Anda di halaman 1dari 14

112

MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019, Halaman 112-125

UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION DALAM


SISTEM HUKUM INDONESIA
Eddy O.S Hiariej∗

Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


Jalan Sosio Justisia No. 1, Bulaksumur, Sleman, D.I. Yogyakarta 55281

Abstract
The Indonesian government had ratified the United Nations Convention Against Corruption [’UNCAC’]
through Act No. 7 of 2006. However, the Indonesian Act on Anti-Corruption has yet to be synchronized
with UNCAC. On one hand, corruption has become a massive issue in Indonesia, but on the other hand,
the existing Anti-Corruption Act has yet to be in compliance with the relevant international instrument.
Therefore, the implementation of UNCAC has become more urgent. Aside from the need to counter
corruption efficiently and effectively, UNCAC calls upon the need for international cooperation against
corruption.
Keywords: international crime, corruption crime, united nations convention against corruption.

Intisari
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Akan tetapi sampai dengan saat ini, undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi belum disesuaikan dengan konvensi tersebut. Di satu sisi korupsi yang terjadi di
Indonesia begitu masif, sedangkan di sisi lain undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
yang ada masih belum disesuaikan dengan instrumen internasional. Dalam konteks ini, implementasi
UNCAC menjadi suatu hal yang urgen. Selain memberantasan korupsi secara efisien dan efektif, UNCAC
mensyaratkan adanya kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi.
Kata kunci: kejahatan internasional, kejahatan korupsi, konvensi PBB menganai antikorupsi.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang . ................................................................................................................................. 113
B. Pembahasan ....................................................................................................................................... 113
1. Kompleksitas Kejahatan Korupsi ................................................................................................. 113
2. Internasionalisasi Kejahatan Korupsi .......................................................................................... 114
3. Hubungan Antara Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Pidana Nasional ........................... 116
4. Pengaruh Asas-Asas Hukum Pidana Internasional . ..................................................................... 121
5. Raison D’Etre Implementasi UNCAC Di Indonesia . .................................................................. 123
C. Kesimpulan ........................................................................................................................................ 124


Alamat korespondensi: eddyosh@ugm.ac.id.
Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia 113

A. Latar Belakang itu sendiri. Kedua, internasionalisasi kejahatan


Het recht hinkt achter de feiten aan. Sebuah korupsi. Ketiga, hubungan antara hukum pidana
ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berarti nasional dan hukum pidana internasional. Keempat,
hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Penulis asas-asas dalam hukum pidana internasional.
sendiri tidak sependapat dengan ungkapan tersebut Kelima, raison d’etre implementasi UNCAC di
sebab recht is geen person (hukum bukanlah orang) Indonesia.
melainkan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub
sistem dan jika terdapat kekurangan pada satu B. Pembahasan
subsistem akan dilengkapi oleh subsistem lainnya. 1. Kompleksitas Kejahatan Korupsi
Hukum di sini diartikan sebagai hukum tertulis atau Korupsi yang berasal dari bahasa latin
undang-undang yang perubahannya harus melalui corruptio2 atau menurut Webster Student Dictionary
prosedur sehingga tidak dapat setiap kali dilakukan adalah corruptus, sesungguhnya berasal dari
untuk disesuaikan dengan keadaan1. suatu kata latin yang lebih tua yakni corrumpere.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, Corrumpere dapat diartikan sebagai kebusukan,
perubahan undang-undang telah dilakukan pasca- keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
reformasi. Pertama, undang-undang nomor 31 tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-
tahun 1999 yang secara tegas mencabut dan kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
menggantikan undang-undang nomor 3 tahun 1971 Dalam studi kejahatan, korupsi bersama-sama
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. dengan prostitusi adalah kejahatan tertua di dunia.
Kedua, undang-undang nomor 20 tahun 2001 yang Diperkirakan kejahatan korupsi dan prostitusi akan
mengubah dan menambahkan beberapa pasal yang tetap berlangsung selama ada kehidupan di dunia.
sudah ada dalam undang-undang sebelumnya. Masih dalam studi kejahatan, paling tidak ada
Dalam rangka memperkuat instrumen 9 tipe korupsi. Pertama, political bribery adalah
pemberantasan korupsi di Indonesia, selain dibentuk termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai
komisi pemberantasan korupsi berdasarkan undang- badan pembentuk undang-undang. Secara politis
undang nomor 30 tahun 2002, Pemerintah Indonesia badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan
juga telah meratifikasi United Nations Convention karena dana yang dikeluarkan pada masa
Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas
Antikorupsi PBB dengan undang-undang nomor 7 perusahaan tertentu. Kedua, political kickbacks,
tahun 2006. Menjadi perdebatan, apakah UNCAC yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
yang telah diratifikasi serta merta dapat diberlakukan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat
sebagai instrumen pemberantasan korupsi di pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang
Indonesia ataukah tidak dapat diterapkan sebelum untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-
melakukan perubahan dan penyesuaian dengan pihak yang bersangkutan. Ketiga, election fraud
undang-undang nasional terkait pemberantasan adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan
korupsi yang kita miliki. kecurangan pemilihan umum. Keempat, corrupt
Tulisan singkat ini mencoba mengulas campaign practice adalah praktek kampanye
diskursus tersebut. Agar sitematis, tulisan ini terdiri dengan menggunakan fasilitas negara.3
dari beberapa subjudul. Pertama, kejahatan korupsi Kelima, discretionery corruption yaitu

1
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 103.
2
Fockemma, S.J. Andreae, 1951 Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta: Bij J.B.
Wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana di kutip Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia
Pustaka Utama, hlm. 7.
3
Piers Beirne dan James Messerschmidt, 1995, Criminology, second edition, Harcourt Brage College Publishers, hlm. 295-297.
114 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019, Halaman 112-125

korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan melalui doktrin, kebiasaan atau praktek hukum
dalam menentukan kebijakan. Keenam, illegal internasional.4 Proses penetapan tersebut biasanya
corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan dibahas oleh suatu komite atau badan yang bersifat
mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi ad-hoc kemudian memperoleh persetujuan dari
hukum. Ketujuh, ideological corruption ialah suatu konvensi yang diadakan khusus untuk itu.
perpaduan antara discretionery corruption dan Proses pembahasan suatu tindakan tertentu sebagai
illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kejahatan internasional biasanya dilakukan oleh
kelompok. Kedelapan, political corruption adalah international law commission atau komisi hukum
penyelewengan kekuasaan atau kewenagan yang internasional yang berada di bawah PBB.
dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan Secara garis besar ada dua kategori kodifikasi
keuntungan pribadi atau kelompok yang berkaitan kejahatan internasional dalam berbagai treaty.
dengan kekuasaan. Kesembilan, mercenary Pertama, treaties yang secara tegas menyatakan
corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dinyatakan
semata-mata untuk kepentingan pribadi. sebagai kejahatan di bawah hukum internasional.
Korupsi dalam sudut pandang hukum Kedua, treaties yang tidak menyatakan perbuatan-
pidana berarti mengacu kepada Undang-Undang perbautan yang dilarang sebagai suatu kejahatan,
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan tetapi mewajibakan para negara peserta untuk
undang-undang a quo, terdapat 30 perbuatan yang menuntut atau mengekstradisi para pelaku tindakan
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi yang tersebut berdasarkan hukum nasional5.
adalah sebagai berikut: Ada lima unsur tingkah laku tertentua yang
1. Korupsi yang berkaitan dengan mana jika salah satu unsur saja terpenuhi, maka
kerugian keuangan negara sebanyak 2 tingkah laku tersebut dapat dikualifikasikan sebagai
pasal kejahatan internasional. Pertama, tingkah laku yang
2. Korupsi yang berkaitan dengan suap-
dilarang berakibat signifikan terhadap kepentingan
menyuap sebanyak 12 pasal
3. Korupsi yang berkaitan dengan internasional, khususnya perdamian dan keamanan
penggelapan dalam jabatan sebanyak internasional. Kedua, tingkah laku yang dilarang
5 pasal merupakan perbuatan yang buruk dan dianggap
4. Korupsi yang berkaitan dengan mengancam nilai-nilai yang dianut bersama
pemerasan sebanyak 2 pasal
5. Korupsi yang berkaitan dengan oleh masyarakat dunia, termasuk apa yang telah
perbuatan curang sebanyak 2 pasal dianggap oleh sejarah sebagai tingkah laku yang
6. Korupsi yang berkaitan dengan menyentuh nurani kemanusiaan. Hal ini didukung
pengadaan sebanyak 1 pasal banyak pendapat internasional dimana tindakan
7. Korupsi yang berkaitan dengan
suap dalam lingkup internasional harus diberantas.6
gratifikasi sebanyak 1 pasal
Ketiga, tingkah laku yang dilarang memiliki
2. Internasionalisasi Kejahatan Korupsi implikasi transnasional yang melibatkan atau
Istilah internasionalisasi kejahatan dapat mempengaruhi lebih dari satu negara dalam
diartikan sebagai proses penetapan tindakan- perencanaan, persiapan atau perbuatannya, baik
tindakan tertentu sebagai kejahatan internasional. melalui keragaman kewarganegaraan para pelaku
Tindakan-tindakan tertentu yang kemudian kejahatan atau korban atau perlengkapan yang
dinyatakan sebagai kejahatan internasional dapat digunakan melebihi batas-batas negara. Keempat,

4
M. Cherif Bassiouni, 2003, Introduction To International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York, hlm. 109.
5
Illias Bantekas and Susan Nash, 2007, International Criminal Law, Third edition, Routledge Cavendish, London And New York, hlm. 6.
6
Rajib Sanyal, “Determinants of Bribery in International Business: The Cultural and Economic Factors”, Journal of Business Ethics, Vol 59,
2005, hlm. 139.
Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia 115

tingkah laku yang membahayakan perlindungan kesejahteraan rakyat akibat korupsi. Bahkan dalam
terhadap kepentingan internasional atau terhadap sebuah penelitian, secara tegas bahwa Korupsi
orang yang dilindungi secara internasional. Kelima, adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.9
tingkah laku tersebut melanggar kepentingan Berdasarkan keenam dampak korupsi
internasional yang dilindungi namun tidak sampai tersebut, adapun tujuan UNCAC adalah sebagai
pada tahap yang disebut pada poin pertama dan berikut : Pertama, mencegah dan membasmi korupsi
kedua, namun karena sifat dasarnya, tingkah secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, harus ada
laku tersebut dapat dicegah dan ditekan melalui koordinasi diantara institusi-institusi pemberantasan
kriminalisasi internasional.7 korupsi termasuk jaminan dan perlindungan
Dalam konteks kejahatan korupsi dengan terhadap masyarakat yang melaporkan adanya
merujuk pada UNCAC, kategori kodifikasi dugaan korupsi. Kedua, kerjasama internasional
internasionalisasi kejahatan korupsi termasuk treaty dan bantuan teknis termasuk pengembalian aset
yang tidak menyatakan perbuatan-perbautan yang kejahatan. Kerjasama di sini tidak hanya diantara
dilarang sebagai suatu kejahatan internasional, negara peserta konvensi, namun kerjasama juga
tetapi mewajibakan para negara peserta untuk dilakukan dengan negara-negara yang bukan
menuntut atau mengekstradisi para pelaku tindakan merupakan state party dari konvensi tersebut.
tersebut berdasarkan hukum nasional sebagaimana Dalam hal ini harus dipahami bahwa dengan
termaktub dalam Pasal 30 UNCAC. Demikian pembentukan UNCAC, teknis hukum acara anti
pula berdasarkan unsur-unsur internasionalisasi korupsi terutama dalam pengembalian asset telah
kejahatan sebagaimana yang diungkapkan oleh diatur sebagai landasan kerjasama antar Negara.10
Bassiouni di atas, kejahatan korupsi termasuk Ketiga, integritas, akuntabilitas dan transparansi
tingkah laku yang melanggar kepentingan serta manajemen yang tepat di sektor publik.
internasional yang karena sifat dasarnya, tingkah Berdasarkan internasionalisasi kejahatan,
laku tersebut dapat dicegah dan ditekan melalui dalam konteks hukum pidana internasional, M.
kriminalisasi internasional. Cherif Bassiouni membagi hirarki kejahatan
Dalam backround paper UNCAC paling tidak internasional menjadi tiga. Pertama, kejahatan
ada enam dampak korupsi8 yang melatarbelakangi internasional yang disebut sebagai ‘international
internasionalisasi kejahatan korupsi. Pertama, crimes’ adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan
korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, karakter dari ‘international crime’ berkaitan dengan
korupsi dianggap merusak aturan hukum. perdamaian dan keamanan manusia serta nilai-nilai
Ketiga, korupsi dapat menggangu pembangunan kemanusiaan yang fundamnetal. Kedua, kejahatan
berkelanjutan. Keempat, korupsi dianggap merusak internasional yang disebut sebagai ‘international
pasar. Kelima, korupsi dapat merusak kualitas delicts. Tipikal dan karakter ‘international delicts’
hidup. Keenam atau yang terakhir, korupsi dianggap berkaitan dengan kepentingan internasional yang
melanggar hak-hak asasi manusia. Hal ini berkaitan dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau
dengan hak-hak atas kehidupan yang layak bagi korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari
masyarakat namun terabaikan karena negara tidak satu negara. Ketiga, kejahatan internasional yang
memiliki cukup anggaran untuk meningkatkan disebut dengan istilah ‘international infractions’.

7
M. Cherif Bassiouni, Op.cit., hlm. 119.
8
Lihat dalam Background Paper Declaration of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru pada tanggal 7 sampai dengan
11 September 1997.
9
Anne Peters, “Corruption as a Violation of International Human Rights”, The European Journal of International Law, Vol. 29, No. 4, 2018,
hlm. 1262.
10
Jamin Ginting, “Perjanjian Internasional Dalam Pengembalian Aset Hasil korupsi di Indnesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3,
September 2011, hlm. 453.
116 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019, Halaman 112-125

Dalam hukum pidana internasional secara normatif, yang tadinya sebagai “international infractions”
‘international infraction’ tidak termasuk dalam menjadi “international crimes”. Tegasnya,
kategori ‘international crime’ dan ‘intetrnational kejahatan korupsi akan berada pada hirarki teratas
delicts’. dari kejahatan internasional.
Kejahatan internasional yang dikemukakan 3. Hubungan Antara Hukum Pidana Inter­
oleh Bassiouni, tidak berkorelasi postif dengan nasional Dan Hukum Pidana Nasional
penegakan hukum pidana internasional itu sendiri. Hubungan antara hukum pidana internasional
Kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai dan hukum pidana nasional secara mutatis mutandis
“international crimes” yang menempati hirarki tidak terlepas dari hubungan antara hukum
teratas dalam kejahatan internasional, hanya empat internasional dan hukum nasional yang akan
kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah merujuk kepada dua teori. Pertama, teori monisme
Pidana Internasional, yakni agresi, genosida, yang menyatakan bahwa hukum internasional
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan dan hukum nasional merupakan dua aspek dari
perang. Selain itu dapat saja dikemudian hari satu sistem hukum. Kedua, teori dualisme yang
berdasarkan perkembangan doktrin dan praktek menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum
kebiasaan dalam hukum pidana internasional nasional masing-masing merupakan dua sistem
maupun konvensi, suatu kejahatan internasional hukum yang berbeda.11
dapat berubah hirarkinya. Maksudnya, suatu Teori monisme melihat hukum internasional
kejahatan inetrnasional yang tadinya termasuk dan hukum nasional merupakan satu kesatuan
dalam hirarki international infractions dapat saja sistem hukum berupa kaidah-kaidah yang mengikat
berubah dan dimasukkan sebagai international individu, negara maupun kesatuan lainnya yang
delicts, bahkan sebagai “international crimes”. bukan negara.12 Hukum internasional mengikat
Sebagai misal, piracy pada awalnya berada pada individu secara kolektif, sedangkan hukum
hirarki “international crime”, namun dalam nasional mengikat individu secara perorangan.
perkembangannya piracy hanya menempati Teori dualisme melihat hubungan antara hukum
tingkatan sebagai “international delicts”. internasional dan hukum nasional sebagai dua
Dalam kaitannya dengan kejahatan hal yang terpisah, terlebih dalam dunia modern
korupsi, saat ini berdasarkan kelima unsur-unsur yang mana negara mempunyai kedaulatan dan
internasionalisasi kejahatan, korupsi berada kesederajatan.13 Baik hukum internasional, maupun
pada hiraki yang terakhir, yakni “international hukum nasional adalah aturan-aturan hukum yang
infractions”. Akan tetapi, perlu dipahami pula bebas terpisah dan tidak dapat dikatakan bahwa
bahwa saat ini ada dua kejahatan internasional yang hukum internasional adalah superior dari hukum
sedang dibahas oleh International Law Commission nasional, begitu pula sebaliknya.14
untuk menjadi yurisdiksi International Criminal Terkait berlakunya hukum internasional
Court. Kedua kejahatan tersebut adalah narkotika dalam hukum nasional, menurut paham monisme,
dan korupsi. Jika kemudian Majelis Umum PBB hukum internasional dapat berlaku dan merupakan
menyetujui kejahatan narkotika dan korupsi sebagai bagian dari hukum nasional, khususnya bagi
yurisdiksi International Criminal Court akan perjanjian-perjanjian yang merupkan self executing
membawa konsekunsi hirarki kejahatan korupsi treaty. Sementara paham dualisme berpendapat

11
Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 5.
12
J.G. Starke, 2001, Pengantar Hukum Internasional, 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 98
13
Malcolm N. Shaw, 2004, International Law, 5th Edition, Cambridge University Press, hlm. 99 – 100.
14
D.J. Harris, 1998, Cases and Materiils On International Law, Sweet & Maxwell, London, hlm. 68.
Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia 117

bahwa hak dan kewajiban yang ditetapkan oleh nasional diadopsi sebagai asas-asas dalam hukum
hukum internasional melalui sebuah treaty tidak pidana internasional. Dalam ketentuan KUHP di
mempunyai pengaruh terhadap hukum nasional semua negara, khususnya berkaitan dengan asas
tanpa ada pengesahan dari negara. Kalaupun berlakunya hukum pidana menurut tempat, tidak
berpengaruh, maka berlakunya hukum internasional hanya meliputi teritorial negara tersebut tetapi juga
dalam hukum nasional kedudukannya tetap berada meliputi tempat-tempat tertentu yang dianggap
di bawah konstitusi negara.15 perluasan teritorial, kendatipun berada di wilayah
Diskursus antara paham monisme dan negara lain. Demikian pula sebaliknya, tindakan-
paham dualisme dalam hubungan antara hukum tindakan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan
pidana internasional dan hukum pidana nasional internasional oleh hukum pidana internasional
dalam perkembangannya terdapat perubahan- kemudian diadopsi ke dalam ketentuan-ketentuan
perubahan yang cukup prinsip. Dalam hukum dalam hukum pidana nasional dengan tujuan agar
pidana internasional pertentangan pendapat antara kejahatan tersebut tidak terjadi di negaranya.
paham monisme dan paham dualisme perihal Dengan demikian kejahatan-kejahatan yang
subjek hukum sudah tidak relevan lagi. Dalam diatur dalam UNCAC dan belum ada padanannya
perkembangannya, subjek hukum internasional di dalam undang-undang pemberantasan tindak
yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana pidana korupsi yang kita miliki bersifat pelengkap
antara lain adalah individu. Artinya, hukum pidana terhadap sistem pemberantasan korupsi secara
internasional mengikat individu secara perorangan kesleuruhan, khususnya, menyangkut substansi
dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang korupsi itu sendiri. Tidak seperti konvensi lainnya
dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional. yang merumuskan unsur-unsur suatu kejahatan
Individu sebagai subjek hukum pidana atau definisi mengenai suatu kejahatan, UNCAC
internasional jelas tidak sesuai dengan paham tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
monisme yang menyatakan bahwa hukum korupsi. Akan tetapi, dalam Bab III UNCAC terkait
internasional mengikat individu secara kolektif, kriminalisasi dan penegakan hukum, terdapat 11
terlebih dengan paham dualisme yang menyatakan perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai korupsi.
bahwa subjek hukum internasional secara ekslusif Secara garis besar, kesebelas perbuatan tersebut
hanyalah negara. Selain itu hampir semua tindakan- adalah : Pertama, bribery of national public officials
tindakan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan atau penyuapan pejabat-pejabat publik nasional
internasional telah diatur dan merupakan bagian (Pasal 15). Kedua, bribery of foreign public officials
dari hukum nasional masing-masing negara, and officials of public international organizations
kendatipun negara tersebut bukan merupakan state atau penyuapan pejabat-pejabat publik asing
party atau negara peserta dari treaty crime yang dan pejabat-pejabat dari oraganisasi-organisasi
mengkualifikaikan suatu tindakan sebagai kejahatan internaional publik (Pasal 16).
internasional.16 Ketiga, embezzlement, misappropriation
Hubungan antara hukum pidana internasional or other diversion of property by a public official
dan hukum pidana nasional adalah hubungan atau penggelapan, penyelewenagan atau pengalihan
yang bersifat komplementer antara satu dengan kekayaan dengan cara lain oleh pejabat publik
yang lain dan memiliki arti penting dalam rangka (Pasal 17). Keempat, trading in influence atau
penegakan hukum pidana itu sendiri. Hal ini jelas memperdagangkan pengaruh (Pasal 18). Kelima,
terlihat banyaknya asas dalam hukum pidana abuse of function atau penyalahgunaan fungsi (Pasal

15
Anthony Aust, 2005, Handbook of International Law, Cambridge University Press, hlm. 80-81.
16
Eddy O.S Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, hlm. 24.
118 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019, Halaman 112-125

19). Keenam, illicit enrichment atau memperkaya Perumusan tindakan-tindakan yang dikrimi­
secara tidak sah (Pasal 20). Ketujuh, bribery in nalisasi dalam suatu konvensi internasional
the private sector atau penyuapan di sektor swasta sebagaimana juga yang terdapat dalam UNCAC
(Pasal 21). Kedelapan, emblezzement of property memiliki karakteristik tersendiri. Pertama,
in the private sector atau penggelapan kekayaan perumusan tindakan yang dikriminalisasikan saling
dalam sektor swasta (Pasal 22). Kesembilan, tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Kedua,
laundering of proceeds of crime atau pencucian sebagai konsekuensi dari yang pertama, unsur-
hasil kejahatan (Pasal 23). Kesepuluh, concealment unsur tindakan yang dikriminalisasikan menjadi
atau penyembunyian (Pasal 24). Kesebelas, tidak jelas. Tegasnya, perumusan yang demikian
obstruction of justice atau perbuatan menghalang- tidak memenuhi syarat lex certa17 sebagai hal yang
halangi proses pengadilan (Pasal 25). prinsip dalam asas legalitas. Ketiga, perumusan
Dari kesebelas tindakan yang dikrimi­ tindakan-tindakan yang dikriminalisasikan tidak
nalisasikan dalam UNCAC, ada yang bersifat diikuti oleh suatu sangksi pidana yang tegas.
mandatory offences dan ada yang bersifat non- Bila dihubungkan dengan asas legalitas
mandatoty offences. Kedua sifat ini tidak terlepas dalam hukum pidana internasional tidaklah dapat
dari kesepakatan negara-negara peserta dalam disamakan dengan ukuran berlakunya asas legalitas
konvensi tersebut. Jika suatu tindakan yang dalam hukum pidana nasional. Selain karena hukum
dikriminalisasikan bersifat mandatory berarti pidana internasional tidak dikodifikasi sebagaimana
ada kesepakatan seluruh peserta konvensi untuk hukum pidana nasional, hukum pidana internasional
mengatur tindakan tersebut dalam undang-undang juga bersumber dari kebiasaan internasional
nasionalnya sehingga menimbulkan kewajiban dari sehingga sangat dimungkinkan berlakunya asas
state party. Sebaliknya, jika suatu tindakan bersifat legalitas adalah berdasarkan hukum kebiasaan
non-mandatory berarti tidak ada kesepakatan internasional. Padahal, dalam konteks hukum
diantara para peserta konvensi untuk menyatakan pidana nasional ukuran berlakunya asas legalitas
tindakan tersebut sebagai kriminal. antara lain adalah lex scripta dan lex certa atau
Ada 5 tindakan yang dikriminalisasikan berdasarkan hukum tertulis dan aturan yang jelas
dalam UNCAC yang bersifat mandatory offences. sehingga tidak dibenarkan berlakunya asas legalitas
Masing-masing adalah: bribery of national public hanya berdasarkan hukum kebiasaan. Demikian pula
officials; bribery of foreign public officials and dalam konteks hukum pidana nasional ketentuan
officials of public international organizations; pidana harus diinterpretasikan secara ketat sebagai
embezzlement, misappropriation or other diversion pengejawantahan prinsip lex stricta.
of property by a public official; laundering of Karakteristik perumusan yang demikian
proceeds of crime dan obstruction of justice. bukan tidak ada tujuannya. Hal ini dimaksudkan agar
Sedangkan 6 tindakan lainnya yang bersifat non- pelaku kejahatan internasional dapat dijerat dengan
mandatory offences adalah: trading in influence; berbagai perumusan yang tumpang tindih. Artinya,
abuse of function; illicit enrichment; bribery in jangan sampai pelaku kejahatan internasional lolos
the private sector; emblezzement of property in the dari hukuman. Selain itu, tidak dicantumkan sanksi
private sector dan concealment. pidana yang tegas dalam tindakan-tindakan yang

