Anda di halaman 1dari 11

TAHAPAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA

Tahap pertama UPAYA DAMAI


Majelis hakim akan berusaha menasehati para pihak untuk berdamai
Tahap Kedua, PEMBACAAN GUGATAN/PERMOHONAN
Bila upaya damai tidak berhasil, Majelis Hakim akan memulai
pemeriksaan perkara dengan membacakan gugatan/permohonan
Penggugat/Pemohon.
Tahap Ketiga, JAWABAN TERGUGAT/TERMOHON
Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab
gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun
tertulis.
Tahap Keempat, REPLIK
Kesempatan Penggugat/Pemohon untuk menanggapi jawaban
Tergugat/Termohon, baik secara lisan maupun tertulis.
Tahap Kelima, DUPLIK
Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab kembali tanggapan
(replik) Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis.
Tahap Keenam, PEMBUKTIAN
Pada tahap ini baik Penggugat/Pemohon akan dimintakan bukti untuk
menguatkan dalil-dalil gugatan/permohonannya dan
Tergugat/Termohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan
bantahannya.
Tahap Ketujuh, KESIMPULAN
Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon menyampaikan
kesimpulan akhir terhadap perkara yang sedang diperiksa.
Tahap Kedelapan, MUSYAWARAH MAJELIS
Majelis Hakim akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan
mengenai perkara yang sedang diperiksa.
Tahap Kesembilan, PEMBACAAN PUTUSAN
Majelis Hakim akan membacakan putusan hasil musyawarah Majelis
Hakim.
TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA GUGATAN
DI PENGADILAN NEGERI
1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;
2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki
ruang sidang;
3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula
diperiksa surat ijin praktik dari organisasi advokat;
4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk
menyelesaikan dengan perkara secara damai;
5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan
PN atau dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);
6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan
dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;
7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan
dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YME;
8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari
tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan
provisionil, gugatan rekonvensi);
9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai
penggugat rekonvensi;
10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia
berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi;
11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada
gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela
(putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi
absolut, atau ada gugat intervensi);
13. Pembuktian
14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
17. Kesimpulan
18. Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia);
19. Pembacaan Putusan;
20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan
tidak dapat diterima;
21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan
menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka
diberi waktu selama 14 hari;
22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih
dahulu dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak
untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan
sikap maka dianggap menerima putusan.

Ada dasarnya, jawaban bukanlah suatu kewajiban Tergugat di


persidangan, melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-
dalil yang Penggugat sampaikan dalam gugatannya.
Hakikatnya pemberian hak bagi Tergugat mengajukan jawaban ini
sesuai dengan asas audi alteram partem atau auditur et altera pars,
yaitu pemberian hak yang sama kepada tergugat untuk mengajukan
pembelaan kepentingannya.
Jadi merujuk pada penjelasan tersebut tidak ada asas yang
menyatakan bahwa Tergugat/Turut tergugat tidak perlu untuk
memberikan jawaban atas suatu gugatan. Justru mengajukan
jawaban merupakan hak bagi Tergugat.
Kemudian mengenai Turut Tergugat, kedudukan Turut Tergugat
adalah cukup hadir menjalani proses persidangan di persidangan dan
menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Turut Tergugat
selama proses persidangan tidak diwajibkan untuk melakukan
sesuatu. Hal ini berlaku pula dalam hal Turut Tergugat membuat
jawaban.

Sesuai dalam Pasal 163 HIR dinyatakan :


“ Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan
pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk
menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu”.
Atau dengan kata lain “ Siapa yang mendalilkan suatu hak maka dia
harus membuktikan haknya itu”. Dengan demikian, yang berhak untuk
membuktikan adalah Penggugat/Pemohon.

Gambaran tahapan-tahapan proses persidangan secara garis


besar adalah sebagai berikut:
1. Gugatan Penggugat
2. Jawaban Tergugat
o Dalam Konpensi, isinya : - Eksepsi
o Jawaban pokok perkara
o Dalam Rekonpensi, isinya : - Gugatan
3. Replik Penggugat
o Dalam Konpensi, isinya : - Tanggapan Eksepsi, dan -
Replik pokok perkara
o Dalam Rekonpensi, isinya : - Eksepsi, dan - Jawaban
pokok perkara
4. Duplik Tergugat
o Dalam Konpensi, isinya : - Replik Eksepsi, dan - Duplik
pokok perkara
o Dalam Rekonpensi, isinya : - Tanggapan Eksepsi, dan -
Replik pokok perkara
5. Rereplik Penggugat
o Dalam Konpensi, isinya : - Duplik Eksepsi
o Dalam Rekonpensi, isinya : - Replik Eksepsi, dan -
Duplik pokok perkara
o Reduplik Tergugat
o Dalam Rekonpensi, isinya : - Duplik Eksepsi
6. Pembuktian Penggugat
7. Pembuktian Tergugat
8. Kesimpulan Penggugat dan Tergugat
9. Putusan Pengadilan, isinya :
o Dalam Konpensi : - Dalam eksepsi, dan Dalam pokok
perkara
o Dalam Rekonpensi : - Dalam eksepsi, dan - Dalam
pokok perkara
Dalam konpensi dan rekonpensi : Membebankan biaya perkara
kepada Penggugat/Pemohon

1.    Identitas para pihak (Persona standi in judicio)


Berisi identitas lengkap penggugat antara lain nama lengkap, alamat,
tempat dan tanggal lahir, umur, jenis kelamin, dan kapasitas
penggugat (misalnya sebagai diri sendiri atau sebagai Direksi PT XYZ)
2.    Posita
Posita disebut juga dengan Fundamentum Petendi yaitu bagian yang
berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi
dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu
tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu alasan-alasan atau dalil
sehingga ia bisa mengajukan tuntutan seperti itu. Karenanya,
fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau
duduk persoalan suatu kasus. Menurut M. Yahya Harahap di dalam
buku Hukum Acara Perdata (hal. 58), Posita/Fundamentum Petendi
yang yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memenuhi dua unsur
yaitu dasar hukum (rechtelijke grond) dan dasar fakta (feitelijke
grond).
3.    Petitum
Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat
kepada hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat
juga biasanya menambahkan dengan tuntutan subside atau pengganti
seperti menuntut membayar denda atau menuntut agar putusan
hakim dapat dieksekusi walaupun akan ada perlawanan di kemudian
hari yang disebut dengan uitvoerbar bij voorrad. Sebagai tambahan
informasi, Mahkamah Agung dalam SEMA No. 6 Tahun 1975
perihal Uitvoerbaar bij voorraad tanggal 1 Desember
1975 menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah
mengabulkan putusan yang demikian. Masih menurut Yahya Harahap
(hal. 63), Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat
formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok
tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per
satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi
pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan
kepada tergugat.

