Anda di halaman 1dari 82

SILABUS HUKUM PIDANA

I. PENGANTAR
1.1 Hubungan ilmu Hukum Pidana dengan ilmu-
ilmu lain, antara lain Kriminologi, Sosiologi,
Viktimologi, Ilmu Forensik, Penologi dan
Statistik.
1.2 Fungsi/ tujuan Hukum Pidana
1.3 Jenis-jenis Hukum Pidana

1
II. TINDAK PIDANA/ PERBUATAN PIDANA
2.1 Istilah/ Pengertian
2.2 Jenis
2.3 Unsur-unsur
2.4 Sebab akibat
2.5 Sifat melawan hukum, alasan pembenar
2.6 Waktu/ dan tempat (berlakunya Hukum Pidana)
2.7 Pembuat, antara lain: korporasi, perluasan (percobaan, penyertaan)
2.8 Penafsiran

III. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA/ KESALAHAN


3.1 Pengertian pertanggungjawaban/ kesalahan
3.2 Kemampuan bertanggung jawab
3.3 Kesengajaan dan kealpaan
3.4 Alasan pemaaf/ penghapus kesalahan

2
• IV. PEMIDANAN
• 4.1 Istilah/ pengertian pidana
• 4.2 Teori-teori dan tujuan pidana
• 4.3 Jenis-jenis pidana dan tindakan
• 4.4 Aturan-aturan pemidanaan (pengurangan dan pemberatan)
• 4.5 Hal-hal yang menggugurkan hak menuntut dan hak melaksanakan pidana

• V. CATATAN
• 5.1 Perkuliahan dikaitkan dengan perkembangan Hukum Pidana (Konsep RUU, KUHP) dan
Yurisprudensi.
• 5.2 Perkuliahan dikaitkan dengan contoh/ kenyataan dalam masyarakat.
• 5.3 Tentang penafsiran dikaitkan dengan masalah dalam tiap-tiap sub-sub silabus dan juga teori-
teori penafsiran.
• 5.4 Jenis-jenis Hukum Pidana, hubungan antara ketentuan umum dan khusus (diprioritaskan
Hukum Pidana di luar Kodifikasi)
• 5.5 Azaz Legalitas dan penghapus (HUKUM ADAT)

3
HUKUM PIDANA
PENGERTIAN

HUKUM PIDANA :
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.

(MENURUT PROF. MOELJATNO)


4
Ad 1
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum, artinya,
masih ada bagian lainnya yaitu HukumnPerdata, Hukum Tata
Negara, Hukum Tata Pemerintahan, dll.

Dan biasanya, hukum tersebut dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:


1. Hukum Publik
2. Hukum Privat

1. Hukum Publik yaitu mengatur hubungan antara negara dan


perseorangan atau mengatur kepentingan umum.
2. Hukum Privat yaitu mengatur hubungan antara perseorangan
atau mengatur kepentingan perorangan.

5
Disini Hukum Pidana termasuk Hukum Publik artinya, Hukum
Pidana mengatur tentang hubungan antara perseorangan
dengan negara, jadi mengenai atau menyangkut
Kepentingan Umum. Contoh : tentang pencurian.
Sedangkan Hukum Privat, hanya mengatur antara perseorangan
dengan orang-perseorangan, termasuk Hukum Perdata.
Contoh tentang tanah warisan.

• Perbuatan yang oleh Hukum Pidana dilarang dan diancam


dengan pidana, disebut Perbuatan Pidana atau Delik. (bagi
yang melanggarnya).
Dalam Sistem KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana),
menurut MVT (Memorie Van Toelighting atau Pembentuk
Undang-undang), dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Kejahatan (misdrijven)
b. Pelanggaran (overtredingen)

6
- Perbuatan yang melawan hukum yang mana yang
dikategorikan sebagai perbuatan pidana, hal ini tergantung
kebijakan pemerintah, yang dipegaruhi oleh berbagai faktor.
Dalam hal ini telah ditentukan bahwa yang dimaksud dengan
Perbuatan Pidana ialah :
Perbuatan yang telah ditentukan sebagai demikian oleh suatu
aturan undang-undang (Pasal 1 ayat 1 KUHP) atau setidak-
tidaknya oleh aturan hukum yang berlaku yang telah ada dan
berlaku bagi terdakwa (Pasal 14 ayat 2 UUDS dahulu) sebelum
orang dituntut untuk dipidana karena perbuatannya.
Untuk menentukan perbuatan itu masuk perbuatan pidana
atau bukan, maka dalam Hukum Pidana dikenal atau dianut
azaz, yaitu Azaz Legalitas (yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
1 KUHP).

7
Pasal 1 ayat 1 KUHP( Azas Legalitas)
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan.(Nullum Delictum Nulla Poena Sina Praevia Lege Poenali)

Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana, apakah


setiap orang yang melakukan perbuatan pidana selalu atau pasti
dipidana?

Disini dikenal atau dianut Azas Pertanggungjawaban Pidana,


Yaitu : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld).

Azas ini ada dalam hukum tidak tertulis, tetapi dianut karena hidup dalam
masyarakat dan yang tidak kurang mutlak, berlakunya azas yang tertulis.

8
Ad. 2 AZAS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Disini : Bahwa kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka dijatuhkan
pidana.
yaitu apabila orang tersebut (yang melakukan perbuatan pidana)
dapat dipertanggungjawabkan.
Lihat Pasal 44 KUHP
Lihat Pasal 48 KUHP

Orang tersebut mempunyai kesalahan.


Hal-hal yang telah diatur dalam KUHP,
Contoh : Pencurian, Pasal 362.

Ad. 3 Dengan Cara Bagaimana Pengenaan Pidana Dijatuhkan


Lihat Pasal 10 KUHP
Untuk mencapainya perlu cara, yaitu yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

9
Hubungan Ilmu Hukum Pidana dengan Ilmu-Ilmu yang Lain
Ilmu Hukum Pidana
1. Objeknya adalah :mempelajari azas-azas dan peraturan-peraturan Hukum
Pidana yang berlaku dan menghubungkannya dengan sistematika
sedemikian rupa agar dapat dipahami dari pengertian objek tersebut.

