NIM : D1A019025
KELAS : A1
Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak
bergerak (tanah), maka ditempat benda yang tidak bergerak terletak. (Ketentuan
HIR dalam hal ini berbeda dengan Rbg. Menurut pasal 142 RBg, apabila objek
gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada Pengadilan
Negeri dimana tanah itu terletak).
Dalam hal ada pilihan domisili secara tertulis dalam akta, jika penggugat
menghendaki, di tempat domisili yang dipilih itu.
Apabila tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan (eksepsi)
tentang wewenang mengadili secara relatif ini, Pengadilan Negeri tidak boleh
menyatakan dirinya tidak berwenang. (Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 133 HIR, yang menyatakan, bahwa eksepsi mengenai kewenangan relatip
harus diajukan pada permulaan sidang, apabila diajukan terlambat, Hakim
dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut).
Berisi identitas lengkap penggugat antara lain nama lengkap, alamat, tempat
dan tanggal lahir, umur, jenis kelamin, dan kapasitas penggugat (misalnya
sebagai diri sendiri atau sebagai Direksi PT ABC)
2. Posita
Posita disebut juga dengan Fundamentum Petendi yaitu bagian yang berisi
dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian
dari suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus
menguraikan dulu alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan
tuntutan seperti itu. Karenanya, fundamentum petendi berisi uraian tentang
kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus. Posita/Fundamentum
Petendi yang yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memenuhi dua unsur
yaitu dasar hukum (rechtelijke grond) dan dasar fakta (feitelijke grond).
3. Petitum
Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat kepada
hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat juga biasanya
menambahkan dengan tuntutan subside atau pengganti seperti menuntut
membayar denda atau menuntut agar putusan hakim dapat dieksekusi
walaupun akan ada perlawanan di kemudian hari yang disebut dengan
uitvoerbar bij voorrad. Sebagai tambahan informasi, Mahkamah Agung dalam
SEMA No. 6 Tahun 1975 perihal Uitvoerbaar bij voorraad tanggal 1
Desember 1975 menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah
mengabulkan putusan yang demikian. Supaya gugatan sah, dalam arti tidak
mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi
pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu
dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan
penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.
Setelah pembacaan surat Gugatan, maka secara berimbang kesempatan kedua
diberikan kepada pihak Tergugat atau kuasanya untuk membacakan Jawabannya.
Jawaban yang dibacakan tersebut dapat berisikan hanya bantahan terhadap dalil-
dalil Gugatan itu saja, atau dapat juga berisikan bantahan dalam Eksepsi dan
dalam pokok perkara. Bahkan lebih dari itu, dalam Jawaban dapat berisi dalam
rekonpensi (apabila pihak Tergugat ingin menggugat balik pihak Penggugat
dalam perkara tersebut). Acara jawab-menjawab ini akan berlanjut sampai
dengan Replik dari pihak Penggugat dan Duplik dari pihak
Tergugat. Replik merupakan penegasan dari dalil-dalil Penggugat setelah adanya
Jawaban dari Tergugat, sedangkan Duplik penegasan dari bantahan atau Jawaban
Tergugat setelah adanya Replik dari Penggugat. Dengan berlangsungnya acara
jawab-menjawab ini sampai kepada duplik, akan menjadi jelas apa sebenarnya
yang menjadi pokok perkara antara pihak Penggugat dan Tergugat. Apabila
Jawaban Tergugat terdapat Eksepsi mengenai kompetensi pengadilan, yaitu
pengadilan yang mengadili perkara tersebut tidak berwenang memeriksa perkara
yang bersangkutan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 136 HIR atau Pasal 162
Rbg Majelis Hakim akan menjatuhkan Putusan Sela terhadap Eksepsi tersebut.
Putusan Sela dapat berupa mengabulkan Eksepsi dengan konsekuensi perkara
dihentikan pemeriksaannya, dan dapat pula Eksepsi tersebut ditolak dengan
konsekuensi pemeriksaan perkara akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya.
Setelah gugatan dibacakan oleh pihak penggugat, pihak tergugat akan membuat
jawaban atas gugatan. Kemudian, pihak penggugat akan menjawab kembali
jawaban yang disampaikan tergugat yang disebut dengan replik. Terhadap replik
penggugat, tergugat akan kembali menanggapi yang disebut dengan duplik.
Setelah proses jawab-menjawab (gugatan, jawaban, replik, duplik) sidang perkara
perdata dilanjutkan dengan pembuktian (apabila dianggap perlu dapat pula
dilakukan pemeriksaan setempat serta pemeriksaan ahli). Setelah tahap
pembuktian, majelis hakim kemudian bermusyawarat untuk merumuskan putusan.