Urutan Tahapan Sidang Perdata Adalah


Pembacaan gugatan → Jawaban → Replik → Duplik
Setelah gugatan dibacakan oleh pihak penggugat, pihak tergugat
akan membuat jawaban atas gugatan. Kemudian, pihak penggugat
akan menjawab kembali jawaban yang disampaikan tergugat yang
disebut dengan replik. Terhadap replik penggugat, tergugat akan
kembali menanggapi yang disebut dengan duplik.
Setelah proses jawab-menjawab (gugatan, jawaban, replik,
duplik) sidang perkara perdata dilanjutkan dengan pembuktian
(apabila dianggap perlu dapat pula dilakukan pemeriksaan setempat
serta pemeriksaan ahli). Setelah tahap pembuktian, majelis hakim
kemudian bermusyawarat untuk merumuskan putusan. Hakim tidak
diizinkan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau
memberikan lebih dari pada yang digugat (Pasal 178 HIR)
 Gugatan Rekonvensi  diatur dalam pasal 132  HIR huruf (a),
pasal 158 RBg angka 1 dan 3 dan pasal 245 RV, yang menegaskan
gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat
sebagai gugatan balik terhadap gugatan yang diajukan Penggugat.
Gugatan rekonvensi diajukan kepada Pengadilan  pada saat
berlangsungnya proses pemeriksaan gugatan yang diajukan
Penggugat.
Supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah,  selain  harus
memenuhi syarat materil, gugatan juga harus memenuhi syarat
formil.  HIR dan RBg  tidak  secara  detail menentukan dan mengatur
syarat syarat gugatan rekonvensi, namun   agar gugatan  rekonvensi
tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara
jelas dan terurai sama dengan gugatan konvensi. Tujuannya agar
pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan
rekonvensi yang diajukan Tergugat kepadanya.
Dari aspek cara mengajukannya Gugatan rekonvensi    dapat
diajukan secara lisan dan akan lebih baik diajukan secara tertulis,
yang perlu harus diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus
memenuhi syarat formil gugatan yaitu :
Menyebutkan dengan tegas subjek yang ditarik sebagai Tergugat
rekonvensi.
Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi,
berupa penegasan  dasar hukum ( rechtsgrond ) dan dasar peristiwa 
( fifteljkegrond ) yang melandasi gugatan.

Menyebutkan dengan rinci petitum gugatan.


Apabila unsur unsur diatas  tidak terpenuhi, gugatan
rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan
tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat
formil dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau
orang yang ditarik sebagai Tergugat rekonvensi. Gugatan rekonvensi
merupakan hak yang diberikan kepada Tergugat untuk melawan
gugatan konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai Tergugat
adalah hanya Penggugat konvensi.

Putusan verstek
Merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa
hadirnya tergugat dan tanpa alasan yang sah meskipun telah
dipanggil secara resmi dan patut. Putusan verstek ini merupakan
pengecualian dari acara persidangan biasa sebagai akibat
ketidakhadiran tergugat atas alasan yang tidak sah.
Dalam acara verstek tergugat dianggap ingkar menghadiri
persidangan tanpa alasan yang sah dan tergugat dianggap mengakui
sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil gugatan penggugat.
Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan dalam hal tergugat atau para
tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.
Putusan tersebut tampak kurang adil bagi tergugat karena
dijatuhkan tanpa kehadirannya. Sementara perkara tidak mungkin
digantung tanpa akhir yang pasti atau harus segera diselesaikan.
Walaupun demikian bukan berarti pintu telah tertutup bagi tergugat.
Tergugat masih memiliki jalan untuk mendapatkan pengadilan dengan
cara melakukan upaya hukum biasa yaitu perlawanan terhadap
putusan verstek

Penyampaian jawaban bukanlah suatu kewajiban Tergugat di


persidangan, melainkan adalah hak Tergugat. Ditinjau dari teori dan
praktik, pada dasarnya jawaban berisi penjelasan tentang kebenaran
atau ketidakbenaran dalil gugatan Penggugat.

Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa jawaban atau yang dikenal


dengan istilah bantahan terhadap pokok perkara (ver weer ten
principale atau materiel verweer) adalah tangkisan atau pembelaan
yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Dapat juga berarti:
[1]

a. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara, atau


b. Bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok
perkara.

Esensi bantahan terhadap pokok perkara berisi alasan dan penegasan


yang sengaja dibuat dan dikemukakan Tergugat, baik dengan lisan
atau tulisan dengan maksud untuk melumpuhkan kebenaran dalil
gugatan yang dituangkan Tergugat dalam jawaban.[2]

Jawaban terhadap gugatan dibuat dengan tertulis, sebagaimana yang


diatur dalam Pasal 121 ayat (2) Herzien Inlandsch
Reglement (“HIR”) yang berbunyi:
Ketika memanggil yang digugat, maka sejalan dengan itu hendak diserahkan
juga sehelai salinan surat tuntutan, dengan memberitahukan
kepadanya bahwa ia kalau mau boleh menjawab tuntutan itu dengan surat.

