Anda di halaman 1dari 32

KELAS B

KELOMPOK B
 Mahkamah Konstitusi ini lahir/dibentuk atas atribusi dari Pasal
24 (2) dan Pasal 24 C UUD Negara RI sbg hasil dari perubahan
ketiga UUD 1945 yg disahkan 9 Nopember 2001.
 MK RI ini tercatat sbg negara ke-78 yg membentuk MK memasuki
abad 21 ini.
 Pada tgl 13 Agustus 2003 telah disahkan UU No. 24 Tahun 2003 ttg
Mahkamah Konstitusi (UU MK) dimuat dlm LN. Tahun 2003, No.
98, TLN No. 4316.
 Dua hari kemudian (tgl 15 Agustus 2003), Presiden melalui Kepres
No. 147/M Tahun 2003 mengangkat 9 Hakim Konstitusi.
 Pada tgl 15 Oktober 2003 terjadi pelimpahan perkara dari MA ke
MK sbg pertanda beroperasinya MK sbg cabang dari kekuasaan
kehakiman berdasar UUD 1945.
 Kedudukan MK merupakan slah satu Lembaga Negara yg
melakukan kekuasaan kehakiman yg merdeka utk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan
 Menguji UU terhadap  Wajib memberikan
UUD Putusan atas Pendapat
DPR bahwa
 Memutus Sengketa Presiden/Wkl. Presiden
Kewenangan Lembaga diduga:
Negara yg - Melakukan pelanggaran
Kewenangannya hk (pengkhianatan thd
diberikan oleh UUD negara, korupsi,
penyuapan, tindak
 Memutus Pembubaran pidana berat lainnya)
Partai Politik - Perbuatan Tercela
 Memutus Perselisihan - Tdk lagi memenuhi
tentang Hasil Pemilihan Syarat sbg Presiden/Wkl.
Presiden.
Umum.
Pendahuluan:
1. Karakter perselisihan yg diajukan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) bercorak tersendiri dan berbeda
dengan perselisihan yg dihadapi sehari-hari di peradilan
biasa yang lain.
2. Mengapa, karena adanya sifat kepentingan umum yg
tersangkut di dalamnya.
3. Putusan yg diminta oleh pemohon dan diberikan oleh
MK, membawa akibat hukum tidak hanya mengenai
orang seorang yg mengajukan permohonan, tetapi juga
orang lain, Lembaga Negara dan Aparatur Pemerintah,
Masyarakat Hukum Adat, juga masyarakat pada
umumnya.
 Terutama dalam hal pengujian (judicial review) UU thd
UUD.
 Di sinilah letak pembedanya berperkara di MK yaitu
pada “public interest”, jika dibandingkan dengan
penyelesaian perkara perdata, pidana, TUN, militer, dan
agama yg pada umumnya menyangkut kepentingan
individu berhadapan dengan individu lain atau
pemerintah.
 Sebagai konsekwensi kedudukan dan wewenang MK
sbg lembaga peradilan yg melaksanakan kekuasaan
kehakiman selain MA, maka MK juga tunduk pd UU
Kekuasaan Kehakiman. Misalnya dlm penerapan asas
due process of law pada setiap perkara di peradiln; sikap
netralitas dan kemandirian dlm menegakkan hk.
 MK juga harus tunduk pd asas-asas peradilan yg baik
yg dianut scr universal dlm hukum acara pd umumnya.
 Persidangan Terbuka untuk  Hak untuk Didengar secara
Umum, sbr: Psl 19 UU KK & Seimbang (Audi et Alteram
Psl 40 (1) UU MK, kecuali Partem). Pd acara di MK,
pd Rapat Permusyawaratn pemohon dan termohon
Hakim (RPH). Asas ini (Pemerintah, DPR/DPD, dan
refleksi dr konsep social pihak2 terkait) yg terkait dg
control & akuntabilitas pengujian UU diberi hak yg
hakim. sama utk didengar.
 Independen dan Imparsial,  Hakim Aktif dan juga Pasif
sbr: Psl 2 UU MK & Psl 33 dalam Proses Persidangan.
UU KK. Asas ini refleksi dr Asas hakim aktif ini muncul
doktrin separation of krn ada karakter public
powers interest perkara di MK.
 Peradilan Dilaksanakan Oki,pemeriksaan di MK itu
secara Cepat, Sederhana, bersifat inquisitorial dan tdk
dan Murah, sbr: Psl 4 (2) UU bersifat adversarial.
KK. Di MK, biaya perkara  Ius Curia Novit, sbr: Psl 16
yg dibebabkan pd UU KK. Dgn demikian
pemoh/termohon tdk hakim MK itu hrs siap
dikenal, krn dibebankan pd menjadi mujadid melalui
biaya negara. Situs internet sarana interpretasi,
& teleconference telah konstruksi, dan
digunakan di MK. hermeneutika hukum.
 Kebebasan hakim di atas disebut kebebasan fungsional,
dalam praktik harus didukung kebebasan personal
maupun struktural.
 Kebebasan personal seperti: di bidang teknis ilmu
hukum, ketahanan ekonomi; dan kebebasan struktural
seperti: jaminan atas kedudukannya sbg hakim.
 Dengan dmikian kebebasan hakim di atas hrs
didukung dgn profesionalisme, meliputi:
a. Expertise atau skill
b. Accountability atau pertanggung jawaban
c. Ketaatan pada Kode Etik (lihat Peraturan Mk No.
07/PMK/2005 ttg Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik
dan Prilaku Hakim Konstitusi).
 UU No. 23/2004 ttg MK pada Bab V Psl 28 – 85, dgn
kata lain hukum acara di MK masih sangat
terbatas/tidak lengkap, padahal praktik beracara di
MK sangat dinamis. Atas dasar itu MK hrs
memerankan diri sendiri rule of the court untuk
mengisi kekosongan di UU MK (wet vacuum).
 Pada UU MK di korea dinyatakan bahwa hukum acara
pada peradilan lain juga secara mutatis mutandis
berlaku sbg hukum acara di MK. Namun, jika terjadi
pertentangan antara hukum acara TUN dan Pidana
dengan hukum acara Perdata, maka hukum acara
Perdata tidak diberlakukan.
 MK di Indonesia juga melakukan hal yang sama meski
aturan tsb tdk diatur dlm UU MK, tetapi diadopsi dr
Peraturan MK (PMK)
Secara langsung: Secara Tdk Langsug:
 UU MK  UU Hk Acara Perdata,
 Peraturan MK (PMK) TUN, Pidana
 Yurisprudensi MK
 Pendapat Sarjana
 Hk Acara dan
Yurisprudensi negara
lain

