Anda di halaman 1dari 18

Makalah Hukum Penitensier : Proses Pembinaan Terhadap

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy


Bandung
Browse Home Makalah Hukum Penitensier : Proses Pembinaan Terhadap Narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy Bandung
1.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Winston Churchill seorang negarawan Inggris dan seorang jenderal sekutu pada
perang dunia kedua sebagaimana yang dikemukakan oleh Didin Sudirman pernah
mengatakan bahwa suasana hati, sikap, perlakuan dan penghormatan suatu bangsa
terhadap para pelanggar hukumnya dapat dijadikan sebagai alat uji yang sahih dalam
menentukan tinggi rendahnya peradaban bangsa tersebut. Ungkapan ini memberikan
pemahaman bahwa untuk menjadi negara yang beradab maka negara mempunyai
kewajiban untuk menjamin terpenuhinya hak-hak pelanggar hukum. Sebagaimana
diungkapkan Julius Stahl bahwa salah satu unsur pokok dari negara yang berdasar atas
hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.1[1]
Apabila dideskripsikan hal di atas adalah benar, maka ada dua hal yang harus
diperhatikan sehubungan dengan pelaksanaan penegakan hukum dan perlindungan hak
asasi manusia, khususnya hak asasi tahanan dan narapidana.
Pertama bahwa Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa dan merupakan
pedoman dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat bagi rakyat
Indonesia dalam operasionalnya dapat diukur antara lain dengan melalui kacamata
sejauhmana penegak hukum memperlakukan para pelanggar hukumnya. Pancasila dapat
dikatakan berjalan dengan baik antara lain apabila para penegak hukum memperlakukan
para pelanggar hukumnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(asas legalitas), atau sebaliknya Pancasila akan menimbulkan preseden yang buruk
apabila para penegak hukumnya tidak memiliki komitmen untuk menjabarkan nilai-nilai
Pancasila melalui upayanya, di samping melakukan tugas-tugas penegakan hukum yang
dicirikan dengan tindakan tegas dalam melakukan upaya paksa juga sekaligus melindungi
hak asasi tersangka, terdakwa, dan terpidana dari tindakan-tindakan yang tidak
1

dibenarkan atau bertentangan dengan hukum.2[2]

Kedua, di dalam era globalisasi dimana dikehendaki penegakan hukum yang didasarkan
suatu kerangka hukum yang baik atau baku (good legal system), maka suatu negara
apabila melakukan penegakan hukum yang melanggar Hak Asasi Manusia (selanjutnya
disebut HAM) sudah pasti akan dikritik dan bahkan diisolasi oleh negara-negara lainnya
sebagai anggota masyarakat dunia yang tidak mempunyai komitmen terhadap HAM.3[3]
Hal ini harus diantisipasi oleh para penegak hukum, karena seperti disebutkan bahwa
potret pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dilihat antara lain
melalui proses penegakan hukum. Dengan perkataan lain bahwa proses penegakan
hukum yang berlaku di suatu negara dapat merupakan salah satu indikator sejauhmana
pelaksanaan hak-hak asasi manusia dilihat dari kacamata internasional. Jadi kalau terjadi
suatu peristiwa di suatu tempat terutama yang menyangkut praktek dehumanisasi dalam
proses penegakan hukum, maka dengan alam keterbukaan seperti sekarang ini, hal
tersebut seketika itu juga dapat diketahui oleh masyarakat di seluruh dunia. Keadaan ini
sudah barang tentu membawa citra yang tidak baik mengenai Indonesia. Oleh karena itu
diperlukan adanya sikap kehati-hatian dan mawas diri, karena kalau tidak negara
Indonesia tidak mustahil akan dikucilkan dari pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia
yang pada gilirannya keadaan tersebut akan merugikan bangsa Indonesia terutama dalam
kaitannya dengan dukungan-dukungan internasional terhadap jalannya pembangunan
yang sedang berjalan, yang secara nyata masih sangat kita perlukan.
Dari uraian tersebut di atas, maka aparat penegak hukum yang terdiri dari aparat
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan sudah sepantasnya menyadari
kedudukannya yang sangat strategis itu, terutama dalam kaitannya dengan peranannya
dalam tujuan negara Indonesia yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan.
The founding fathers ketika mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
merumuskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum
(rechstaat) bukan berlandaskan pada kekuasaan belaka (machstaat). Oleh karena itu
setiap tindakan negara harus dilandaskan pada aturan hukum yang berlaku. Maka hukum
hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan
berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.4[4]
2
3

Negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis dan memuat substansi
HAM, bila tidak dikuatirkan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa
untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai instrumen untuk melakukan
justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM.5[5]
Berpedoman pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV yaitu yang
menyatakan bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan
rakyat berdasarkan Pancasila. Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia sehingga
segala usaha kenegaraan apapun haruslah berdasarkan yang dicita-citakan tersebut,
termasuk segala usaha pembangunan atau penegakan hukum nasional.
Hal inilah yang menjadi landasan dan tujuan dari usaha penegakan hukum
terutama dalam bidang hukum pidana yakni kebijaksanaan penanggulangan kejahatan di
Indonesia agar sesuai dengan yang diharapkan sekaligus politik hukum di Indonesia.
Dalam masyarakat yang sedang membangun pembangunan, tentu terdapat perubahan tata
nilai yang berpengaruh pada masing-masing lapangan kehidupan. Perubahan tersebut
dapat menuju ke arah yang positif maupun kearah yang negatif.
Seiring dengan itu, agar pembangunan dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia, sudah tentu dalam dalam pembangunan itu memerlukan
situasi yang aman dan tertib. Situasi tersebut hanya dapat terwujud apabila masyarakat
bersama-sama dengan pemerintah memiliki kesadaran hukum dan taat (tertib hukum)
terhadap segala peraturan yang ada.
Bangsa Indonesia mencita-citakan terwujudnya Negara yang adil sesuai dengan
Pancasila sila ke-5 yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Untuk
mewujudkan hal tersebut, peranan pemerintah sangat penting sehingga secara nyata
berusaha untuk mewujudkan rakyat Indonesia ke arah yang dicita-citakan. Dalam hal ini
salah satunya mencangkup aspek hukum yang berfalsafah pancasila yang tidak dapat
ditinggalkan.
Penjara atau yang lebih dikenal di Indonesia masa kini adalah Pemasyarakatan
merupakan penemuan baru yang mulai berkembang secara luas kurang lebih 300 tahun
terakhir, bagian dari perkembangan sistem pemidanaan dari masa ke masa.
Sistem kepenjaraan mengajarkan bahwa tujuan pemidanaan adalah penjeraan,
4
5

artinya seorang yang melakukan tindak pidana dibuat jera dan tidak melakukan tindak
pidana di kemudian hari. Sedangkan sistem pemasyarakatan yang lebih di kenal dengan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yaitu sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam
rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil obyek penelitian di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy Bandung. Hal ini menarik bagi peneliti karena
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy Bandung merupakan LAPAS khusus
narapidana kasus narkoba dimana masalah narkoba ini sedang menjadi perbincangan
hangat di tengah-tengah masyarakat Indonesia terkait ditangkapnya salah satu artis papan
atas Indonesia oleh Badan Narkotika Nasional beberapa bulan yang lalu.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy Bandung dibentuk Berdasarkan
Surat Menteri Kehakiman RI No. W8. UM. 01 .06 .245 A tanggal 30 september 1999
tentang Pembentukan Lapas Khusus Napi Narkoba. Hal tersebut guna memfungsikan
beberapa Lapas sebagai tempat pembinaan narapidana kasus narkotika, salah satunya
yaitu : Lapas Klas IIA Banceuy Bandung untuk menampung narapidana kasus narkotika
dari Kantor Wilayah Departemen Kehakiman DKI Jakarta dan Jawa Barat.6[6]
LAPAS Banceuy ini mempunyai kapasitas hunian untuk 600 orang narapidana. Tetapi di
dalam kenyataannya LAPAS ini dihuni oleh sekitar 1477 orang. Di dalam LAPAS ini
juga tidak semua penghuni merupakan narapidana kasus narkoba, karena ada sekitar 30
orang narapidana yang merupakan kasus pidana umum.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Banceuy Bandung?
2. Bagaimana optimalisasi kinerja dari hakim komisaris/pengawas di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy Bandung?
6

BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pembinaan Terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Banceuy Bandung
Dinamika perkembangan dunia yang pesat, kesadaran hukum masyarakat yang
tinggi dan kualitas masyarakat yang semakin kritis dalam menangani permasalahan yang
berkaitan dengan hukum, menyebabkan kualitas pembinaan terhadap narapidana dan
pendekatannya juga harus meningkat ke arah yang lebih baik dan lebih manusiawi sesuai
dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat akan kepastian dan pengayoman yang berintikan
keadilan dan kebenaran.
Beberapa fase perkembangan diawali dengan adanya faham balas dendam kepada
pelaku tindak pidana. Selanjutnya berkembang ke faham pembalasan yang setimpal.
Berikutnya pada kurang abad ke XVIII dan awal abad ke XIX lahir faham rehabilitasi
yaitu pelaku delik diperbaiki, dibina dan bukan semata-mata mendapat pembinaan.
Pada awalnya gagasan/konsepsi pemasyarakatan sebagai reformasi pembinaan
narapidana, diperknalkan pertama kali oleh Dr. Sahardjo dalam pidatonya tentang
konsepsi hukum nasional yang dilambangkan sebagai pohon beringin pengayoman pada
tanggal 5 Juli 1963. Disini pemasyarakatan dianggap sebagai tujuan dari pemidanaan,
yang membedakan dari sistem kepenjaraan. Sedang istilah pemasyarakatan baru secara
resmi digunakan dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964.
Sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan perbedaannya terletak pada asas
tujuan dan pendekatan yang melandasi tata perlakuan (pembinaan) terhadap para
narapidana.
No.
Perbedaan
Sistem Kepenjaraan
Sistem Pemasyarakatan
1.
Asas
Titik
berat
pada Pancasila
(falsafah
pembalasan, memberikan negara).
derita kepada pelanggar
hukum.
2.
Tujuan
Supaya pelanggar hukum Disamping melindungi
menjadi jera, masyarakat masyarakat,
juga
dilindungi dari perbuatan membina
narapidana
jahatnya.
agar
selama
dan
terutama setelah selesai
menjalani pidananya ia
dapat menjadi manusia

yang baik dan berguna.

3.

Pendekatan

Pendekatan keamanan dan Pendekatan keamanan


pengasingan
dari melalui
tahap
masyarakat secara penuh.
maksimum,
dan
minimum security dan
dilakukan
pula
pendekatan pembinaan
(treatment approach) di
dalam maupun diluar
lembaga pemasyarakatan
dengan
menerapkan
metode kekeluargaan.

2.

Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana dipandang sebagai manusia yang


memiliki fitrah kemanusiaan, itikad dan potensi positif yang dapat digali dan
dikembangkan dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, jadi berlainan
dengan sistem kepenjaraan yang semata-mata bersifat balas dendam dan penjelasan
terhadap narapidana.
Dalam sistem pemasyrakatan dimaksudkan sebagai suatu proses pembinaan
narapidana yang bertujuan untuk membina narapidana dalam arti menyembuhkan
seseorang yang sementara tersesat hidupnya karena ada kelemahan-kelemahan yang
dimilikinya. Disamping itu juga mereka dapat menjadi manusia seutuhnya bagaimana
telah menjadi arah pembangunan nasional, hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi sistem
pemasyarakatan (Pasal 2 dan 3 Undang-undang tentang Pemasyarakatan No. 12 tahun
1995) yaitu :
a. Dalam rangka membentuk warga binaan sistem pemasyarakatan (antara lain
narapidana) agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
b. Menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (antara lain narapidana) agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