PROSES JAWABAN 
Secara teknis pemeriksaan perkara di sidang pengadilan menjalani
proses jawab menjawab. Ketentuan mengenai jawab-menjawab
terdapat dalam Pasal 142 Rv yang menegaskan para pihak dapat
saling menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik.[3]

1.    Tergugat berhak mengajukan jawaban

Menurut Pasal 121 ayat (2) HIR, juru sita menyampaikan surat
panggilan sidang, dalam surat itu harus tercantum penegasan
memberi hak kepada tergugat untuk mengajukan jawaban secara
tertulis. Biasanya jawaban disampaikan pada sidang pertama.
Berdasarkan hak ini, tergugat menyusun jawaban yang berisi
tanggapan menyeluruh terhadap gugatan. Jawaban yang seperti itu
dalam praktik disebut jawaban pertama.[4]

Hakikatnya pemberian hak bagi tergugat mengajukan jawaban, sesuai


dengan asas audi alteram partem atau auditur et altera pars, yaitu
pemberian hak yang sama kepada tergugat untuk mengajukan
pembelaan kepentingannya.[5]

Jadi merujuk pada penjelasan tersebut tidak ada asas yang


menyatakan bahwa Tergugat/Turut Tergugat tidak perlu untuk
memberikan jawaban atas suatu Gugatan. Justru pada dasarnya
mengajukan jawaban merupakan hak bagi Tergugat.

2.   Hak penggugat mengajukan replik

Sejalan dengan asas audi alteram partem, kepada penggugat diberi


hak untuk menanggapi jawaban yang diajukan tergugat, dan secara
teknis disebut replik. Dengan demikian, replik merupakan jawaban
atas jawaban tergugat.[6]

3.   Hak tergugat mengajukan duplik

Duplik diartikan sebagai jawaban kedua oleh tergugat. Duplik adalah


jawaban balik terhadap replik penggugat. Hal tersebut ditegaskan
oleh Pasal 142 Reglement of de Rechtsvordering (Rv), yang memberi
hak kepada penggugat mengajukan replik atas jawaban tergugat dan
selanjutnya memberi hak kepada tergugat mengajukan duplik
terhadap replik penggugat.[7]
Ketentuan Pasal 142 Rv tersebut, telah dijadikan pedoman teknis
yustisial berdasarkan prinsip kepentingan beracara (process
doelmatigheid).[8]

4.   Proses jawab menjawab sebatas replik dan duplik

Sesuai dengan prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan,


sedapat mungkin proses pemeriksaan berjalan dengan efektif. Tidak
bertele-tele serta tidak boleh memberi kesempatan kepada para pihak
melakukan tindakan yang menjurus kepada anarki.[9]

Apabila prinsip tersebut dikaitkan dengan tahap proses jawab-


menjawab yang diatur dalam Pasal 117 Rv, hakim cukup memberi
kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan replik dan
duplik, hanya satu kali saja. Memang tidak ada larangan yang tegas
menyampaikan replik dan duplik berkali-kali. Akan tetapi kebolehan
tersebut hanya membuang waktu. Tidak efektif dan efisien memberi
hak mengajukan replik dan duplik berkali-kali. Jika hak mengajukan
replik dan duplik telah digunakan oleh para pihak, maka proses
pemeriksaan tahap jawab-menjawab mesti ditutup untuk dilanjutkan
pada tahap pembuktian dan pengajuan konklusi setelah tahap
pembuktian selesai. Tahap berikutnya adalah pengucapan putusan.
[10]

Jadi pada dasarnya jawaban bukanlah suatu kewajiban yang


harus diberikan oleh Tergugat di dalam persidangan, melainkan
adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang Penggugat
sampaikan dalam gugatannya.
Hakikatnya pemberian hak bagi tergugat mengajukan jawaban
ini sesuai dengan asas audi alteram partem atau auditur et altera
pars, yaitu pemberian hak yang sama kepada tergugat untuk
mengajukan pembelaan kepentingannya.

Anda mungkin juga menyukai