1. PMK No. 04/PMK/2004 ttg Pedoman Beracara dlm Perselisihan Hasil


Pemilihan Umum.
2. PMK No. 05/PMK/2004 ttg Prosedur Pengajuan Kebeatan atas
Penetapan Hasil Pemilu Presiden & Wkl. Presiden Tahun 2004.

3. PMK No. 01/PMK/2005 ttg Pedoman Beracara Pengujian UU terhadap


UUD Negara RI Tahun 1945.
 Mekanisme Constitutional Control digerakkan oleh
adanya “permohonan” dari ‘pemohon’ yg memliki
“Legal Standing” utk membela kepentingan yg
dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu UU atau
berangkat dari kewenangan konstitusional satu
Lembaga Negara dilanggar atau dilampaui oleh
Lembaga Negara Lain-nya.
 Oki dlm hukum acara MK, Hakim itu aktif dlm proses
tetapi tidak boleh melakukan inisiatif utk mengadakan
pengujian UU atas kemauan sendiri. Dlm kewenangan
yg lain, Hakim/MK bersifat pasif baik dlm sengketa
kewenangan antar lembaga negara, perselisihan hasil
pemilihan pemilu, pembubaran partai, dan
impeachment.
 Penggunaan kata “Permohonan” dalam hukum acara
MK dan bukan ‘Gugatan’ seperti yg dipakai dalam
hukum acara perdata, dengan pertimbangan:
a. Pada waktu pemberlakuan rezim Psl 1 (7 dan 8)
Perma N0. 02 Tahun 2002 ttg Tata Cara
Penyelenggaraan Wewenang MK dan MA,
membedakan “permohonan” dari ‘gugatan’ yaitu:
- Jika perkara yg diajukan mengenai pengujian UU,
sengketa kewenangan antar lembaga negara,
dan impeachment menggunakan kata
“Permohonan”.
- Jika perkara yg diajukan mengenai pembubaran
parpol dan perselisihan hasil pemilu
menggunakan kata ‘Gugatan.’
b. Setelah diundangkan UU MK, maka terminologi yg
digunakan utk kewenangan MK adlh
“Permohonan”.
c. Penggunaan kata “Permohanan” dapat berdampak
seolah-olah tidak ada pihak lain (hanya satu pihak
atau ex parte/volontair ), padahal ada pihak yg
berkepentingan utk berada dlm posisi sbg
‘Termohon’. Hal ini timbul karena kuatnya nuansa
“kepentingan umum” dalam hukum acara MK.
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
2. Ditandatangani oleh Pemohon/Kuasanya
3. Dibuat dalam 12 rangkap
4. Disebutkan jenis perkaranya
5. Sistematika:
a. Identitas dan Legal Standing (nama & alamat
pemohon)
b. Uraian mengenai perihal yg menjadi dasar
permohonan (posita)
c. Hal-hal yg diminta untuk diputuskan (petitum)
6. Disertai bukti pendukung.

Khusus utk perkara Perselisihan hasil Pemilu diajukan paling lambat 3 x


24 jam sejak KPU mengumunkan hasil pemilu.
1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera:
a. Belum lengkap, diberitahukan
b. 7 hari sejak diberi tahu, wajib dilengkapi
c. Lengkap
2. Registrasi sesuai dengan perkara
3. 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara:
a. Pengujian UU
- Salinan permohonan disampaikan kpd Presiden
dan DPR/DPD
- Permohonan diberitahukan kpd MA
b. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
- Salinan permohonan disampaikan kpd lembaga
negara termohon.
c. Pembubaran Partai Politik
- Salinan permohonan disampaikan kepada
Parpol yang bersangkutan.
d. Pendapat DPR (terkait dugaan impeachment)
- Salinan permohonan disampaikan kepada
Presiden/Wkl. Presiden