c. Mampu menempatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.7[7]
Mengingat ancaman pidana untuk tindak pidana narkotika ini merupakan ancaman pidana
yang tergolong cukup lama bahkan ancaman pidananya bisa seumur hidup, oleh karena
itu peranan lembaga pemasyrakatan sangatlah penting dalam hal pembinaan terhadap
narapidana yang hukuman pidananya cukup lama, dikarenakan sekalipun telah
diusahakan berbagai hal dalam rangka pembinaan narapidana selama menjalani pidana,
namun ternyata dampak psikologis akibat pidana penjara masih nampak dan memerlukan
pemikiran yang tuntas.
Bagaimana juga dampak psikologis akibat pidana penjara itu sendiri, sehingga
sebenarnya seorang narapidana tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara
psikologis. Pidana secara psikologis merupakan beban yang berat bagi setiap narapidana,
sehingga diperlukan pemikiran untuk memecahkan. Berbagai dampak psikologis tersebut
antara lain :
a. Lose of personaling adalah seorang narapidana selama dipidana akan kehilangan
kepribadian diri, identitas diri akibat peraturan dan tata cara di lembaga pemasyarakatan.
b. Lose of security adalah pengawasan yang setiap saat, narapidana kan ragu dalam
bertindak, kurang percaya diri, dan tidak mampu mengambil keputusan secara baik.
c. Lose of liberty adalah hilangnya berbagai kemerdekaan individual seperti
kemerdekaan berpendapat dan sebagainya.
d. Lose of personal communication adalah hilangnya kebebasan untuk berkomunikasi
terhadap siapapun juga.
e. Lose of good and service adalah hilangnya pelayanan menyebabkan narapidana
kehilangan rasa affection, kasih sayang yang biasanya didapat di rumah.
f. Lose of heterosexual adalah hilangnya penyaluran nafsu sex yang terpendam,
sehingga akan terjadinya abnormalitas sexual eperti homo sex.
g. Lose of prestige adalah narapidana akan kehilangan dirinya, seperti kamar tidur (sel)
yang hanya berpintu terali besi.
h. Lose of believe adalah karena hukum yang dijalani narapidana cukup lama maka ia
7

akan kehilangan rasa percaya diri, seperti kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap.
i. Lose of creativity adalah narapidana akan terampas kreativitasnya, ide-idenya,
bahkan juga mpian dan cita-citanya.8[8]
Pembinaan narapidana yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan ditujukan agar selama
masa pembinaan dan sudah selesai menjalankan pidananya para narapidana dapat :
a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap
optimis akan masa depannya.
b. Dapat memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup
mandiri dan berpartisipasi dalam egiatan pembangunan nasional.
c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan erilaku
yang tertib, disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan nasional.
d. Memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.
Pembinaan narapidana tidak dapat hanya dilakukan oleh petugas pemasyarakatan
saja, tetapi sangat diperlukan bantuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pembinaan
narapidana. Harus disadari bahwa dalam embinaan narapidana prinsi-prinsip dasar
pembinaan harus berjalan seiring, searah dan selaras untuk mencapai tujuan.
Prinsip itu adalah kemauan atau hasrat narapidana untuk membina sendiri,
keterlibatan keluarga dalam membina anggota keluarganya yang menjadi narapidana dan
keterlibatan masyarakat untuk ikut serta membina narapidana dan peran kelompok
masyarakat serta pemerintah dalam membina narapidana. Hanya dengan peran serta
semua pihak, pembinaan narapidana dapai dicapai dengan baik, sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.
Sesuai dengan prinsip-prinsip kemasyarakatan yang dihasilkan melalui konferensi
Lembang 27 April 1964, maka sebenarnya tujuan dari lembaga pemasyarakatan ini
adalah untuk membina narapidana agar setelah narapidana selesai menjalani masa
pidananya dapat berbaur dengan masyarakat sekitarnya serta bisa hidup mandiri dengan
baik.
Dengan memperhatikan pengertian pemasyarakatan adalah sebagai suatu proses
pembinaan terpidana yang dengan putusan hakim untuk menjalani pidananya
8

ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini dapat diartikan bahwa pembinaan
narapidana harus merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dapat menggugah
kesadaran setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam usaha pembinaan narapidana
tersebut.
Lembaga pemasyarakatan yang bertugas membina para narapidana secara teratur
dan terencana harus memperhatikan latar belakang narapidana itu, misalnya tingkat
pendidikannya, agar tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan. Dengan demikian
program pembinaan terhadap narapidana itu perlu ditangani secara khusus agar sesuai
dengan tingkat pendidikan dan kemampuan narapidana itu sendiri.
Narapidana sebagai bagian dari masyarakat Indonesia perlu mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh dari berbagai lapisan masyarakat agar para narapidana itu dapat
menikmati hidup bermasyarakat yang tenteram.9[9]
Peran dari lembaga pemasyarakatan yang bertugas membina narapidana bahwa
narapidana tersebut harus dibekali pengertian norma-norma kehidupan serta melibatkan
mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam
kehidupan bermasyarakat, agar narapidana itu sanggup hidup mandiri. Narapidana itu
harus mempunyai daya tahan, dalam arti bahwa narapidana itu harus mampu hidup
bersaing dengan masyarakat tanpa melakukan kejahatan lagi.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy adalah merupakan unit pelaksana
teknis di bidang pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI
mempunyai tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana sesuai dengan Surat
Menteri Kehakiman RI No. W8. UM. 01 .06 .245 A tanggal 30 september 1999 tentang
Pembentukan Lapas Khusus Napi Narkoba.
Adapun visi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy adalah Menjadi
lembaga yang akuntabel, transparan dan profesional dengan didukung oleh petugas
yang memiliki kompetensi tinggi yang mampu mewujudkan tertib
pemasyarakatan.10[10]
Visi tersebut dijalankan ke dalam misi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy
yaitu :

9
10

1) Mewujudkan tertib pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan


secara konsisten dengan mengedepankan terhadap hukum dan hak asasi manusia.
2) Membangun kelembagaan yang profesional dengan berlandaskan pada
akuntabilitas dan transparasi dalam pelaksanaan tugas pokok dab tugas
pemasyarakatan.
3) Mengembangkan kompetensi dan potensi sumber daya petugas secara konsisten
dan berkesinambungan.
4) Mengembangkan kerjasama dengan mengoptimalkan stakeholder.
Program pembinaan yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy
terhadap narapidana yaitu sebagai berikut :
a.

Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan (MAPENALING)

MAPENALING merupakan Program pembinaan bagi WBP baru, dengan tujuan agar
dapat memahami tata tertib, hak dan kewajiban, serta larangan, program ini pembinaan
tahap awal dari proses pemasyarakatan, yang merupakan dasar dari program pembinaan
kepribadian sampai pada tahapan program integrasi.
b. Pembinaan Kepribadian
Adalah program pembinaan yang diarahkan pada kegiatan kesadaran beragama,
kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) dan
pembinaan kesadaran hukum.
(1) Pembinaan Keagamaan
Kegiatan Agama Islam melalui Pondok Pesantren Nurul Falah Lapas Klas II A
Banceuy Bandung;

Kegiatan Agama Nasrani melalui peribadahan dan pendalaman alkitab;

Kegiatan Agama Budha bekerjasama dengan Dewan Pengurus Daerah Perwakilan


Umat Budha Indonesia.
(2) Theurapeutic Community (TC).