2. Tujuannya : menyelidiki pengertian objektif dari Hukum Pidana melalui 3


fase:
a. Interpretasi (pengertian objektif yang tercantum dalam UU)
b. Konstruksi (bentukan yuridis/ unsur-unsur)
c. Sistematik (mengadakan system dalam suatu bagian hukum).

10
3. Tugas utama : mempelajari, menjelaskan
Hukum Pidana, norma-norma dalam
pemidanaan dan menerapkan Hukum Pidana
secara teratur dan berurutan.

Jadi :
- Objeknya adalah : aturan Hukum Pidana
(positif), dan
- Tujuannya adalah : untuk dimengerti dan
dipergunakan sebaik-baiknya dan sedetail-
detailnya.

11
Ilmu lain yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Hukum
Pidana antara lain :
1. Kriminologi : Ilmu tentang kejahatan.
a. objeknya : orang yang melakukan kejahatan (si penjahat) itu
sendiri.
b. tujuannya : agar menjadi mengerti apa sebab-sebab
melakukan kejahatan.
c. Tugasnya : mencari dan menentukan sebab-sebab
kejahatan serta menemukan cara-cara pemberantasannya,
mengamankan masyarakat dari penjahat.
Kriminologi : 1. Criminal Biology (diri)
2. Criminal Sosiology (di luar diri)
3. Criminal Policy (pemberantas)

12
2. Sosiologi : Ilmu tentang kemasyarakatan.
a. Objek : masyarakat.
b. Tujuan : untuk menggali dan menentukan suatu kehidupan
masyarakat, baik sebagai anggota masyarakat maupun dalam
kelompok.
c. Tugas : menjelaskan keadaan atau kehidupan dalam suatu
masyarakat.

3. Viktimologi : Ilmu tentang korban kejahatan


a. Objek : orang yang menjadi korban kejahatan.
b. Tujuan : untuk menggali keterangan si korban.
c. Tugasnya : mendapatkan keterangan dari korban (keadaan
kejadian) dan kerugian yang ditimbulkan sebagai keterangan-
keterangan saksi.
13
4. Ilmu Forensik : Ilmu tentang tubuh atau jasad manusia
a. Objek : Tubuh, jasad manusia
b. Tujuan : untuk mengetahui keadaan jasad manusia baik sebagai
korban maupun sebagai pelaku.
c. Tugas : menemukan dan menentukan tentang keadaan baik ciri-ciri,
luka atau keadaan lain yang terdapat dalam jasad tersebut yang
berkaitan dengan kejahatan.
5. Penologi : bagian dari kriminologi tentang kepenjaraan
a. Objek : orang yang menjadi pesakitan atau Napi.
b. Tujuan : untuk memperbaiki.
c. Tugas : untuk membina, mendidik agar menjadi manusia yang baik
kembali sebagai anggota masyarakat./resosialisasi.
~ Statistik : untuk mengetahui jumlah (angka) kejahatan dalam penelitian,
sehingga bisa dilihat/ diukur kenaikan/ turun dan keberhasilannya
yang tentunya berhubungan dengan kejahatan.

14
FUNGSI/ TUJUAN HUKUM PIDANA
Fungsi Hukum Pidana ada 2, yaitu:  (Prof. Sudarto)
1. Umum : karena merupakan bagian, maka Hukum Pidana
fungsinya sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu :
mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan
tata dalam masyarakat.

2. Khusus : melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan


yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana
yang sifatnya lebih tajam daripada hukum lain atau hukum
pidana memberi aturan untuk menanggulangi perbuatan
jahat.

15
Tujuan Hukum Pidana.
Pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan
(hak azasi manusia), kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara
dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/ tindakan tercela, disatu
pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.
(Catatan : tujuan ini merupakan suatu cita-cita/ harapan namun dalam
sejarah mengalami proses lama dan lamban).

Tujuan Hukum Pidana Indonesia.


Seharusnya : disusun sedemikian rupa agar semua kepentingan negara,
masyarakat, individu, diayomi dalam keseimbangan yang serasi
berdasarkan PANCASILA.
Jadi, tujuan Hukum Pidana Indonesia adalah pengayoman semua
kepentingan secara berimbang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
(Sianturi).

16
Alatnya dalam Hukum Pidana adalah pemidanaan untuk
mencapai tujuan Hukum Pidana.
Ada teori pemidanaan  teori klasik.
Teori pemidanaan terbagi 3, yaitu :
1. Teori absolut
2. Teori relatif
3. Teori gabungan ( absolut + relatif)

Semua ini dalam rangka Social Defence (Perlindungan


masyarakat) untuk mencapai kedamaian.

17
JENIS-JENIS HUKUM PIDANA
~ Dilihat dari berbagai segi, Hukum Pidana terdiri dari :
1. Hukum Pidana Tertulis dan Tidak Tertulis.
- Hukum Pidana tertulis  Hukum Pidana yaitu yang telah
tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
- Hukum pidana tidak tertulis  Hukum Pidana Adat (Delik
Adat) yang masih hidup dalam masyarakat.

2. Hukum Pidana Positif


- Hukum pidana yang masih berlaku sampai sekarang (contoh :
KUHP)

3. Hukum Pidana Hukum Publik


- Untuk kepentingan umum

18
4. Hukum Pidana Objektif dan Hukum Pidana Subjektif
- Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale)
ialah : seluruh garis hukum mengenai :
- tingkah laku yang diancam dengan pidana
- jenis dan macam pidana
- bagaimana pidana dijatuhkan dan dilaksanakan dalam
waktu dan batas-batas tertentu  semua warga wajib mentaati
hukum pidana  dalam arti objektif.

- Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)


adalah : merupakan hak penguasa untuk mengancam
pidana, menjatuhkan pidana pada pelanggar hukum pidana
(falsafah Hukum Pidana)

19
5. Hukum Pidana Materiel dan Hukum Pidana Formiel.
- Hukum Pidana Materiel  aturan-aturan Hukum Pidana
yang berupa norma dan sanksi Hukum Pidana dan
ketentuan umum yang membatasi, menjelaskan
norma-norma Hukum Pidana tersebut.
Contoh : KUHP

- Hukum Pidana Formiel  (Hukum Acara Pidana)


Garis-garis hukum yang menjadi pedoman atau
dasar bagi aparat penegak hukum untuk
melaksanakan ketentuan Hukum Pidana Materiel
(Proses peradilan pidana).