Khusus untuk perkara perselisihan hasil pemilu, paling


lambat 3 hari kerja sejak registrasi Salinan
Permohonan disampaikan kepada KPU
 Berdasarkan Psl 51 (1) UU MK, Pemohon adalah pihak
yg hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh belakunya UU, yaitu:
a. Perseorangan Warganegara Indonesia
b. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih
hidup dan sesuai prinsip NKRI yg diatur UU
c. Badan Hukum Publik atau Privat
d. Lembaga Negara.
 Dengan demikian dasar Legal Standing dlm
mengajukan permohonan ke MK ada 2 hal:
a. Kualifikasi Pemohon (lihat butir a – d di atas)
b. Kualifikasi Hak dan/atau Kewenangan
Konstitusional
pemohon yg dirugikan oleh berlakunya UU.
 Berdasarkan Putusan MK Nomor: 006/PUU-III/2005 dan
010/PUU-III/2005, peryaratan hak konstitusional
pemohon yaitu:
a. Adanya hak konstitusional pemohon yg diberikan
oleh UUD.
b. Hak konstitusional pemohon tsb dianggap oleh
pemohon telah dirugikan oleh suatu UU yang diuji.
c. Kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidaknya potensial yg menurut
penalaran dpt dipastikan akan terjadi (resenebel).
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian dan berlakunya UU yg diuji.
e. Adanya kemungkinan bahwa dgn dikabulkannya
permohonan maka kerugian konstitusional yg
didalilkan tdk akan/tdk lagi terjadi.
1. Individu Warganegara Indonesia
Putusan MK No. 54/PUU-I/2004, pemohon keberatan atas Psl 5 (1-4)
UU No. 23 Tahun 2003 ttg Pemilu Presiden dan Wkl. Presiden. Isi
Putusan MK, Pemohon tdk memiliki legal standing sbgmn
dimaksud Psl 51 (1) UU MK. Sama halnya dgn Putusan MK No.
057/PUU-I/2004, Putusan MK mengambil sikap yg sama dgn
menambahkan bahwa UUD 1945 membedakan antara hak
konstitusional utk menjadi calon Presiden/Wkl. Presiden dengan hak
konstitusional yg berhubngan dg tata cara dan prosedur pencalonan
Presiden/Wkl. Presiden. Sedangkan dlm Putusan MK No. 008/PUU-
I/2004 yg mengajukan pengujian thd Pasal 6 (d) dan (s) UU No. 23
Tahun 2003. MK berpendapat bhw Pemohon sebagai perorangan
memeiliki legal standing, karena dianggap berkenaan langsung dgn
hak pemohon scr konstitusional, bahwa Psl 6 (d) syarat mampu
jasmani dan rohani sbg Presiden/Wkl. Presiden dianggap
diskriminatif. Adapun thd Psl 6 (s), hak konstitusional Pemohon tdk
dirugikan dg berlakunya Psl tsb, krn pemohon bukan anggota partai
terlarang PKI, dsb.
2. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Melalui Putusan MK No. 010/PUU-I/2003, pengujian UU
No. 11 Tahun 2003 ttg Pembentukan Kabupaten Rokan
Hilir. Menurut MK, pemohon yang mendasarkan pada
Psl 18 (2) UUD 1945 dan menganggap UU No. 11 Tahun
2003 tdk mengikuti dan menghormati Masyarakat
Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya adalah
keliru dalam menafsirkan, meskipun tidak dalam
kapasitas sbg Legal Standing.
3. Badann Hukum Publik atau Privat
Berdasarkan Putusan MK No. 005/PUU-I/2003 bahwa
Organisasi yang bergerak di bidang Radio, Televisi, dan
Wartawannya (disebut IJTI) bukanlah merupakan
Subyek Hukum yg dimaksud Pasal 51 UU MK dlm
kapasitas sbg Badan Hukum Privat dan tdk mengalami
kerugian dgn hak konstitusionalnya. Bagaiman dg
LSM? Dlm Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 ia
dinyatakan sebagai atau memiliki Legal standing.
4. Lembaga Negara
Berdasarkan Psl 51 UU MK yang mengatur masalah
Lembaga Negara sbg salah satu kategori Pemohon
dalam perkara pengujian UU adalah lebih luas dari pada
Lembaga Negara yang memperoleh kewenangan dari
UUD, sedangkan Lembaga Negara yg merupakan
auxiliary state institution yg sumber kewenangannya
dari UU atau peraturan di bawahnya adalah termasuk
dalam katagori yg disebut Pasal 51 (1) UU MK.
Permasalahan keberadaan Lembaga Negara yang
sumber kewenangan pembentukannya sangat beragam
ini, hingga sekarang masih debatable.

Selamat mendiskusikan? ………………………………..


1. Penjadwalan Sidang
a. Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan
Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil
Pemilu)
b. Para Pihak diberitahu/dipanggil
c. Diumumkan kepada masyarakat (baik secara
konvensional via papan pengumuman maupun secara
modern lewat internet).
d. Sidang pleno terdiri dari 9 hakim konstitusi dan
dipimpin oleh Ketua. Jika Ketua berhalangan hadir
akan digantikan oleh Wakil Ketua.
e. Dalam keadaan luar biasa (misal kesripahan orang tua
hakim), sidang dapat dilakukan dgn 7 hakim.
f. MK dpt membtk panel hakim sekurang2nya 3 hakim
utk memeriksa permohonan dalam tahap tertentu.
2. Pemeriksaan Pendahuluan
a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
- Kelengkapan syarat-syarat permohonan
- Kejelasan materi Permohonan
b. Memberi Nasihat:
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan
- Perbaikan materi Permohonan
c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.

