Anda di halaman 1dari 17

PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)

Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan
pidana dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja
oleh negara (melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara
sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan
pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the criminal) justice process) merupakan struktur,
fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian,
kejaksaan,pengadilan & lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan &
pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi
oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses
peradilan pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses
penjatuhan hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana
juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial
manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang
mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas
pelanggaran terhadap hati nurani bersama sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku
tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak
menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum
Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman
(strafstelsel) dan sistem tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini
merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber
hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang
memuat sanksi pidana);
2. Beratnya sanksi itu;
3. Lamanya sanksi itu dijalani;
4. Cara sanksi itu dijalankan;dan
5. Tempat sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
I S T I LAH
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi,
Straf, Hukuman, Punishment, dan Jinayah.
Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih
tepat pidana untuk menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan
R. Soesilo mendefinisikan pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang
dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi:
1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU ( orang
memenuhi rumusan delik/pasal).
SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs)
diundangkan yaitu tahun 1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang
KUHP (berdasarkan atas konkordansi). Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh
Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:

1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2. Dimatikan dengan suatu keris
3. Dicap bakar.
4. Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana badan/corporal punishment)
5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara
6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat
istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap
harta kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang (pidana
kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum
pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satusatunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan
memaksa pelaku untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht
menyatakan pada dasarnya negaralah yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan
dengan tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal ini KUHP merupakan
peraturan yang dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat
dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang berhak melakukan hal tersebut,
mengingat;
1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi
tugas mempertahankan tata tertib masyarakat;
2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum.
Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para penganutnya antara lain E. Kant,
Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai
konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum.
Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus memenuhi 3 syarat:
a. Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar etika)
b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi (melanggar etika)
c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik.
2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki
tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada umumnya bersifat
menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi karena
pelaku kejahatan adalah orang yang sakit moral sehingga harus diobati. Jadi hukumanya
lebih ditekankan pada treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis.
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan
untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada masyarakat
agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan
ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok, tidak mengulangi perbuatan/kejahatan
serupa; atau kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain adalah memberikan
perlindungan agar orang lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak
merasa takut dan tidak mengalami kejahatan.
3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana
bertujuan untuk:
Pembalasan, membuat pelaku menderita
Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana

Merehabilitasi Pelaku
Melindungi Masyarakat
Saat ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas
Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang merestorasi) secara umum bertujuan
untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula; Keadilan yang
bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan
keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005:
Pasal 54
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang
baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia .
Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU
kita.
Pasal 55;
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan /atau;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan
kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi,
rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari
tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari
tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan
pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai dalam
masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana.
Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP :
a. Hukuman Pokok:

1. Hukuman mati
2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup)
3. Kurungan
4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)
5. Tutupan (UU No.20/1946)
b. Hukuman Tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang tertentu
3. pengumuman keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan
c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara
alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana
yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain.
(3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana
yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak
pidana.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan
untuk pidan pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP:
Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :
A. Dalam KUHP :
Pembunuhan berencana
Kejahatan terhadap keamanan negara
Pencurian dengan pemberatan
Pemerasan dengan pemberatan
Pembajakan di laut dengan pemberatan.
B. Diluar KUHP;
Terorisme
Narkoba
Korupsi

Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan
secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan
Penpres no. 2/1964 : ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka
umum (rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya).
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada
orang yang setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah
melahirkan.
Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 12/1995 tentang
Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementara/pidana penjara dilakukan dalam
jangka waktu tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20
thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di
indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/lapas). Untuk pemulihan kembali
hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut narapaidana/napi
(inmates): Warga Binaan Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).
Pembagian Sistem Penjara gevangenisstelsel, menurut Utrecht :
Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu
kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan
peringatan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat
menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain
Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman
pada siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari
kembali ke sel.
Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para
hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini
diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali
perbuatannya dan diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi
lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka
hukumannya diperingan : mulai dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory
(pelepasan bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja
sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan
bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari hukumannya.
Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn.
Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga
masyarakat yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usahausaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan
pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri
Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang
berusia kurang dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
Sistem Osborne (NY,US). Memilih BOS mandor dr kalangan napi sendiri untuk
mengatur napi : Tamping/building tender.
Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :
Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 orang/1 sel. Minimum
security/maximum security/Super Maximum Security (SMS)
Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel
sampai besok pagi. Ada jadwal kegiatannya.

Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan
maka dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.
Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebon/taman, masak di dapur,
bersihkan kolam, kerja di bengkel LP untuk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam,
merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton
TV olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang
telah ditentukan.
Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr
hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan
seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.
Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
Laki-laki dan perempuan
Orang dewasa dan anak di bawah umur
Orang yang dihukum/ditahan orang yang dihukum karena upaya preventif
Orang militer dan orang sipil
Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih
dari terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No. 1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena
pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan (UU No.20/1946)
Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang
dilakukan didasari oleh suatu motivasi yang patut dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara,
namun diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati
buku bacaan dan radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.

Hukum Penitensier
Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan
atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim
terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum.
Sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :

Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan)


Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,
pengumuman putusan hakim

Kriminalisasi adalah salah satu proses yang terjadi didalam masyarakat dimana suatu
perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan pengaruh kondisi
social yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat maka
perbuatan itu akhirnya dijadikan merupakan perbuatan pidana. Contoh lahirnya UU
penyalahgunaan narkotika ( UU No. 9 / 1976), dimana berdasarkan UU ini penyalahgunaan
narkotika merupakan perbuatan yang dapat dipidana.
De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana dalam hukum
positif dikaernakan pengaruh perubahan perkembangan masyarakat berubah menjadi
perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal 534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan
barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum
diancam dengan hukuman penjara, dikarenakan khususnya di Indonesia dalam kerangka
pelaksanaan program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh
BKKBN, dengan kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memilik
daya paksa.
Masalah pokok didalam Hukum Penitensier
1. Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )
2. Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)
3. Terpidana ( siapa yang diproses )
Alasan perubahan KUHP

Pertimbangan politis

Bahwa RI sudah merdeka 60 tahun dan sudah sepantasnya dan sewajarnya memilik KUHP
Nasional hasil karya bangsa sendiri karena KUHP yang ada sekarang ini adalah hasil karya
pemerintahan kolonial Belanda dan dibuat diBelanda, bila bangsa Indonesia memiliki KUHP
Nasional dapat menumbuhkan kebanggaan nasional yang dapat mengangkat harkat dan
martabat bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain di dunia.

Pertimbangan sosiologis

Karena KUHP yang kita miliki sekarang dibuat oleh pemerintahan Belanda sudah barang
tentu hanya menjamin kepentingan-kepentingan sosial masyarakat Belanda khususnya

masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, maka dari itu bila KUHP Nasional lahir, sudah
barang tentu dirujuk dan mengacu pada nilai-nilai social dan kepentingan masyarakat
Indonesia yang sangat prularistik (beragam).

Pertimbangan praktis

KUHP yang ada sekarang di Republik Indonesia adalah merupakan hasil terjemahan tidak
resmi, keberadaanya itu hanyalah merupakan hasil terjemahan dari para ahli hukum kita yang
kebetulan menguasai bahasa Belanda, dengan demikian dengan adanya hasil terjemahan
beberapa para ahli menurut Prof. Muladi tidak mustahil adanya hasil terjemahan yang tidak
konsisten satu sama lainnya sehingga dapat menimbulkan kerancuan bagi para penegak
hukum.
Tujuan pemidanaan
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hokum demi
pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
baik dan berguna dalam masyarakayt.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan memulihkan
keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.
Kewajiban Hakim sebelum menjatuhkan pidana
a. Kesalahan sipelaku
b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
c. Cara melakukan tindak pidana
d. Sikap batin sipelaku
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial sipelaku
f. Sikap sipelaku sesudah melakukan tindak pidana
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan sipelaku
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban & keluarga
j. Tindak pidana yang dilakukan terencana atau tidak
Hak Narapidana

Hak mendapat pemeliharaan kesehatan


Hak mendapat kunjungan keluarga, saudara, atau kerabat
Hak mendapat kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

Hak remisi
Hak asimilasi
Hak mendapat cuti
Hak pembebasan bersyarat
Hak cuti sebelum bebas

Kewajiban Narapidana
Mantaati semua peraturan tata tertib yang diterapkan dilingkungan LP tersebut,meliputi :

Kewajiban bekerja
Kewajiban berperilaku baik

Proses pelaksanaan pembinaan terhukum atau narapidana di Indonesia dihadapkan pada


kendala yang pokok yaitu :

SDM pembinaan belum memiliki profesionalisme


Dari segi struktur bangujnan LP seratus persen masih menggunakan struktur
kepenjaraan, padahal pedoman-pedoman kepenjaraan sudah dihapus sejak program
pemasyarakatan dicanangkan pada tahun 1970.

Objek hukum penitensier adalah putusan Hakim yang berkaitan dengan perkara pidana,
putusan Hakim dalm kasus pidana, dalam kitab undang-undang Hukum Acara Pidana
Indonesia,ada 3 (tiga) jenis yaitu

Putusan bebas

Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan atau didakwakan oleh jaksa
penuntut umum sama sekali tidak terbukti dipersidangan.

Dilepaskan semua dari tuntutan hukum

Putusan ini dijatuhkan oleh Hakim apabila Hakim berkesimpulan bahwa yang
dituduhkan oleh jaksa penuntut umum itu terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupak
perbuatan yang dapat dipidana.

Contohnya kasus utang piutang yang oleh jaksa penuntut umum di dakwakan sebagai
perbuatan pidana.

Penghukuman

Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum
seluruhnya atau sebagian terbukti.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum penitensier ini hanyalah berkaitan dengan
putusan hakim yang berisi pemidanaan atau penghukuman saja.
Sering kali putusan hakim yang mengadili tindak pidana ringan putusannya itu adalah pidana
bersyarat atau disebut juga pidana percobaan.

Pidana bersyarat adalah suatu pidana dimana si terpidana tidak usah menjalani pidana
tersebut melainkan tetap berada ditengah-tengah masyarakat terkecuali bilamana si terpidana
dalam waktu masa percobaan tersebut melakukan pelanggaran tindak pidana apapun maka
hukuman penjara harus segera dilaksanakan.
Ex : Terpidana dijatuhi hukuman pidana bersyarat 1 Tahun, artinya bahwa si terpidana
tersebut tidak perlu menjalani pidananya didalam Lembaga Pemasyarakatan ( LP ) melainkan
tetap berada didalam masyarakatnya , tetapi dalam kurun waktu 1 tahun itu si terpidana tidak
boleh melakukan pelanggaran tindak pidana apapun dan apabila sebelum masa 1 tahun itu
habis si terpidana melakukan pelanggaran tindak pidana lagi maka putusan I yang berisi
hukuman 1 tahun penjara harus segera dilaksanakan.
Fungsi dari penegakan hukum adalah menempatkan hukum pada posisi yang tepat sebagai
bagian usaha manusia untuk menjadikan dunia ini lebih nyaman untuk di tinggal.
( The function of law enforcement is to put in law prover prespective as a part man effort to
make this world better place in which to life )
Hak perogatif Presiden berkaitan dengan masalah pemidanaan
1. Pemberian Grasi
Masalah grasi telah diatur tersendiri oleh undang-undang
pengajuan grasi hanya dapat diajukan oleh terhukum atau ahli warisnya, putusan grasi yang
dikeluarkan oleh presiden dapat berupa :
a. Penolakan atau ditolak grasinya
b. Diterima grasinya dalam bentuk :

Pemidanaannya dirubah, contoh : Dari pidana mati dirubah menjadi pidana seumur
hidup
Lama pemidanaannya, contoh : Dari pidana 20 tahun penjara dirubah menjadi pidana
10 tahun penjara

2. Pemberian Amnesti
Amnesti adalah putusan presiden yang berisi pembebasan terhadap semua terhukum
khususnya terhadap terhukum yang berkaitan dengan kejahatan politik dan maker. Masalah
amnesti ini diatur berdasrkan kepres yang bersifat situasional.Contoh : Presiden
mengeluarkan Kepres No 22 Tahun 2005 tentang membebaskan semua terhukum GAM.
3. Pemberian abolisi
Abolisi adalah putusan presiden yang berisi pembebasan penuntutan hukum terhadap
kejahatan politik dan maker. Masalah abolisi ini diatur berdasarkan kepres yang bersifat
situasionalContoh : Semua anggota GAM yang menyerah setelah 15 september 2005
dibebaskan dari penuntutan hukum.