20
6. Hukum Pidana Umum dan Khusus
- Hukum Pidana Umum
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana yang berlaku
secara umum bagi semua orang  secara
kodifikasi  KUHP termasuk Hukum Pidana Umum
dibanding Hukum Pidana yang tersebar di luar KUHP.

- Hukum Pidana Khusus


yaitu karena pengaturannya secara khusus yang
titik berat ada kalanya pada golongan tertentu.
(misalnya : Militer : KUHPM)

21
ISTILAH TINDAK PIDANA
(PERBUATAN PIDANA)

AZAS LEGALITAS (Pasal 1 ayat 1 KUHP)


“Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”.
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih
dahulu)  (Principle of Legality).
Diungkapkan oleh VON FEURBACH, dengan tulisan “VOM
PSYCHOLOGISCHEN ZWANG” (Jerman, 1775-1833).

22
Pengertian Azas Legalitas ada 3, (Moeljatno)
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
undang-undang.
 kecuali (UU Darurat No 1 tahun 1951, dan Pasal 14 UUDS
Tahun 1950

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh


digunakan analogi atau kias.

3. Aturan-aturan Hukum Pidana tidak boleh berlaku surut,


 kecuali Pasal 1 ayat 2 KUHP.

23
PENJELASAN
Pengertian Azas Legalitas
1. Harus ada UU terlebih dahulu
Kecuali
 UU Darurat Tahun 1951 No. 1 Pasal 5 (3), Pengadilan Negeri masih
dapat menggunakan Hukum Pidana Adat yang masih hidup.

 Pasal 14 UUDS 1950 ayat 2, tidak ada seorang jua pun boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali aturan hukum
yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.

24
2. Analogi atau Kiyas  tidak boleh
- Perbuatan  tidak bisa masuk dalam aturan yang ada, 
tetapi oleh hakim dijadikan perbuatan pidana karena termasuk
inti aturan (mirip)  jadi rasio dan maksud, inti yang ada bukan
aturannya.
- Ekstensif  masih diperbolehkan karena berpegang
pada bunyi aturan.
 semua kata-kata masih diturut hanya ada makna
yang diartikan lain seperti waktu terjadi/ terbentuk UU.

3. Hukum Pidana Tidak Berlaku Surut


Kecuali :
Pasal 1 (2) KUHP, bahwa apabila ada perubahan per-UU-an,
maka yang digunakan adalah yang paling menguntungkan
bagi pelaku.

25
Ada 7 aspek Azas Legalitas, yaitu : (Nico Keijzer)
1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana
menurut undang-undang,
2. Tidak ada penetapan undang-undang pidana berdasarkan
analogi,
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan,
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat
lex certa)
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana,
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-
undang, dan
7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan
undang-undang.

26
ISTILAH TINDAK PIDANA
Strafbaar feit diartikan dengan :
1. Perbuatan pidana,
2. Tindak pidana,
3. Peristiwa pidana,
4. Perbuatan yang dapat dihukum, dan
5. Delik.

Istilah tersebut mempunyai makna yang berlainan, dalam arti bahwa


untuk menentukan unsur-unsur perbuatan pidana ada 2 pandangan,
yaitu :
1. menyatukan antara perbuatan dan pertanggungjawaban
pidana (pandangan Monistik),
2. membedakan unsur perbuatan dan pertanggungjawaban
(Dualistik).

27
Moeljatno (Istilah Perbuatan Pidana)
- Perbuatan pidana :
1. Kelakuan,
2. Kejadian/ akibat

- Unsur perbuatan pidana :


1. Kelakuan dan akibat,
2. Hal ikhwal keadaan tertentu yang menyertai perbuatan,
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
4. Unsur melawan hukum yang objektif, dan
5. Unsur melawan hukum yang subjektif

28
Alasannya  bahwa istilah perbuatan mengandung suatu pengertian abstrak
yang menunjuk kepada 2 keadaan konkrit, yaitu :
1. Adanya kejadian yang tertentu,
2. Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian
tersebut.

Sebab  peristiwa  hanya kejadian tertentu saja


 tindak  hanya sikap jasmani saja  abstrak
 konkrit.

Perbuatan pidana sebenarnya tidak sama persis dengan Strafbaar Feit, tetapi
= Criminal Act
Jadi perbuatan pidana dipisahkan dengan pertanggungjawaban pidana
(Criminal liability = responsibility).

29
Satochid  istilah tindak pidana (delik).
karena istilah tindak mencakup pengertian melakukan
atau berbuat dan/ atau pengertian tidak melakukan,
tidak berbuat atau tidak melakukan perbuatan.
 tindak  lebih pendek

Utrech  Istilah peristiwa pidana.


karena meliputi perbuatan atau melalaikan maupun
akibatnya.

Namun dalam perkembangan sekarang, termasuk dalam Rancangan Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana digunakan istilah Tindak Pidana.

Penggunaan istilah tersebut berkaitan dengan Pandangan Monistik


ataupun Pandangan Dualistik

30
Monistik  menyatukan antara unsur perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana.

Dualistik  membedakan unsur perbuatan pidana dengan


pertanggungjawaban pidana.

Pengertian Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang


dan diancam pidana bagi siapa yang melanggarnya.

1. Unsur-unsur atau element perbuatan pidana/ tindak pidana


 pandangan monistik disatukan dengan unsur kesalahan.
2. Unsur-unsur perbuatan pidana  pandangan dualistik
dipisahkan atau dibedakan dengan unsur kesalahan.