Pemeriksaan Pendahuluan ini merupakan adopsi Lembaga Pemeriksaan


Persiapan dalam Hukum Acara PTUN, dimana hakim dapat memberi
nasihat kepada Penggugat utk memperbaiki Gugatannya.
Namun wewenang “dismissal procedur” dlm Hukum Acara PTUN
(dimana gugatan tdk berdasar atau tdk dpt diterima dgn
mengeluarkan Penetapan), tidak ikut diadopsi dalam Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi.
3. Pemeriksaan Persidangan
a. Terbuka untuk umum
b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti
c. Para Pihak hadir menghadpi sidang guna
memberikan keterangan
d. Lembaga Negara dpt diminta keterangan tertulis dgn
tenggang waktumaksimal 7 hari sejak diminta harus
sudah terpenuhi
e. Saksi dan/atau Ahli memberi keterangan
f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa
dan orang lain.

Dalam hal terjadi “Prejudiciil Geschill” (dugaan terjadinya


perbuatan pidana misal suap, mony politics dlm
pembuatan suatu UU), maka MK dpt menghentikan
sementara prose pemeriksaan permohonan pengujian UU
tsb.
1. Tujuan Pembuktian Dalam Perkara Konstitusi
a. Untuk memberi kepastian akan kebenaran secara
materiil adanya fakta hukum, peristiwa hukum, dan
hukum sbgmn didalilkan oleh Pemohon. Jadi sama
sekali bukan untuk kebenaran formal.
b. MK memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai
dengan alat bukti dan keyakinan Hakim (Psl 45 UU
MK).
c. Untuk sahnya beban pembuktian dan penilaian
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 alat
bukti berdasarkan keyakinan hakim.
d. Alat bukti yang sah sering disebut “beyond
reasonable doubt”.
2. Apa Yang Harus Dibuktikan
Dari 5 kewenangan MK yg disebut dlm Psl 24 C UUD
1945 maupun Psl 10 UU MK, terdapat 6 dalil yg dpt
diajukan dan harus dibuktikan seorang Pemohon:
a. Pembentukan UU tdk memenuhi formalitas yg
diharuskan oleh UUD 1945, baik dilihat dr
kewenangan lembaga mupun prosedur
pembentukannya.
b. Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU
bertentangan dgn UUD 1945.
c. Kewenangan lembaga Negara yg diberikan UUD
1945, baik sebagian atau seluruhnya tumpang tindih
atau diambil alih oleh Lembaga Negara lain secara
bertentangan dgn UUD 1945.
d. Partai Politik ttt melakukan atau merubah ideologi,
asas, tujuan, program, dan kegiatan Parpol yg
bertentangan dengan UUD 1945.
e. Hasil perhitungan suara dalam Pemilu yg
dilakukan KPU telah dilakukan scr salah sehingga
mempengaruhi terpilihnya seoran Pemohon
sebagai anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wkl.
Presiden, dan perhitungan yg benar adalah
sebagaimana dibuktikan Pemohon.
f. Presiden/Wkl. Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat
sbg Presiden/Wkl. Presiden.

Terlepas dari itu semua, terlebih dahulu Pemohon


Juga harus membuktikan “Legal Standing” yg dimilikinya
Sebagaimana diatur dalam
Pasal 51 UU MK secara benar.
3. Hal-hal Yang Tidak Perlu Dibuktikan
a. Natoire feit, yg merupakan peristiwa atau keadaan yg telah
diketahui secara umum dan tidak memerlukan bukti lagi.
Misal: pernah berlaku UUDS dan Konstitusi RIS dlm sejarah
konstitusi kita.
b. Hal-hal yg diketahui sendiri oleh hakim, baik karena
pengalaman maupun karena dilihat sendiri oleh hakim di
depan persidangan. Misal: cacat badan atau merek yg dipakai.
c. Beberapa contoh yg tampaknya tidak relevan dlm Hukum
Acara MK. Misal: adanya pengakuan yg tdk disangkal lagi oleh
pihak lawan atas dalil yg dikemukakan.
4. Alat-alat Bukti
Berdasar Psl 36 UU MK, alat bukti terdiri dari: Surat/ tulisan,
Keterangan Saksi, Keterangan ahli, Keterangan para Pihak, Petunjuk,
dan Informasi yg diucapkan/dikirim/diterima/disimpan scr elektronik
dgn alat optik atau yg serupa dgn-nya.