17
Lex certa atau nullum crimen, nula poena, sine lege certa berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang jelas
merupakan salah satu syarat yang fundamental dari asas legalitas. Selain itu masih terdapat ketiga syarat lainnya yakni nullum crimen, nula
poena, sine lege scripta berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Nullum crimen, nula poena, sine
lege praevia berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya dan nullum crimen, nula poena, sine lege
stricta yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat.
Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia 119

dikriminalisasikan bertujuan memberi diskresi untuk mengkriminalisasi tindakan tersebut sebagai


yang luas kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tindak pidana korupsi. Kedua, hakikat Pasal 18a
dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan Pasal 18b UNCAC mendefinisikan ‘traiding in
dalam due process of law. Karakteristik yang influence’ menjadi dua bagian, yakni active traiding
demikian dengan mengingat bahwa korupsi adalah in influence sebagaimana terdapat dalam Pasal
kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. 18a dan pasive traiding in influence sebagaimana
Berdasrkan UNCAC, ada tiga kejahatan yang terdapat dalam Pasal 18 b. Active traiding
akan diulas lebih lanjut, masing-masing in influence berarti memberikan tawaran untuk
memperdagangkan pengaruh, memperkaya secara memperdagangkan pengaruh, sedangkan passive
tidak sah dan korupsi di sector swasta. PERTAMA, traiding in influence berarti menerima tawaran
‘Traiding in influence’ yang dalam UNCAC memperdagangkan pengaruh.
tercantum dalam Pasal 18. Jika diterjemahkan Ketiga, bentuk kesalahan dalam pasal tersebut
secara leterlijk, maka bunyi Pasal 18 adalah adalah kesengajaan yang berarti menghendaki
sebagai berikut: Setiap Negara Pihak dapat adanya pengetahuan dan kehendak (weten en wilen)
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan- dari pelaku. Bahkan, kalau ditelaah lebih detil
tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap adanya kata-kata ‘... dengan maksud...’ dalam pasal
perlu untuk menetapkan kejahatan pidana, apabila tersebut telah membatasi corak kesengajaannya
dilakukan dengan sengaja: (1) Janji, penawaran adalah kesengajaan sebagai maksud. Artinya,
atau pemberian kepada pejabat publik atau orang pelaku menghendaki perbuatan berserta akibatnya.
lain siapa pun, secara langsung atau tidak langsung Kesengajaan sebagai maksud atau opzet als
manfaat yang tidak semestinya agar pejabat publik oogmerk adalah kesengajaan untuk mencapai
atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya suatu tujuan. Artinya, antara motivasi seseorang
yang nyata atau yang dianggap ada dengan maksud melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya
memperoleh dari otoritas administrasi atau publik benar-benar terwujud. Motivasi seseorang sangat
dari Negara Pihak suatu manfaat yang tidak mempengaruhi perbuatannya (affectio tua nomen
semestinya untuk kepentingan penghasut yang imponit operi tuo). Opzet als oogmerk adalah bentuk
sebenarnya dari tindakan tersebut atau untuk orang kesengajaan yang paling sederhana. Konsekuensi
lain siapa pun; (2) Permintaan atau penerimaan lebih lanjut, corak kesengajaan lainnya yaitu
oleh pejabat publik atau orang lain siapa pun, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan
secara langsung atau tidak langsung, manfaat sebagai kemungkinan (dolus eventualis atau inkauf
yang tidak semestinya untuk dirinya atau untuk nehmen) tidak memenuhi bentuk kesalahan dalam
orang lain agar pejabat publik atau orang tersebut trading in influence. Perumusan yang demikian
menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau telah mempersempit ruang gerak jaksa penuntut
yang dianggap ada dengan maksud memperoleh umum untuk hanya membuktikan corak kesengajaan
dari otoritas administrasi atau publik dari Negara sebagai maksud.
Pihak, suatu manfaat yang tidak semestinya. Keempat, bentuk kesengajaan dengan corak
Berdasarkan Pasal 18 a dan Pasal 18 b kesengajaan sebagai maksud pada dasarnya tidak
UNCAC yang telah dikutip di atas, adapun analisis mudah untuk dibuktikan. Akan tetapi kesulitan untuk
terhadap kedua pasal tersebut ialah sebagai membuktikan corak kesengajaan sebagai maksud
berikut : Pertama, adanya kata-kata ‘... dapat tersebut, diimbangi dengan wujud penyalahgunaan
mempertimbangakan .....” menunjukan bahwa pengaruh yang sangat mudah dibuktikan. Hal ini
tindakan yang dikriminalisasikan sebagai ‘traiding tersirat dalam kata-kata, ‘...yang nyata atau yang
in influence’ bersifat non madatotry offences. dianggap ada...’ Artinya, untuk membuktikan
Artinya, tidak ada kesepakatan diantara state party adanya penyalahgunaan pengaruh, tidak mesti ada
120 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019, Halaman 112-125

penyalahgunaan pengaruh secara nyata tetapi cukup dirumuskan dalam rumusan delik tetapi lebih dari
berdasarkan suatu anggapan bahwa perbuatan itu bahwa diantara para pelaku peserta, tidak perlu
tersebut adalah penyalahgunaan pengaruh. harus mempunya sifat dan karakteristik yang sama
Kelima, untuk membuktikan corak kese­ seperti dituangkan dalam rumusan delik. Hal ini
nga­jaan sebagai maksud seperti yang terdapat sesuai dengan sejarah pembentukan Wetboek van
dalam rumusan pasal tersebut biasanya dengan Strafrecht18.
menggunakan teori kesengajaan yang diobjek­ Singkat cerita Putusan Mahkamah Agung
tifkan sehingga orang tersebut dianggap mem­ Tanggal 23 Desember 1955, Nomor 1/1955/MA Pid
per­dagangkan pengaruh. Kesengajaan yang : Menteri Kehakiman saat itu Djodi Gondokusumo
diobjektifkan sebenarnya bukanlah jenis kesenga­ memberikan izin tinggal kepada seorang warga
jaan melainkan cara untuk memastikan adanya negara Cina yang telah di – persona non grata.
kesengajaan. Terkait kesalahan, kesengajaan dan Permintaan izin tinggal tersebut diajukan oleh
kelapaan adalah hubungan antara sikap batin pelaku warga negara Cina melalui dua orang pembantu
dengan perbuatan yang dilakukan. Dalam rangka Djodi dalam satu partai politik saat itu yang
untuk menentukan adanya kesengajaan bukanlah kebetulan tinggal bersama-sama dengan Djodi.
perbuatan yang mudah bagi hakim. Tidaklah dapat Izin tinggal tesebut kemudian diberikan oleh
ditentukan secara pasti apakah seseorang melakukan Djodi atas permintaan kedua orang pembantunya.
perbuatan dengan sengaja ataukah tidak. Dalam Setelah mendapatkan izin tinggal tersebut, Warga
hal demikian, ada – tidaknya kesengajaan harus Negara Cina yang telah di – persona non grata –
disimpulkan dari perbuatan yang tampak. memberikan sejumlah uang kepada kedua pembantu
Keenam, subjek hukum yang dapat dipidana Djodi.
atau adresat dari pasal tersebut tidak hanya pejabat Mahakamah Agung dalam forum prevele­
publik tetapi juga setiap orang baik yang mempunyai giatum yang memeriksa Djodi Gondokusumo
hubungan dengan pejabat publik tersebut maupun menjatuhkan pidana penjara selama 6 bulan
tidak. Dapatlah dikatakan rumusan pasal tersebut karena dianggap menerima pengaruh dari kedua
ada perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap pembantunya untuk memberikan izin tinggal dan
pelaku yang memperdagangkan pengaruh. Tidak dianggap mengetahui penyuapan antara warga
hanya seseorang yang memperdagangkan pengaruh negara Cina tersebut dengan kedua pembantu
terhadap pejabat publik tetapi juga perantara Djodi, kendatipun Djodi tidak pernah menerima
dalam perbuatan memperdagangkan pengaruh uang suap tersebut. Artinya, Mahakamah Agung
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. menganut teori penyertaan ekstensif. Di sini,
Tegasnya, rumusan pasal tersebut mengandung twee of meer verenigde personen (dua atau lebih
teori penyertaan yang ekstensif. orang bersekutu) tidak perlu mempunyai sifat dan
Ketujuh, terkait dengan traiding in influence karakter yang sama, demikian pula motivasi dan
dalam hubungannya dengan teori penyertaan kehendak yang sama dalam mewujudkan suatu
yang ekstensif, mengingatkan kita pada Putusan tindak pidana. KEDUA, Illicit Enrichment dalam
Mahkamah Agung Tanggal 23 Desember 1955, Pasal 20 UNCAC yang secara tegas menyatakan,
Nomor 1/1955/MA Pid. Penyertaan yang ekstensif “Tunduk kepada konstitusinya dan prinsip-prinsip
memandang bahwa pelaku tidak hanyamereka dasar dari system hukumnya, setiap negara peserta
yang melakukan perbuatan secara materiil dan dapat mempertmbangkan untuk mengadopsi
mempunyai syarat persoonlijk sebagaimana tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-tindakan