31
UNSUR-UNSUR (ELEMENT-ELEMENT)
PERBUATAN PIDANA
I. PANDANGAN MONISTIK
- Unsur-unsur perbuatan pidana (Strafbaar Feit) oleh SIMONS
1. Unsur Objektif
a. perbuatan orang,
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan,
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, misal
Pasal 281 (di muka umum)
2. Unsur Subjektif
a. Orang yang mampu bertanggung jawab,
b. Adanya kesalahan (Dolus atau Culpa)
- Unsur-unsur perbuatan pidana (Strafbar Feit) oleh VAN HAMEL
1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
2. Melawan hukum,
3. Dilakukan dengan kesalahan,
4. Patut dipidana
 Unsur perbuatan + kesalahan = MONISTIK

32
II. PANDANGAN DUALISTIK
- VOS berpendapat, unsur-unsur Strafbaar Feit, yaitu :
1. Kelakuan manusia,
2. Diancam pidana dalam undang-undang.
- MOELJATNO  unsur-unsur perbuatan pidana, yaitu :
1. Kelakuan dan akibat,
2. Hal ikhwal keadaan tertentu yang menyertai perbuatan,
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
4. Unsur melawan hukum yang objektif, dan
5. Unsur melawan hukum yang subjektif
- Menurut Soedarto tentang kedua pandangan :
Untuk menentukan adanya pidana kedua pandangan/ pendirian, tidak
mempunyai perbedaan yang prinsipil.
Namun harus diakui bahwa sistematik dan kejelasannya tentang
pengertian tindak pidana/ perbuatan pidana dalam arti “keseluruhan
syarat untuk adanya pidana” pandangan dualistik lebih memberikan
manfaat, yang penting untuk mengenakan pidana diperlukan syarat-
syarat tertentu (harus lengkap).
33
Penjelasan  unsur-unsur perbuatan  MOELJATNO
1. Kelakuan dan Akibat  Sikap jasmani yang disadari (arti secara
negatif) :
a. Kelakuan positif  berbuat sesuatu
b. Kelakuan negatif  tidak berbuat yang seharusnya dilakukan.

2. Keadaan yang Menyertai Perbuatan


a. mengenai diri si pelaku (Pasal 418 KUHP) (PNS/ Pejabat)
b. di luar diri si pelaku (Pasal 160 KUHP penghasutan di depan
umum)

3. Tambahan yang Memberatkan Pidana


- Pasal 351 (1)  2 tahun 8 bulan
- Pasal 351 (2, 3)  5 tahun, 7 tahun

34
4. Unsur Melawan Hukum yang Objektif
(sifat pantang dilakukan tampak dengan wajar)
 unsur melawan hukum menunjuk kepada keadaan lahir
atau objek yang menyertai perbuatan.
 contoh : Pasal 285 KUHP
 paksa orang wanita dengan kekerasan
untuk disetubuhi (pemerkosaan).
 Pasal 167 KUHP (memaksa masuk rumah dengan
paksa dengan melawan hukum).

5. Unsur Melawan Hukum yang Subjektif


 terletak  keadaan subjektif  Pasal 362 KUHP
 sikap bathin pelaku.

35
JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

1. Kejahatan dan Pelanggaran


2. Delik Dolus dan Delik Culpa
(Sengaja  Pasal 338) dan (kealpaan  Pasal 360).

3. Delik Biasa dan Delik yang dikualifisir.


(Pasal 362) dan (Pasal 363)
 ancaman lebih berat dalam keadaan khusus
(tertentu)

4. Delik Formil dan Delik Materiil


(rumusan kepada perbuatan  Pasal 362) dan
(akibat yang tidak dikendaki oleh Undang-Undang  pasal 338)

36
5. a. Delik Commissionis  berbuat yang dilarang (Pasal 362
 pencurian)
b. Delik Ommissionis ( delikta comimisionis)
 pelanggaran terhadap perintah
 tidak menghadap sebagai saksi (Pasal 522 KUHP)
 Pasal 164  ada pemufakatan jahat  tetapi tidak lapor.
c. Delik Commissionis Perommissionen Commissa
 delik yang berupa berbuat sesuatu tetapi dapat juga tidak
berbuat sesuatu (Pasal 341)

6. Delik Aduan (Klachtdelicten)  penuntutan berdasarkan hanya


pada pengaduan dari pihak yang terkena/pihak yang dirugikan.
a. Absolut  Pasal 284  sifatnya ada pengaduan (tidak boleh
dibelah  semua pelaku).
b. Relatif  hubungan keluarga  dapat dibelah/ dipilah-pilah
 Pasal 367, 370, 376).

37
SEBAB – AKIBAT (CAUSALITEIT)

Sebab – akibat ditentukan untuk mengetahui dan menentukan hubungan


sebab – akibat yang berarti untuk menentukan ada/ tidaknya telah terjadi
suatu tindak pidana dan dapat dipidana serta menentukan siapa yang
bertanggung jawab atas suatu akibat tertentu berupa tindak pidana.
 keadaan sebab – akibat tersebut dengan kausalitas.
 khususnya terhadap delik materiil dan delik yang dikualisir.

38
TEORI-TEORI KAUSALITAS
1. Teori Conditio Sine Quanon : Teori Ekivalensi oleh VON BURI:
 bahwa tiap syarat adalah sebab dan semua syarat nilainya
sama, yang akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-
undang (tidak ada syarat yang dapat dihilangkan untuk timbulnya
akibat)

2. Teori yang Menggeneralisir : Teori Adeguat oleh VON KREIS :


 musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada
umumnya, menurut jalannya keadaan yang normal, dapat atau
mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.
(ante factum  fakta sebelum delik terjadi)

39
TEORI YANG MENGINDIVIDUALISIR
Oleh Bickmeyer  di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbunya akibat dan syarat yang paling banyak
membantu untuk terjadinya akibat.
- Dianut oleh BINDING dan SCHEPPER, yaitu :
1. Hubungan kausal letaknya di lapangan Sein/ lahir  harus
dipisahkan dari pertanggungjawaban yang ada pada lapangan
Sollen (bathin).
2. Musabab adalah kelakuan yang mengadakan faktor perubahan
dalam suasana keseimbangan yang menuju kepada akibat.
3. Dapat ditarik batas yang pasti dari positif ke negatif untuk
timbulnya akibat.

 Teori ini titik beratnya adalah manakah syarat-syarat tersebut


yang paling dekat (khusus) untuk cenderung menimbulkan
akibat.
(Post Factum  penelitian kepada fakta setelah terjadi delik).

40
SIFAT MELAWAN HUKUM
Salah satu unsur tindak pidana adalah sifat melawan hukum. Unsur ini
merupakan salah satu penilaian yang objektif terhadap perbuatan. 
Bukan terhadap si pembuat.