Illegally Obtained Evidence: Alat bukti yg diajukan ke MK tdk diperoleh


scr melawan hukum, baik karena tipu daya, pemalsuan, pemaksaan,
tdk dgn izin, dan upaya lain yg tdk sah.
1. Diputus paling lambat dlm tenggang waktu:
a. Pembubaran parpol, 60 hari kerja sejak registrasi.
b. Perselisihan hasil Pemilu;
- Presiden/Wkl. Presiden, 14 hari kerja sejak
registrasi.
- DPR, DPD, DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi.
c. Impeachment, 90 hari kerja sejak registrasi.
2. Sesuai alat bukti, minimal 2 alat bukti yg memuat fakta
dan dasar hukum putusan.
3. Cara mengambil keputusan: musyawarah mufakat,
setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan
tertulis, voting bila tdk mufakat, dan melalui suara
terakhir dari Ketua menentukan.
4. Ditandatangani hakim dan panitera.
5. Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
6. Salinan putusan dikirim kpd para pihak 7 hari sejak
diucapkan.
7. Untuk putusan perkara:
a. Pengujian UU, disampaikan kpd DPR, DPD, Presiden,
dan MA.
b. Sengketa kewenangan Lembaga Negara,
disampaikan kpd DPR, DPD, dan Presiden.
c. Pembubaran Parpol, disampaikan kpd Parpol ybs.
d. Perselisihan Hasil Pemilu, disampaikan kpd
Presiden.
e. Impeachment, disampaikan kpd DPR, Presiden, dan
Wkl. Presiden.
Ada beberapa hal yang penting untuk kita
diskusikan guna menatap masa depan MK RI:
1. Kekhawatiran atas MK RI kelak menjadi
extra ordinary state organ?
2. Urgensinya desenting opinion.
3. Pro-kontra Putusan MK melampaui dari
yang diminta Pemohon atau ultra petitum.
4. Gagasan judicial preview.
5. Pengawasan terhadap kinerja MK RI?
ABDUL Rasyid Thalib, Wewenang MK dan Implikasinya dalam sistem
Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi Ttg Adjudikasi
Konstitusional Sbg Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2006.
Anonimous, Putusan atas Pengujian UU Terorisme Bom Bali, Tatanusa,
Jakarta, 2004.
Anonimous, Kode Etik dan Prilaku Hakim Konstitusi, Sekjen Kepaniteraan
MK RI, Jakarta, 2005.
Hamdan Zulva, Impeachment Dalam Perspektif Hukum Pidana, Konpress,
Jakarta, 2006.
Jazim Hamidi, Judicial Riview Di MA, Makalah tidak dipublikasikan, 2007.
__, Judicial Riview di MK, Makalah tidak dipublikasikan, 2007.
Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI,
Tanpa penerbit, Malang, 29 September 2005.
__, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konpress, Jakarta, 2007.
__, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress,
Jakarta, 2005.
Kunthi Dyah Wardani, Impeachment Dalam Ketatanegaraan RI, UII Press,
Yogyakarta, 2007.
M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan Di Ranah Hukum, Sekjen. MK.RI, Jakarta,
2006.
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Konpress,
Jakarta, 2005.
Siti Fatimah, Praktik Judicial Riview Di Indonesia, Pilar Media,
Yogyakarta, 2005.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia RI.
Berbagai UU yang Diuji Oleh MK RI
Berbagai Peraturan MK RI
Putusan MK RI
Peraturan MA

Anda mungkin juga menyukai