18
W.P.J Pompe, 1959, Handboek Van Het Nederlandse Strafrecht, Vijfde Herziene Druk, N.V. Uitgevers – Maatschappij W.E.J.Tjeenk Willink,
Zwolle., hlm. 224.
Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia 121

lain yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai berikut: Pertama, korupsi yang terjadi di
sebagai suatu tindak pidana, bila dilakukan dengan Indonesia hampir selalu melibatkan pihak swasta.
sengaja, memperkaya secara tidak sah yaitu suatu Kedua, salah satu latarbelakang internasionalisasi
kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat kejahatan korupsi adalah karena korupsi dianggap
publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk merusak pasar. Dalam hal ini adalah korupsi di
akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah”. sektor pengadaan barang dan jasa yang selalu
Berdasarkan konstruksi pasal yang demikian, melibatkan swasta. Ketiga, ketentuan pasal-pasal a
adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah 1) quo dalam UNCAC adalah untuk melindungi sektor
pejabat publik; 2) dengan sengaja; 3) memperkaya swasta dari tindakan-tindakan koruptif setiap orang
diri sendiri secara tidak sah. Selanjutnya dalam yang bekerja di sektor swasta tersebut.
pasal a quo dijelaskan bahwa memperkaya secara 4. Pengaruh Asas-Asas Hukum Pidana
tidak sah berarti tidak dapat menjelaskan secara Internasional
masuk akal kenaikan aset-aset dari seorang pejabat Secara garis besar asas-asas hukum pidana
publik berkaitan dengan pendapatannya yang sah. internasional ada yang bersumber dari hukum
Perihal illicit enrichment tidak perlu dimasukkan internasional dan ada yang bersumber dari hukum
berdasarkan argumentasi: Pertama, pasal ini tidak pidana. Asas hukum pidana internasional yang
menganut prinsip lex certa dalam perumusan suatu bersumber dari hukum internasional secara garis
ketentuan pidana karena tidak dijelaskan perbuatan besar dibedakan ke dalam asas umum dan asas
yang tidak sah seperti apa. Kedua, formulasi aturan khusus.19 Asas hukum pidana internasional yang
yang tidak jelas sangat berbahaya bagi penegakkan berasal dari hukum internasional dan umum
hukum karena dengan mudah mengkriminalisasi sifatnya adalah pacta sunt servanda. Asas tersebut
perbuatan secara sepihak. Ketiga, illicit inrichment merupakan asas hukum yang paling tua dan paling
pada hakikatnya mempunyai padanan dalam Pasal 2 utama yang mengandung arti bahwa perjanjian yang
dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Bahkan, Pasal dibuat mengikat para pihak ibarat undang-undang.20
2 dan Pasal 3 yang masih eksis memuat unsur yang Asas hukum internasional umum lainnya
lebih jelas dan tegas. Keempat, illicit inrichment yang juga merupakan asas hukum pidana
dalam UNCAC bersifat non mandatory offences. internasional adalah asas itikat baik atau good faith
Artinya, bersifat fakultatif bagi negara peserta (Inggris) atau goede trouw (Belanda). Asas tersebut
untuk tidak memasukkannya ke dalam hukum merupakan salah satu prinsip yang fundamental
nasional. Kejahatan yang bersifat non mandatory dalam hukum internasional bahwa semua kewajiban
pada hakikatnya menunjukan ketidaksepahaman yang diembani oleh hukum internasional harus
negara-negara peserta konvensi dalam menyatakan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Berikutnya
perbuatan tersebut sebagai korupsi. adalah asas civitas maxsima sebagai asas hukum
Ketiga, perihal Corruption in private sector pidana internasional yang bersumber dari asas
yang terdapat dalam UNCAC terdiri dari Penyuapan hukum internasional umum. Dalam beberapa
di sektor swasta dan penggelapan kekayaan di sektor literatur asas civitas maxima dikenal dengan istilah
swasta. Ketentuan ini merupakan hal baru dalam asas imperium romanum atau asas roman empire.
pemberantasan korupsi. Kendatipun Corruption Asas ini mengandung arti bahwa ada sistem hukum
in private sector bersifat non mandatory offences, universal yang dianut oleh semua bangsa di dunia
namun perlu dipertimbangkan untuk dikmasukan dan harus dihormati serta dilaksanakan.21 Bila
sebagai tindak pidana korupsi dengan argumnetasi dikaitkan dengan teori hubungan antara hukum