Ajaran sifat melawan hukum :


1. Sifat melawan hukum yang formil, ialah suatu perbuatan itu bersifat
melawan hukum (yang formil) apabila perbuatan diancam pidana dan
dirumuskan sebagai suatu delik dalam UU. Sifatnya melawan hukum
dapat dihapus hanya berdasarkan UU.
2. Sifat melawan hukum yang materiil, yaitu suatu perbuatan melawan
hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam UU, tetapi harus
dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan
hukum bisa dihapus disamping berdasarkan UU juga hukum yang tidak
tertulis, bertentangan dengan UU, juga hukum tidak tertulis termasuk
tata susila.
 sifat melawan hukum materiil ada 2:
a. Dalam fungsinya yang negatif,
b. Dalam fungsinya yang positif.
41
1. Fungsinya yang negatif  mengakui kemungkinan adanya
hal-hal yang ada di luar undang-undang, menghapus sifat
melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumasan
undang-undang. Jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus
sifat melawan hukum.
Contoh : Arrest dokter hewan dari kota Huizen.

2. Fungsinya yang positif  menganggap suatu perbuatan


tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam
dengan pidana dalam undang-undang, apabila
bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain di
luar undang-undang.
 di sini diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber
hukum positif.

42
ALASAN PEMBENAR
1. Alasan Pembenar
yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan benar.
 meskipun perbuatan ini telah memenuhi unsur/ rumusan delik
kalau tidak melawan hukum, maka tidak ada pemidanaan.
 Pasal 49 (1)  pembelaan terpaksa
 Pasal 50, 51 (1)  perintah jabatan.

2. Alasan Pemaaf
yaitu alasan yang menghapus kesalahan terdakwa, jadi tetap bersifat
melawan hukum  tetap merupakan perbuatan pidana  tidak
dipidana  tidak ada kesalahan.
 Pasal 44, Pasal 49 (2), Pasal 51 (2).

43
3. Alasan Penghapus Tuntutan
Dalam hal ini ada keadaan yang membuat suatu ketentuan pidana, tidak boleh
diterapkan, sehingga jaksa tidak boleh menuntut terhadap si pembuat.
Contoh : tidak adanya aduan terhadap delik aduan.
Pasal 76 (nebis in idem
Pasal 77 (tertuduh mati
Pasal 78 (kedaluarsa

 Atas dasar utilitas atau kepentingan umum tidak diadakan penuntutan 


pemerintah menganggap demi kemanfaatan kepada masyarakat.

44
LOCUS DELICTI dan TEMPOS DELICTI
1. LOCUS DELICTI  tempat
a. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku
terhadap perbuatan tersebut atau tidak. (Pasal 2 – 9 KUHP).
b. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus
mengurus perkaranya,ini berhubungan dengan kompetensi relatif.
2. TEMPOS DELICTI  waktu
a. Pasal 1 ayat 1 KUHP  perkecualian UU NO 1 Darurat 1951, Ps 14
UUDS/th 1950
b. Pasal 44 KUHP  mampu bertanggung jawab
c. Pasal 45 KUHP  16 tahun > 18 tahun UU NO 3 Th 1997 ttg
Pengadilan Anak.
d. Pasal 79 KUHP  kedaluarsa
TEORI TENTANG LOCUS DELICTI :
1. Aliran yang menentukan di satu tempat dimana tempat terdakwa
berbuat,
2. Aliran yang menentukan beberapa tempat, yaitu mungkin tempat
kelakuan, dan mungkin pula tempat akibat.
45
DELIK PERCOBAAN (POGING)
PASAL 53 KUHP
Pasal 53 : Mencoba melakukan kejahatan dipidana. Jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata
disebabkan karena kehendak sendiri.

Unsur-unsurnya :
1. Niat (voornemen)
2. Permulaan pelaksanaan (Begin van uit voring ).
3. Tidak selesainya pelaksanaan bukan kehendak sendiri

46
UNSUR I NIAT (Voornemen)

M.V.T Niat untuk melakukan kejahatan (perbuatan) oleh wet disebut


kejahatan.
1. Niat  Orang yang hendak melakukan kejahatan secara
potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila
kejahatan telah selesai dilaksanakan (terwujud)
 niat tidak sama dengan kesengajaan
2. Niat  yang belum ditunaikan keluar, masih tetap menjadi niat,
sedangkan yang telah keluar berubah menjadi
kesengajaan.
Fungsi Niat  Sebagai sikap bathin yang memberi arah kepada
apa yang akan diperbuat (semasa belum ditunaikan).
 Sudah ditunaikan menjadi perbuatan berubah
menjadi kesengajaan, yaitu penginsyafan
daripadanya.
- Sikap bathin yang memberi arah tertentu kepada perbuatan
kejahatan disebut subjectief onrechtselement (s.f. yg subjektif).
3. Isi niat tidak sama dengan kesengajaan.
47
UNSUR II PERMULAAN PELAKSANAAN

Unsur permulaan pelaksanaan adalah permulaan pelaksanaan


melakukan kejahatan.
Menurut Moeljatno, ada 3 syarat :
1. Secara Objektif  apa yang dilakukan harus mendekatkan
kepada delik yang dituju.
 potensi untuk mewujudkan delik.
2. Secara Subjektif  sudut niat tidak ada keraguan lagi bahwa
kelakuan diarahkan pada delik tersebut.
3. Perbuatannya bersifat melawan hukum.

 Antara unsur I (niat) dengan unsur II sangat berkaitan, sehingga


delik percobaan telah dilakukan atau belum, dan ini berkaitan
dengan unsur III.

48
UNSUR III Tidak Selesainya Pelaksanaan Harus Bukan
Karena Kehendak Sendiri

MVT  untuk menjamin tidak akan dipidana orang yang


dengan kehendak sendiri, suka rela mengurungkan
pelaksanaan kejahatan yang dimulai.
MVT  atas dasar utilitas  kepentingan umum, yaitu
usaha yang paling tepat untuk mencegah timbulnya
kejahatan ialah menjamin orang-orang yang telah
memulai pelaksanaan kejahatan tetapi kemudian dengan
sukarela mengurungkan pelaksanaan  tidak dipidana.
Moeljatno  dilihat dari penjelasan MVT, maka unsur III
termasuk alasan penghapus penuntutan  Jaksa tidak
menuntut  namun kalau sebagai alasan penghapus
pidana maka tetap dalam proses sampai sidang, tetapi
 penjatuhan  tidak dipidana.

49
Pandangan Tentang Dapat Dipidananya Percobaan (Poging)

1. Pandangan Subjektif
 Orang melakukan percobaan harus dipidana oleh karena sifat
berbahayanya orang itu
 Van Hamel  niat
2. Pandangan Objektif
 Bahwa dasar untuk memidana percobaan disebabkan karena
berbahayanya perbuatan yang dilakukan.
 Prof. Simon  perbuatan.

Moelyatno  Berpendirian bahwa untuk hal ini, adalah tengah-tengah,


artinya Campuran Objektif dan Subjektif.
 seperti Van Bemmelen

50
PERCOBAAN ada 2 :
1. Percobaan Mampu
2. Percobaan Tidak Mampu

A. Percobaan Mampu
 ialah delik percobaan yang telah memenuhi unsur-unsur percobaan
sehingga percobaan perbuatan kejahatan ketahuan, sehingga di sini
pelaku dapat dipidana.
B. Percobaan Tidak Mampu
 ialah delik percobaan yang tidak terwujud dalam arti bahwa delik
tersebut tidak terlaksana.
Tidak mampu : alatnya
objeknya
sehingga kejahatan yang ditujukan tidak ada.
Alatnya adalah alat untuk mencoba melakukan kejahatan tetapi tidak
berfungsi, sedangkan objeknya adalah objek percobaan kejahatan tidak
sesuai dengan percobaan kejahatan.

51
DELIK PENYERTAAN (Pasal 55 – 62 KUHP)
Pasal 55 KUHP (1) ke 1 : sebagai peserta yang dapat dipidana.
1. Mereka yang melakukan perbuatan pidana (pelaku)
2. Mereka yang suruh melakukan perbuatan pidana
3. Mereka yang turut serta melakukan perbuatan pidana.

Pasal 55 (1) ke 2 : sebagai penganjur (mereka yang dengan cara disebut


disitu menganjurkan orang lain melakukan perbuatan pidana).

Pasal 56 ke 1 & ke 2 : Pembantu


a. Mereka yang membantu orang lain, maupun
b. Memberi kesempatan untuk melakukan perbuatan pidana
c. Memberi sarana, keterangan.

 Delik penyertaan ada apabila pelakunya lebih dari satu orang.

52
BENTUK-BENTUK PENYERTAAN
GOLONGAN I DADERS (Pasal 55 KUHP)

1. PLEGEN (mereka yang melakukan)


seorang yang melakukan yang dengan penyertaan lain-lain orang
baik pembantu maupun penganjur.
jadi perbuatan itu dilakukan sendiri untuk mewujudkan unsur-
unsur tindak pidana. Dalam tindak pidana berkaitan dengan
jabatan, maka berhubungan dengan status PNS.
2. DOEN PLEGEN (orang yang menyuruh melakukan)
a. yang menyuruh (manus domina)
b. yang disuruh (manus ministra)
- dalam hal ini, orang tersebut (doen plegen) menyuruh
orang lain untuk melakukan kejahatan, jadi tidak mengerjakan
sendiri. Dan semua dilakukan oleh pelaku (yang disuruh)
merupakan tanggung jawab penuh oleh doen plegen.

53
- Sedang yang disuruh hanya merupakan alat
(instrumen) belaka dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
(tidak dapat dipidana).
 tidak dapat dipidana karena :
a. Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan dan
kemampuan bertanggung jawab.
b. - Berdasarkan Pasal 44 KUHP (sakit jiwa)
- Berdasarkan Pasal 48 KUHP (daya paksa)
- Berdasarkan Pasal 51 (2) KUHP (perintah jabatan)
- Tidak mempunyai kualitas yang disyaratkan dalam
delik (Pasal 413, 437 KUHP)
3. MEDEPLEGEN (turut serta melakukan)
setidak-tidaknya ada 2 orang yang bekerja sama untuk
melakukan kejahatan, jadi :
a. kesengajaan untuk mengadakan kerja sama dalam
mewujudkan delik.
b. Kesengajaan terhadap perbuatan yang dilakukan
dalam kerja sama. 54
4. UITLOKKEN (Penganjur, Pembujuk)
a. orang yang membujuk (menganjurkan)
b. orang yang dibujuk (dianjurkan)
 syarat-syaratnya :
a. harus ada kesengajaan untuk menganjurkan
b. harus ada orang lain yang disuruh melakukan
penganjuran, pembujukan.
c. cara-cara penganjuran sesuai Pasal 55 (1) ke 2
d. orang yang melakukan penganjuran dipidana (dapat
dipertanggungjawabkan).
 upaya pembujukan/ penganjuran, syarat-syarat :
a. pemberian atau janji
b. salah menggunakan kekuasaan dan pengaruh
c. kekerasan atau ancaman yang bersifat lunak
(pembujukan)
d. memberi kausal kedua belah pihak
e. memberi kesempatan, syarat atau keterangan
55
PERBEDAAN

DOEN PLEGEN UIT LOKKEN


 Yang disuruh tidak dapat  Dengan dianjurkan dapat
dipidana dipidana
 Cara menyuruh tidak limitatif  Cara-cara ditentukan secara
 Pertanggungjawaban yang limitatif Pasal 55 ke 2
hanya dilakukan oleh pelaku  Pertanggungjawaban bagi
pelaksananya penganjur sebatas yang
dianjurkan beserta akibatnya.