Metode rehabilitasi sosial ditujukan kepada korban penyalahgunaan narkoba yang


memungkinkan untuk melakukan perubahan perilaku dengan cara belajar mengenal diri
sendiri serta menjalani kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip yang benar dalam
hubungan antar individu.
(3) Pembinaan Jasmani dan Kedisiplinan
Pembinaan dalam bentuk fisik dan penerapan kedisiplinan yang meliputi kegiatan senam
kesegaran jasmani dilaksanakan setiap pagi hari, baris-berbarisdilaksanakan setelah
kegiatan senam dan upacara pembinaan dilaksanakan setiap hari senin.
(4) KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
Upaya meningkatkan pengetahuan, perubahan perilaku dalam penanggulangan HIV /
AIDS melalui layanan informasi yang lengkap dan tepat.
(5) Manajemen Kasus
Upaya penanganan masalah dan menjelaskan sesuatu persoalan WBP yang dilaksanakan
oleh petugas Bimpas melalui kegiatan konseling dan konsultasi. Tujuannya memberikan
Pemahaman terhadap penanganan persoalan pribadi WBP dan atau memberikan
pemahamansecara rinci tentang hak-hak dan kewajiban WBP selama menjalankan proses
pemidanaan di Lapas.
(6) Pembinaan Keolahragaan
Kegiatan olah raga WBP yang dilaksanakan pada pagi hari dan sore hari (jam 07.45 s.d.
jam 08.30 WIB dan jam 15.30 s.d. jam 16.30 WIB) dengan melakukan kegiatan
permainan : pagi hari (senam) sore hari (sepak bola, voly ball, tenis lapangan, tenis meja,
bulu tangkis).
(7) Pembinaan Seni Budaya
Upaya menyalurkan minat bakat WBP dan menumbuhkan rasa memiliki untuk
melestarikan nilai-nilai seni-budaya serta menyalurkan kemampuan bakat seni (group
band, vokal group, perkusi/rampak gendang, teater, angklung, karinding/celempung,
marawis, seni rupa). Kegiatan dilaksnakan pada pagi dan sore hari.
(8) Kunjungan Keluarga
Upaya untuk menciptakan hubungan emosional antara keluarga dan kerabat, serta

temannya dengan WBP.


(9) Kelompok Belajar
Kegiatan Kejar Paket bagi WBP melalui PKBM (Pendidikan Kelompok Belajar
Masyarakat) bagi yang tidak dapat baca tulis dan berhitung.
c.

Pembinaan Kemandirian

Upaya penyaluran minat bakat WBP pada kegiatan kerja, diantaranya :

Pelatihan Menjahit konveksi;

Pelatihan Tukang Kayu;

Pelatihan Sablon;

Pelatihan Kerajinan Tangan;

Dekorasi Taman Indoor dan Outdoor (Gardening);

Pertanian (Pembudidayaan Tanaman);

Perikanan;

Produksi Kusen Kayu;

Produksi Kaos dari Pelatihan Menjahit;

Pelatihan Elektronik;

Pelatihan Pembuatan Tas;

Pelatihan Las Listrik dan Karbit;

Pelatihan Meubelair;

Kerajinan Pemanfaatan Limbah;

Pelatihan Sepatu;

Pengelolaan warung koperasi.

d. Program Pembinaan Lanjutan


Program pembinaan berdasarkan proses tahapan pemidanaan, diawali
pada tahapan maksimum securiry (1/3 MP), tahapan medium security (1/2 MPasimilasi), dan program reintegrasi (PB/ Pembebasan bersyarat - 2/3 MP). Setiap tahapan
di evaluasi oleh Tim PengamatPemasyarakatan (TPP) Lapas, melalui sidang TPP dengan
didampingi wali pemasyarakatan dan dihadiri Petugas Bapas.
Menurut hasil penelitian yang penulis lakukan, bahwa pembinaan terhadap
narapidana khususnya kasus narkoba pada dasarnya pembinaannya baik mental,
kemandirian, sosial, keterampilan lebih ditingkatkan, mengingat narkoba merupakan
tindak pidana khusus, oleh karena itu maka ancaman pidana penjaranya pun cukup lama
yaitu maksimal bisa hukuman mati.
Dan disinilah peranan daripada Lembaga Pemasyarakatan dikarenakan bahwa
ancaman pidana penjara untuk narkoba cukup lama, maka dalam hal untuk melakukan
pembinaan bisa mencapai dengan hasil yang maksimal dikarenakan waktu pembinaan
yang cukup lama. Karena peranan Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi melanggar tindak
pidana khusus narkoba dan menjadi manusia yang berguna, berperan aktif, dan kreatif
dalam membangun bangsa dan negaranya.
Menurut penulis, bahwa dalam penanganan kasus narkoba ini bersifat mengakar
dan mempengaruhi baik psikologis maupun kondisi lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan juga mempengaruhi, oleh sebab itu pembinaan narapidana tidak hanya
melalui pendekatan secara kejeraan, namun perlu juga proses secara kekeluargaan, karena
menurut penulis hampir seluruh pengguna narkoba disebabkan oleh kurangnya perhatian
orang-orang sekitar para pengguna dan kurangnya penanaman nilai-nilai agama.

B. Optimalisasi Kinerja dari Hakim Komisaris/Pengawas di Lembaga


Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy Bandung
Apa itu hakim komisaris seperti yang diatur dalam RUU KUHAP ? Hakim
komisaris bukan istilah baru di Indonesia, sebab pada saat diberlakukannya reglement op
de Strafvoedering, hal itu sudah diatur dalam titel kedua tentang Van de regter-

commissaris. Hakim komisaris pada tahap pemerikasaan pendahuluan berfungsi sebagai


pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa (dwang
middelen), yg meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat2,
dilakukan dengan sah atau tidak.
Istilah hakim komisaris muncul kembali dalam konsep RUU KUHAP yang
hingga saat ini belum ditetapkan sebagai UU. Jika dikaji lebih jauh maka kiranya dapat
dipahami bahwa masuknya ide hakim komisaris ke dalam konsep KUHAP merupakan
adopsi dari sistem Eropa Kontinental, antara lain Belanda. Hakim Komisaris muncul
dalam sistem hukum Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses hukum acara pidana.
Setelah memahami fungsi dan peran hakim komisaris, kiranya dapat disandingkan
dengan keberadaan lembaga praperadilan yang masih dianut dalam KUHAP yang berlaku
saat ini. Keberadaan lembaga prapedilan juga bertujuan untuk menegakkan hak asasi
manusia, berkaitan dengan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (dalam hal ini penyidik).
Namun demikian keberadaan praperadilan mempunyai beberapa perbedaan mendasar
dengan hakim komisaris. Sekalipun tujuan keberadaan keduanya memang untuk
penegakan/perlindungan HAM, namun mempunyai perbedaan mendasar.
Pertama, dilihat dari konsep dasarnya, keduanya memiliki konsep yang berbeda.
Hakim komisaris sebagai lembaga yudikatif (kehakiman) mempunyai hak mengendalikan
thd jalannya pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan pihak eksekutif ((penyidik dan
penuntut umum) berkaitan dg wewenangnya. Sedangkan lembaga praperadilan
bersumber pada habeas corpus yang memberikan dasar kepada seseorang yg dilanggar
haknya untuk melawan thd tindakan upaya paksa yang dilakukan thd dirinya. Artinya
bahwa dalam praperadilan hak asasi manusia diberikan sebagai seorang manusia yang
merdeka dan dapat melakukan perlawanan apabila dirasa upaya paksa yang dilakukan thd
dirinya tidak sah.
Kedua, sistem pemeriksaan oleh hakim komisaris pada dasarnya bersifat tertutup
(internal) dan dilaksanakan oleh hakim thd penyidik, penuntut umum, saksi2 atau
terdakwa. Hal ini akan menghambat transaparansi thd masyarakat yang berperan sebagai
pengawas thd jalannya persidangan artinya akan rawan dengan KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme), sedangkan dalam sidang praperadilan sebagaimana kita tahu bersama bahwa
dilaksanakan secara terbuka untuk umum dan dapat disaksikan oleh publik (masyarakat).
Sejalan dengan semuanya, maka keberadaan hakim komisaris menurut saya
pribadi sbg mahasiswa hukum masih mempunyai kelemahan. Untuk itu perlu dikaji
kembali keberadaannya, karena dapat dipahami pengadopsian hakim komisaris ini,
merupakan hasil studi banding beberapa pakar dan praktisi hukum (pidana) Indonesia thd

beberapa negara yg menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental, misalnya Belanda,.


Namun demikian bukan berarti dapat diterapkan secara bulat di dalam hukum acara
pidana Indonesia, karena mempunyai bbrapa kelemahan spt yg sudah dipaparkan. Oleh
karena itu,memerlukan penyesuaian dalam tahap penyempurnaan nantinya. Dibutuhkan
banyak diskusi dan pengkajian kembali, agar tahapan konsep RUU KUHAP khususnya
keberadaan hakim komisaris lebih matang untuk dijadikan UU nantinya.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dan juga berdasarkan hasil
wawancara dengan petugas LAPAS, bahwa keberadaan hakim komisaris/pengawas di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy kurang berjalan secara optimal. Hal ini
dikarenakan hakim komisaris/pengawas jarang datang untuk mengawasi pembinaan
terhadap para narapidana. Dalam satu tahun, mungkin hanya sekedar dua atau tiga kali
hakim komisaris/pengawas ini datang ke Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy.
Mungkin hal ini juga disebabkan terkait belum ada aturan yang mengaturnya
secara khusus, sehingga kinerja hakim komisaris/pengawas ini belum bisa berjalan secara
optimal. Karena di dalam KUHAP sendiri yang saat ini masih berlaku, tidak terdapat
ketentuan mengenai hakim komisaris/pengawas yang mengaturnya secara jelas.

BAB III
PENUTUP
Pembinaan terhadap narapidana khususnya kasus narkoba pada dasarnya
pembinaannya baik mental, kemandirian, sosial, keterampilan lebih ditingkatkan,
mengingat narkoba merupakan tindak pidana khusus, oleh karena itu maka ancaman
pidana penjaranya pun cukup lama yaitu maksimal bisa hukuman mati. Dalam
penanganan kasus narkoba ini bersifat mengakar dan mempengaruhi baik psikologis
maupun kondisi lingkungan Lembaga Pemasyarakatan juga mempengaruhi, oleh sebab
itu pembinaan narapidana tidak hanya melalui pendekatan secara kejeraan, namun perlu
juga proses secara kekeluargaan, karena menurut penulis hampir seluruh pengguna
narkoba disebabkan oleh kurangnya perhatian orang-orang sekitar para pengguna dan
kurangnya penanaman nilai-nilai agama.
Bahwa keberadaan hakim komisaris/pengawas di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Banceuy kurang berjalan secara optimal. Hal ini dikarenakan hakim
komisaris/pengawas jarang datang untuk mengawasi pembinaan terhadap para
narapidana. Dalam satu tahun, mungkin hanya sekedar dua atau tiga kali hakim
komisaris/pengawas ini datang ke Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy.

DAFTAR PUSTAKA

Sudirman, Didin. 2007. Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem


Peradilan Pidana di Indonesia. Jakarta : Alnindra Dunia Perkasa.
Sunarto, D.M. 2007. Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan
Hukum Pidana, dalam Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep
dan Implikasi dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung : PT. Refika Aditama.
Setiyono, Joko. 2007. Kebijakan Legislatif Indonesia, dalam Hak Asasi Manusia
Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat.
Bandung: PT Refika Aditama.
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 1994. Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Bandung: Mandar Maju.
Selayang Pandang Program Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Banceuy.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
3.
4.
[1] Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, (Jakarta: Alnindra Dunia Perkasa, 2007), hlm. ix.

11

[2]

Ibid, hlm. 1-2.

12

[3] Sunarto, D.M, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan Hukum

Pidana, dalam Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan

Masyarakat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hlm. 139.

11
12

13

[4] Joko Setiyono, Kebijakan Legislatif Indonesia, dalam Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan

Implikasi dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 120.

14

[5] Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,

(Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 130.

15

[6] Selayang

Pandang Program Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banceuy.

16

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995, op.cit.

17

C. I. Harsono. Op.cit hal 80.

18

Djiman Samsosir. Op.cit. hal 74.

[7]

[8]

[9]

19

Selayang Pandang Program Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA


Banceuy.
[10]

13
14
15
16
17
18
19

Anda mungkin juga menyukai