Perjanjian ekstradisi adalah suatu perjanjian antara 2 negara yang berisi pengembalian
seorang tersangka atau terdakwa yang melarikan diri kenegara yang bersangkutan maka
negara yang kedatangan pelarian tersebut wajib menangkap dan mengembalikan ke Negara
asal sebaagaimana dalam perjanjian.
Masalah pemidnaan anak diatur oleh UU No.3 Tahun 1997
Tentang anak ini bila melihat pasal 44 KUHP disebutkan apa yang disebut anak itu adalah
manusia yang belum berumur 16 tahun, dan pasal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang
baru lahir pun mengandung arti dapat di pidana sekalipun hal yang demikian mustahil.
Di dalam UU No.3 tahun 1997 telah digunakan model batasan usia tentang usia yang disebut
seorang anak yaitu 10 tahun sampai 18 tahun. Lahirnya UU No. 3 tahun 1997 langsung
mencbut pasal 44 tentang batasan usia.
Tentang hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap anak apabila seorang anak melakukan
tindakan pidana tidak diancam pidana mati, maka :

Hakim harus menjatuhkan pidananya dikurung 1/3 apabila tindakan pidan tersebut
dilakukan oleh orang dewasa.
Hakim dapat memutuskan apabila anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan
kepada orang tuanya.
Dipidana sebagai anak negara untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan anak.

Proses pemidanaan bagi seorang anak yang melakukan tindak pidan berdasarkan UU No.3
Tahun 1997 antara lain dikatakan sejak tingkat penyidikan sampai proses sidang di
pengadilan harus bersifat tertutup untuk umum dan aparat penegak hukumnya tidak
menggunakan pakaian uniform (seragam dinas).
Pelaksanaan pemidanaannya berdasarkan UU peradilan anak bahwa di LP anak, anak pidana
ini harus mendapatkan pendidikan lanjutannya. Di dalam UU peradilan anak telah ditentukan
bahwa anak hanya boleh dipidana maximal 10 tahun, dengan kata lain terhadap seorang anak
tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup dan pidana mati.
Masalah pidana mati diatur dalam UU No. 2 Tahun 1964.
Ketentuan-ketentuan pokok tentang pidana mati itu disebutkan
1. pidana mati hanya dapat dilaksanakan setelah segala upaya hukum termasuk grasi
telah ditolak oleh Presiden, dan kasasi ditolakn oleh MA
2. Apabila grasi telah ditolak oleh Presiden, penolakan itu ahrus disampaikan kepada
pengadilan dimana keputusan pidana mati dijatuhkan.
3. Oleh pengadilan penolakan upaya hukum pidana mati disampaikan kepada Kejaksaan
Tinggi sesuai dengan wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan.
4. 3 X 24 jam setelah Kejaksaan Tinggi menerima perihal penolakan dari pengadilan,
Kejaksaan Tinggi memberitahukan kepada terpidana bahwa upaya hukum telah
ditolak.
5. Kejaksaan Tinggi memohon kepada Kapolda untuk menyiapkan regu tembak eksekusi
(12 orang) yang dipimpin oleh seorang perwira polisi.

6. Si terpidana mati berhak tuntunan rohaniawan sesuai dengan agama dan


kepercayaanya.
7. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan apabila si terpidan dalam keadaan sakit atau
hamil.
8. Permohonan terakhir siterpidana mati harus dicatat oleh petugas LP
9. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan dimuka umum dalam arti harus jauh dari
keramaian dan tempatnya sesuai dengan wilayah hukum dimanapidana mati
dijatuhkan
10. Yang menghadiri eksekusi pidana mati :Jaksa atau Hakim yang menjatuhkan pidan
mati,Dokter yang ditunjuk oleh pihak kejaksaan, rohaniawan
11. Jenazah terpidana mati harus dikembalikan kepada pihak keluarganya dan jika pihak
keluarga tidak mau menenrima jenazah tersebut segala urusn jenazah ditanggung
negara
Tentang pidana penjara

Pidana penjara lamanya berdasarkan KUHP minimal 1 (satu) hari dan maximal 15
tahun atau diperberat menjadi 20 tauhn.
Pidana penjara pelaksaannya belum tentu sesuai sepenuhnya dengan putusan Hakim,
karena setiap narapidana memiliki hak-hak remisi dan hak-hak asimilasi atau apabila
narapidana mengajukan grasi dan diterima grasinya oleh presiden bias berubah baik
jenis pidananya maupun lama pidananya.
Pidana penjara ini dalam masa reformasi sekarang masih belum sesuai dengan apa
yang diharapkan dalam system pemasyarakatan, sebagaimana yang diatur dalam UU
No.12 Tahun 1995.