INTI PERBEDAAN :
1. Pelaku langsung doen plegen (tidak dipidana)
2. Pelaku langsung uit lokken dipidana
- perintah tidak limitatif
- perintah secara limitatif Pasal 55 ke 2

56
GOLONGAN II MEDEPLICHTIGHEID/ PEMBANTUAN
PASAL 56 KUHP
- Pembantuan berarti :
a. Pelaku
b. Pembantu
- Pembantuan : - pada waktu dilakukan kejahatan
- sebelum dilakukan kejahatan
- Syarat-syarat pembantu (Pasal 56 KUHP)
1. sengaja membantu melakukan kejahatan
2. memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan melakukan
kejahatan.
- Pasal 57 KUHP
- selama-lamanya hukuman pokok dikurangi sepertiganya
- jika ancaman pidananya hukuman mati  maka maksimal 15
tahun.
- Pasal 58 KUHP
Penambahan, pengurangan, penghapusan tergantung pada pertimbangan
bagi diri si pelaku. 57
DELNEMING (DELIK PENYERTAAN)
PASAL 55 – 62 KUHP

- Pengertian :penyertaan untuk melakukan tindak pidana ialah ada dua


orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana yang memenuhi
rumusan delik. (S.R. Sianturi)
- Bentuk-bentuk Penyertaan :
Golongan I : Daders/ Pelaku (Pasal 55 KUHP)
a. Plegen (orang yang melakukan)
b. Doen Plegen (yang menyuruh melakukan)
c. Medeplegen (turut serta melakukan)
d. Uitlokken (yang menganjurkan/ membujuk)
Golongan II : Medeplichtigheid/ Pembantu (Pasal 56 KUHP) :
sebagian orang yang membantu melakukan.
a. Sebelum kejahatan
b. Pada waktu kejahatan dilakukan 58
SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PENYERTAAN

System :
1. System Romawi : pelaku-pelaku delik dipidana yang sama,
kecuali ditentukan lain oleh Wet  Code Penal
 disebut dengan ajaran penyertaan yang objektif (Objective
deel nemingsleer)  secara umum/ objektif, sama.
2. System Yuris Itali : prinsipnya, pertanggungjawaban masing-
masing berbeda sesuai dengan bentuk penyertaan.
 Jerman, Swiss
 ajaran penyertaan yang subjektif (Subjective deel
nemingsleer)
 dilihat dari masing-masing sikap bathin terdakwa.
3. System campuran : sebagian sama, sebagian beda  Rusia
 KUHP  campuran

59
KUHP INDONESIA

1. System dari Hukum Romawi, ada 2 golongan :


a. Daders System
b. Medeplichtigheid I
2. Pertanggungjawabannya dibedakan  systen Yuris Itali
a. Daders (tak prinsipil)  sama
- Plegen
- Doen plegen System
- Mede plegen II
- uitlokken
b. Medeplichtigheid lebih ringan 1/3

- KUHP Campuran
= Indonesia = Jepang = Thailand  sama

60
BEDA

PEMBANTUAN PENGANJUR

1. Inisiatif terletak pada 1. Inisiatif terletak pada


pelaku utama (Plegen) penganjur itu sendiri
 hanya membantu  Actor intelektual/ Profocator

2. Pidana lebih ringan 1/3 2. Pidana lebih berat :


nya - Sama dengan pelaku
utama
- Hukuman pokok penuh

61
GABUNGAN TINDAK PIDANA
SAMENLOOP atau CONCURSUS
(Pasal 63 – 70 KUHP)

- Pengertian : melakukan kejahatan yang bermacam-macam/ jenis


oleh satu orang dalam kurun waktu yang bersamaan
atau berurutan dan belum pernah divonis oleh hakim.
- Syarat-syarat perbarengan :
1. Ada 2/ lebih tindak pidana (sesuai UU) yang dilakukan
2. Dilakukan oleh satu orang/ lebih dalam penyertaan
3. kejahatan tersebut belum diadili
4. Tindak pidana/ kejahatan akan diadili sekaligus
- Jenis-jenis/ macam Samenloop :
1. Concursus idealis – gabungan satu perbuatan Pasal 63 KUHP
2. Voortgezette handeling – Pasal 64 KUHP (Perbuatan yang
diteruskan)
3. Concursus Realis – Pasal 65 dan 66 KUHP (gabungan beberapa
perbuatan) 62
Bentuk – Bentuk Samenloop (Perbarengan)

1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP)


a. Jika satu orang melakukan satu perbuatan termasuk dalam beberapa
ketentuan pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan-
ketentuan itu, jika hukuman berlainan, maka dikenakan ketentuan
pidana yang terberat hukuman pokoknya.
b. Jika suatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum,
dan ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus yang
digunakan.
- Syarat Concursus Idealis  bahwa ketentuan-ketentuan pidana
satu sama lain harus tidak dapat dipisahkan (Conditio sine quanon)

63
Contoh :
- orang yang membunuh orang lain dengan tambahan, yang berdiri
dibelakang kaca  orang itu mati dan jendela kaca hancur 
masuk ketentuan pidana pembunuhan (Pasal 338) dan merusak
barang orang lain (Pasal 406)  yang dikenakan hanya satu pasal
yang terberat (Pasal 338).
- Memperkosa perempuan ditempat umum (Pasal 285) dan
merusak kesopanan umum (pasal 281) maka dikenakan 1 pasal
terberat  Pasal 285.

c. Ketentuan pidana khusus  yang digunakan.


 harus memuat ketentuan-ketentuan umum ditambah salah satu
unsur khususnya.
Contoh : Pembunuhan berencana (Pasal 340), ini merupakan
pengkhususan dari pembunuhan biasa (Pasal 338)  maka
ketentuan pidana khusus meniadakan ketentuan pidana umum 
Pasal 340. Pasal 341 Pembunuhan bayi  yang digunakan Pasal
341, bukan Pasal 338.
64
2. Voortgezette handeling (Pasal 64 KUHP)
 perbuatan satu sama lain ada hubungannya, itu supaya dapat
dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan.
 syarat-syaratnya :
a. satu niat, satu kehendak, satu keputusan.
misal : mencuri radio  hari pertama onderdil radio, hari
kedua mengambil amplifayernya dan hari ketiga salonnya
sehingga menjadi utuh satu unit radio yang komplit.
b. perbuatan : harus sama macamnya/ jenisnya,
misal : pencurian dengan pencurian, penganiayaan
dengan penganiayaan.
c. waktu : jarak antaranya tidak boleh terlalu lama

 sanksi pidananya : diambil yang terberat saja, jadi hanya satu


macam.
contoh : dilakukan pencurian ringan, kemudianpencurian biasa,
kemudian pencurian yang diperberat, maka yang diambil adalah
pencurian yang diperberat.
65
3. Concursus Realis (Pasal 65 KUHP)
 gabungan dari beberapa perbuatan.
 perbuatan masing-masing dipandang berdiri sendiri.
 masing-masing diancam pidana pokok yang sejenis, maka sanksinya
adalah maksimum pidana pokok terberat ditambah dengan 1/3 nya.
 jika ancaman pidananya tidak sejenis (Pasal 66 KUHP), maka tidak
hanya satu hukuman yang dijatuhkan, tetapi masing-masing dengan
cara dijumlahkan, ditambah dengan 1/3 nya dan batasnya adalah tidak
boleh dari pidana maksimal terberat.

66
PERBEDAAN
Perbarengan Residivis

- tiap-tiap tindak pidana - tiap-tiap pidana yang


yang dilakukan belum dilakukan sudah ada
ada putusan hakim putusan hakim (vonis
( vonis hakim) hakim)

67
BENTUK KESALAHAN

1. KESENGAJAAN (delik dolus) : bathin


orang menentang larangan undang-
undang
2. KEALPAAN (delik culpa) : kurang
mengindahkan larangan, sehingga
tidak berhati-hati dalam bertindak
dan menimbulkan keadaan yang
dilarang.

68
PERTANGGUNGJAWABAN DALAM HUKUM PIDANA

Azasnya : GEEN STRAF ZONDER SCHULD


(tidak dipidana jika tidak ada kesalahan)

Unsur-unsur Kesalahan :
1. Melakukan perbuatan pidana
2. Di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab
3. Mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan
4. Tidak adanya alasan pemaaf

Dasar Kesengajaan dan Kealpaan :


1. Adanya perbuatan yang dilarang
2. Adanya kemampuan bertanggung jawab
3. Tidak adanya alasan pemaaf

69
TEORI KESENGAJAAN

1. Teori Kehendak
Kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya
perbuatan seperti dirumuskan dalam wet.
 kesengajaan  kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik
dalam rumusan undang-undang.
2. Teori Pengetahuan
Kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui
unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet.
 sengaja  mengetahui/ membayangkan akan timbulnya akibat
perbuatannya.
 apa yang diketahui  dibayangkan oleh si pembuat  apa yang
akan terjadi.
Prinsipnya : dalam kenyataan penggunaan teori tersebut adalah sama,
perbedaannya adalah pada terminologie  dalam istilah saja.

70
Corak atau Bentuk Kesengajaan

1. Kesengajaan sebagai maksud : hubungan antara perbuatan dengan


kehendak tidak dapat dinamakan sendiri artinya, perbuatan si pembuat
bertujuan untuk menimbulkan akibat. Jadi  menghendaki perbuatan
dan akibatnya.
2. Kesengajaan sebagai kepastian/ keharusan : ialah akibat memang dituju
oleh si pembuat,
 akibat yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan untuk
mendapat tujuan.
 jadi akibat pasti timbul.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus Eventualis)
ada 2 syarat :
a. Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/ keadaan
yang merupakan delik.
b. Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila terjadi, “apa boleh
buat” disetujui dan resiko diambil.

71
KEALPAAN (delik culpa) : kurang
mengindahkan larangan, sehingga
tidak berhati-hati dalam bertindak
dan menimbulkan keadaan yang
dilarang.

Syarat Kealpaan :
1.Tidak menduga-duga
2.Tidak menghati-hati

72
Mampu bertanggung jawab – Pasal 44 KUHP
“Barang siapa melakukan perbuatan pidana yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akalnya karena sakit berubah akalnya tidak boleh dipidana”
Syarat-syaratnya (ada kemampuan bertanggung jawab apabila
memenuhi syarat) :
1. Kemampuan membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk
sesuai hukum dan melawan hukum (Faktor akal/ intectual factor)
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan (Faktor perasaan/ kehendak/
volitional factor)

73
Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana

Asasnya : Geen Straf Zonder Schuld (tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan)
Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana :
1. Melakukan perbuatan pidana
2. Di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab
3. Mempunyai bentuk kesalahan, kesengajaan atau kealpaan
4. Tidak adanya alasan pemaaf

74
Pengertian Pidana/ Hukuman

Pidana  Straf  Sentence


Soedarto : Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Roeslan Saleh : Pidana adalah reaksi atas delik, dan berwujud
suatu nestapa dengan sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik.

75
Kesimpulan  Muladi
Pidana :
1. Hakikatnya merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa,
2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang mempunyai
kekuasaan
3. Dikenakan pada seseorang yang melakukan tindak pidana.
# Alf Rose : Beda antara Punishment dengan Treatment tidak
didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama (penderitaan)
tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsur kedua (unsur
pencelaan)
# “Concept of Punishment” bertolak pada 2 syarat/ tujuan:
1. Pengenaan penderitaan terhadap orang ybs,
2. Suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.

76
HUKUMAN/ PIDANA

Di dalam KUHP  Pasal 10


1. Hukuman/ pidana pokok
a. Pidana mati,
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Hukuman/ pidana tambahan
a. Pencabutan beberapa hak tertentu
b. Perampasan beberapa barang tertentu
c. Pengumunan putusan hakim
Teori Pemidanaan
1. Absolut
2. Relatif
3. Gabungan 77
Konsep KUHP

Bagian Kedua Pidana, Paragraf 1 Jenis Pidana


Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan berat ringannya pidana.
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus
dan selalu diancamkan secara alternatif.
78
Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/ atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/ atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai
pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
tambahan yang lain.
(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/ atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak
yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam
perumusan tindak pidana.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana
tambahan untuk tindak pidananya.
(5) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat
dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
79
undangan yang berlaku bagi Tentara Nasional Indonesia
Bagian Kesatu Pemidanaan, Paragraf 1 Tujuan Pemidanaan
Pasal 54
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana denganmenegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
80
Paragraf 2 Pedoman Pemidanaan
Pasal 55
(1) Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan:
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap bathin pembuat tindak pidana;
d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak
pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuatat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/ atau keluarganya; dan/ atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
81
(2) Ringannya perbuaatan, keadaan pribadi pembuat,
atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan
atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tindak menjatuhkan pidana
atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan
kemanusiaan

Pasal 56
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana
berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang
tersebut telah dengan sengaja menyebabkan
terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan
peniadaan pidana tersebut.

82

Anda mungkin juga menyukai