19
Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 14.
20
Malcolm N. Shaw, Op.cit, hlm. 81.
21
M. Cherif Bassiouni, Op.cit., hlm. 31
122 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019, Halaman 112-125

internasional dan hukum nasional, asas civitas nasional memiliki empat syarat. Pertama, nullum
maxima ini sejalan dengan teori monisme yang crimen, noela poena sine lege praevia. Artinnya
melihat hukum internasional dan hukum nasional tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa
sebagai satu kesatuan sistem dengan menempatkan undang-undang sebelumnya. Kedua, nullum crimen,
hukum internasonal di atas hukum nasional. nulla peona sine lege scripta. Artinya, tidak ada
Asas hukum pidana internasional yang perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-
sangat penting dalam hubungan kerjasama antar undang tertulis. Ketiga, nullum crimen, nulla poena
negara yang berasal dari asas hukum internasional sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana,
umum adalah asas timbal balik. Asas ini juga tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang
dikenal dengan asas resiprokal. Pada dasarnya asas jelas. Kempat, nullum crimen, noela poena sine
resiprokal ini mengandung makna bahwa jika suatu lege stricta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana,
negara menginginkan suatu perlakuan yang baik tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat.
dari negara lain, maka negara yang bersangkutan Masih menurut Boot, asas legalitas dalam
juga harus memberi perlakuan yang baik terhadap konteks hukum pidana internasional harus
negara tersebut. Dalam pemberlakuan Asas ini, diterapkan dengan standar yang berbeda dengan
UNCAC memang menitikberatkan pada kerjasama hukum pidana nasional yang berkaitan dengan
internasional dan agar Negara pihak memiliki tanggung jawab pidana individu terhadap kejahatan-
kerjasama internasional dalam memberantas kejahatan internasional. Boot menegaskan hukum
korupsi.22 pidana internasional tidak dikodifikasikan seperti
Asas hukum pidana internasional yang halnya hukum pidana nasional tetapi juga bersumber
bersumber dari asas hukum internasional yang dari hukum kebiasaan internasional. Oleh karena
khusus sifatnya, antara lain adalah asas aut dedere itu asas legalitas tidak mengikat seluruhnya dalam
aut punere dan asas aut dedere aut judicare. Asas konteks kejahatan-kejahatan di bawah hukum
aut dedere aut punere diciptakan oleh Hugo de internasional24. Demikian pula Steven R. Ratner
Groot yang berarti pelaku kejahatan internasional dan Jason S. Abrams bahwa dalam konteks hukum
diadili menurut hukum tempat di mana ia pidana internasional, asas legalitas memiliki dimensi
melakukan kejahatan. Asas aut dedere aut judicare khusus. Tidak seperti hukum pidana nasional di
dikemukakan oleh Cherif Bassiouni yang berarti sebagian besar negara, hukum pidana internasional
setiap negara berkewajiban menuntut dan mengadili tidak dikodifikasikan dalam kitab undang-undang.
pelaku kejahatan internasional serta berkewajiban Akibatnya, kejahatan-kejatahan berdasarkan asas
melakukan kerjasama dengan negara lain dalam legalitas pada level internasional tidak hanya
rangka menahan, menuntut dan mengadili pelaku berlandaskan perjanjian internasional tetapi juga
kejahatan internasional.23 berdasarkan hukum kebiasaan internasional25.
Asas hukum pidana internasional yang Selanjutnya adalah asas teritorial yang
bersumber dari hukum pidana antara lain adalah menyatakan bahwa perundang-undangan hukum
asas legalitas, asas teritorial dan asas nebis in idem. pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang
Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck melakukan perbuatan pidana di negara tersebut,
dan Weigend, asas leglitas dalam hukum pidana baik oleh warga negaranya sendiri maupun warga

22
Ndifon Neji and Felix Nyong, “Rethinking Civil Society Participation in the Implementation of the UN Convention Against Corruption in
Nigeria”, Journal of Economics and Sustainable Development, Vol.9, No.16, 2018.
23
Ibid, hlm. 8.
24
Machteld Boot, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International Criminal Court: Genocide, Crimes
Against Humanity, War Crimes, Intersentia Antwerpen – Oxford – New York, hlm. 19.
25
Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, 2001, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nurember Legacy,
Second Edition, Oxford University Press, hlm. 21.
Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia 123

negara asing26. Dalam rangka mengantisipasi untuk menangkap, mengadili dan menghukum
berbagai kejahatan yang dilakukan di luar wilayah pelaku kejahatan tersebut dengan tujuan agar
suatu negara, hukum pidana mengenal perluasan kejahatan itu tidak lepas dari hukuman.30
asas teritorial. Pertama, perluasan teknis yang Berikutnya adalah asas ne bis in idem atau
dibagi menjadi perluasan teknis subjektif dan principle of double jeopardy. Asas ini berarti
perluasan teknis objektif. Perluasan teknis subjektif seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di
membenarkan negara mempunyai kompetensi depan pengadilan dengan perkara yang sama. Asas
mengadili atas perbuatan yang mulai dilakukan ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan
di wilayahnya tetapi berakhir atau menimbulkan melindungi hak asasi manusia.
akibat di wilayah negara lain. Sedangkan perluasan 5. Raison D’Etre Implementasi UNCAC Di
teknis objektif membenarkan negara mempunyai Indonesia
kompetensi mengadili atas perbuatan yang mulai Sebagaimana yang telah diuraikan di
dilakukan di negara lain tetapi menimbulkan akibat atas pada awal tulisan ini, diskursus terkait
di wilayahnya.27 Kedua, Perluasan berdasarkan implementasi UNCAC, apakah UNCAC yang
kewarganegaraan yakni asas nasional aktif disebut telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7
juga asas personalitas yang berarti perundang- Tahun 2006 dapat serta merta berlaku di Indonesia
undangan hukum pidana berlaku bagi semua sebagai instrumen pemberantasan korupsi ataukah
perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara UNCAC yang telah diratifikasi harus disesuaikan
di mana saja ia berada termasuk di luar wilayah dengan undang-undang nasional baru kemudian
negaranya dan asas nasional pasif pada hakekatnya dapat diberlakukan ? Berdasarkan berbagai uraian
adalah asas untuk melindungi kepentingan nasional di atas, Penulis berpendapat bahwa UNCAC
sehingga aturan-aturan pidana suatu negara dapat dapat serta merta diimplementasikan sebagai
diterapkan terhadap warga negara asing yang instrumen pemberantasan korupsi. Paling tidak ada
melakukan kejahatan di luar wilayah negara tersebut tujuh argumentasi sebagai analisis teoretis untuk
tetapi korban perbuatan pidana adalah warga negara memperkuat pendapat tersebut.
tersebut.28 Pertama, berdasarkan UNCAC, korupsi
Ketiga, perluasan berdasarkan prinsip adalah kejahatan internasional. Artinya, berlaku asas
proteksi yakni perlindungan terhadap kepentingan universal dalam hukum pidana bahwa setiap negara
nasional. Artinya, perundang-undangan hukum wajib melakukan penuntutan dan penghukuman
pidana suatu negara berlaku bagi semua orang di terhadap pelaku kejahatan internasional. Kedua,
luar wilayah negaranya bila melakukan kejahatan ratifikasi UNCAC oleh Pemerintah Indonesia
yang bertalian dengan keamanan dan integritas tentunya sudah didasarkan pada pertimbangan
atau kepentingan ekonomi negaranya29. Keempat, yang matang bahwa isi konvensi tersebut sesuai
perluasan berdasarkan prinsip universal terkait dengan situasi dan kondisi negara yang sedang giat-
dengan delicta jure gentium atau kejahatan terhadap giatnya melakukan pemberantasan korupsi. Ketiga,
masyarakat internasional. Artinya, perundang- ratifikasi yang dilakukan terhadap UNCAC berlaku
undangan hukum pidana suatu negara berlaku bagi sebagai self executing treaty. Artinya, dapat serta
semua orang yang melakukan pelanggaran terhadap merta diberlakukan sebagai hukum positif.
hukum pidana internasional. Semua negara berhak Keempat, ratifikasi suatu konvensi