Hakim tidak diizinkan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau
memberikan lebih dari pada yang digugat (Pasal 178 HIR) Jadi, dalam hal ini
posita adalah rumusan dalil dalam surat gugatan; petitum adalah hal yang
dimintakan penggugat kepada hakim untuk dikabulkan; replik merupakan respon
penggugat atas jawaban tergugat; sedangkan duplik merupakan jawaban tergugat
atas replik dari penggugat.
PERKARA GUGUR
1. Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak datang,
meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang
sah, sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan
digugurkan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat
dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya
perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, sita tersebut ikut gugur.
2. Dalam hal-hal yang tertentu, misalnya apabila penggugat tempat tinggalnya jauh
atau ia benar mengirim kuasanya, namun surat kuasanya tidak memenuhi syarat,
Hakim boleh mengundurkan dan menyuruh memanggil penggugat sekali lagi.
Kepada pihak yang datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan.
3. Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah
dipanggil dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga
penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan (pasal 124 HIR).
TANGKISAN/EKSEPSI
Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkaranya, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak
berwenangnya Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara tersebut.
Apabila diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara, dalam pertimbangan
hukum dan dalam diktum putusan, tetap disebutkan:
Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika
perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka
pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat (pasal 271, 272
RV).
PERUBAHAN/PENAMBAHAN GUGATAN
PERDAMAIAN
1. Jika kedua belah pihak hadir dipersidangan, Hakim harus berusaha mendamaikan
mereka. Usaha tersebut tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan
dapat dilakukan meskipun taraf pemeriksaan telah lanjut (pasal 130 HIR).
2. Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian, yang harus
dibacakan terlebih dahulu oleh Hakim dihadapan para pihak, sebelum Hakim
menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi
perdamaian tersebut.
3. Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim yang
berkekuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat
dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
4. Terhadap putusan perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
5. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam berita acara
persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat
gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan
menggunakan penerjemah (pasal 131 HIR).
Jika Penggugat atau tergugat setelah mengajukan gugatan meninggal dunia, maka
ahli warisnya dapat melanjutkan perkara.
PENGGABUNGAN PERKARA
Secara sederhana, apabila terdapat suatu gugatan perdata yang diajukan oleh
seorang Penggugat terhadap Tergugat ke Pengadilan Negeri, maka gugatan yang
diajukan Penggugat dapat disebut dengan “Gugatan Konvensi”. Sedangkan,
apabila selama proses persidangan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat
digugat balik oleh Tergugat, maka gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat
terhadap Penggugat disebut dengan “Gugatan Rekonvensi.”
Dengan demikian, Gugatan Rekonvensi adalah suatu upaya hukum berupa
gugatan balik yang diajukan oleh pihak Tergugat terhadap Penggugat dalam suatu
proses persidangan yang sedang berjalan.
Apabila terjadi suatu gugatan balik, maka Pihak Penggugat memiliki 2 (dua) hak,
yaitu:
Gugatan rekonvensi ini bertujuan untuk menegakkan salah satu asas peradilan
cepat, sederhana dan ringan.
Gugatan Rekonvensi diatur dalam Pasal 132 (a) dan Pasal 132 (b) HIR. Selain
itu diatur juga dalam Pasal 157 dan Pasal 158 RBg, Serta diatur dalam Pasal 244
Rv.
YURISPRUDENSI
“Gugatan rekonvensi ternyata tidak terperinci, tidak jelas dan kabur. Tuntutan
nafkah yang diajukan oleh Penggugat Konpensi/Tergugat rekonpensi diajukan ke
persidangan pada saat memberikan kesimpulan, maka harus dinyatakan tidak
dapat diterima.”
“Bahwa dalam suatu putusan perceraian dimana seorang Hakim tidak boleh
memutus apa yang tidak menjadi petitum gugatan dimana dalam gugatan
perceraian tersebut tidak dikenal adanya gugatan balik terhadap rekonvensi.”
1. Jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada hal-
hal/perbuatan yang harus dilakukan, maka biaya dibebankan kepada pemohon
dan dianggap sebagai persekot biaya perkara, yang dikemudian hari akan
diperhitungkan dengan biaya perkara yang harus dibayar oleh pihak yang dengan
putusan Hakim dihukum untuk membayar biaya perkara, biasanya pihak yang
dikalahkan.
2. Pihak lawan, apabila ia mau, dapat membayarnya Jika kedua belah pihak tidak
mau membayar biaya tersebut, maka hal/perbuatan yang harus dilakukan itu tidak
jadi dilakukan, kecuali jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang sangat
diperlukan. Dalam hal itu, biaya tersebut sementara akan diambil dari uang panjar
biaya perkara yang telah dibayar oleh Penggugat (pasal 160 HIR).