Hukum Penitensier
by Jupri, S.H March 8, 2012

Ruang lingkup hukum penitensier tidak akan


pernah terlepas dengan istilah pidana dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/ derita
yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui pengadilan) dimana nestapa itu
dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana. Adapun proses
peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh
sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) yang
berkenaan dengan penanganan pelaku kejahatan. Sedangkan pemidanaan merupakan
penjatuhan pidana sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan
nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai
hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana, karena pidana
juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial
manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang
mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas
pelanggaran terhadap hati nurani bersama sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku
tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak
menyenangkan
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan hukum penitensier/hukum sanksi.
Hukum penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel)
dan sistem tindakan (matregelstelsel).
Menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagian dari hukuman pidana positif
yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumbersumber hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non
pidana yang memuat sanksi pidana).

2.
3.
4.
5.

Beratnya sanksi itu.


Lamanya sanksi itu dijalani.
Cara sanksi itu dijalankan ,dan
Tempat sanksi itu dijalankan.

Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
Sanksi pidana dan tindakan (maatregel) termasuk dalam hukum pidana. Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) tidak menyebutkan istilah sanksi tindakan, hal tersebut dapat
dilihat dalam Pasal 10 KUHP. Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat yang makin
kompleks juga diiringi dengan perkembangan hukum pidana yang begitu cepat. Hukum
pidana bukan hanya diatur dalam KUHP (kodifikasi) melainkan juga telah diatur di luar
kodifikasi KUHP. Sehingga untuk tindak pidana yang diatur di luar KUHP dengan
menggunakan asas lex specialis, maka dalam hal menjerat pelaku kejahatan juga dengan
menggunakan ketentuan pidana di luar KUHP (hukum pidana yang berkenaan dengan anak
sebagai pelaku kejahatan dan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Di
mana untuk tindak pidana yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan anak sebagai
pelaku tindak pidana telah menerapkan bukan hanya sanksi pidana akan tetapi juga sanksi
tindakan (maatregel). Untuk mengetahui kegunaan dari mempelajari hukum penitensier,
maka adapun yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Sejarah Pemidanaan
2. Pidana dan Teori Pemidanaan
3. Perkembangan Double Track System (sanksi pidana dan tindakan) dalam hukum
pidana.
PEMBAHASAN
Sejarah Pemidanaan
Sistem pemidanaan telah ada di dunia sudah cukup lama, sejarah pemidaanan yang dulu
pernah diterapkan kepada pelaku kejahatan memiliki jenis- jenis sanksi pidana dan tata cara
untuk pelaksanaan sebagai berikut:
1. Pidana membuang / menyingkirkan / melumpuhkan (abad 19). Bentuk pidana
menyingkirkan/melumpuhkan dimaksudkan agar penjahat itu tidak lagi mengganggu
masyarakat, penyingkiran dilakukan dengan beberapa cara misalnya membuang atau
mengirim penjahat itu keseberang lautan. Dalam hal ini juga berlaku dalam adat
minangkabau, sanksi pidana dapat dalam bentuk menyingkirkan yaitu membuang
sepanjang adat. Di Indonesia terutama pada zaman hindia belanda dulu pidana
pembuangan ini banyak juga dilakukan terhadap orang oang politik.
2. Sistem pemidanaan kerja paksa (abad 17). Misalnya kerja paksa mendayung sampan,
cara cara kerja paksa itu lama kelamaan menjadi hilang setelah kapal
meningggalkan layar. Di Hindia Belanda kerja paksa sebagai bentuk pidana pernah
juga dilakukan terutama dalam pembuatan jalan raya dan membuat lubang. Walaupun
pidana penjara yang dikenal sejak berabad-abad sebagai Bui bagi lawan-lawan
politik penguasa namun baru menjadi sesuatu yang bersifat umum sebagai pengganti
pidana mati, pembuangan dan pengasingan.
3. Pidana mati (abad 16). Cara cara pelaksanaan pidana mati pada abad 16. ini adalah
dibakar atau dibelah dengan ditarik kereta kearah yang berlawanan, dikubur hiduphidup, digoreng dengan minyak, ditenggelamkan dilaut atau dijantungnya dicopot

serta dirajam sampai mati. Lama kelamaan tata cara pemidanaan mati itu dilakukan
dengan memberikan perhatian terhadap perikemanusiaan sehingga akhirnya
pemidanaan mati digantikan dengan cara dipancung,, penggantungan ditiang
gantungan, dan ditembak mati.
Menurut R. Soesilo, jenis pemidanaan yang pernah ada zaman dahulu di Indonesia seperti:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Dibakar hidup terikat pada satu tiang


Dimatikan dengan menggunakan suatu keris
Dibakar
Dipukul
Dipukul dengan rantai
Ditahan dalam penjara
Kerja paksa dalam pekerjaan-pekerjaan umum.

Akan tetapi macam hukuman itu tidak dipakai lagi, sekarang hukuman sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari:
1. Pidana Pokok: Pidana Mati; Pidana Penjara; Pidana Kurungan; Pidana Denda
2. Pidana Tambahan; Pencabutan hak-hak tertentu; Perampasan barang-barang tertentu;
Pengumuman putusan hakim
Teori Pemidanaan
Menurut Adami Chazawi ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini,
namun yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar, yaitu:
Teori Absolut
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena
penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan
hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu harus
diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (kejahatan) yang dilakukannya. Penjatuhan
pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah
membuat penderitaan bagi orang lain. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana
mempunyai dua arah:
1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan).
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat
(sudut objektif dari pembalasan)
Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat
untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib
masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.

Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar
tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu, pidana
merupakan suatu yang terpaksa perlu diadakan.
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga
macam sifat, yaitu:
1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering)
3. Bersifat membinasakan (onshadelijk maken)
Sementara itu, sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam,yaitu:
Teori Pencegahan Umum
Menurut teori pencegahan umum ini pidana yang dijatuhkan kepada penjahat ditujukan agar
orang-orang umum menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu
dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan
yang serupa dengan penjahat itu.
Jadi, menurut teori pencegahan ini, untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib
masyarakat melalui pemidanaan, pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan di
muka umum.
Teori Pencegahan Khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia
tidak mengulang lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat
buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat
dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam yaitu: a)Menakutnakutinya; b) Memperbaikinya. c) Membuatnya menjadi tidak berdaya.
Teori Gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib
masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori
gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut :
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata
tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhkannya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan terpidana.
Perkembangan Double Track System dalam hukum pidana.
Perkembangan sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dimana di samping
pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga
dikenakan berbagai tindakan (treatment). Sistem pemidanaan dua jalur ini terdapt dalam

Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana yang baru dimana, jenis tindak pidana yang
sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia (Pasal 10 KUHP).
Perkembangan hukum pidana di Indonesia dalam hal penerapan system pemidanaan
dua jalur (sanksi pidana dan tindakan) justru telah bayak diterapkan dalam untuk tindak
pidana diluar kodifikasi KUHP. penerapan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana (Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
Undang-Undang No.3 tahun 1997 Bab III Pidana dan Tindakan Pasal 22,
berbunyi:terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang
ditentukan dalam undang-undang ini. Mengenai tindakan yang dapat dikenakan terhadap
anak nakal ialah:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja.
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi social kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
adapun kegunaan hukum penitensier adalah:
1. Untuk mengetahui bahwa dari tahun ketahuan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan
semakin diperhalus (lebih manusiawi).
2. Bahwa pada hakekatnya pidana merupakan suatu kesengajaan untuk memberikan
suatu penderitaan kepada pelaku tindak pidana, dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya kejahatan dan memberikan ketertiban kepada masyarakat.
3. Sedangkan mengenai tindakan yang baru dikenal dalam Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RKUHP) akan tetapi telah diterapkan dalam jenis kejahatankejahatan di luar kodifikasi KUHP seperti dalam undang-undang pengadilan anak.
Pada hakekatnya suatu unsur kesengajaan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana
yang tidak mengandung unsur penderitaan. Yang bertujuan untuk memperbaiki sikap
pelaku kejahatan tersebut agar tidak melakukan tindak pidana untuk ke dua kalinya.
4. Untuk memberikan pengetahuan yang lebih kongkrit dan komprenshif kepada para
mahasiswa hukum sehingga mereka dapat memahami masalah pidana dan
pemidanaan tidak saja dalam konteks ius costitutum, melainkan juga dalam konteks
ius constituendum.

Anda mungkin juga menyukai