26
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 38.
27
Ibid, hlm.51.
28
Moeljatno, Op.cit., hlm. 40.
29
Sugeng Istanto, Ibid, hlm. 51.
30
Ibid. hlm. 36 Bandingkan dengan Sugeng Istanto, Op.cit., hlm. 51.
124 MIMBAR HUKUM Volume 31, Nomor 1, Februari 2019, Halaman 112-125

internasional tunduk pada prinsip umum hukum internasional dalam hubungan dengan paham
internasional yakni pacta sunt servanda yang berarti monisme dan paham dualisme, hukum pidana
perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat internasional lebih menitikberatkan pada paham
ibarat undang-undang. Menurut Oppenheim, monisme bahwa hukum internasional dan hukum
sebagaiman yang dikutip oleh Anthony Aust, di nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum
dalam asas pacta sunt servanda tercakup asas berupa kaidah-kaidah yang mengikat individu,
keadilan dan itikat baik untuk melaksanakan isi suatu negara maupun kesatuan lainnya yang bukan
perjanjian atau konvensi yang telah dirativikasi.31 negara.
Kelima, dalam konteks hubungan antara hukum
pindana internasional dengan hukum pidana C. Kesimpulan
nasional, hukum pidana internasional berfungsi Berdasarkan penjabaran hal di atas dapat
sebagai pelengkap terhadap hukum pidana nasional, dinyatakan kesimpulan bahwa pada dasarnya
bilamana aturan-aturan yang berada dalam konvensi Hukum Indonesia, terutama pada Undang-Undang
internasional yang telah diratifikasi belum diatur Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomo
dalam undang-undang nasional. Sebagai tambahan 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
pada argumentasi ini, bahkan ditegaskan dengan Pidana Korupsi telah tertinggal dan tidak sesuai
mengikuti UNCAC maka Indonesia akan memiliki dengan United Nations Convention Against
kerjasama internasional yang lebih baik dengan Corruption. Ketidak sesuaian tersebut, tentu
Negara lain dalam pemberantasan tindak pidana berakibat pada lemahnya penegakkan hukum
korupsi.32 terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia.
Keenam, berdasarkan asas hukum pidana Oleh karena itu, hukum pidana Indonesia menjadi
internasional yakni asas civitas maxima secara penting untuk menyesuaikan dengan UNCAC yang
tegas menyatakan bahwa hanya ada satu sistem telah Indonesia ratifikasi. Penyesuaian tersebut
hukum universal yang dianut oleh semua bangsa tidak hanya pada ranah hukum materiil, namun
di dunia dan harus dihormati serta dilaksanakan. melingkupi perbaikan formil sehingga menciptakan
Ketujuh, korupsi sebagai kejahatan internasional perbaikan pada sistem peradilan pidana.
yang merupakan substansi dari hukum pidana

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku International Criminal Law, Transnational


Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah Publisher, Inc. Ardsley, New York.
dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Beirne Piers and Messerschmidt James, 1995,
Utama. Criminology, second edition, Harcourt Brage
Aust Anthony, 2005, Handbook of International College Publishers.
Law, Cambridge University Press. Boot Machteld, 2001, Nullum Crimen Sine Lege
Bantekas Illias and Nash Susan, 2007, International and the Subject Matter Jurisdiction of the
Criminal Law, Third edition, Routledge International Criminal Court: Genocide,
Cavendish, London And New York. Crimes Against Humanity, War Crimes,
Bassiouni M. Cherif, 2003, Introduction to Intersentia, Antwerpen – Oxford – New York.

31
Eddy O.S Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta.
32
Yenti Ganarsih, “Paradigma Baru dalam Pengaturan Anti Korupsi di Indonesia dikaitkan dengan UNCAC 2003”, Jurnal Hukum Prioris,
Volume 2, Nomor 3, September 2009, hlm. 163.
Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia 125

Harris D.J., 1998, Cases and Materiils On Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum:
International Law, Sweet & Maxwell, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
London. Starke J.G., 2001, Pengantar Hukum Internasional,
Hiariej Eddy O.S, 2009, Pengantar Hukum Pidana 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.
Internasional, Penerbit Erlangga. Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional,
Hiariej Eddy O.S, 2012, Pembuktian Terbalik Dalam Penerbitan Universitas Atma Jaya
Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, Yogyakarta.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, B. Jurnal
Senin 30 Januari 2012. Ganarsih, Yenti, “Paradigma Baru dalam Pengaturan
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Anti Korupsi di Indonesia dikaitkan dengan
Revisi, Rineka Cipta, Jakarta UNCAC 2003”, Jurnal Hukum Prioris, Vol.
Ratner Steven R and Abrams Jason S, 2001, 2, No. 3, September 2009.
Accountability for Human Rights Atrocities Ginting, Jamin, “Perjanjian Internasional Dalam
in International Law: Beyond the Nurember Pengembalian Aset Hasil korupsi di
Legacy, Second Edition, Oxford University Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
Press. 11, No. 3, September 2011.
Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Neji, Ndifon and Felix Nyong, “Rethinking Civil
Pidana Internasional, Refika Aditama. Society Participation in the Implementation
Sahetapy J.E., 1997, Kejahatan Gotong Royong, of the UN Convention Against Corruption
Makalah Diskusi Panel Fakultas Hukum, 22 in Nigeria”, journal of economics and
November 1997. sustainable development, Vol.9, No.16, 2018.
Saldi Isra dan Eddy O.S Hiariej, 2009, Perspektif Peters, Anne, “Corruption as a Violation of
Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, International Human Rights”, The European
dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie Journal of International Law, Vol. 29, No. 4,
(Editor), Korupsi Mengorupsi Indonesia : 2018.
Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan, Sanyal, Rajib, “Determinants of Bribery in
Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum International Business: The Cultural and
Jakarta. Economic Factors”, Journal of Business
Shaw Malcolm N., 2004, International Law, 5th ethics, Vol 59, 2005.
Edition, Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai