat bukti dalam

tindak pidana umum merupakan langkah strategis dalam mengatasi

permasalahan kesenjangan diantara kebutuhan hukum masyarakat dengan

substansi Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keberadaan asas mendasar


198

hukum pidana, yaitu: nulum delictum, noela poena sine previa lege poenali

secara hirarkis berada di bawah filsafat hukum. Asas merupakan bentuk

kongkretisasi dari filsafat hukum yang tercermin dalam setiap perbuatan

dan/atau pergaulan manusia. Asas legalitas yang menjadi dasar tidak

diakuinya rekaman audio visual menjadi alat bukti secara nyata telah

bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri secara filosofis.

Apabila asas-asas yang diberlakukan (berlaku) dalam hukum pidana,

tetapi secara kongkret telah bertentangan dengan tujuan hukum secara

filosofis, maka seharusnya penerapan hukum harus dilakukan secara

proposional. Hal ini memiliki arti bahwa, rekaman audio visual harus dapat

diakui sebagai alat bukti yang sah selama rekaman audio visual yang

dijadikan sebagai alat bukti memiliki kebenaran yang hakiki (rekaman audio

visual yang dijadikan sebagai alat bukti memberikan gambaran secara

deskriptif tentang fakta dari peristiwa tindak pidana umum yang dilakukan).

Autentikasi terhadap rekaman audio visual dapat dilakukan dengan

beragam metode, sehingga menggambarkan secara deskriptif tentang

peristiwa tindak pidana umum yang terjadi. Filsafat hukum alam

menghendaki adanya kebenaran yang sesungguhnya (material), sehingga

setiap pelaku dapat dibebankan tanggungjawab atas tindakan yang telah

dilakukannya, selain setiap korban mendapatkan kompensasi dan ganti rugi

atas penderitaan dan kerugian yang telah dialaminya.


199

Keberadaan asas legalitas yang dianggap sebagai asas mendasar dalam

hukum pidana dan secara nyata telah mengakibatkan terbatasnya penerapan

hukum pidana secara filosofis, maka bagaimanapun asas-asas yang

bertentangan harus dapat diterapkan secara proposional sesuai dengan tujuan

hukum itu sendiri secara filosofis, yaitu: menciptakan keadilan hukum demi

terciptanya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

Penulis memandang bahwa, tidak diakuinya rekaman audio visual sebagai

alat bukti dalam tindak pidana umum selama ini tidak disebabkan atas asas

legalitas yang terdapat dalam hukum pidana. Permasalahan yang terjadi lebih

disebabkan penerapan asas legalitas yang tidak tepat oleh para penegak hukum

dalam tataran praktik. Asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang secara langsung memberikan dampak

terhadap hukum acara pidana telah diartikan secara sempit, terbatas dan kaku

oleh para penegak hukum. Para penegak hukum terlalu memiliki paradigma

yang formalistik dari pada paradigma kongkret dalam memeriksa dan memutus

perkara secara objektif.

Berdasarkan penjelasan tentang eksistensi rekaman audio visual sebagai

alat bukti dihubungkan dengan aliran filsafat hukum alam, maka secara nyata

bahwa, aliran filsafat hukum alam menghendaki pengakuan dan/atau

penggunaan alat bukti rekaman audio visual dalam proses pemeriksaan dalam

tindak pidana umum, sehingga penegakan hukum dapat dilakukan secara


200

objektif sesuai dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pelaku

serta pemberian kompensasi ganti rugi kepada setiap korban secara proposional.

2. Aliran filsafat positifisme hukum dalam autentikasi rekaman audio visual

sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum.

Aliran filsafat positifisme hukum pada hakikatnya merupakan aliran

filsafat yang mengutamakan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan

hukum yang terjadi. Kepastian hukum dalam aliran positifisme hukum terwujud

dengan adanya peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang

dibentuk oleh penguasa yang berwenang. Aliran filsafat positifisme hukum

menganggap setiap permasalahan hukum yang terjadi di dalam masyarakat

dapat diatasi dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang

sebelumnya telah dibentuk.

Aliran filsafat positifisme hukum dihubungkan dengan autentikasi

rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum dapat

dilakukan dengan menganalisis makna “positifisme hukum” atau “kepastian

hukum” secara filosofis. Aliran filsafat positifisme hukum dalam pengertian

yang universal diartikan sebagai asas legalitas yang tercermin dalam Pasal 1

ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjelaskan

bahwa, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada; Bilamana ada perubahan

dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap


201

terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”. Asas legalitas

ini secara universal juga dikenal dengan istilah “nulum delictum, noela poena

sine previa lege poenali” yang menjadi sumber permasalahan dalam proses

pembuktian di dalam perkara pidana umum yang berhubungan dengan proses

rekaman audio visual sebagai alat bukti.

Asas legalitas hukum dalam penegakan hukum pidana merupakan asas

yang sangat mendasar dan penting untuk menjamin keadilan dan kepastian

hukum bagi pelaku dan korban. Asas legalitas dalam hukum pidana yang secara

filosofis ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan dalam

proses penegakan hukum dapat tidak lagi selaras dengan ketentuan-ketentuan

pidana secara substantif, apabila ketentuan-ketentuan pidana secara substantif

tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Ketentuan-ketentuan pidana secara substantif seharusnya dapat selalu berubah

dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat tanpa

menghilangkan karakteristik dasar dalam hukum pidana, yaitu : asas legalitas.

Asas legalitas yang berlaku di dalam hukum pidana yang merupakan

bentuk cerminan dari aliran filsafat positifisme hukum harus dapat ditinjau

secara filosofis tentang makna kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum

itu sendiri dalam tataran praktik dapat dibagi menjadi dua (2) sudut pandang,

yaitu: kepastian hukum dalam makna sempit dan kepastian hukum dalam

makna luas yang selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:


202

a. Kepastian Hukum Dalam Makna Yang Sempit.

Kepastian hukum dalam makna yang sempit diartikan sebagai bentuk

kepastian yang diberikan dari peraturan perundang-undangan dalam

mengatasi dan menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi. Kepastian

hukum dianggap sebagai kepastian dalam bertindak sesuai dengan hukum

yang tertulis, sehingga setiap tindakan dan akibat hukum yang menyertainya

hanya dapat diakui selama tindakan dan akibat hukum tersebut telah diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

Kepastian hukum dalam makna yang sempit menghendaki adanya

suatu struktur dan substansi hukum yang jelas mengatur setiap bentuk tindak

pidana umum yang dilakukan oleh pelaku, sehingga korban tindak pidana

umum mendapatkan keadilan atas penderitaan yang telah dialami. Kepastian

hukum dalam makna yang sempit menghendaki setiap peraturan perundang-

undangan telah mengatur secara tegas dan jelas tentang bentuk-bentuk tindak

pidana umum yang terjadi di masyarakat, sehingga setiap tindak pidana

umum yang terjadi dapat langsung dilakukan proses penegakan hukum

secara kongkret.

Kepastian hukum dalam makna sempit dalam aliran filsafat

positifisme hukum dihubungkan dengan rekaman audio visual sebagai alat

bukti dalam tindak pidana umum tidak diakui di hadapan hukum, apabila

secara substantif Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur

tentang alat bukti dalam bentuk rekaman audio visual. Rekaman audio visual
203

dapat digunakan sebagai alat bukti, apabila secara substantif Undang-

Undang Hukum Acara Pidana telah mengatur secara tegas dan jelas tentang

eksistensi rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti.

Para penegak hukum tidak akan mampu mengatasi permasalahan

tindak pidana umum yang hanya memiliki bukti rekaman audio visual,

meskipun secara kongkret peristiwa pidana telah terjadi. Para penegak

hukum yang hanya memiliki sudut pandang “kepastian hukum dalam makna

yang sempit” hanya dianggap sebagai pihak eksekutor dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku, tetapi para penegak hukum yang hanya

memiliki sudut pandang “kepastian hukum dalam makna yang sempit” tidak

akan mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan hukum di

masyarakat. Para penegak hukum yang hanya memiliki sudut pandang

“kepastian hukum dalam makna yang sempit” tidak akan mampu

mewujudkan hukum secara filosofis, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum, karena paradigma kepastian hukum yang ditegakan

oleh para aparat penegak hukum hanya merupakan kepastian hukum yang

semu, dalam arti kepastian hukum yang formalistik tanpa mampu

memberikan kepastian hukum yang hakiki kepada masyarakat sebagai tujuan

dari keberadaan filsafat hukum itu sendiri.

b. Kepastian Hukum Dalam Makna Yang Luas.

Kepastian hukum dalam makna yang luas diartikan sebagai kepastian

dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat.


204

Keberadaan peraturan perundang-undangan dijadikan sebagai dasar arah

bagi aparat penegak hukum dalam mengatasi dan menyelesaikan

permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat. Kepastian hukum dalam

makna yang luas menghendaki setiap permasalahan hukum yang terjadi di

masyarakat dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku. Kepastian

hukum tidak hanya dimaknai sebagai kepastian dalam menerapkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, tetapi kepastian hukum dimaknai sebagai

kepastian dalam memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat, khususnya

mengatasi permasalahan hukum di masyarakat tentang penggunaan rekaman

audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum.

Kepastian hukum dalam makna luas dalam aliran filsafat positifisme

hukum dihubungkan dengan eksistensi rekaman audio visual dapat diartikan

sebagai kepastian dalam mengatasi dan menyelesaikan permasalahan hukum

yang terjadi (dalam hal ini tindak pidana umum), meskipun secara yuridis

formal Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku belum mengakui

keberadaan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana

umum.

Kepastian hukum dalam makna yang luas menghendaki kepastian

tidak hanya dalam bentuk melaksanakan isi dari peraturan perundang-

undangan yang berlaku, tetapi kepastian hukum dalam makna yang luas juga

dapat diartikan sebagai penegakan hukum dalam melaksanakan makna


205

filosofis yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan secara

substantif, historis dan filosofis.

c. Aliran filsafat hukum pragmatis legal realisme dalam autentikasi rekaman

audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum.

Alliran filsafat hukum pragmatis legal realisme yang menghendaki setiap

hukum yang berlaku sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dihubungkan

dengan autentikasi rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana

umum, maka pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum yang hanya didasarkan atas perangkat dari para penegak hukum

tidak sesuai dengan aliran filsafat hukum pragmatis legal realisme.

Pembatasan yang dilakukan hanya didasarkan dari asal perangkat audio

visual yang melakukan proses rekaman tanpa mempertimbangkan substansi dari

rekaman audio visual yang mungkin dapat membantu memberikan petunjuk

secara deskriptif tentang terjadinya suatu tindak pidana umum. Masyarakat

secara filosofis hanya menghendaki hukum dapat ditegakan secara benar dan

masyarakat tidak membutuhkan aturan hukum formal yang secara substantif

hanya menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan di masyarakat.

Eksistensi rekaman audio visual sebagai alat bukti harus diartikan sebagai

setiap bentuk bukti yang menunjukan secara deskriptif tentang peristiwa tindak

pidana umum yang terjadi. Pembatasan terhadap eksistensi rekaman audio

visual yang dijadikan sebagai alat bukti berdasarkan hukum acara formal yang
206

secara factual hanya merupakan bentukan dari manusia dianggap tidak lagi

selaras dengan tujuan hukum itu sendiri secara filosofis.

Filsafat hukum pragmatis legal realisme secara filosofis menghendaki

hukum dapat memberikan arah bagi perubahan dan perkembangan masyarakat

serta hukum dapat mendorong bagi perubahan dan perkembangan masyarakat

ke arah yang lebih baik. Filsafat hukum pragmatis legal realisme menghendaki

hukum dapat selaras dengan perubahan dan perkembangan masyarakat,

sehingga hukum dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap perubahan

dan perkembangan masyarakat.

Keselarasan hukum dengan masyarakat dalam sudut pandang aliran

filsafat hukum pragmatis legal realisme diharapkan dapat mewujudkan hukum

secara filosofis, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

Aliran filsafat hukum pragmatis legal realisme dihubungkan dengan eksistensi

rekaman audio visual sebagai alat bukti, maka keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Keadilan sebagai tujuan filosofis dalam aliran filsafat hukum pragmatis

legal realisme dihubungkan dengan autentikasi rekaman audio visual

sebagai alat bukti dapat diartikan sebagai keadilan bagi pelaku tindak pidana

umum, korban tindak pidana umum dan masyarakat, yaitu:

1) Wujud keadilan bagi pelaku tindak pidana umum adalah pelaku tindak

pidana umum mendapatkan pembebanan tanggungjawab atas tindak


207

pidana umum yang telah dilakukan tanpa menghilangkan hak-hak dasar

pelaku tindak pidana umum sebagai manusia;

2) Wujud keadilan bagi korban tindak pidana umum adalah mendapatkan

kompensasi, rehabilitasi dan ganti kerugian atas penderitaan yang telah

dialami oleh korban tindak pidana umum;

3) Wujud keadilan bagi masyarakat adalah mendapatkan perlindungan

dalam arti hukum dapat melindungi, mencegah dan mengatasi setiap

perkara tindak pidana umum yang terjadi.

b. Kepastian hukum sebagai tujuan filosofis dalam aliran filsafat hukum

pragmatis legal realisme dihubungkan dengan autentikasi rekaman audio

visual sebagai alat bukti dapat diartikan sebagai kepastian bagi pelaku tindak

pidana umum, korban tindak pidana umum dan masyarakat, yaitu:

1) Wujud kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana umum adalah

kepastian dalam mendapatkan beban pertanggungjawaban sesuai dengan

besarnya tindak pidana umum yang telah dilakukan;

2) Wujud kepastian hukum bagi korban tindak pidana umum adalah

mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dan ganti rugi atas penderitaan

yang telah dialami;

3) Wujud kepastian hukum bagi masyarakat adalah kepastian untuk

mendapatkan perlindungan dalam setiap aktifitas dan interaksi di dalam

kehidupan sehari-hari.
208

c. Kemanfaatan hukum sebagai tujuan filosofis dalam aliran filsafat hukum

pragmatis legal realisme dihubungkan dengan autentikasi rekaman audio

visual sebagai alat bukti dapat diartikan sebagai kemanfaatan bagi pelaku

tindak pidana umum, korban tindak pidana umum dan masyarakat, yaitu:

1) Wujud kemanfaatan hukum bagi pelaku tindak pidana umum adalah

mendapatkan pembinaan dan kesempatan untuk memperbaiki diri dan

menyadari kesalahan yang telah dilakukan, sehingga pelaku tindak pidana

umum dapat memperbaiki diri dan kehidupannya di masyarakat setelah

selesai menjalankan hukuman atas tindak pidana umum yang telah

dilakukannya;

2) Wujud kemanfaatan hukum bagi korban tindak pidana umum adalah

mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dan ganti rugi atas setiap

penderitaan yang telah dialami tanpa dibatasi hukum-hukum yang secara

substantif tidak memiliki kontribusi apapun dalam mengatasi tindak

pidana umum yang terjadi;

3) Wujud kemanfaatan hukum bagi masyarakat adalah hukum harus dapat

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga keberadaan hukum di

masyarakat dapat menjadi penyelaras bagi perkembangan masyarakat.

Filsafat hukum dalam beragam aliran dan sudut pandang pada hakikatnya

ditujukan untuk mewujudkan hukum itu sendiri secara filosofis. Keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan hukum secara filosofis merupakan tujuan

yang harus diwujudkan hukum di masyarakat. Hukum yang secara factual tidak
209

dapat memberikan kontribusi positif dalam mewujudkan keadilan, kepastian

hukum dan kemanfaatan hukum, maka hukum yang tidak memberikan

kontribusi positif harus dilakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Hukum yang tidak mengakui substansi rekaman audio visual sebagai alat

bukti atas dasar sumber perangkat yang dimiliki dalam tindak pidana umum

secara factual telah menghambat perwujudan hukum secara filosofis, baik

tujuan filosofis dalam mewujudkan keadilan, kepastian hukum maupun tujuan

filosofis untuk mewujudkan kemanfaatan hukum di masyarakat.

Penegakan hukum harus dilakukan terhadap setiap bentuk perkara yang

terjadi di masyarakat, baik perkara dalam tindak pidana umum maupun perkara

dalam tindak pidana khusus. Penegakan hukum memiliki peran penting dalam

mewujudkan tujuan hukum secara filosofis, baik tujuan hukum dalam

menciptakan keadilan, kepastian hukum atau tujuan hukum dalam menciptakan

kemanfaatan hukum. Penegakan hukum merupakan bentuk kongkretisasi dari

filsafat hukum, teori hukum, asas hukum dan peraturan hukum yang ada selama

ini, sehingga bentuk penegakan hukum secara kongkret harus dapat dilakukan

secara deskriptif terhadap setiap bentuk tindak pidana umum.

Eksistensi rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam perkara tindak

pidana umum yang selama ini masih memiliki pertentangan dalam proses

penegakan hukum, eksistensi rekaman audio visual sebagai alat bukti

seharusnya tidak boleh menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan

di masyarakat.
210

Permasalahan dalam praktik, aparat penegak hukum sebagian besar

menggunakan bukti audio visual yang dilaporkan oleh masyarakat atas suatu

tindak pidana umum yang terjadi, meskipun bukti audio visual yang dijadikan

sebagai bukti bukan berasal dari perangkat yang dipasang oleh aparat penegak

hukum. Di sisi yang lain, dalam proses pembuktian persidangan bukti audio

visual yang diajukan sebagai alat bukti selalu dipertanyakan tentang keabsahan

dan autentikasi alat bukti sehubungan tidak adanya hukum acara pidana yang

mengatur alat bukti audio visual, selain putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

20/PUU-XIV/2016 yang hanya mengakui alat bukti audio visual yang dipasang

oleh aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan struktur hukum (khususnya

lembaga yudikatif) memiliki dua (2) orientasi, yaitu: melakukan penegakan

hukum pidana material yang terjadi di masyarakat atau melakukan penegakan

hukum pidana formal sebagaimana yang tercantum dalam hukum acara pidana

dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Alat bukti sah yang tercantum pada Pasal 184 Ayat 1 (satu) adalah untuk

membuktikan kebenaran materil terdakwa apakah ia bersalah atau tidak. Bagi

aparat penegak hukum, akan lebih mudah membuktikan apabila saksi dapat

membuktikan atau menunjukan kesalahan terdakwa yang telah melakukan

kejahatan tindak pidana tersebut. Tetapi sebaliknya, apabila saksi tidak dapat

membuktikan atau menunjukan kesalahan terdakwa telah melakukan

kejatahatan tindak pidana tersebut, maka aparat penegak hukum akan lebih sulit

untuk menelusuri dan membuktikan kebenaran materil tersebut. Sebagai contoh


211

kasus mengenai pembuktian tentang alat bukti Closed Circuit Television (yang

selanjutnya akan disebut CCTV). Pembuktian mengenai CCTV yang terdapat

pada kasus Jessica Wongso. Pada kasus tersebut CCTV digunakan oleh hakim

sebagai alat bukti petunjuk yang sah. Hakim berpendapat bahwa CCTV yang

terdapat di Kafe Olivier bukan sengaja diperuntukkan untuk kasus dalam

perkara ini, akan tetapi secara umum sebelumnya telah terpasang ditempat

tersebut yang bisa memantau setiap kejadian yang terjadi di lingkungan Kafe

Olivier, sehingga CCTV tersebut tidak harus dibuat sendiri oleh Pejabat yang

berwenang.123

Pembuktian dalam hukum pidana, sebagaimana kita tahu bahwa alat-alat

bukti yang dinyatakan sah sesuai dengan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk, dan keterangan terdakwa. Di mana pada pembahasan kali ini Peneliti

lebih membahas terhadap alat bukti petunjuk. Pada Pasal 188 Ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa petunjuk adalah

perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang

satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dan pada Pasal

188 (2) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa

petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan

terdakwa. Sehingga, alat bukti petunjuk yang dalam hal ini harus mempunyai
123
Indonesia, Putusan Pengadilan Negeri, Nomor:777/PID.B.2016/PN.JKT.PST, hal. 312.
212

keterkaitan terhadap keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa yang

selanjutnya baru dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk yang sah. Menurut

pendapat Peneliti, bahwa CCTV dapat dipergunakan sebagai alat bukti

petunjuk, jika CCTV tersebut mempunyai keterkaitan antara keterangan saksi,

surat, dan keterangan terdakwa sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 188 Ayat

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya keterkaitan

antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa dengan CCTV itu

sendiri, maka CCTV tersebut dapat menunjang sebagai petunjuk dari apa yang

sudah dinyatakan oleh keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Dapat di lihat penggunaan CCTV dalam Kasus tindak pidana

pembunuhan oleh Jessica Kumala wongso Putusan Nomor 498 K/PID/2017,

kasus tindak pidana pembunuhan munir Putusan Nomor 1185 K/Pid/2006.,

bahwa CCTV tersebut adalah alat bukti perluasan yang dalam putusan-putusan

tersebut merupakan perluasan dari alat bukti petunjuk. Tetapi, penggunaan

CCTV sebagai alat bukti petunjuk tersebut tidak semata-mata ditentukan begitu

saja oleh Hakim. Tetapi sesuai dengan tabel di atas, harus terdapat alat-alat

bukti lainnya yang terlebih dahulu ditemukan, yang pada kasus-kasus di atas

adalah ditemukannya alat bukti keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Sehingga, setelah ditemukannya alat bukti keterangan saksi dan keterangan

terdakwa, baru dikaitkan dengan apa yang terdapat dalam CCTV tersebut,

apakah CCTV tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh alat bukti

keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Jika, terdapat keterkaitan antara


213

CCTV dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa, CCTV dapat

dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk karena memperjelas dari apa yang

dinyatakan oleh keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Tetapi sebaliknya,

jika terhadap suatu kasus tertentu CCTV tidak mempunyai keterkaitan antara

keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa sebagaimana dinyatakan oleh

Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka CCTV tidak

dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk karena, CCTV itu sendiri tidak

memperjelas dari apa yang dinyatakan oleh keterangan saksi, surat, dan

keterangan terdakwa sehingga tidak dapat dipergunakan menjadi alat bukti

petunjuk. Pada dasarnya, bahwa alat bukti petunjuk harus mempunyai

keterkaitan ataupun diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan

terdakwa barulah alat bukti petunjuk itu mempunyai kekuatan hukum sebagai

alat bukti yang berdiri sendiri.

Dalam hal penegakan hukum pidana umum diantara hukum pidana

material dengan masalah penegakan hukum pidana formal lebih lanjut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Penegakan Hukum Pidana Material.

Penegakan hukum pidana material memiliki arti bahwa, struktur hukum

harus dapat melakukan penegakan hukum pidana atas perkara-perkara yang

terjadi di masyarakat secara kongkret. Penegakan hukum dilakukan terhadap

unsur-unsur tindak pidana umum yang dimiliki dalam suatu perkara pidana.

Para penegak hukum harus mampu memeriksa dan mengatasi perkara-


214

perkara pidana umum yang terjadi di masyarakat terlepas dari aturan-aturan

formal (acara/teknis) yang menghambat penyelesaian perkara tindak pidana

umum yang terjadi di masyarakat.

Penegakan hukum material lebih menekankan pada penyelesaian masalah

hukum yang terjadi secara kongkret. Penegakan hukum pidana material

memastikan bahwa, perkara tindak pidana umum yang terjadi di masyarakat

dapat terselesaikan secara baik, sehingga tujuan hukum secara filosofis,

yaitu: keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dapat

dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hukum

masyarakat.

b. Penegakan Hukum Pidana Formal.

Penegakan hukum formal didasarkan atas penerapan hukum acara perkara

pidana yang berlaku terhadap suatu perkara tindak pidana umum. Penegakan

hukum formal menghendaki bahwa, suatu perkara tindak pidana umum yang

terjadi harus diselesaikan dengan hukum acara formal yang berlaku, yaitu:

Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penegakan hukum pidana umum

secara formal telah melahirkan suatu paradigma umum yang dikenal selama

ini di kalangan praktisi, yaitu: “Bagaimana mungkin suatu kebenaran

material (kebenaran perkara pidana) dapat tercapai, apabila tidak mengikuti

hukum acara yang berlaku?”

Penegakan hukum pidana secara formal memang harus dilakukan

sebelum memeriksa suatu perkara tindak pidana umum yang terjadi di


215

masyarakat. Hal ini akan berlaku selama hukum formal yang berlaku dalam

memeriksa tindak pidana umum yang terjadi di masyarakat selaras dengan

kebutuhan hukum masyarakat. Di sisi yang lain, hukum acara pidana yang

berlaku saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

Hukum acara pidana umum dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan

hukum masyarakat, karena hukum acara pidana yang berlaku hingga saat ini

(khususnya hukum acara tindak pidana umum) tidak mengakui rekaman

audio visual sebagai alat bukti yang sah di dalam persidangan, sedangkan

secara faktual rekaman audio visual banyak yang memberikan gambaran

secara deskriptif tentang suatu peristiwa tindak pidana umum yang terjadi di

masyarakat.

1. Budaya Hukum (Legal Culture) sebagai gagasan, sikap, keyakinan,

harapan dan pandangan terhadap hukum.

Budaya hukum merupakan bagian yang menentukan dari penegakan hukum di

masyarakat. Budaya hukum merupakan tolak ukur yang menentukan penerapan

(implementasi) hukum di masyarakat. Budaya hukum dihubungkan dengan

status rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum

memiliki dua (2) aspek sudut pandang, yaitu:

a. Budaya Hukum dari Para Penegak Hukum.

Budaya hukum dari para penegak hukum memiliki arti bahwa, para penegak

hukum harus memiliki sifat yang responsif terhadap perkara-perkara pidana


216

yang terjadi di masyarakat. Para penegak hukum dituntut untuk menentukan

diantara penegakan hukum pidana umum secara formal atau penegakan

hukum pidana umum secara material terhadap kesenjangan yang terjadi,

yaitu: kebutuhan hukum masyarakat dalam mengatasi permasalahan pidana

umum yang terjadi dengan keberadaan hukum acara pidana yang secara

substantif tidak mengakui keberadaan rekaman audio visual sebagai alat

bukti yang sah.

Budaya hukum yang positif dari para penegak hukum akan

memberikan objektifitas atas penyelesaian perkara pidana yang terjadi di

masyarakat, khususnya perkara pidana umum yang didasarkan atas bukti

audio visual yang dipasang oleh masyarakat. Budaya hukum dari para

penegak hukum akan memberikan arah hukum secara kongkret di

masyarakat. Budaya hukum dari para penegak hukum sangat dipengaruhi

oleh paradigma penegakan hukum yang dimiliki, yaitu: paradigma diantara

legisme sebagai dasar dari hukum pidana dengan kebutuhan hukum

masyarakat untuk mengatasi perkara pidana umum yang terjadi.

b. Budaya Hukum dari Masyarakat.

Budaya hukum dari masyarakat memiliki arti bahwa, masyarakat harus

memiliki kesadaran hukum diantara kesenjangan dari kebutuhan hukum

masyarakat dengan keberadaan hukum acara pidana yang tidak mengakui

rekaman audio visual sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan. Budaya

hukum masyarakat secara deskriptif dipengaruhi dua (2) paradigma, yaitu:


217

1) Masyarakat yang memandang bahwa, keberadaan hukum acara pidana

yang tidak mengakui audio visual sebagai alat bukti yang sah berusaha

untuk memanfaatkannya dengan cara: melakukan perlawanan, pembelaan

dan/atau pembenaran atas tindak pidana umum yang dilakukan, meskipun

secara faktual telah terbukti dalam rekaman audio visual yang

menggambarkan secara deskriptif tentang peristiwa tindak pidana umum

yang terjadi;

2) Masyarakat yang memandang bahwa, hukum acara pidana umum yang

tidak mengakui rekaman audio visual sebagai alat bukti merupakan

bentuk kelemahan hukum yang memberikan kontribusi positif terhadap:

“ketidak adilan hukum”, “ketidak pastian hukum”, dan “ketidak

manfaatan hukum”. Masyarakat dengan sudut pandang ini akan

memberikan “ketidak percayaan” terhadap hukum dan para aparat

penegak hukum dalam memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat.

2. Dampak Hukum (Legal Impact) sebagai dampak dari suatu putusan

hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Dampak hukum yang merupakan faktor kausalitas diantara struktur hukum,

substansi hukum dan budaya hukum merupakan unsur penting dalam proses

penegakan hukum. Dampak hukum mempertanyakan seberapa besar efektifitas

hukum yang dapat diterapkan di masyarakat, selain dampak hukum juga


218

mempersoalkan seberapa besar hukum dapat memberikan kontribusi yang

positif bagi kebutuhan hukum masyarakat.

Penegakan hukum dihubungkan dengan eksistensi rekaman audio visual

yang tidak diatur dalam hukum acara pidana sebagai alat bukti secara faktual

telah memberikan dampak bahwa, hukum tidak memberikan dampak positif

terhadap kebutuhan hukum di masyarakat. Hal ini dapat dideskripsikan bahwa,

hukum memiliki karakteristik yang negatif terhadap kebutuhan hukum di

masyarakat.

Penegakan hukum akan efektif di masyarakat selama hukum dapat memberikan

dampak positif terhadap setiap kebutuhan hukum masyarakat dalam mengatasi

perkara tindak pidana umum yang didasarkan atas bukti rekaman audio visual

dari perangkat yang dipasang oleh masyarakat. Penegakan hukum terhadap

perkara tindak pidana umum yang didasarkan atas bukti rekaman audio visual

akan efektif selama memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Struktur hukum harus memberikan dampak positif dalam mengatasi perkara

tindak pidana umum dengan cara melakukan penafsiran ekstensif dan

penegakan hukum pidana material, sehingga rekaman audio visual dapat

dijadikan sebagai alat bukti dalam proses persidangan untuk mengungkap

peristiwa tindak pidana umum yang terjadi secara kongkret;

b. Substansi hukum harus memberikan dampak positif terhadap penyelesaian

perkara tindak pidana umum yang didasarkan atas rekaman audio visual;

Substansi hukum acara pidana harus memiliki sifat yang selalu adaptif,
219

berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan

kebutuhan masyarakat, karena hukum acara pidana secara substansi

seharusnya sebagai penyelaras dari hukum acara pidana material yang secara

substantif telah memenuhi kebutuhan hukum masyarakat;

c. Budaya hukum harus memberikan dampak positif terhadap penyelesaian

perkara tindak pidana umum yang didasarkan atas bukti rekaman audio

visual dengan cara memperkecil kesenjangan diantara hukum acara pidana

dengan hukum acara material, khususnya kesenjangan yang semakin besar

paska dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-

XIV/2016.

Penegakan hukum terhadap perkara tindak pidana umum yang didasarkan

atas bukti rekaman audio visual dapat dilakukan juga dengan cara melakukan

penafsiran ekstensif terhadap ketentuan Pasal 184 Undang-Undang Hukum

Acara Pidana dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

yang secara yuridis formal tidak memberikan kesempatan bagi setiap rekaman

audio visual yang diperoleh dari perangkat masyarakat. Bentuk penafsiran yang

dapat dilakukan dengan beberapa bentuk, seperti:

a. Menafsirkan secara luas makna “petunjuk” sebagai alat bukti dalam Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, dalam arti menafsirkan secara ekstensif

tentang makna “petunjuk” sebagai setiap bukti faktual yang dapat

memberikan gambaran secara deskriptif tentang terjadinya suatu peristiwa

tindak pidana umum yang terjadi.


220

Rekaman audio visual dapat dianggap sebagai data yang dapat memberikan

petunjuk bagi para penegak hukum mengenai duduk perkara dari suatu

tindak pidana umum yang terjadi, sehingga hakim mendapatkan pengetahuan

dan keyakinan dalam memutus suatu perkara tindak pidana umum yang

terjadi.

b. Menafsirkan saksi ahli sebagai setiap kesaksian yang diberikan oleh

seseorang terhadap suatu peristiwa tindak pidana umum yang terjadi,

meskipun kesaksian yang diberikan didasarkan atas rekaman audio visual

yang dilakukan autentikasi sebagai rekaman audio visual yang akurat dan

otentik yang menerangkan terjadinya suatu peristiwa tindak pidana umum.

Penafsiran substansi terhadap rekaman audio visual dalam suatu perkara

tindak pidana umum juga dapat dilakukan dengan mencari hubungan nilai

filosofis diantara Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Hukum Acara Pidana

secara filosofis dibentuk untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang

tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga setiap

unsur-unsur tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana dapat dilakukan proses implementasi secara baik dalam

proses pembuktian di persidangan.

Apabila Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditujukan untuk

menerapkan substansi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka

seharusnya setiap bentuk penafsiran harus dilakukan untuk mewujudkan


221

tujuan utama dari Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu: menerapkan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara baik, tepat dan terarah.

Penegakan hukum terhadap suatu peristiwa tindak pidana umum harus

dapat dilakukan secara terintegrasi dengan mempertimbangkan beragam

faktor yang dapat menentukan nilai kualitatif dari suatu tindak pidana umum

yang dilakukan oleh pelaku. Penegakan hukum terhadap tindak pidana

umum dihubungkan dengan dikotomi pengakuan terhadap rekaman audio

visual harus diawali dengan melakukan penegakan atas persepsi diantara

para penegak hukum. Hal ini dilakukan untuk membentuk suatu paradigma

baru bahwa, setiap perkara hukum harus dapat ditegakan dengan cara

menjunjung tinggi kebenaran dalam mencapai keadilan, kepastian hukum

dan kemanfaatan hukum.

Analisis yang telah dilakukan terhadap autentikasi rekaman audio visual

sebagai alat bukti dihubungkan dengan tindak pidana umum yang terjadi,

maka penegakan hukum terhadap peristiwa tindak pidana umum harus

dilakukan. Hal ini selaras dengan beragam aliran filsafat yang dikenal selama

ini, seperti: aliran filsafat alam, aliran filsafat positifisme hukum dan aliran

filsafat pragmatis legal realisme. Beragam aliran filsafat yang telah dilakukan

analisis dengan menghubungkan dikotomi pengakuan rekaman audio visual

sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum selalu mendasarkan penegakan

hukum terhadap kebenaran material untuk mewujudkan tujuan hukum secara

filosofis, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Oleh


222

karena itu, pembatasan pengakuan terhadap rekaman audio visual untuk

dijadikan sebagai alat bukti tidak selaras dengan keberadaan hukum itu sendiri

secara filosofis.

Eksistensi hukum dalam rangka penegakan hukum juga didasarkan atas

pertanggungjawaban yang harus dibebankan kepada setiap orang yang telah

melakukan tindak pidana (dalam hal ini tindak pidana umum), baik dalam

bentuk sanksi pidana, pembinaan atau rehabilitasi yang pada hakikatnya

ditujukan untuk memberikan efek jera dan pembalasan kepada pelaku tindak

pidana umum, selain memberikan pembinaan kepada pelaku tindak pidana

umum untuk tidak mengulang tindak pidana umum yang telah dilakukan.

Pembebanan pertanggungjawaban kepada pelaku tindak pidana umum

lebih lanjut memiliki tujuan untuk memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan

ganti rugi kepada korban tindak pidana umum atas penderitaan yang telah

dialami, selain mencegah masyarakat menjadi korban tindak pidana umum yang

serupa. Pembebanan tanggungjawab kepada pelaku tindak pidana umum harus

dilakukan sebagai bentuk perwujudan dari tujuan hukum pidana itu sendiri.

Oleh karena itu, tidak ada dasar argumentasi yang dapat dijadikan sebagai alas

hak dan dasar terhalangnya pembebanan tanggungjawab kepada pelaku tindak

pidana umum akibat dikotomi pengakuan rekaman audio visual sebagai alat

bukti dalam tindak pidana umum.

Dikotomi yang hanya mengakui rekaman audio visual yang berasal dari

perangkat para penegak hukum yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dan
223

tidak mengakui rekaman audio visual yang berasal dari perangkat yang dimiliki

oleh masyarakat telah mengakibatkan ketidak adilan, ketidak pastian hukum

dan ketidak manfaatan hukum. Dikotomi yang diciptakan diantara rekaman

audio visual yang berasal dari perangkat yang dimiliki oleh para penegak

hukum dengan rekaman audio visual yang berasal dari perangkat yang dimiliki

oleh masyarakat hanya didasarkan penegakan hukum pidana umum secara

formal tanpa mempertimbangkan penegakan hukum pidana umum secara

material. Hal ini juga telah mengakibatkan diskriminasi dalam proses

penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana umum.

Untuk mengatasi dikotomi diantara rekaman audio visual dari perangkat

yang dimiliki oleh para penegak hukum dengan rekaman audio visual dari

perangkat yang dimiliki oleh masyarakat ditawarkan suatu konsep autentikasi

rekaman audio visual dengan menggunakan beragam metode yang menguji

kebenaran dan keaslian dari substansi rekaman audio visual yang dijadikan

sebagai alat bukti. Konsep autentikasi rekaman audio visual yang

menggambarkan secara deskriptif tentang terjadinya suatu peristiwa tindak

pidana umum dianggap dapat memberikan kontribusi positif dalam proses

penegakan hukum yang dilakukan secara substantif.

Konsep autentikasi rekaman audio visual diharapkan dapat merubah dan

membawa paradigma penegakan hukum secara material yang menekankan

terhadap objektifitas pertanggungjawaban pelaku tindak pidana umum. “Setiap

orang harus bertanggungjawab atas setiap tindakan yang telah dilakukannya”


224

dan “Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan atas penderitaan yang

telah dialaminya”.

Konsep autentikasi rekaman audio visual untuk dijadikan sebagai alat

bukti dapat memberikan kontribusi positif terhadap proses penegakan hukum

yang dilakukan selama konsep autentikasi rekaman audio visual dapat diterima

dan dilaksanakan oleh para struktur hukum. Struktur hukum memiliki peranan

yang sangat penting dalam peningkatan penegakan hukum pidana umum

dihubungkan dengan keberadaan rekaman audio visual sebagai alat bukti.

Penegakan hukum tindak pidana umum, khususnya penerapan konsep

autentikasi rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum

dapat ditegakan selama didukung dengan itikad dari para struktur hukum.

Struktur hukum dianggap sebagai pihak yang memiliki peranan penting dalam

mengawali penerapan konsep autentikasi rekaman audio visual sebagai alat

bukti dalam tindak pidana umum.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana umum dihubungkan dengan

dikotomi pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti tidak dapat

dipisahkan dengan keberadaan aspek-aspek penegakan hukum, selain struktur

hukum sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Friedman. Penegakan hukum

terhadap tindak pidana umum dihubungkan dengan penerapan konsep

autentikasi rekaman audio visual harus dapat diimbangi dengan kontribusi

positif yang diberikan oleh substansi hukum, budaya hukum dan dampak

hukum.
225

Penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana umum

dihubungkan dengan dikotomi pengakuan rekaman audio visual sebagai alat

bukti harus didukung dengan paradigma-paradigma yang tidak mengkotak-

kotakan (membatasi) diantara paradigma yang satu dengan paradigma yang

lainnya tanpa memberikan kontribusi positif terhadap penegakan hukum secara

filosofis dan substantif. Paradigma yang hanya membatasi proses penegakan

hukum terhadap tindak pidana umum dihubungkan dengan eksistensi rekaman

audio visual sebagai alat bukti dianggap sebagai paradigma yang tidak selaras

dengan kebutuhan hukum masyarakat. Masyarakat (saat ini) lebih

membutuhkan hukum yang responsif dan preventif terhadap setiap

permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat.

Kebutuhan hukum masyarakat harus selaras dengan perkembangan

hukum yang berlaku, sehingga penegakan hukum yang dilakukan terhadap

tindak pidana umum yang dihubungkan dengan eksistensi audio visual sebagai

alat bukti dapat mengatasi setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat

secara kongkret. Mengatasi setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat

secara kongkret diartikan sebagai setiap bentuk penyelesaian permasalahan

hukum yang selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan

perkembangan masyarakat, sehingga hukum pidana formal dan hukum pidana

material dapat mengatasi permasalahan tindak pidana umum yang hanya

memiliki rekaman audio visual sebagai alat bukti.


226

B. Konsep Pembuktian Audio Visual Dalam Teori Sebagai Alat Bukti Menurut

Hukum Acara Pidana

Pada hakikatnya hukum pidana menghendaki adanya ketertiban dan

kepastian hukum di masyarakat. Ketertiban dan kepastian yang dimaksud dalam

hukum pidana memiliki tujuan untuk memastikan setiap anggota masyarakat dapat

melaksanakan kewajiban-kewajiban dan mendapatkan hak-hak yang dimiliki,

sehingga sesuai dengan ketertiban dan kepastian hukum sebagai cita di dalam

hukum pidana.

Menjaga ketertiban dan kepastian dalam melaksanakan kewajiban dan hak

dari setiap anggota masyarakat memiliki arti bahwa, setiap anggota masyarakat

yang melakukan tindak pidana umum (pelaku) memiliki sejumlah kewajiban-

kewajiban, seperti:

1. Pelaku tindak pidana umum memiliki kewajiban untuk memberikan

kompensasi atau ganti rugi kepada korban tindak pidana umum yang telah

mengalami penderitaan dan kerugian;

2. Pelaku tindak pidana umum memiliki kewajiban untuk melaksanakan sanksi

hukum yang telah dibebankan berdasarkan hukum formal dan hukum material

yang berlaku; dan

3. Pelaku tindak pidana umum memiliki kewajiban untuk tidak mengulangi tindak

pidana umum yang dilarang oleh hukum dan masyarakat.

Hukum pidana juga memberikan hak-hak kepada pelaku tindak pidana

umum, selain sejumlah kewajiban dan tanggungjawab hukum yang harus


227

dilaksanakan. Hak-hak yang diberikan kepada pelaku memiliki tujuan untuk

memberikan keseimbangan kepada pelaku ketika melaksanakan sanksi hukum

yang telah dibebankan, selain hak-hak yang diberikan ditujukan untuk

memberikan kesempatan kepada pelaku untuk kembali ke masyarakat dan pelaku

tidak mengulangi tindak pidana umum yang telah dilakukannya.

Hukum dapat memberikan sejumlah hak kepada pelaku tindak pidana umum

dalam beragam bentuk yang secara prinsip tidak bertentangan dengan kompensasi

kerugian yang telah diberikan kepada korban; selain tidak bertentangan dengan

substansi sanksi hukum yang telah diberikan kepada pelaku tindak pidana umum.

Hukum dapat memberikan hak kepada pelaku tindak pidana umum dalam beragam

bentuk, seperti:

1. Pelaku tindak pidana umum diberikan hak untuk mendapatkan kepastian atas

bentuk sanksi yang telah dibebankan kepada pelaku (pelaku tindak pidana

umum dibebankan sanksi sesuai dengan hukum material yang berlaku);

2. Pelaku tindak pidana umum diberikan hak untuk mendapatkan kepastian atas

prosedur (tata cara) pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan sanksi yang

diberikan kepada pelaku (pelaku tindak pidana umum harus dibebankan

pertanggungjawaban hukum melalui hukum acara formal yang berlaku);

3. Pelaku tindak pidana umum diberikan hak untuk dapat melaksanakan

kebutuhan manusia secara kodrati selama melaksanakan tanggungjawab hukum

yang telah dibebankan;


228

4. Pelaku tindak pidana umum diberikan hak untuk kembali menjalankan

kehidupan di masyarakat setelah melaksanakan pertanggungjawaban pidana

(pelaku tindak pidana umum diberikan kesempatan untuk menyadari dan

menginsafi atas tindakan yang telah dilakukannya.

Meninjau dari sudut pandang korban tindak pidana umum, maka korban

tindak pidana umum juga diberikan sejumlah kewajiban dan hak untuk

menciptakan suatu keseimbangan dengan kewajiban dan hak yang dimiliki oleh

pelaku tindak pidana umum. Kewajiban yang dimiliki oleh korban tindak pidana

umum diantaranya lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Korban tindak pidana umum memiliki kewajiban untuk melaporkan dan

menjelaskan duduk perkara secara benar, jujur, dan jelas kepada aparat penegak

hukum;

2. Korban tindak pidana umum memiliki kewajiban untuk menghormati dan

mematuhi pemeriksaan perkara dan pembebanan sanksi pidana yang diberikan

kepada pelaku sesuai dengan hukum formal dan hukum material yang berlaku;

3. Korban tindak pidana umum memiliki kewajiban untuk mencegah atau

menghindari potensi tindak pidana umum yang mungkin terjadi, baik oleh

pelaku itu sendiri maupun orang lain yang memiliki niat yang jahat akibat

melihat kesempatan/peluang dalam menjalankan tindak pidana umum.

Kewajiban yang diberikan hukum pidana kepada korban tindak pidana

umum selalu disertai dengan sejumlah hak yang diberikan kepada korban tindak

pidana umum. Hak yang diberikan hukum pidana kepada korban tindak pidana
229

umum dimaksudkan untuk memulihkan penderitaan dan kerugian yang telah

dialami oleh korban atas tindak pidana umum yang telah dilakukan oleh pelaku.

Hak yang diberikan kepada korban tindak pidana umum juga dimaksudkan untuk

memberikan keseimbangan atau keselarasan dengan kewajiban yang telah

dibebankan kepada pelaku tindak pidana umum.

Korban tindak pidana umum dapat diberikan sejumlah hak untuk

memulihkan setiap penderitaan dan kerugian yang telah dialaminya, baik hak yang

diberikan secara langsung kepada korban sebagai pihak yang mengalami secara

langsung atas tindak pidana umum yang dilakukan oleh pelaku maupun hak yang

diberikan secara tidak langsung kepada lingkungan atau keluarga korban yang

secara tidak langsung mengalami penderitaan dan kerugian atas tindak pidana

umum yang telah dilakukan oleh pelaku.

Hak yang diberikan kepada korban tindak pidana umum yang diberikan

secara langsung maupun hak yang diberikan secara tidak langsung dapat diberikan

dalam beragam bentuk hak, seperti:

1. Korban tindak pidana umum memiliki hak untuk menerima kompensasi yang

sesuai atas penderitaan tubuh, nyawa dan harta yang mengalami kerusakan,

kehilangan, dan kerugian akibat tindak pidana umum yang dilakukan oleh

pelaku sesuai dengan hukum material yang berlaku;

2. Korban tindak pidana umum memiliki hak untuk mendapatkan kepastian atas

proses hukum yang berlaku (korban tindak pidana umum memiliki hak untuk

mendapatkan kepastian bahwa, penderitaan dan kerugian yang dialami akan


230

mendapatkan penanganan yang objektif sesuai dengan beratnya tindak pidana

umum yang telah diakibatkan oleh pelaku);

3. Korban tindak pidana umum memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan

atas tubuh, nyawa, harta, dan keluarga selama proses pemeriksaan perkara dan

setelah pelaku menjalankan sanksi hukum yang telah dibebankan;

4. Korban tindak pidana umum memiliki hak untuk mendapatkan kelangsungan

hidup yang layak, sehingga kompensasi yang diberikan harus dapat mengatasi

hambatan atau gangguan yang mungkin terjadi terhadap keberlangsungan hidup

korban (dalam hal ini lingkungan dan keluarga korban yang menjadi factor

yang menyertai hidup korban juga harus mendapatkan kompensasi yang sesuai,

sehingga korban, keluarga korban dan lingkungan dapat melangsungkan hidup

sama dengan sebelum tindak pidana umum terjadi).

Meninjau permasalahan yang terjadi tentang rekaman audio visual yang

tidak diakui dalam tindak pidana umum selama perangkat audio visual yang

melakukan proses rekaman terhadap suatu peristiwa tindak pidana umum tidak

dipasang oleh aparat penegak hukum, maka tidak diakuinya rekaman audio visual

sebagai alat bukti secara nyata telah bertentangan dengan hak dan kewajiban yang

dimiliki oleh pelaku tindak pidana umum maupun hak dan kewajiban yang

dimiliki oleh korban tindak pidana umum. Rekaman audio visual pada zaman

teknologi seperti sekarang ini merupakan alat bukti yang sangat penting dalam

menunjang proses pemeriksaan atas perkara pidana yang terjadi.


231

Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana umum

maupun pelanggaran terhadap hak dan kewajiban korban tindak pidana umum

akibat penolakan rekaman audio visual yang berisi tentang fakta peristiwa tindak

pidana umum untuk dijadikan sebagai alat bukti, bentuk-bentuk pelanggaran

tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Pelanggaran terhadap kewajiban pelaku tindak pidana umum:

Penolakan terhadap setiap eksistensi rekaman audio visual sebagai alat bukti

dalam tindak pidana umum telah menghambat/ menghalangi pemberian

tanggungjawab dan kewajiban kepada pelaku tindak pidana umum. Pelanggaran

terhadap kewajiban pelaku tindak pidana umum akibat tidak diakuinya rekaman

audio visual sebagai alat bukti setidaknya meliputi dua (2) bentuk kewajiban,

yaitu:

a. Kewajiban pelaku tindak pidana umum untuk memberikan kompensasi atau

ganti rugi kepada korban tindak pidana umum yang telah mengalami

penderitaan dan kerugian.

Pembatasan pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai alat bukti di

dalam persidangan secara nyata akan menghambat atau menghalangi

pembebanan tanggungjawab pelaku untuk memberikan kompensasi kepada

korban tindak pidana umum. Tidak diakuinya rekaman audio visual sebagai

alat bukti dalam tindak pidana umum lebih lanjut akan dapat membebaskan

pelaku tindak pidana umum dari sanksi hukum. Hal ini dapat diartikan juga

bahwa, korban tindak pidana umum tidak akan pernah mendapatkan


232

kompensasi yang sesuai dengan besarnya penderitaan dan kerugian yang

telah dialami akibat tindak pidana umum yang telah dilakukan oleh pelaku.

Pembebanan sanksi pidana kepada pelaku dan pemberian kewajiban kepada

pelaku tindak pidana umum yang tidak sesuai dengan besarnya penderitaan

dan kerugian korban tindak pidana umum dapat diartikan sebagai bentuk

ketidak adilan hukum dan ketidak pastian hukum atas eksistensi tujuan

filosofis hukum itu sendiri. Penerapan pembatasan atas rekaman audio visual

sebagai alat bukti oleh aparat penegak hukum atas dasar tidak adanya hukum

acara yang berlaku/mengatur dianggap sebagai “hukum membatasi hukum”

yang secara substantif tidak pernah dibenarkan, bahwa hukum menghambat

perwujudan dari tujuan hukum itu sendiri.

b. Kewajiban pelaku tindak pidana umum untuk melaksanakan sanksi hukum

yang telah dibebankan berdasarkan hukum formal dan hukum material yang

berlaku.

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum secara tidak langsung mempengaruhi eksistensi diantara

hukum formal, hukum material, tujuan hukum umum, dan tujuan hukum

pidana. Pembatasan pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai alat

bukti dalam tindak pidana umum telah memberikan suatu gambaran tentang

skala prioritas atau perbandingan diantara keempat (ke-4) aspek yang

mempengaruhi pembebanan kewajiban kepada pelaku tindak pidana umum

yang lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:


233

1) Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam

tindak pidana umum telah bertentangan dengan hukum pidana material

yang berlaku. Hukum pidana material menghendaki setiap orang yang

memenuhi unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal-pasal

ketentuan pidana, orang-orang tersebut harus dibebankan tanggungjawab

dan sanksi pidana yang telah diatur dalam hukum pidana material.

2) Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam

tindak pidana umum telah bertentangan dengan tujuan hukum pidana,

yaitu : hukum yang memiliki tujuan untuk memberikan efek jera,

pembalasan dan pembinaan bagi pelaku tindak pidana umum, selain

hukum pidana juga memiliki tujuan untuk memberikan rehabilitasi dan

kompensasi bagi korban tindak pidana umum.

3) Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam

tindak pidana umum telah bertentangan dengan tujuan hukum secara

filosofis, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

Keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum tidak akan pernah

tercipta selama pelaku tindak pidana umum yang secara kongkret telah

mengakibatkan penderitaan dan kerugian kepada korban tidak dapat

diperiksa, diputus, atau dihukum sesuai dengan hukum material yang

berlaku hanya karena keberadaan rekaman audio visual belum diatur

secara deskriptif dalam hukum acara pidana (hukum formal).


234

4) Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam

tindak pidana umum hanya selaras dengan hukum acara atau hukum

formal yang mengatur tentang tindak pidana umum, tetapi secara factual

pembatasan pengakuan terhadap rekaman audio visual telah bertentangan

dengan ketiga (ke-3) aspek lainnya, yaitu: htujuan hukum material, tujuan

hukum pidana dan tujuan hukum filosofis).

2. Pelanggaran terhadap hak pelaku tindak pidana umum.

Penolakan pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai alat bukti secara

tidak langsung juga memberikan dampak terhadap sejumlah hak yang diberikan

kepada pelaku tindak pidana umum. Pelaku tindak pidana umum yang

seharusnya mendapatkan proses pemeriksaan, persidangan atau pembuktian

yang seharusnya dapat dilakukan secara cepat dan sederhana akibat jelasnya

rekaman audio visual, menjadi proses pemeriksaan, persidangan dan

pembuktian yang rumit dan berlarut-larut akibat setiap tindakan pidana dan

peristiwa pidana harus dibuktikan secara konvensional.

Proses pemeriksaan, persidangan dan pembuktian suatu tindak pidana umum

yang dilakukan secara konvensional tanpa mempertimbangkan proses

autentikasi rekaman audio visual yang telah menggambarkan suatu peristiwa

tindak pidana umum secara terang-benderang dapat mengakibatkan proses

pemeriksaan, persidangan dan pembuktian akan membutuhkan waktu yang


235

lama dan proses yang rumit, selain hasil pemeriksaan, persidangan dan

pembuktian memiliki sifat yang subjektif.

Adapun akibat pembatasan pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai

alat bukti dalam pidana umum dihubungkan dengan pelanggaran terhadap hak

yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana umum lebih lanjut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Pelanggaran terhadap hak pelaku tindak pidana umum untuk mendapatkan

kepastian atas bentuk sanksi yang telah dibebankan kepada pelaku (pelaku

tindak pidana umum dibebankan sanksi sesuai dengan hukum material yang

berlaku).

Prinsip yang paling mendasar tentang pertanggungjawaban pidana ialah,

memberikan setiap orang sebagai pelaku tindak pidana umum untuk

dibebankan tanggungjawab, baik dalam bentuk sanksi, pembinaan atau

dalam bentuk lainnya atas tindak pidana umum yang telah dilakukan. Oleh

karena itu, pelaku tindak pidana umum memiliki hak untuk mendapatkan

kejelasan dan kepastian secara objektif tentang besarnya beban

pertanggungjawaban yang diberikan oleh hukum. Setiap pelaku tindak

pidana umum akan dibebankan pertanggungjawaban yang berbeda-beda

sesuai dengan seberapa besar dampak yang diakibatkan dari tindak pidana

umum yang telah dilakukan pelaku kepada korban tindak pidana umum

secara proposional.
236

Hukum pidana material telah memberikan batasan toleransi yang dapat

diberikan kepada pelaku tindak pidana umum. Besar kecilnya batas toleransi

pemidanaan yang diatur dalam hukum material didasarkan atas keyakinan

hakim dalam menilai besar kecilnya akibat tindak pidana umum yang

dilakukan oleh pelaku kepada korban. Pelaku tindak pidana umum akan

dibebankan pertanggungjawaban yang lebih ringan apabila tindak pidana

umum yang dilakukan oleh pelaku secara factual mengakibatkan sedikit

penderitaan atau kerugian terhadap korban tindak pidana umum. Hal ini

berlaku sebaliknya bahwa, pelaku tindak pidana umum akan dibebankan

pertanggungjawaban yang berat apabila tindak pidana umum yang dilakukan

oleh pelaku secara factual mengakibatkan besarnya penderitaan atau

kerugian yang dialami oleh korban tindak pidana umum.

b. Pelanggaran terhadap hak pelaku tindak pidana umum untuk mendapatkan

kepastian atas prosedur (tata cara) pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan

sanksi yang diberikan kepada pelaku (pelaku tindak pidana umum harus

dibebankan pertanggungjawaban hukum melalui hukum acara formal yang

berlaku).

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam

hukum acara di bidang pidana umum secara tidak langsung memberikan

ketidak pastian bagi pelaku untuk mendapatkan beban pertanggungjawaban

secara objektif. Rekaman audio visual yang secara kongkret telah dapat

memberikan gambaran secara deskriptif tentang duduk perkara atas tindak


237

pidana umum yang terjadi ternyata tidak cukup memberikan alas hak bagi

aparat penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana. Hal ini juga secara

langsung memberikan ketidak pastian bagi pelaku tindak pidana umum

untuk mendapatkan penilaian secara objektif atas alat-alat bukti yang

digunakan.

Hukum acara pidana yang secara formal mengatur tentang proses

pemeriksaan, persidangan dan pembuktian yang tidak mengakui rekaman

audio visual sebagai alat bukti secara factual telah memberikan peluang dan

kesempatan kepada pelaku dan korban tindak pidana umum untuk

memberikan keterangan dan kesaksian yang tidak sesuai dengan fakta yang

terjadi. Hukum acara pidana formal yang telah memberikan distorsi terhadap

keterangan terdakwa dan kesaksian korban tindak pidana umum lebih lanjut

dapat mengakibatkan dua (2) distorsi hukum, yaitu:

1) Distorsi keterangan pelaku tindak pidana umum dan kesaksian korban

tindak pidana umum dapat mengakibatkan kesalahan majelis hakim

dalam memberikan pertanggungjawaban pidana secara proposional

kepada pelaku tindak pidana umum; dan

2) Distorsi keterangan pelaku tindak pidana umum dan kesaksian korban

tindak pidana umum dapat mengakibatkan kesalahan dalam memberikan

kompensasi dan rehabilitasi kepada korban tindak pidana umum secara

proposional.
238

3. Pelanggaran terhadap kewajiban korban tindak pidana umum.

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum secara nyata tidak hanya bertentangan dengan pelaksanan hak

dan kewajiban pelaku tindak pidana umum, tetapi secara nyata juga telah

bertentangan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh korban

tindak pidana umum. Pembatasan pengakuan terhadap rekaman audio visual,

khususnya penolakan terhadap hasil rekaman audio visual yang berasal dari

perangkat yang dimiliki oleh masyarakat secara nyata tidak didasarkan atas

argumentasi dan/atau alas hak yang memberikan kontribusi positif terhadap

pelaksanaan dan pemberian terhadap hak dan kewajiban bagi pelaku tindak

pidana umum maupun hak dan kewajiban bagi korban tindak pidana umum.

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual yang secara nyata telah

bertentangan dengan kewajiban yang dimiliki oleh korban tindak pidana umum

diantaranya lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Kewajiban korban tindak pidana umum untuk melaporkan dan menjelaskan

duduk perkara secara benar, jujur dan jelas kepada aparat penegak hukum.

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum secara langsung telah memberikan dampak terhadap objektifitas

proses pemeriksaan dan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan.

Kesaksian korban tindak pidana umum akan mengalami distorsi dengan fakta

peristiwa pidana yang sebenarnya, apabila aparat penegak hukum tidak


239

mempertimbangkan tingkat akurasi dari rekaman audio visual yang dihasilkan

dari perangkat yang dimiliki oleh masyarakat.

Rekaman audio visual yang secara kongkret dapat memberikan gambaran

secara deskriptif tentang terjadinya suatu peristiwa tindak pidana umum

seharusnya dapat menjadi alat bukti dan pertimbangan bagi aparat penegak

hukum dalam menilai kebenaran atau distorsi kesaksian yang telah diberikan

oleh korban tindak pidana umum. Korban tindak pidana umum memiliki

kewajiban untuk memberikan kesaksian secara jujur, jelas, dan benar, tetapi

aparat penegak hukum juga memiliki kewajiban untuk memeriksa kejujuran,

kejelasan dan kebenaran tentang kesaksian yang telah disampaikan oleh korban

tindak pidana umum.

Pembatasan pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai alat bukti

dalam tindak pidana umum secara substantif tidak memberikan kontribusi

apapun terhadap beragam aspek penegakan hukum pidana. Kewajiban korban

tindak pidana umum yang secara sederhana merupakan sebagian kecil dari

proses penegakan hukum pidana secara nyata terpengaruh dengan adanya

pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti.

a. Kewajiban korban tindak pidana umum untuk mencegah atau menghindari

potensi tindak pidana umum yang mungkin terjadi, baik oleh pelaku itu

sendiri maupun orang lain yang memiliki niat yang jahat akibat melihat

kesempatan/ peluang dalam menjalankan tindak pidana umum.


240

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum, khususnya rekaman audio visual yang berasal dari perangkat

yang dimiliki oleh masyarakat secara langsung telah memberikan dampak

yang buruk terhadap proses pencegahan tindak pidana umum oleh korban

tindak pidana umum, baik pencegahan secara aktif maupun pencegahan

secara pasif. Pencegahan aktif dan pencegahan pasif yang dapat dilakukan

oleh korban dan dilanggar oleh pembatasan pengakuan rekaman audio visual

menjadi alat bukti selanjutnya dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1) Pencegahan aktif tindak pidana umum oleh korban dapat dilakukan

dengan cara memasang perangkat CCTV dan perangkat keamanan

lainnya.

Perangkat CCTV atau perangkat keamanan lainnya yang memiliki fungsi

untuk melakukan dokumentasi (merekam) secara audio visual tentang

kondisi dan situasi lingkungan sekitar ditujukan untuk memberikan

keamanan dan kenyamanan bagi anggota masyarakat dalam melakukan

aktifitas. Hal ini disebabkan bahwa, keberadaan perangkat audio visual

yang secara aktif dipasang oleh anggota masyarakat secara langsung telah

memberikan dampak psikologis bagi pelaku atau calon pelaku yang

hendak melakukan tindak pidana umum. Pelaku yang akan melakukan

tindak pidana umum sering membatalkan niat dan rencana jahatnya ketika

mengetahui di tempat/lingkungan yang akan menjadi target dilakukan


241

tindak pidana umum telah terpasang perangkat audio visual, seperti:

CCTV.

Pengamanan dengan menggunakan perangkat audio visual seperti CCTV

dianggap sebagai langkah strategis dan efektif dalam melakukan

pencegahan aktif tindak pidana umum di masyarakat. Hal ini dapat dilihat

dari tingkat penjualan perangkat keamanan audio visual yang semakin

laris di pasaran serta banyaknya pelaku tindak pidana umum yang

tertangkap di masyarakat akibat penggunaan perangkat keamanaan audio

visual.

Rekaman audio visual yang berisi peristiwa tindak pidana umum selalu

dijadikan sebagai dasar masyarakat melakukan pengaduan/ pelaporan

kepada aparat penegak hukum. Rekaman audio visual yang berisi

peristiwa tindak pidana umum juga sering dijadikan sebagai bukti awal

dalam melakukan proses penyelidikan. Hal ini sangat bertentangan

dengan hukum acara pidana yang tidak mengakui keberadaan rekaman

audio visual yang berasal dari perangkat masyarakat.

2) Pencegahan oleh korban tindak pidana umum secara pasif dapat

dilakukan dengan cara menghindari tempat dan waktu yang memberikan

pelaku untuk melakukan tindak pidana umum. Pencegahan secara pasif

juga dapat dilakukan oleh korban tindak pidana umum dengan beraktifitas

di tempat-tempat yang memiliki petugas keamanan dan perangkat

keamanan seperti CCTV.


242

Penolakan pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai alat bukti

dalam tindak pidana umum secara faktual telah memberikan kontribusi

negatif terhadap rasa keamanan dan perlindungan bagi masyarakat.

Masyarakat merasa terlindungi dengan adanya dan banyaknya

penggunaan perangkat keamanan audio visual, tetapi pada sisi yang lain

hasil rekaman audio visual yang berisi tentang suatu peristiwa tindak

pidana umum tidak seluruhnya diakui dalam hukum acara pidana.

Rekaman audio visual yang diakui sebagai alat bukti hanya rekaman

audio visual yang berasal dari perangkat yang dipasang oleh aparat

penegak hukum. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan bahwa, “Apakah

perangkat audio visual yang dipasang oleh aparat penegak hukum sebagai

alat pengamanan dan dapat menjadi alat bukti telah cukup mengimbangi

banyaknya penyebaran masyarakat?”

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti dengan

cara melakukan dikotomi, yaitu: pengakuan sebagai alat bukti terhadap

rekaman audio visual dari perangkat yang dipasang oleh aparat penegak

hukum dengan penolakan sebagai alat bukti terhadap rekaman audio

visual dari perangkat yang dipasang oleh masyarakat. Dikotomi

pengakuan terhadap rekaman audio visual oleh hukum acara di bidang

pidana umum dianggap telah memberikan kontribusi negative terhadap

pelaksanaan kewajiban korban sebagaimana yang telah dijelaskan dan

hak yang dimiliki oleh korban tindak pidana umum.


243

d. Pelanggaran terhadap hak korban tindak pidana umum.

Pembatasan pengakuan audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana

umum telah menghambat pemberian hak yang seharusnya diberikan kepada

korban. Korban tindak pidana umum memiliki hak yang harus diberikan oleh

hukum atas penderitaan dan kerugian yang telah dialami, baik penderitaan dan

kerugian terhadap tubuh, nyawa dan/atau harta benda akibat tindak pidana

umum yang terjadi. Korban tindak pidana umum harus mendapatkan hak dasar

dalam bentuk rehabilitasi dan/atau kompensasi atas penderitaan dan kerugian

yang telah dialaminya.

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti secara kongkret

telah bertentangan dan menghambat pemberian hak terhadap korban tindak

pidana umum. Hal ini secara tidak langsung bertentangan dengan tujuan hukum

umum secara filosofis dan tujuan hukum pidana itu sendiri. Pada prinsipnya

setiap orang harus diberikan beban tanggungjawab atas setiap tindak pidana

umum yang telah dilakukan dan setiap orang yang menjadi korban harus

diberikan perlindungan, kompensasi dan rehabilitasi atas penderitaan dan

kerugian yang dialami akibat tindak pidana umum yang dilakukan oleh pelaku,

sehingga tujuan hukum secara filosofis dapat terwujud, yaitu: menciptakan

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti yang secara

nyata telah menghambat pemberian hak-hak yang seharusnya dapat diberikan


244

kepada korban tindak pidana umum selanjutnya dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Hak korban tindak pidana umum untuk menerima kompensasi yang

sesuai atas penderitaan tubuh, nyawa, dan harta yang mengalami kerusakan,

kehilangan, dan kerugian akibat tindak pidana umum yang dilakukan oleh

pelaku sesuai dengan hukum material yang berlaku.

Berdasarkan asas legalitas yang dikenal selama ini, yaitu: nulum delictum,

noela poena sine previa lege poenali menggambarkan bahwa, hukum pidana

dengan segala ketentuannya harus didasarkan atas substansi hukum yang

berlaku. Setiap tindakan akan dianggap sebagai tindak pidana umum, apabila

tindakan yang dilakukan oleh pelaku telah memenuhi unsur-unsur pidana.

Asas legalitas dalam hukum pidana dianggap sebagai dasar menentukan

tindak pidana umum dalam hukum pidana material.

Hukum pidana material yang secara substantif telah mengatur unsur-

unsur tindak pidana umum dan pelaku telah melakukan tindak pidana umum

yang diatur dalam hukum pidana material, maka setiap pelaku harus

bertanggungjawab atas tindak pidana umum yang telah dilakukan. Di sisi

yang lain, tindak pidana umum yang telah mengakibatkan korban, maka

setiap korban tindak pidana umum harus mendapatkan hak-hak dalam

bentuk kompensasi, rehabilitasi, dan ganti rugi atas penderitaan yang telah

dialami.
245

Hukum acara pidana yang membatasi pengakuan rekaman audio visual

sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum yang secara kongkret telah

menghambat penegakan hukum material harus segera diperbaharui. Hukum

pidana material yang memiliki asas dasar legalitas menghendaki setiap

tindak pidana umum yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana umum harus

diberikan sanksi. Hal ini memiliki arti juga bahwa, hukum acara pidana yang

mengatur tentang penegakan hukum material harus memiliki sifat yang

adaptif dengan hukum material secara substantif.

Korban tindak pidana umum yang memiliki hak untuk mendapatkan

kompensasi, rehabilitasi dan ganti rugi berdasarkan hukum pidana material

sebagaimana tanggungjawab yang harus dilakukan oleh pelaku tindak pidana

umum, maka pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti

dalam tindak pidana umum tidak memiliki dasar (alas hak) yang kuat untuk

tetap dipertahankan dalam proses penegakan hukum material. Hukum pidana

material secara filosofis menghendaki setiap tindakan pelaku yang

memenuhi unsur-unsur hukum pidana material harus diberikan pemidanaan

yang sesuai dengan hukum pidana material secara substantif.

2. Hak korban tindak pidana umum untuk mendapatkan kepastian atas

proses hukum yang berlaku (korban tindak pidana umum memiliki hak

untuk mendapatkan kepastian bahwa, penderitaan dan kerugian yang dialami

akan mendapatkan penanganan yang objektif sesuai dengan beratnya tindak

pidana umum yang telah diakibatkan oleh pelaku).


246

Hukum pidana material secara filosofis menghendaki setiap pelaku tindak

pidana umum bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan. Hal ini

dapat diartikan juga bahwa, setiap korban tindak pidana umum memiliki hak

mendapatkan kompensasi, rehabilitasi, dan ganti kerugian atas penderitaan

terhadap tubuh, nyawa dan harta akibat tindak pidana umum yang dilakukan

oleh pelaku tindak pidana umum. Kehendak hukum pidana material ini juga

dapat diartikan, bahwa setiap orang yang menjadi korban tindak pidana

umum memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, rehabilitasi, dan ganti

rugi atas penderitaan yang telah dialami terlepas dari tata cara dan bentuk

penegakan hukum material yang diberlakukan.

Korban tindak pidana umum memiliki hak untuk mendapatkan

kepastian atas kompensasi, rehabilitasi dan ganti rugi yang diterima.

Pembatasan pengakuan rekaman audio visual sebagai alat bukti tidak boleh

menghalangi dan menghambat kepastian hukum yang telah diberikan oleh

hukum pidana material secara substantif. Kepastian untuk mendapatkan

kompensasi, rehabilitasi dan ganti rugi yang harus diterima oleh korban

tindak pidana umum merupakan bentuk perwujudan dari asas legalitas yang

berlaku dalam hukum pidana material, yaitu: Pasal 1 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, selain kepastian hukum juga merupakan perwujudan dari

tujuan hukum itu sendiri secara filosofis.

Kesenjangan diantara Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang proses penegakan hukum


247

yang berhubungan dengan alat bukti audio visual harus dapat diatasi dengan

pembaharuan paradigma yang dimiliki oleh para penegak hukum. Kepastian

penegakan hukum material yang lebih lanjut dapat memberikan kepastian

hukum, baik bagi pelaku tindak pidana umum dan korban tindak pidana

umum merupakan skala prioritas daripada membatasi proses pembuktian

yang secara substantif tidak memiliki alas hak atau dasar hukum yang kuat

secara filosofis.

3. Hak korban tindak pidana umum untuk mendapatkan perlindungan

atas tubuh, nyawa, harta, dan keluarga selama proses pemeriksaan perkara

dan setelah pelaku menjalankan sanksi hukum yang telah dibebankan.

Eksistensi hukum pada hakikatnya diciptakan untuk memberikan

perlindungan kepada setiap orang dalam melaksanakan pergaulan di

masyarakat. Eksistensi hukum pada hakikatnya juga ditujukan untuk

memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana umum atas

penderitaan dan kerugian yang telah diderita dan memberikan

tanggungjawab kepada pelaku atas tindak pidana umum yang telah

dilakukannya.

Eksistensi hukum acara pidana umum yang membatasi rekaman audio

visual sebagai alat bukti pada hakikatnya telah bertentangan dengan prinsip

perlindungan yang harus diberikan oleh hukum. Pembatasan pengakuan

rekaman audio visual sebagai alat bukti secara nyata mengancam keamanan

dan kenyamanan setiap anggota masyarakat (khususnya anggota masyarakat


248

yang menjadi korban tindak pidana umum), baik perlindungan dalam arti

mencegah tindak pidana umum yang akan terjadi maupun penanggulangan

tindak pidana umum yang telah terjadi.

Apabila hukum acara pidana umum yang memiliki tujuan untuk

memberikan perlindungan kepada setiap anggota masyarakat dengan cara

melakukan penegakan hukum pidana material tidak mampu mengatasi

tindak pidana umum yang terjadi di masyarakat akibat diterapkannya

pembatasaan penggunaan rekaman audio visual sebagai alat bukti, maka

bagaimana mungkin hukum dapat memberikan perlindungan kepada

masyarakat. Hukum acara pidana umum yang tidak mampu menegakan

hukum pidana material hanya akibat membatasi pengggunaan rekaman audio

visual sebagai alat bukti dan menyebabkan pelaku tindak pidana umum

terbebas dari tanggungjawab pidana, maka secara faktual hukum tidak dapat

memberikan kepastian perlindungan kepada korban tindak pidana umum.

Hal ini lebih lanjut dapat mengakibatkan munculnya calon-calon korban

tindak pidana umum akibat pelaku tindak pidana umum tidak dibebankan

tanggungjawab pidana secara proposional.

4. Hak korban tindak pidana umum untuk mendapatkan kelansungan

hidup yang layak, sehingga kompensasi yang diberikan harus dapat

mengatasi hambatan atau gangguan yang mungkin terjadi terhadap

keberlangsungan hidup korban (dalam hal ini lingkungan dan keluarga

korban yang menjadi factor yang menyertai hidup korban juga harus
249

mendapatkan kompensasi yang sesuai, sehingga korban, keluarga korban,

dan lingkungan dapat melangsungkan hidup sama dengan sebelum tindak

pidana umum terjadi).

Korban tindak pidana umum yang diberikan sejumlah hak oleh hukum untuk

dapat memulihkan kondisi dan keadaan seperti sebelum tindak pidana umum

terjadi merupakan tujuan dasar dari sisi lain pemidanaan yang telah

diberikan kepada pelaku tindak pidana umum. Pemidanaan yang dibebankan

kepada pelaku tindak pidana umum yang ditujukan untuk memberikan

pembalasan dan pembinaan memiliki tujuan lain, yaitu: memberikan korban

tindak pidana umum untuk mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dan ganti

kerugian atas penderitaan yang telah dialami. Pemulihan korban tindak

pidana umum seperti kondisi/keadaan semula dengan memberikan

kompensasi, rehabilitasi, dan ganti kerugian tidak hanya diartikan untuk

korban tindak pidana umum sebagai pihak yang langsung terkena akibat dari

tindak pidana umum yang dilakukan oleh pelaku.

Keluarga korban, masyarakat dan/atau lingkungan dari korban tindak

pidana umum juga harus mendapatkan kompensasi, rehabilitasi, dan ganti

kerugian selama keluarga korban, masyarakat, dan lingkungan dari korban

tindak pidana umum secara nyata telah mengalami penderitaan atas tindak

pidana umum yang telah dilakukan oleh korban. Pemberian kompensasi,

rehabilitasi, dan ganti kerugian yang ditujukan untuk memberikan pemulihan

kepada korban, keluarga korban, masyarakat atau lingkungan dari korban


250

tindak pidana umum dapat terwujud dengan syarat proses penegakan hukum

yang diterapkan dapat dilakukan dengan cara yang objektif.

Penegakan hukum pidana yang dilakukan secara objektif dapat

diartikan bahwa, penegakan hukum pidana yang dilakukan menekankan

pada unsur-unsur tindak pidana umum yang dilakukan oleh pelaku. Hukum

pidana umum harus ditegakan dengan cara apapun sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang tercantum dalam hukum pidana material. Oleh karena itu,

penegakan hukum yang dilakukan tidak boleh dibatasi berdasarkan

klasifikasi tertentu, khususnya pembatasan penggunaan rekaman audio

visual sebagai alat bukti yang dapat mengakibatkan berkurangnya

objektifitas penegakan hukum yang dilakukan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap pertanggungjawaban yang harus

dibebankan kepada pelaku tindak pidana umum dihubungkan dengan eksistensi dan

autentikasi rekaman audio visual sebagai alat bukti, maka hukum acara pidana umum

sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan

hukum pidana material sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana harus dapat dilakukan secara selaras dan harmonis untuk mewujudkan

tujuan hukum secara filosofis. Keberadaan hukum pidana material dan hukum pidana

formal harus dapat memberikan jalan keluar terhadap setiap perkara pidana umum

yang dilakukan. Hukum pidana, baik hukum pidana material maupun hukum pidana

formal harus selaras untuk memberikan kontribusi positif terhadap pemberian dan
251

pelaksanaan terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki/diberikan kepada pelaku

tindak pidana umum maupun kepada korban tindak pidana umum.

Fakta yang terjadi menggambarkan tentang adanya kesenjangan diantara hukum

pidana material dengan hukum pidana formal dalam menjawab permasalahan hukum

yang terjadi di masyarakat. Kesenjangan diantara hukum pidana material dengan

hukum pidana formal seharusnya tidak boleh terjadi dalam hukum pidana. Hal ini

didasarkan bahwa, asas nulum delictum, noela poena sine previa lege poenali sebagai

asas yang mendasar dalam hukum pidana tidak dapat diterapkan hanya akibat tidak

adanya keselarasan diantara hukum pidana material dengan hukum pidana formal.

Hukum pidana formal yang tidak selaras dengan hukum pidana material

menyebabkan unsur-unsur tindak pidana umum yang tercantum dalam hukum pidana

material tidak dapat diterapkan. Hal ini berakibat bahwa, hukum pidana yang berlaku

secara yuridis tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat (khususnya

kepada pelaku dan korban), meskipun secara substantif peristiwa tindak pidana umum

yang terjadi di masyarakat telah terbukti.

Asas nulum delictum, noela poena sine previa lege poenali sebagai asas

mendasar dalam hukum pidana secara universal memiliki tujuan filosofis, yaitu:

memberikan kepastian hukum bagi pelaku dan korban, sehingga pelaku dan korban

masing-masing dapat menuntut hak dan tanggung jawab yang dimiliki sehubungan

dengan peristiwa tindak pidana umum yang terjadi. Hukum acara pidana umum yang

tidak memberikan ruang terhadap rekaman audio visual sebagai alat bukti yang sah
252

dalam persidangan, kecuali rekaman audio visual yang berasal dari perangkat yang

dipasang oleh para penegak hukum telah mengakibatkan inkonsistensi asas nulum

delictum, noela poena sine previa lege poenali dalam penerapannya secara kongkret.

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu konsep yang memiliki karakteristik futuristik yang

dapat memberikan kontribusi positif terhadap ketidak selarasan diantara substansi

hukum pidana dengan hukum acara pidana yang berlaku.

Konsep diantara kesenjangan diantara substansi hukum pidana dengan hukum

acara pidana dimaksudkan untuk merubah paradigma pembuktian dalam persidangan,

sehingga rekaman audio visual dalam segala bentuk dan katagori dapat mewujudkan

hukum secara filosofis, yaitu: keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan

hukum. Konsep yang ditawarkan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

terhadap kebutuhan hukum masyarakat yang selama ini dibatasi dengan hukum acara

pidana yang tidak mengakui rekaman audio visual yang dimiliki oleh masyarakat

sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian di persidangan.

Konsep yang ditawarkan diberikan nama “Autentikasi Bukti Audio Visual”

yang secara terminologi lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kata “Autentikasi” yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan sebagai suatu cara, proses atau perbuatan membuktikan sesuatu secara

autentik;124

124
Lihat KBBI: Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa
Edisi Keempat Cetakan Kesembilan), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015, Hlm. 101.
253

2. kata “Audio Visual” yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan sebagai “bersifat dapat didengar dan dilihat, serta alat pandang

dengar”.125

Konsep Autentikasi Bukti Audio Visual menjelaskan bahwa, setiap rekaman

audio visual dapat dijadikan sebagai alat bukti, jika setiap rekaman audio visual yang

telah dilakukan proses autentikasi tentang kebenaran dan keaslian yang terkandung

dalam rekaman audio visual. Proses autentikasi terhadap suatu rekaman audio visual

harus dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah tertentu, sehingga

setiap gambar dan suara yang menggambarkan suatu peristiwa tindak pidana umum

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang kebenaran dan keasliannya.

Proses autentikasi yang dilakukan terhadap rekaman audio visual harus

dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam melakukan proses

autentikasi rekaman audio visual untuk dijadikan sebagai alat bukti. Proses

autentikasi terhadap rekaman audio visual diantaranya dapat dilakukan oleh pihak-

pihak, seperti:

5. Saksi Ahli.

Saksi ahli dalam arti orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan,

pengetahuan dan keilmuan dibidang audio visual, sehingga orang-orang yang menjadi

saksi ahli dapat memberikan keterangan di dalam persidangan tindak pidana umum

secara objektif.

125
Lihat KBBI: Departemen Pendidikan Nasional, Ibid, Hlm. 100.
254

Saksi ahli dapat membantu melakukan proses autentikasi audio visual sebagai

alat bukti tindak pidana umum secara objektif dengan mempertimbangkan aspek

keberpihakan. Oleh karena itu, saksi ahli yang diajukan dalam proses persidangan

tindak pidana umum harus dimohonkan berdasarkan tiga (3) permintaan, yaitu:

a. Saksi ahli yang diajukan oleh terdakwa sebagai pelaku tindak pidana umum,

sehingga saksi ahli yang dimohonkan oleh pelaku tindak pidana umum dapat

mengkaji dan melakukan proses autentikasi dari sudut pandang pelaku

tindak pidana umum;

b. Saksi ahli yang diajukan oleh jaksa sebagai perwakilan dari negara dan

korban yang melakukan penuntutan tanggungjawab kepada pelaku tindak

pidana umum, sehingga saksi ahli yang diajukan oleh penuntut umum dapat

menjelaskan proses autentikasi rekaman audio visual dari sudut pandang

korban tindak pidana umum;

c. Saksi ahli yang diajukan oleh pihak ketiga sebagai pihak yang dianggap

independen untuk menengahi perbedaan hasil dari proses autentikasi

rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum, apabila

saksi ahli yang diajukan oleh pelaku tindak pidana umum dengan saksi ahli

yang diajukan oleh penuntut umum memiliki perbedaan yang sangat

mendasar.

Autentikasi terhadap rekaman audio visual sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum yang dilakukan oleh para saksi ahli memiliki kemungkinan untuk

berbeda. Hal ini didasarkan atas perbedaan metode yang digunakan, meskipun
255

seharusnya secara objektif hasil autentikasi terhadap rekaman audio visual yang

dilakukan untuk dijadikan sebagai alat bukti tidak memiliki perbedaan yang sangat

mendasar, mengingat setiap proses autentikasi dilakukan didasarkan atas metode-

metode keilmuan yang seharusnya telah terukur.

6. Lembaga Independen.

Lembaga independen merupakan institusi atau pranata yang diberlakukan secara

independen untuk menilai setiap kebenaran dan keaslian rekaman audio visual

yang menggambarkan secara deskriptif tentang suatu peristiwa tindak pidana

umum yang terjadi. Lembaga independen yang menilai kebenaran dan keaslian

rekaman audio visual yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum dapat dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat berdasarkan

kualifikasi tertentu.

Lembaga independen tidak hanya memiliki tugas untuk melakukan proses

autentikasi terhadap rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti

dalam tindak pidana umum, tetapi lembaga independen juga memiliki beberapa

fungsi yang mendukung proses autentikasi terhadap rekaman audio visual,

seperti:

a. Lembaga independen memiliki fungsi untuk memeriksa faliditas dari setiap

rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum.

Memeriksa dan menilai setiap kebenaran dan keaslian dari setiap waktu yang

terdapat dari rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti
256

tindak pidana umum. Pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga independen

dapat terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi untuk memeriksa

dan menilai kebenaran dan keaslian dari rekaman audio visual, selain

pemeriksaan dan penilaian dapat dilakukan dengan memeriksa dan menilai

meta data yang terdapat dari data rekaman audio visual yang akan dijadikan

sebagai alat bukti tindak pidana umum.

Lembaga independen juga memiliki kewajiban untuk melakukan proses

autentikasi dengan cara memeriksa dan menilai meta data yang terdapat dalam

rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti dapat

memberikan informasi yang dibutuhkan tentang proses perekaman yang

dilakukan oleh suatu perangkat audio visual hingga menjadi suatu rekaman

audio visual yang utuh (rekaman audio visual yang dapat dilihat dan didengar

berdasarkan panca indra langsung).

b. Lembaga independen memiliki fungsi untuk mencari dan

memperbandingkan tentang rekaman audio visual yang akan dijadikan

sebagai alat bukti.

Lembaga independen selain memiliki fungsi untuk memeriksa dan menilai

rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti tindak pidana

umum, lembaga independen juga memiliki fungsi untuk mencari rekaman-

rekaman audio visual dari perangkat-perangkat yang berada di lingkungan

dan memiliki hubungan dengan peristiwa tindak pidana umum yang terekam

dalam rekaman audio visual utama. Pencarian terhadap rekaman-rekaman


257

audio visual yang terkait dengan suatu peristiwa tindak pidana umum

memiliki tujuan untuk membantu menggambarkan dan mendeskripsikan

tentang alur dari suatu peristiwa tindak pidana umum yang terjadi secara

menyeluruh dan terintegrasi.

Mencari rekaman-rekaman audio visual lainnya yang memiliki hubungan

dengan peristiwa tindak pidana umum dianggap memiliki peran penting

dalam meningkatkan akurasi dan objektifitas dari hasil autentikasi terhadap

rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti. Mencari

persesuaian dan perbandingan diantara rekaman audio visual yang menjadi

alat bukti dengan rekaman-rekaman audio visual yang berhubungan dengan

peristiwa tindak pidana umum yang menjadi objek perkara dianggap dapat

menggungkap proses terjadinya suatu peristiwa tindak pidana umum yang

dilakukan oleh pelaku, selain dapat menggambarkan secara deskriptif

tentang factor-faktor yang mendukung pelaku melakukan tindak pidana

umum kepada korban.

c. Lembaga independen memiliki fungsi untuk membuat suatu dokumen

hukum yang memiliki sifat autentik atas isi dari rekaman audio visual yang

akan dijadikan sebagai alat bukti.

Lembaga independen yang memiliki tugas dalam membuktikan tentang

kebenaran dan keaslian dari rekaman audio visual yang dijadikan sebagai

alat bukti, selain mencari persesuaian dan perbandingan dengan rekaman-

rekaman audio visual yang memiliki hubungan dengan peristiwa tindak


258

pidana umum yang menjadi objek perkara tindak pidana umum, lembaga

independen juga memiliki tugas untuk melakukan proses autentikasi

terhadap rekaman-rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat

bukti.

Autentikasi yang dilakukan oleh lembaga independen terhadap rekaman

audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti tindak pidana umum

dilakukan dengan cara melakukan scripting atau menterjemahkan setiap alur

dan waktu peristiwa tindak pidana umum yang terdapat dalam rekaman

audio visual ke dalam bentuk tulisan atau dokumen hukum yang dibuat

secara deskriptif. Penterjemahan dan/atau proses scripting dari isi rekaman

audio visual sebagai alat bukti, baik penterjemahan atau scripting terhadap

metadata rekaman audio visual maupun terhadap isi dari rekaman audio

visual itu sendiri ditujukan untuk mempermudah para penegak hukum dalam

membaca, mengartikan dan mengkaji rekaman audio visual yang dijadikan

sebagai alat bukti secara lebih substantif.

Autentikasi yang dilakukan oleh lembaga independen terhadap rekaman

audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti menjadi dokumen hukum atas

tindak pidana umum yang terjadi memberikan kedudukan lembaga

independen yang dimaksud sebagai salah satu lembaga yang diberikan

kewenangan oleh undang-undang dalam mengeluarkan dokumen hukum

yang memiliki sifat autentik yang dapat digunakan bagi para aparat penegak

hukum dalam melakukan proses pemeriksaan, pembuktian dalam memutus


259

perkara tindak pidana umum yang memiliki hubungan dengan alat bukti

audio visual secara lebih objektif.

Meninjau terhadap proses autentikasi yang dilakukan terhadap rekaman audio

visual yang dijadikan sebagai alat bukti, khususnya rekaman audio visual yang

berasal dari perangkat masyarakat, maka terdapat beberapa metode proses autentikasi

yang dapat dilakukan terhadap rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti, seperti:

1. Autentikasi dilakukan dengan cara mencari persesuaian antara

metadata tentang informasi perangkat yang terkandung dalam rekaman audio

visual dengan spesifikasi perangkat yang digunakan untuk proses perekaman.

Proses autentikasi yang dilakukan terhadap rekaman audio visual yang

dijadikan sebagai alat bukti dapat dilakukan dengan mencari informasi

metadata yang berada dibalik suatu rekaman audio visual. Memeriksa metadata

yang terkandung dalam rekaman audio visual memiliki peran penting untuk

mengungkap kesesuaian diantara rekaman audio visual, perangkat audio visual,

perjalanan data audio visual dengan peristiwa tindak pidana umum yang

menjadi objek perkara.

Adapun informasi metadata dalam rekaman audio visual yang sangat penting

untuk diketahui dalam mendukung proses pembuktian dalam suatu tindak

pidana umum diantaranya ialah sebagai berikut:

a. Informasi tentang waktu perekaman;

b. Informasi besarnya data dan kualitas data yang digunakan;


260

d. Informasi tentang perangkat yang digunakan dalam proses perekaman;

e. Informasi lokasi perekaman untuk rekaman audio visual yang direkam

dengan perangkat yang mendukung teknologi Global Position System (GPS).

Informasi metadata yang terkandung dalam rekaman audio visual juga

memiliki peran penting dalam mengungkap ada tidaknya campur tangan atau

upaya tertentu yang dimaksudkan untuk mengaburkan atau menghilangkan

informasi penting yang terkandung dalam substansi rekaman audio visual yang

akan dijadikan sebagai alat bukti. Meta data yang ada dalam rekaman audio

visual sangat mungkin untuk dilakukan rekayasa sesuai dengan perubahan

teknologi yang selalu berkembang, tetapi proses autentikasi yang dilakukan

oleh para penegak hukum diharapkan dapat mencegah atau mengatasi

pembiasan atau penghilangan informasi yang terkandung dalam suatu meta data

rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak

pidana umum.

2. Autentikasi dapat dilakukan dengan cara mencari persesuaian dan

perbandingan diantara waktu dan tempat yang terkandung dengan rekaman

audio visual dengan keterangan-keterangan yang berasal dari saksi, korban dan

terdakwa.

Informasi metadata yang terkandung dalam rekaman audio visual memiliki

peran penting dalam mendukung proses pembuktian yang dilakukan terhadap

tindak pidana umum. Informasi yang dimiliki dalam metadata dapat dijadikan
261

sebagai bahan dalam menguji persesuaian dan perbandingan diantara rekaman

audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan keterangan-keterangan

yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dengan peristiwa tindak pidana

umum, seperti:

a. Keterangan yang diberikan oleh pelaku tindak pidana umum;

b. Keterangan yang diberikan oleh korban tindak pidana umum; dan

c. Keterangan yang diberikan oleh para saksi dalam tindak pidana umum.

Informasi metadata yang terkandung dalam rekaman audio visual yang

dijadikan sebagai alat bukti dapat membuktikan ada tidaknya suatu kesaksian

palsu yang diberikan oleh pelaku tindak pidana umum, korban tindak pidana

umum atau para saksi, selain informasi meta data dapat memberikan reposisi

perkara yang sesuai dengan peristiwa tindak pidana umum yang sesungguhnya.

Reposisi perkara tindak pidana umum yang sesungguhnya lebih lanjut dapat

memberikan putusan yang objektif tentang pertanggungjawaban kepada pelaku

tindak pidana umum, selain memberikan bentuk kompensasi, rehabilitasi dan

ganti rugi yang sesuai dengan besarnya penderitaan yang telah dialami oleh

korban tindak pidana umum.

3. Autentikasi dapat dilakukan dengan cara memperbandingkan rekaman

audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan rekaman-rekaman audio

visual lainnya yang berhubungan dengan peristiwa tindak pidana umum yang

dilakukan.
262

Autentikasi terhadap rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti

dapat dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan. Metode

perbandingan digunakan untuk mendapatkan persesuaian dan perbedaan

diantara audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan data-data digital

lainnya yang berisi tentang gambaran secara deskriptif tentang suatu peristiwa

tindak pidana umum yang sama dalam waktu dan tempat yang sama.

Autentikasi dengan metode perbandingan dapat dilakukan diantara data-data

digital yang mendukung proses autentikasi terhadap rekaman audio visual yang

dijadikan sebagai alat bukti, seperti:

a. Perbandingan autentikasi rekaman audio visual dilakukan diantara rekaman

audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti tindak pidana umum dengan

rekaman-rekaman audio visual lainnya di sekitar peristiwa tindak pidana

umum terjadi, khususnya pada waktu dan tempat yang berhubungan dengan

peristiwa tindak pidana umum yang terjadi.

b. Perbandingan autentikasi rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti dapat dilakukan dengan memperbandingkan diantara rekaman audio

visual yang dijadikan sebagai alat bukti tindak pidana umum dengan data

percakapan atau komunikasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait,

baik data percakapan/komunikasi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana

umum, korban tindak pidana umum maupun saksi-saksi yang mengetahui

peristiwa tindak pidana umum yang terjadi.


263

c. Perbandingan autentikasi rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti dapat dilakukan dengan memperbandingkan diantara rekaman audio

visual yang dijadikan sebagai alat bukti tindak pidana umum dengan data-

data transaksi yang mungkin dilakukan oleh pelaku tindak pidana umum

maupun dilakukan oleh korban tindak pidana umum, baik sebelum peristiwa

tindak pidana umum terjadi maupun setelah peristiwa tindak pidana umum

terjadi.

d. Perbandingan autentikasi rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti dapat dilakukan dengan memperbandingkan diantara rekaman audio

visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan data pergerakan sistem

pemosisi global atau Global Position System (GPS), baik yang dilakukan

oleh pelaku tindak pidana umum, korban tindak pidana umum maupun saksi-

saksi yang mungkin terdapat dan terditeksi dari telepon seluler, alat perekam

audio visual atau kendaraan yang digunakan.

e. Perbandingan autentikasi rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti dapat dilakukan dengan memperbandingkan diantara rekaman audio

visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan data-data digital lainnya

yang dapat membantu dan mendukung terhadap proses autentikasi rekaman

audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti mengungkap suatu peristiwa

tindak pidana umum yang terjadi secara objektif.


264

4. Autentikasi dapat dilakukan dengan cara mencari persesuaian antara

rekaman-rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan alat-

alat bukti yang berhubungan dengan peristiwa tindak pidana umum yang

terjadi.

Autentikasi terhadap rekaman audio visual pada hakikatnya dilakukan untuk

mencari kebenaran dan keaslian tentang alur peristiwa tindak pidana umum

yang terjadi. Proses autentikasi terhadap rekaman audio visual yang dijadikan

sebagai alat bukti dapat dilakukan dengan mencari kesesuaian, perbedaan dan

perbandingan diantara rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti

dengan alat-alat bukti lainnya yang berhubungan dengan terjadinya suatu

peristiwa tindak pidana umum.

Beragam alat bukti yang dapat dijadikan sebagai sarana autentikasi terhadap

rekaman audio visual dapat dilakukan dengan beberapa cara/metode, seperti:

a. Autentikasi rekaman audio visual dapat dilakukan dengan mencari

persesuaian diantara rekaman audio visual dengan keterangan-keterangan

saksi yang dijadikan sebagai alat bukti dalam mengungkap tindak pidana

umum yang terjadi;

b. Autentikasi rekaman audio visual dapat dilakukan dengan mencari

persesuaian diantara rekaman audio visual dengan keterangan-keterangan

saksi ahli yang dijadikan sebagai alat bukti dalam mengungkap tindak

pidana umum yang terjadi;


265

c. Autentikasi rekaman audio visual dapat dilakukan dengan mencari

persesuaian diantara rekaman audio visual dengan keterangan-keterangan

terdakwa yang dijadikan sebagai alat bukti dalam mengungkap tindak pidana

umum yang terjadi;

d. Autentikasi audio visual dapat dilakukan dengan mencari persesuaian

diantara rekaman audio visual dengan bukti-bukti surat yang dijadikan

sebagai alat bukti dalam mengungkap tindak pidana umum yang terjadi; dan

e. Autentikasi rekaman audio visual dapat dilakukan dengan mencari

persesuaian diantara rekaman audio visual dengan bukti-bukti petunjuk yang

dijadikan sebagai alat bukti dalam mengungkap tindak pidana umum yang

terjadi.

Autentikasi yang dilakukan terhadap rekaman audio visual yang dijadikan

sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum dilakukan secara menyeluruh dan

terintegrasi dengan cara mencari kesesuaian diantara alat-alat bukti yang

digunakan dalam proses pemeriksaan, persidangan dan pembuktian terhadap

tindak pidana umum yang terjadi. Autentikasi terhadap rekaman audio visual

yang dijadikan sebagai alat bukti juga tidak terbatas hanya mencari kesesuaian

diantara rekaman audio visual dengan alat-alat bukti yang digunakan dalam

mengungkap terjadinya suatu peristiwa tindak pidana umum. Autentikasi

terhadap rekaman audio visual juga dilakukan dengan mencari kesesuaian

diantara dua (2) factor di bawah ini:


266

a. Autentikasi rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dapat

dilakukan dengan mencari kesesuaian, perbedaan, dan perbandingan diantara

rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan fakta-fakta

yang terdapat di tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa tindak pidana

umum.

Autentikasi terhadap rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti harus dilakukan dengan mengukur tingkat kesesuaian diantara fakta-

fakta yang digambarkan dalam rekaman audio visual dengan fakta-fakta

yang sebenarnya terjadi di lapangan, baik sebelum, ketika atau setelah

peristiwa tindak pidana umum terjadi. Autentikasi diantara rekaman audio

visual dengan fakta-fakta yang terjadi memiliki peran yang sangat penting,

karena tanpa adanya kesesuaian diantara fakta-fakta yang terdapat dalam

rekaman audio visual dengan fakta-fakta yang terdapat di lingkungan

sebenarnya, maka rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti

dianggap tidak memiliki validitas (rekaman audio visual yang dijadikan

sebagai alat bukti dianggap fiktif).

b. Autentikasi rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dapat

dilakukan dengan mencari kesesuaian, perbedaan dan perbandingan diantara

rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat bukti dengan fakta-fakta

hukum yang terdapat di tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa tindak

pidana umum.
267

Autentikasi terhadap rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti harus dilakukan dengan mengukur tingkat kesesuaian diantara fakta-

fakta hukum yang digambarkan dalam rekaman audio visual dengan fakta-

fakta hukum yang sebenarnya terjadi di lapangan, baik sebelum, ketika atau

setelah peristiwa tindak pidana umum terjadi. Autentikasi diantara rekaman

audio visual dengan fakta-fakta hukum yang terjadi memiliki peran yang

sangat penting, karena tanpa adanya kesesuaian fakta-fakta hukum diantara

rekaman audio visual yang dijadikan alat bukti dengan fakta-fakta hukum

yang sebenarnya terjadi, maka rekaman audio visual tersebut tidak dapat

dijadikan sebagai alat bukti, meskipun secara autentik rekaman audio visual

tersebut memiliki nilai kebenaran dan keaslian. Hal ini didasarkan bahwa,

fakta hukum memberikan alas hak bagi para penegak hukum dalam

menjatuhkan pemidanaan kepada pelaku tindak pidana umum, karena hanya

fakta hukum yang dianggap sebagai fakta yang memiliki akibat hukum.

5. Autentikasi dapat dilakukan dengan cara memeriksa proses editing atau proses

rekayasa yang mungkin dilakukan terhadap rekaman audio visual yang

dijadikan sebagai alat bukti.

Autentikasi terhadap rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti dapat dilakukan dengan memeriksa ada tidaknya proses perubahan,

pemotongan dan/atau penambahan (editing) untuk memberikan pengaruh atau

kesan tertentu terhadap pemeriksaan suatu peristiwa tindak pidana umum.


268

Proses perubahan, pengurangan dan/atau proses penambahan terhadap

suatu rekaman audio visual yang akan dijadikan sebagai alat bukti akan

memberikan dampak yang besar bagi proses pemeriksaan, pembuktian dan

putusan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana umum. Oleh karena itu,

faktor yang sangat penting dalam proses pembuktian suatu tindak pidana umum

dihubungkan dengan keberadaan bukti rekaman audio visual bukan terletak

pada dari perangkat mana rekaman audio visual dihasilkan, tetapi sejauhmana

kebenaran dan keaslian dari rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti dalam tindak pidana umum.

Kemajuan teknologi editing saat ini sangat memberikan kemudahan

seseorang dalam merubah, mengurangi dan/atau melakukan penambahan

terhadap suatu rekaman audio visual tanpa diketahui jejak proses editing yang

telah dilakukan. Oleh karena itu, para aparat penegak hukum harus mampu

memeriksa dan membedekan diantara rekaman audio visual yang telah

mengalami proses perubahan, pengurangan dan/atau penambahan dengan

rekaman audio visual yang belum mengalami proses perubahan, pengurangan

dan/atau penambahan selaras dengan kemajuan teknologi digital saat ini.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Keberadaan rekaman audio visual tidak dapat dijadikan sebagai alat

bukti dalam proses pembuktian tindak pidana umum di Indonesia. Rekaman

audio visual yang berisi tentang suatu peristiwa tindak pidana umum diakui

sebagai alat bukti dengan syarat rekaman audio visual berasal dari perangkat

yang dipasang secara resmi oleh aparat penegak hukum. Rekaman audio

visual yang berasal dari perangkat yang dipasang oleh masyarakat tidak

dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian. Masyarakat

telah menggunakan perangkat audio visual untuk dijadikan sebagai alat bukti

yang membantu para penegak hukum atas suatu peristiwa tindak pidana

umum yang terjadi. Kebutuhan hukum masyarakat harus selaras dengan

perkembangan hukum yang berlaku, sehingga penegakan hukum yang

dilakukan terhadap tindak pidana umum yang dihubungkan dengan eksistensi

audio visual sebagai alat bukti dapat mengatasi setiap permasalahan yang

terjadi di masyarakat secara kongkret.

2. Konsep pembuktian rekaman audio visual dalam teori sebagai alat

bukti menurut hukum acara pidana diakui selama rekaman audio visual secara

substantif menggambarkan secara deskriptif tentang terjadinya suatu peristiwa


270

tindak pidana. Konsep pengakuan terhadap rekaman audio visual sebagai alat

bukti didasarkan atas hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pelaku dan korban

tindak pidana. Setiap pelaku memiliki tanggungjawab untuk

bertanggungjawab atas tindak pidana umum yang telah dilakukan tanpa

dibatasi dengan hambatan dari hukum acara pidana umum yang berlaku.

Setiap korban tindak pidana memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi

dan rehabilitasi atas penderitaan dan kerugian yang telah dialami tanpa

dibatasi dengan hambatan hukum acara tindak pidana umum yang berlaku.

Konsep baru yang ditawarkan menghendaki setiap rekaman audio visual yang

menggambarkan secara deskriptif tentang terjadinya suatu peristiwa tindak

pidana harus diakui sebagai alat bukti dengan proses autentikasi tertentu untuk

menilai kebenaran dan keaslian dari rekaman audio visual yang dijadikan

sebagai alat bukti. Autentikasi dapat dilakukan dengan menggunakan beragam

metode yang ditujukan untuk menilai kebenaran dan keaslian fakta hukum

yang terdapat dalam rekaman audio visual.

B. Saran

1. Mengingat keberadaan perangkat audio visual dengan segala

jenisnya telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bentuk pencegahan,

perlindungan dan keamanan dari tindak pidana, maka hukum acara tindak

pidana umum seharusnya mengakui setiap bentuk rekaman audio visual dari

perangkat yang dimiliki masyarakat sebagai alat bukti selama rekaman audio
271

visual tersebut dapat menggambarkan secara deskriptif tentang terjadinya

suatu tindak pidana. Audio visual dalam tindak pidana umum telah

memberikan kontribusi negatif terhadap perwujudan keadilan, kepastian

hukum dan kemanfaatan hukum, maka sudah seharusnya pembaharuan

terhadap hukum acara tindak pidana umum dilakukan oleh para struktur

hukum, selain perubahan paradigma dari para penegak hukum dalam menilai

keaslian dan kebenaran rekaman audio visual yang dijadikan sebagai alat

bukti.

2. Dibutuhkan suatu konsep yang memiliki karakteristik futuristik

yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap ketidak selarasan diantara

substansi hukum pidana dengan hukum acara pidana yang berlaku. Setiap

pelaku tindak pidana wajib dibebankan tanggungjawab atas tindak pidana

umum yang dilakukan; serta setiap korban tindak pidana berhak mendapatkan

kompensasi dan rehabilitasi atas penderitaan yang telah dialami, maka

seharusnya hukum pidana formal dan hukum pidana material seharusnya

dapat berfokus terhadap perwujudan dari tujuan hukum pidana dan

pemidanaan itu sendiri secara kongkret daripada berfokus terhadap cara

penegakan hukum pidana yang secara substantif tidak lagi sesuai dengan

kebutuhan hukum masyarakat. Hukum pidana formal ditujukan untuk

menerapkan dan menegakan hukum pidana material yang lebih lanjut dapat

mewujudkan tujuan hukum secara filosofis, maka beragam konsep, teori dan

paradigma ditawarkan untuk mencegah hukum acara tindak pidana umum


272

tidak menghambat penerapan dan penegakan hukum pidana material secara

substantif.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Andi, Zainal Abidin, Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987.

Adji, Oemar Seno. Hukum – Hakim Pidana, cet II. Erlangga, Jakarta 1984.

Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di


Indonesia. Bogor : Raih Asas Sukses, 2012.

Ali, Achamd. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis.
Jakarta : Gunung Agung, 2002.

Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Ali, Zainuddin . Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2002.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:


Rineka Cipta, 2006.

Anonim, KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum


Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
273

Andrirasman, Tri. Hukum Pidana, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Indonesia, Universitas Lampung, 2009.

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitan Hukum. Jakarta : Rineka Cipta, 1996.

Atmasasmita, Romli, Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam


Perspektif Kriminologi dan Viktimologi, FH UII, Yogyakarta, 1995.

Azhar, Arsyad. Media Pembelajaran, PT. Raja Grafindo, Jakarta 2000.

Bakhri, Syaiful. Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia : Perspektif


Pembaharuan Hukum, Teori dan Praktik Peradilan. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2014.

Bakhri, Syaiful. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana,


Yogyakarta, Total Media, 2010.

Basuki Ismail, 1993.”Negara Hukum Demokrasi Telaah Filosofis”. Jakarta :

Intermedia

Boediono, Herlin . Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia –


Hukum Perjanjian berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia. Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2006.

Miriam, Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke- 29,Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama, 1989.

Carl Joachim Friedrich, 2004.”Filsafat Hukum Perspektif Historis”. Bandung :


Nuansa dan Media.

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-
20, Bandung: PT Alumni, 2006.
274

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I – Stelsel Pidana, Tindak


Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana.
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.

Ch. J. Enschede. Beginselen van Strafrecht. Kluwer : Deventer, 2002.

Coonors, Michael. The Race to the Inteligent State. Capstone Publishing Limited,
1997.

Darwan Prints, Hukum Acaara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989

Dawn M, Turner. Digital Authentication: The Basics, Cryptomathic, Archived,


2016.

Deta P Siswanti, Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Cctv Dalam Tindak Pidana
Kekerasan Yang Menyebabkan Luka. skripsi--Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto,2014.

de Cruz, Peter. Comparative Law in a Changing World. London –Sydney :


Cavendish Publish Limited, 1999.

Dressler, Joshua dan Alan Michaels, Understanding Criminal Procedur, United


States : LexisNexis, 2006.

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia.cetakan ke-2. Jakarta : Balai Pustaka,


1989.

Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana, 1982.

Dikdik, M. Arief dan Elisatris Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi. Bandung : PT. Refika Aditama, 2005.
275

Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran


Hukum di Indonesia, 1990,

Dudu Duswara, Machmudin. Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: PT. Rafika

Aditama, 2000.

Dwi Hananta, 2017.”Menggapai Tujuan Pemidanaan dalam Perkara Pencurian”.


Yogyakarta : Bandar Maju.

Eddy O.S. Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga, 2012.

Effendi, Tolib. Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan


Pembaharuan di Indonesia). Malang: Setara Press, 2014.

Erdianto Efendi, 2011.”Hukum Pidana Indonesia”. Bandung : PT.Refika Aditama

Fachmi. Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2011.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penulisan Hukum. Yogyakarta :


Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 2007.
Faisal Salam, Moch. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar
Maju, Jakarta 2001.

Faiz ,Pan Mohamad. Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, Volue 6
Nomor 1, 2009.

Fathoni, Abdurrahman. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi.


Jakarta : Rineka Cipta, 2006.

Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.

Friedmann, Lawrence M. The Legal System: A Social Science PerspecƟve. [Pent.


M. Khozim], Bandung : Nusamedia, 2011.

Friedman, Lawrence M., American Law, W.W Norton&Co, New York, 1984.
276

G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Bandung:PT Citra Aditya

Bakti, cet.1, 2005.

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cet. 1,


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

Hadiwijono, Harun . Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Jogyakarta: kanisius, 1983.

Hakim, Abdul. KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Jakarta: Djambatan,


1996.

Hamzah, Andi. Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia,
2006.

Hamzah, Andi. Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta,
2008.

Hamzah, Andi Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika : Jakarta, 2014.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding. Kasasi, Dan Peninjauan
Kembali). Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Haryanto M. Hukum Acara Pidana, Salatiga: Fakultas hukum Universitas Kristen


Satya Wacana. 2007.

HMA, Kuffal. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang:UMM Press,


2008.

Hasan, A. Madjedi. Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berasaskan keadilan dan
Kepastian Hukum. Jakarta : Fikahati Aneska, 2009.
277

Hamitijo Soemitro, Ronny. Metodologi Penulisan Hukum, Jakarta, Ghalia


Indonesiea, 1985.

Hiariej, Eddy O.S. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta : Erlangga, 2012.

Hilman Hadikusuma, 1992.”Bahasa Hukum Indonesia”. Bandung : Penerbit

Alumni.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan sejarah, Yogyakarta: Kanisius,


1995.

Ibrahim, Johni. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cetakan III.
Malang : Bayumedia Publishing, 2007.

International Organization for Migration. Petunjuk Penanganan Tindak Pidana


Penyelundupan Manusia – Pencegatan, Penyidikan, Penuntutan dan
Koordinasi di Indonesia. Jakarta: International Organization for Migration,
2012.

Irsan, Koesparmono dan Armansyah. Panduan Memahami Hukum Pembuktian


dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Bekasi, Gramata Publishing,
2016.

Ismun, Gunadi dan Jonaedi Efendi. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana.,
Jakarta, Kencana, 2015.

Joachim, Carl friedrich, 2004, Fisafat Hukum Perspektif Historis, Bandung:


Nuansa dan Nusamedia.

Jodi, Muhammad dan Edy Herdiyanto, S.H., M.H. Alat Bukti Elektronik Sebagai
Alat Bukti Persidangan Dalam Hukum Acara Pidana, Jakarta, Grafindo,
2004.
278

Jonkers, J.E. Handboek van Het Nederlandansch – Indische Strafrecht. Leiden :


E.J. Brill, 1946.

Kansil, Christine Cst dan S.T. Kansil, Engelien R, Palandeng, Godlieb N.


Mamahit. Kamus Istilah Hukum. Jakarta : 2009.

Karim Nasution, Abdul. Masaalah Hukum Pembuktian dalam Proses pidana jilid
I,II,dan III. Jakarta: Korps Kejaksaan Republik Indonesia, 1975.

Karjadi, M. dan R Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan


Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor: Politeia, 1997.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, 1976

Kartodiprodjo, Achmad Suhardi, et al. Tentang Pancasila Sebagai Pandangan


Hidup Bangsa Indonesia, (unpublished), Bandung/Jakarta: tanpa penerbit,
2009.

Katsaris, W. Ken, Evidence and Procedure in the Administration of Justice, John


Wiley & Sons, New Yor, 1976.

Kunarto, Pencegahan Ikhtisiar Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan

Hukum. Jakarta : Cipta Manunggal, 1996.

Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Citra Aditya


Bakti, 2011.

Lamintang, P. A. F. dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu


Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Ed.Kedua, Jakarta, Sinar
Grafika, 2010.
279

Lasmadi, Sahuri. Pengaturan Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Dunia Maya,
Jurnal Ilmu Hukum, 2014.

Lelyemin, Marselus Pasha; Nugroho, F. Hartadi Edy, Kedudukan Rekaman Video


sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta:
Fakultas Hukum Unika Atma jaya, 2007.

Lubis, M. Solly. Penegakkan Hukum Pidana. Bandung : Mandar Maju, 1989.

Mahfud M.D, Mohhamad. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,


Bandung: Rineka Cipta, 2001.

Makarao Mohammad Taufik, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004.

Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Raja Grafindo Persada,


2005.

Makmur, Subekti dan Hermin. Metode Penelitian Hukum. Unggaran:badan


penyedia diklat kualitatif FH UNDARIS, 1991.

Mansur Didik M. Arief dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Bandung, Refika Aditama, 2009.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2009.

Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Jilid 2, Jakarta: Sinar Grafika,


1992.

Martiman Promohamidjo, 2011.”Sistem Pembuktian Alat-Alat Bukti”. Jakarta

Maryani, Enong. Antropologi, Bandung, Grafindo Media Pratama, 1997.

Marzuki , Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.


280

Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana, 2008.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum – Suatu Pengantar. Yogyakarta :


Liberty, 2005.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Jakarta: Liberty ,


2009.

Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum


Pidana. Yogyakarta : Bina Aksara, 2002.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, 2004.

Montesqieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan I. Bandung :


Citra Aditya Bakti, 2004.

Muhammad Nuh, Al-Azhar. Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi


Komputer.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik Dan


Permasalahannya). Bandung : Alumni, 2012.

Mulyadi, Lilik. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Bandung: Citra Adity Bakti, 2014.

Mulyana Kusuma, 2001.”Perspektif Kebijaksanaan Hukum”. Jakarta : Rajawali

Munir, Fuadi. Teori - Teori Besar Dalam Hukum. Jakarta : Kencana Prenadamedia
Group, Jakarta. 2013.
281

M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya:


Bina Ilmu, 2004.

Nasution, Karim A. Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana,


Tanpa Penerbit, Jakarta, 1976.

N.N., Supreme Court of Singapore, Hall of Justice.(Singapore: Typeset in


Garamond Colourscan Co. Ptd. Ltd, 2006.

Ngani, Nico. Mengenal Hukum Acara Pidana Bagian Umum dan Penyidikan.
Liberty, Yogyakarta 1984.

Ninik Suparni. ”Eksitensi Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana”. Jakarta


Sinar Grafika, 2007.

Notohamidjojo, O. Soal-soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga : Griya Media,


2011.

Ong, Andrew C. L. & Partner, et.al. Your Guide to E-Commerce Law in


Singapore. Singapore : Drew & Napier Estd, 2000.

Paingot, Manalu Rambe . Hukum Acara Pidana dari Segi Pembelaan, CV.
Novindi Pustaka, Mandiri, Jakarta, 2010.

Pajar J. Widodo, Menjadi Hakim Progresif, Fakultas Hukum Lampung, 2013

Pangabean, H.P. Hukum Pembuktia, Teori Praktik dan Yurisprudensi, Indonesia,


Jakarta, 2002.

Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Acara Pidana: Surat Resmi di Pengadilan oleh
Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali), Djambatan, Jakarta, 2008.

Parwoto Wigjosumarto, 2010.”Tugas Dan Wewenang Hakim Dalam Pemeriksaan

Pemuutusan Perkara”.Jakarta : Tata Nusa.


282

Poernomo, Bambang. Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988.

Poernomo Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia,


1982.

Poewardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Prakoso, Abintoro. Hukum, Filsafat Logika dan Argumentasi Hukum. Surabaya:


LaksBang Justitia, 2015.

Prakoso, Djoko, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana,
Yogyakarta: Liberty Offset, 1988.

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta : Rajawali Pers, 2010.

Pratiwi, Fitria. KUHP & KUHAP. Jakarta Selatan: Tim Visi Yustisia, 2014.

Prinst, Darwan. Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Jakarta : Djambatan, 1988.

Priyanto, Anang. Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2012.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika


Aditama, 2003.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung :


Refika Aditama, 2003.

Prodjodikoro, Wirdjono. Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Bulak Sumur,


Jakarta, 1967.

Prodjohamidjojo, Martiman. Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti. Jakarta :


Ghalia, 1983.
283

Projohamidjojo, Martiman. Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam teori dan


praktek cetakan I, Jakarta, Pradnya Paramita,1989.

Prodjohamidjoho, Martiman. Komentar atas KUHAP : Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana. Cetakan III. Jakarta : Pradnya Paramita, 1990.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Renungan Tentang Filsafat Hukum.


Jakarta : Rajawali, 1982.

Purbacaraka, Purnadi dan Soejono Soekanto. Perihal Kaidah Hukum. Cetakan


Keenam. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.

Purnomo, Bambang. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia. Yogyakarta :


Liberty, 2004.

Raditio, Resa,Aspek Hukum Transaksi Elektronik, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2014

Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2001.

Rato, Dosminikus. Filsafat Hukum : Mencari dan Memahami Hukum. Yogyakarta:


Presindo, 2010.

Rawls, John. A Theory of Justice, Massachusetts: The belksnap Press of Harvard


University Press. 1999.

Ridwan, Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, Bandung : Alfabeta, 2006.

RM , Suharto. Hukum Pidana Materil, Jakarta , Sinar Grafika, 1996.

Rosidah, Nikmah. Asas-asas Hukum Pidana. Semarang : Pustaka Magister, 2011.

Rush, George E, The Dictionary of Criminal Justice (Sixth Edition), McGraw-Hill


Companies, California, 2003.
284

Sabuan, Ansori. Hukum Acara Pidana, Bandung, Angkasa, 1990.

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana,dua


Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru. 1983.

Saleh, Roeslan. Pebuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta :


Aksara Baru, 1999.

Samosir, C.Djisman. 2013. Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana. Bandung:


Nuansa Aulia.

Sasongko, Hari and Lily Rosita. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
Bandung : Mandar, 2000.

Sasongko, Hari dan Lili Rosita. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : Mandar Maju, 2003.

Setiadi, Edi, Dian Andriasari. Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia,


Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia.Cet ke-2, Jakarta : Storia


Grafika, 2002.

Simanjuntak, Nikolas. 2012. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum.


Bogor: Ghalia Indonesia.

Sitompul, Josua. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum


Pidana. Jakarta : Tatanusa, 2012.

Soerodibroto Soenarto R. KUHP dan KUHAP Yurisprudensi Mahkamah Agung


dan Hoge Raad, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
285

Soedjono. Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Pen. Alumni, Bandung,


1982.

Soeharto, Irawan. Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang


Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2004.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitan hukum normatif. Jakarta :


Rajawali Pers, 2012.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta :


Ghalia Indonesia, 1988.

Sofyan, Andi. Hukum Acara Pidana – Suatu Pengantar. Yogyakarta : Rangkang


Education, 2013.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana beserta Penjelasan


Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1981.

Soesilo R. Hukum Acara Pidana Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana


Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum, Politeia, Bogor, 1982.

Soetarna, Hendar, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung:Alumni,


2011.

Subagyo, P. Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1991.

Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru,


1983.
286

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1996.

Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto, 1990.

Sugiyono. Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta, 2011.

Sugiyono, Teori Pembuktian Tindak Pidana, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada,


2014.

Suharto dan Junaedi Efendi. Panduan Praktis bila Menghadapi Perkara Pidana,
mulai Proses Penyelidikan sanpai Persidangan. Jakarta : Prestasi Pustaka,
2010.

Suharto. Penuntutan Dalam Praktek Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Suhariyanto, Budi, Tindak Pidana Teknologi Informasi, Jakarta:Rajagrafindo


Persada, 2012.

Suhendi, Hendi. Pentingnya Bukti Elektronik Dalam Persidangan Pidana, Jurnal


Bina Adhyaksa Vol. 7, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Sunardi dan Fanny Tanuwijaya, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Badan,
Lembaga, 2001.

Sunarto. Keterpaduan dalam Penanggulangan Kejahatan, Bandar Lampung,


AURA CV. Anugrah Utama Raharja, 2016.

Suratman dan H.Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Alfabeta,


2015.

Suryono, Sutarto. Hukum Acara Pidana Jilid II.,Semarang: Badan Penerbit


Universitas Diponegoro, 2004.
287

Susanto, Anton F. Wajah peradilan kita. Kontruksi Sosial Tentang Penyimpangan,


Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,Bandung: Rafika
Aditama, 2004.

Sukarna, Kadi. “Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana”. Surabaya,
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Epistomologi Ilmu Hukum, 2014.

Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2011.

Surjono, Herman Dwi. Pengembangan Pendidikan TI di Era Global, Yogyakarta,


Pendidikan Teknik Informatika FT UNY, 1996.

Suryasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :


Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Suryono, Sutarto. Hukum Acara Pidana Jilid II. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2004.

Suseno, Sigid. Yurisdiksi Tindak Pidaan Siber. Bandung: Refika Aditama, 2012.

Syahrani, Riduan. .Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999.

Syahrin, Alvi. Acara Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri. Medan:


Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997.

Syamsuddin, Aziz. 2014. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.

Tanya, Bernard L. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
288

Taufik Mohammad dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek,
Jakarta: Ghalia Indonesia,2004

Tim KRHN. Menggapai Keadilan Konstitusi. Suatu Rekomendasi Untuk Revisi


UU Mahkamah Konstitusi. Jakarta: USAID. 2008.

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan.


Malang: UMM Pers.Hlm. 2012

U. Hasyim, Teori pembuktian, Yogyakarta : Andi Offset, 1981.

Waluyadi. Pengetahuan Hukum, Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan


Khusus). Bandung :Mandar Maju, 1999.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika,


2002.

Waluyo, Bambang. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika,


Jakarta, 1996.

Widijowati, Rr.Dijan. Pengantar Ilmu Hukum . Yogyakarta : Andi, 2018.

Widodo, Apek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo,


Yogyakarta, 2013.

Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi, Aswaja Pressindo,


Yogyakarta, 2013.

Wilding, Edwar. Computer Evidence : a Forensic Investigation Handboek.


London: Sweet & Maxwell, 1997.

Wirjoro Projodikoro,.”Tindak-Tindak Pidana Indonesia”. Bandung PT.Refika


Aditama Bandung, 2010.
289

Wisnubroto, Al dan G.Widiartana. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia,


Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2005.

Wisnubroto, Aloysius, Konsep Hukum Pidana Telematika, Universitas Atma Jaya,


Yogyakarta, 2011.

W. Gulo. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo. 2002.

Van Apeldoorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino. Jakarta :
Pradnya Paramita, 1993.

Yesmil, Anwar dan Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya dalam penegakan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009.

Yuliartha, I Gede, Lembaga Pra Peradilan Dalam Perspektif Kini dan Masa
Mendatang Dalam Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia, (Tesis, Pro-
gram Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1995.

Yuwono, Soesilo. Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (sistem


dan prosedur), Pen. Alumni Bandung, 1982.

Zaidan , M. Ali. Menuju Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika,

2015.

Zainal Abidin, Andi, Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987.

Ziunkey, Kyoto. Megatrend 2000. Mastchussetts : Harvard University Press, 2002

Zulfikar, Teori dan Praktek Pembuktian Dalam Beracara di Pengadilan, Jakarta,


Prenada Media Group, 2009
290

B. JURNAL

Asma, Nur Laili dan Arima Koyimatun, “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti
Informasi Elektronik pada Dokumen Elektronik serta Hasil Cetaknya dalam
Pembuktian Tindak Pidana”, Jurnal Penelitian Hukum Volume 1, Nomor 2,
Juli 2014..

Nasution, Bismar. Ekonomi. Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan


Pembangunan Ekonom., Makalah Disampaikan pada Pidato Pengukuhan
Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan,
17 April 2004, Hlm. 21.

Makarim, Edmon. “Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi


Pemerintahan dan Pemerintahan Publik” Jurnal Hukum dan Pembangunan,
no. 4 (2015 )

Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum


Pidana.Pidato diucapkan pada Peringatan Dies Natalis ke VI Universitas
Gadjah Mada di Sitihinggil Yogyakarta pada Tanggal 19 Desember 1955.

Wantu, Fance M. Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan


dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum,
Gorontalo, Volume 12 Nomor 3, September 2012.

Wijayanti, Alcadini. “Perkembangan Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana


Berdasarkan Undang Undang Khusus Dan Implikasi Yuridis Terhadap
KUHAP,” Diponegoro Law Review Vol. 1, no. 4 (2012). Hlm. 3.

Z.Tamanaha Brian, On the Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge:


University Press, 2004.
291

INTERNET

Durkheim, Emile. “Pidana Ganti Rugi : Alternarif Pemidanaan di Mada Depan


dalam Penanggulangan Kejahatan
Tertentu”,<http://www.library.usu.ac.id.>, [02/04/ 2019].

Syamsul. Teorisasi dalam Penelitian Kualitatif. http://komunikasi-syamsul-


huda.blogspot.com.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pancasila.

Undang-undang Dasar 1945

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang Infomasi dan Transaksi Elektro –

nik (ITE).

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 20/PUU-XVI/2016.

Anda mungkin juga menyukai