Anda di halaman 1dari 27

MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh : Drs. H. Nur Syamsudin, MA

SEJARAH PEMBENTUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.

DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan UndangUndang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.

KEDUDUKAN MK
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia

SUSUNAN MK
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi. (3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun. (4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya. (5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan


Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Struktur Organisasi

KEWENANGAN
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

1. 2. 3. 4. 5.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut: Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945; Memutus pembubaran partai politik; dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

PEMOHON
Dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar. Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Persyaratan legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.

1. 2.

3. 4.

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UndangUndang No. 24 Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut: Perorangan warganegara Indonesia; Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; Badan hukum publik atau privat; atau Lembaga Negara.

Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan konstitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah: 1.Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau (iv) lembaga negara; 2.Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

HUKUM ACARA
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review). Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuat dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.

1. 2. 3. 4.

5. 6.

Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut: Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK); Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI; Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia. Pendapat Sarjana (doktrin); Hukum Acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.

PROSEDUR BERPERKARA : 1.Pengajuan permohonan


1. 2. 3. 4. 5.

Ditulis dalam bahas Indonesia; Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya; Diajukan dalam 12 rangkap; Jenis perkara; Sistematika:
Identitas dan legal standing Posita Petitum

6. Disertai bukti pendukung

PROSEDUR BERPERKARA : 2. Pendaftaran


1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera: Belum lengkap, diberitahukan 7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi Lengkap

2. Registrasi sesuai dengan perkara; 3. 7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara. Pengujian undang-undang : salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR; Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung. Sengketa kewenangan lembaga negara: salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon. Pembubaran Partai Politik: salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan. Pendapat DPR: salinan permohonan

PROSEDUR BERPERKARA : 3. Penjadwalan Sidang


Dalam 14 hari kerja setela registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu). b. Para pihak diberitahu/dipanggil. c. Diumumkan kepada masyarakat

PROSEDUR BERPERKARA :

4.Pemeriksaan Pendahuluan
a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa: Kelengkapan syarat-syarat Permohonan. Kejelasan materi Permohonan. b. Memberi nasehat: Kelengkapan syararat-syarat permohonan. Perbaikan materi permohonan. c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.

PROSEDUR BERPERKARA :

5.Pemeriksaan Persidangan
a. Terbuka untuk umum. b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti. c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan. d. Lembaga negara dapat diminta keterangan Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta. e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan. f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi luasa dan orang lain.

PROSEDUR BERPERKARA :

5.Putusan

1. Diputus paling lambat dalam tenggang waktu: Untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi. Untuk perkara perselisihan hasil pemilu: Presiden dan/atau wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi. DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi. Untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi. 2. Sesuai alat bukti, minimal 2 (dua) alat bukti memuat: Fakta. Dasar hukum keputusan. 3. Cara mengambil keputusan: Musyawarah mufakat. Setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan tertulis. Diambil suara terbanyak bila tak mufakat. Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua

4. Ditandatangani hakim dan panitera. 5. Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum/ 6. Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 (tujuh) hari sejak diucapkan. 7. Untuk Putusan perkara: Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung. Sengketa kewenangan lembaga negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden. Pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan. Perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden. Pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden.

Mekanisme Berperkara di MK
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar : Baca Pasal 50 s/d 60 UU Nomor 24 tahun 2033 tentang Mahkamah Konstitusi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar : Baca pasal 61 s/d 67. Pembubaran Partai Politik : baca pasal 68 s/d 73 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum : baca pasal 74 s/d 79. Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden : baca pasal 80 s/d 85.

Peraturan Mahkamah Konstitusi RI


Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PMK/2009Pedoman beracara dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 19/PMK/2009Tata Tertib Persidangan Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PMK/2009Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference) Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 17/PMK/2009Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden Dan Wakil Presiden Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 16/PMK/2009Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 15/PMK/2008Pedoman BeracaraDalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 14/PMK/2008Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 12/PMK/2008Tentang Prosedur Beracara Partai Politik Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 11/PMK/2006Tentang Pedoman Administrsi yustisial mahkamah Konstitusi Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 10/PMK/2006Tentang kehormatan mahkamah kosntitusi Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 09/PMK/2006Tentang Deklarasi Kode Etik dan prilaku hakim konstitusi Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 08/PMK/2006Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara

Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 07/PMK/2005Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 06/PMK/2005Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 05/PMK/2004Tentang Prosedur Pengajuan Keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 04/PMK/2004Tentang Pedoman Beracara dalam Persidangan Hasil Pemilihan Umum Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 03/PMK/2003Tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 02/PMK/2003Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 001/PMK/2003Tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi

PENUTUP

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai