Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUKUM LEMBAGA KEUANGAN

TENTANG

ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PENGATURAN


SISTEM PENGKREDITAN PERBANKAN

NAMA : Agung Sukarma

NIM : D1A019025

KELAS : A2

MATA KULIAH : Hukum Lembaga Keuangan


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan
masyrakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui
bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam
uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan
kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupan.

Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu


pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan
pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan
merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan
oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana,ternasuk juga anggota pegawai
negeri sipil.Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
sedangkan dalamPasal 1 ayat (11) yang dimaksud dengan kredit:”Adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”

Unsur yang terpenting dalam kredit adalah adanya kepercayaan dan yang lainnya
adalah sifat atau pertimbangan saling tolong-menolong. Dilihat dari pihak
kreditor, maka unsur yang paling penting dalam kegiatan kredit sekarang ini
adalah untuk mengambil keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan
pengembalian prestasi, sedangkan bagi debitor adalah bantuan dari kreditor untuk
menutupi kebutuhannya berupa prestasi yang diberikan kreditor. Hanya saja
antara prestasi dengan pengembalian prestasi tersebut ada suatu masa yang
memisahkannya, sehingga terdapat tenggang waktu tertentu. Kondisi ini
mengakibatkan adanya risiko, berupa ketidaktentuan pengembalian prestasi yang
telah diberikan, oleh karena itu diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit
tersebut.

Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukan arah yang semakin


menyatu dengan ekonomi regional maupun internasonal yang dapat menunjukan
dan juga dapat berdampak kurang menguntungkan bagi perkembangan
perekonomian nasional, sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan guna
1
menyesuaikan perkembangan bidang ekonomi termasuk didalamnya sector
perbankan sehingga diharapkan dapat memperbaiki dan memperkukuh
perekonomian nasional.

Dalam penyaluran dana kepada masyarakat (fund lending) yang merupakan


kegiatan usaha bank meminjamkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit
berarti mamberikan hutang kepada masyarakat (debitur), yang pada kenyataannya
dewasa ini masalah kredit semakin popular, dan bahkan banyak orang yang ingin
memperolehnya baik dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
konsumtif (consumer loan), bersifat untuk meningkatkan kegiatan usaha
(productive loan) maupun yang bersifat untuk memperlancar kegiatan usaha
perdagangan (commercial loan), maka perlu ditelah terhadap aspek-aspek hokum
yang meliputi.

1
Lulusan Pada Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado
Tahun 2013
2 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011, hal.57
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan terdahulu maka permasalahan


yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagian aspek-aspek hukum dalam
penyaluran kredit perbankan kepada masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. LANDASAN TEORI
1. Perjanjian Pada Umumnya
2
Pengertian Perjanjian

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 disebutkan "suatu


perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Menurut R. Subekti, perjanjian
diartikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal Dari
peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Dengan demikian, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua
orang atau lebih orang atau pihak yang menciptakan hak dan kewajiban untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu. Istilah kontrak atau perjanjian
dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sarna, seperti halnya di
Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract atau overeenkomst.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Sepakat mereka yang mengikatkan diri" adalah asas esensial dari Hukum
Perjanjian. Asas ini juga dinamakan asas otonomi konsensualisme, yang
menentukan "ada "nya perjanjian. Oleh Grotius dikatakan "pacta sunt servanda"
(janji itu mengikat), dan "promissorum implendorum obligatio" (kita harus
memenuhi janji kita).Kebebasan merupakan perwujudan dari kehendak bebas dan
pancaran hak asasi manusia. Dalam Hukum Perjanjian Nasional, diterapkan asas
kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam perkembangannya, asas ini
semakin sempit dilihat dari beberapa segi yaitu: segi kepentingan umum, segi
perjanjian baku, dan segi perjanjian dengan pemerintah.

b. Asas Konsensualisme
23
Ibrahim, Op. Cit., hal. 26. Sebagaimana dikutip dari J. Satrio, "Hukum Perjanjian", (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 31-31.
4 Mariam Darus Badrulzaman (1), "K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dongan
Penjelasan", cet. I, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 108-109.
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasa l 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Penyebutan kata "semua" menunjukkan setiap orang
diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya yang dirasa baik untuk
mencipta kan perjanjian. Asas ini erat kaitannya dengan asas kebebasan
mengadakan perjanjian.

c. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan


kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sarna lain akan memegang
janjinya. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan
diadakan o le h para pihak.

d. Asas Kekuatan

mengikat Terikatnya para pihak tidak se mata-mata terbatas pad a apa yang
diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan da n kepatutan serta moral.

e. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tanpa adanya
perbedaan walaupun terdapat perbedaan kulit, bangsa, dan lain sebagainya.
Masing-masing pihak saling menghormati satu sarna lain sebagai manusia
ciptaan Tuhan.

f. Asas Keseimbangan

Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan yang menghendaki para
pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Masing-masing
pihak me mpunyai kewajiban dan hak satu sama lain.

g. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai s uatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.


Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai
Undang-Undang bagi para pihak.
3

h. Asas Moral

35
Mariam Darus Badrulzaman (2), ·”Aneka Hukum Bisnis". cet. 1 , (Bandung: Alumni, 1997). hal.
42. Lihat pula Badrulzaman (1). Ibid .. hal. 113.
6 Badrulzaman (I), Ibid.. hal. 1 15. Liha! pu la Badrulzaman (2). Ibid .. hal. 44.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Faktor-faktor yang memberikan mot ivasi pad a para pihak untuk melakukan
perbuatall hukum (perjanjian) berdasarkan pad a kesusilaan (moral), sebagai
panggilall dari hati Iluraninya.

i. Asas Kepatutan

Asas ini be rkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini,
ukuran-ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam
masyarakat. Asas ini dituangkan pula dalam Pasal 1339 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.

j. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang dipandang sebagai bag ian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga untuk hal-
hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

3. Syarat Sah Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyatakan:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:


1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena terkait dengan
subyek perjanjian, apabila dilanggar, akibat hukumnya adalah terhadap perjanjian
dapat dilakukan atau dimintakan pembatalan. Sementara itu, kedua syarat terakhir
disebut syarat obyektif, karena terkait dengan obyek perjanjian, apabila dilanggar,
akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak
pernah terjadi perjanjian. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian ini, Asser
membedakall bag ia n perjanjian, yaitu bagian inti dan bagian bukan inti. Bagian
inti perjanj ian terdiri dari esensalia (merupakan sifat yang harus ada dalam
perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta,
seperti persetujuan antara para pihak dan obyek perjanjian); naturalia (merupakan
sifat bawaan/natuur dari perjanjian sehingga seeara diam-diam melekat pada
perjanjian. seperti jaminan tidak adanya caeat dalam barang yang dijual);
4
aksidentalia (merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal seeara
tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan mengenai domisili para
pihak)

2. Pengertian Kredit

Istilah “Kredit”berasal dari bahasa romawi “Credere” yang artinya


percaya.maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada si
penerima kredit bahwa kredit yang di salurkannya pasti akan di kembalikan sesuai
dengan perjanjian,berarti si debitur mampu memenuhi perikatan nya.sedangkan
bagi si penerima kredit adalah mendapatkan suatu kepercayaan dari pihak bank
bahwa suatu waktu yang telah di tentukan sesuai dengan kesepakatan ia mampu
untuk mengembalikan pinjaman nya kepada bank.

Sedangkan pengertian kredit menurut undang –undang No.10 tahun 1998 pasal
1 ayat (11) “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di
persamakan dengan itu,berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utang nya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga”.

Sedangkan pengertian kredit menurut undang –undang No.10 tahun 1998 pasal 1
ayat (11) “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan
dengan itu,berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utang
nya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga”.

Untuk menghindari timbul nya kredit macet setiap bank perlu melakukan
pembinaan kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.dari
segi hukum,Hasanudin Rahman(1995) menyatakan bahwa setiap kredit yang di
berikan harus berpedoman pada 3 hal :

a. Aman dalam arti legal risk setiap kredit yang di berikan telah terbebas dari
segala kekurangan ,baik mengenai kewenangan subjek hukum,objek
hukum,maupun jaminan dan yang menyangkut pihak-pihak lainya.bila di
kemudian hari terjadi kredit bermasalah bank telah mempunyai alat bukti
sempurna dan kuat untuk menjalankan suatu tindakan hukum bila dianggap perlu.

47
Badrulzaman (I). Ibid., hal. 115. Lihat pula Badnulzaman (2), Ibid., hal. 42.
8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Gp. Cit .. haL 339.
9 Wikipedia “Kredit (Keuangan)” (https://id.wikipedia.org/wiki/Kredit_(keuangan) Pada 9
Desember 2020, 2020)
b.Terarah dalam arti setiap kredit yang di berikan harus sesuai dengan peruntukan
nya baik dari sisi penerima kredit maupun dari segi kegunaan nya terutama di
hubungkan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam memajukan sektor usaha .

c.Menghasilkan yaitu setiap penyaluran kredit akan memberikan keuntungan


kepada bank penerima kredit dan meningkatkan kesejahtraan rakyat banyak.

Namun demikian apabila terjadi kredit yang bermasalah(macet),maka upaya yang


di lakukan untuk penyelatan kredit tersebut dapat dilakukan penyelesaianya
melalui negosiasi, yaitu dengan cara penjadwalan ulang (rescheduling), penataan
ulang (restructuring), persyaratan ulang (reconditioning) maupun penyelesaian
melalui Litigasi yaitu dengan cara mengajukan gugatan kepengadilan atau
penyelesaian melalui Panitia Urusan Piutang Negara khusus bagi kredit yang
menyangkut kekayaan negara.

a. Unsur-unsur Pemberian Kredit

Dari pengertian kredit dapat diketahui unsur-unsur kredit diantaranya adalah


unsur kepercayaan. Oleh sebab itu dengan adanya pemberian kredit berarti
adanya pemberian kepercayaan, namun demekian jika ditelaah lebih lanjut
ternyata unsur yang lainnya yakni:5

a.Kesepakatan Pihak-pihak yaitu kesepakatan antara sipemberi kredit dan


sipenerima kredit. Hal mana kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu
perjanjian dimana masing-masing pihak menyetujui hak dan kewajiban dalam
perjanjian tersebut.

b.Jangka waktu, bahwa dalam pemberian kredit telah disepakati tentang kapan
seorang debitur harus mengembalikan pinjamannya, dapat berbentuk jangka
pendek, menengah maupun jangka panjang.

c.Resiko. Adanya tenggang waktu pengembalian yang telah di tentukan akan


menimbulkan suatu resiko,hal ini harus di sadari bahwa masadepan tidak dapat di
pastikan,oleh karena itu pihak bank selaku pemberi pinjaman sudah harus
memperhitungkan resiko yang akan di hadapi,seperti resiko kredit,resiko
infestasi,likuiditas,operasional,penyelewengan serta resiko fiducia.

Pada dasar nya pemberian kredit dapat di lakukan secara lisan maupun
tertulis,tetapi yang paling umum di lakukan oleh kalangan perbankan adalah
secara terulis yang biasa nya di tuangkan dalam bentuk perjanjian kredit,hal ini
lebih mudah pengusutan nya jika terjadi wanprestasi dari pihak debitur.namun
5
10 Supaijo, “ASPEK-ASPEK HUKUM PERDATA DALAM PENYALURAN KREDIT
PERBANKAN KEPADA MASYARAKAT”
demikian perjanjian kredit bank sebagai suatu perjanjian yang sering kita jumpai
tidak di ketemukan pengaturan nya dalam KUH pdt,tetapi istilah perjanjian kredit
dapat di jumpai dalam instruksi presidium kabinet No.15/EKA/10/1996
dinyatakan bahwa “di dalam memberikan kredit dalam bemtuk apapun,bank wajib
menggunakan akad perjanjian kredit”.

B. PEMBAHASAN MATERI

1. Sejarah Perkreditan Indonesia

Sejarah Perkreditan Indonesia, kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang


memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli
produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. UU No.
10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka watu tertentu dengan
pemberian bunga. Jika seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan
dikenakan bunga tagihan.

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam


ketentuan Pasal 1 angka (11) UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-
Undang tersebut menetapkan : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Istilah kredit tentunya tidak asing lagi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan
dalam jual beli barang pun berhubungan dengan perkreditan di masyarakat. Jual
beli tidak hanya dilakukan secara tunai (kontan) tetapi ada juga dengan
mengangsur atau cicilan, hal itu yang dinamakan kredit. Masyarakat pada
umumnya menyamakan arti kredit dengan utang, karena setelah jangka waktu
tertentu harus membayar lunas.6

Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi tersebut


menurut Mgs. Edy Putra Tje’ Aman merupakan, “Suatu hal yang abstrak, yang
sukar di raba, karena masa antara pemberian dan penerimaan prestasi tersebut
dapat berjalan beberapa bulan tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun, bahkan
6
11 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta. Djambatan,
1995,
12 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Alumni, 1978, hal. 21.
13 Unknown Journal, “PENGATURAN HUKUM MENGENAI KREDIT DALAM
PERBANKAN” (http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/64250/Chapter
%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y) (9 Desember 2020,2020)
dalam prakteknya banyak terjadi nasabah yang tidak menepati waktu yang
diperjanjikan dalam mengembalikan pinjamannya dengan berbagai alasan.” Maka
dalam rumusan kredit tersebut ditegaskan mengenai kewajiban nasabah untuk
melunasi utangnya sesuai dengan jangka waktunya dan disertai dengan
kewajibannya yang lain yaitu dapat berupa bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Prekreditan, Thomas
mengemukakan bahwa unsur-unsur kredit terdiri atas : Sehingga dalam suatu
kredit terdapat prestasi dan kontraprestasi yang mengakibatkan adanya resiko
berupa ketidaktentuan sehingga diperlukannya jaminan dalam pemberian kredit.

2. DASAR-DASAR PERKREDITAN

a.Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang


diberikannya baik dalam bentuk uang, barang dan jasa, akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

b.Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam
unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada
sekaranglebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan
datang.

c.Tingkat Risiko (Degree of Risk), yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai
akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin lama kredit
diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena sejauh-jauhnya
kemampuan manusia untuk menerobos masa depan itu, masih selalu terdapat
unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah maka
timbullah jaminan dalam pemberian kredit.

d.Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga
dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern
sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang
menyangkut uanglah yang kita jumpai dalam praktik perkreditan.

Berdasarkan kegiatan kredit yang ditetapkan oleh undang-undang, suatu pinjam-


meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi
unsur-unsur berikut :

1.Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan


penyediaan uang
2.Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain

3.Adanya kewajiban melunasi utang

4.Adanya jangka waktu tertentu

5.Adanya pemberian bunga kredit.

Kelima unsur dalam pengertian kredit yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi
suatu pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit dibidang perbankan.

3. Perjanjian Kredit dalam Pemberian Kredit oleh Bank

Ketentuan yang harus dipenuhi nasabah dalam proses Pengajuan


Permohonan/aplikasi kredit yaitu Nasabah mengajukan permohonan/aplikasi
kredit kepada bank yang bersangkutan. Permohonan/aplikasi kredit tersebut harus
dilampiri dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Dalam pengajuan
permohonan/ aplikasi kredit oleh perusahaan sekurang-kurang memuat hal-hal
sebagai berikut:

1)Profil perusahaan beserta pengurusnya

2)Tujuan dan manfaat kredit

3)Bersarnya kredit dan jangka waktu pelunasan kredit

4)Cara pengembalian kredit

5)Agunan atau jaminan kredit

Permohonan aplikasi kredit tersebut dilampirkan dengan dokumen-dokumen


pendukung yang dipersyaratkan, yaitu :

1)Akta pendirian perusahaan

2)Identitas (KTP) para pengurus

3)Tanda daftar perusahaan (TDP)

4)Nomor pokok wajib pajak (NPWP)

5)Neraca dan laporan wajib pajak


Permohonan /aplikasi kredit tersebut dilengkapi dengan melengkapi semua
dokumen pendukung yang dipersyaratkan, yaitu :

1)Fotokopi identitas (KTP) yang bersangkutan

2)Kartu Keluarga (KK)

3)Slip gaji yang bersangkutan

Pemberian kredit merupakan salah satu fungsi utama dari bank sebagai Financial
Intermediation. Dalam pemberian kredit tersebut, bank harus memperhatikan
dasar-dasar pemberian kredit terhadap nasabahnya. Dasar-dasar pemberian kredit
ini wajib dimiliki dan diterapkan setiap bank sebagai pedoman dalam memberikan
persetujuan terhadap suatu permohonan kredit guna mencegah terjadinya kredit
bermasalah dikemudian hari. Adapun dasar-dasar pemberian kredit ini diatur
dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
berbunyi :

Pasal 8 Ayat (1) :

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank


umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
diperjanjikan.”

Pasal 8 Ayat (2) :

“Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan


pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Ayat (2) tersebut, dikemukakan bahawa pedoman


perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam pemberian
kredit dan pembiayaan.7

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, “Perjanjian kredit bank adalah “perjanjian


pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang.” Perjanjian pendahuluan
ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman
714
Hermansyah, Op. cit., hal. 62-63.
mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat
konsesuil (Pacta de Contrahendo) obligatoir sedangkan penyerahan uangnya
sendiri bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku
ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak.
8
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo).
Perjanjian kredit mendahului perjanjian hutang-piutang (perjanjian pinjam-
mengganti) sedangkan perjanjian hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari
perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. Perjanjian kredit bersifat konsensuil
sedangkan perjanjian hutang piutang bersifat riil yang berarti bahwa perjanjian
baru ada setelah uang yang dipinjamkan dalam perjanjian kredit secara nyata pada
debitur.

4. Dasar Hukum Perjanjian Kredit.

Adapun ruang lingkup yang menjadi dasar hukum perjanjian kredit adalah sebagai
berikut :

a.Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab XIII, mengenai perjanjian pinjam


meminjam uang.

b.Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas


Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu:

1)Pasal 1 ayat 12 tentang perjanjian kredit


2)Perjanjian anjak piutang yaitu perjanjian pembiayaan dalam bentuk pembelian
dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan jangka pendek
suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam dan atau luar negeri
3)Perjanjian kartu kredit, yaitu perjanjian dagang dengan mempergunakan kartu
kredit yang kemudian diperhitungkan untuk melakukan pembayaran melalui
penerbit kartu kredit 4)Perjanjian sewa guna usaha yaitu perjanjian sewa
menyewa barang yang berakhir dengan opsi untuk meneruskan perjanjian itu atau
melakukan jual beli

c.Perjanjian sewa beli, yaitu perjanjian yang pembayarannya dilakukan secara


angsuran dan hak milik atas barang itu beralih kepada pembeli setelah
angsurannya lunas dibayar (Keputusan Menteri Perdagangan No. 34/KP/II/80)

8
15 Mgs. Edy Putra Tje’aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta : Liberty,
1986, hal. 31.
16 H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Andi, 2000, hal. 30.
d.Perjanjian meminjam dalam undang-undang melepas uang.

e.Perjanjian pinjam uang dalam undang-undang riba.

Secara Yuridis ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan
bank dalam memberikan kreditnya, yaitu:

a.Perjanjian pengikatan kredit dibawah tangan atau akta dibawah tangan,


Akta perjanjian kredit dibawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh
bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara mereka (kreditur dan
debitur) tanpa notaris. Lazimnya dalam penandatanganan akta perjanjian kredit,
saksi turut serta membubuhkan tanda tangannya karena menurut Pasal 284 Rbg/
164 HIR, saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata.

b.Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris (notariil)


atau akta otentik
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris menyatakan, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang tersebut. Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau
dihadapan notaris menurut bentuk dan tat acara yang ditetapkan dalam undang-
undang ini.
9
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya
mempergunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Setiap bank telah
menyediakan formulir / blanko perjanjian kredit, yang isi dari perjanjian tersebut
telah dipersiapkan terlebih dahulu (telah dibakukan). Formulir tersebut disodorkan
kepada setiap pemohon kredit, yang isinya tidak diperbincangkan melainkan
setelah dibaca oleh pemohon, pihak bank hanya meminta pendapat calon nasabah
apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam formulir itu atau tidak.
Sedangkan hal-hal yang kosong didalam formulir seperti jumlah pinjaman,
besarnya bunga, tujuan pemakaian kredit dan jangka waktu kredit adalah hal-hal
yang tidak mungkin diisi sebelum ada persetujuan dari kedua belah pihak. Isi
perjanjian kredit yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu bentuk tertentu
yang telah dibakukan, menunjukkan pada kita bahwa perjanjian kredit dalam
praktek perbankan adalah suatu perjanjian standar (standart contract).

17 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, Jakarta:
9

Ghalia Indonesia, 2006, hal. 61.


5. Peraturan Hukum Perkreditan Perbankan Menurut Undang-Undang
Perbankan, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan
Bank Indonesia

Perkreditan Bank diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan


atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Yang penulis
temukan pengaturan secara khusus dan rinci tentang perkreditan bank ada yang
berupa draft rancangan Undang-Undang Perkreditan Bank, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit Atau Pembiayaan
Oleh Bank Umum Dan Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha
Mikro, Kecil, Dan Menengah.

Pengertian kredit disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10


Tahun 1998, yang berbunyi :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berddasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka


12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi :

“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan


yang dipersamakan dengan ituadedidikirawan berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.”

Dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun


2008, yaitu Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. transaksi sewa- menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.


Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 Pasal 29, BI betugas
untuk memajukan perkembangan yang sehat mengenai urusan kredit, sekaligus
bertindak mengadakan pengawasan terhadap urusan kredit tersebut. Dengan
demikian, BI mempunyai wewenang untuk menetapkan batas-batas kuantitatif dan
kualitatif di bidang perkreditan bagi perbankan.Selanjutnya sesuai dengan Pasal
32 ayat (2)-nya, BI dalam pemberian kredit likuditas bertindak dengan cara
menerima penggadaian ulang, menerima sebagai jaminan surat-surat berharga;
dan menerima aksep dengan syarat yang ditetapkan BI.

Ketentuan di atas sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun


1999 Pasal 11, di mana dalam fungsinya sebagai bankers bank atau sebagailender
of de last resort, BI dapat bertindak memberikan kredit dan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari
kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang
bersangkutan.

Dalam memberikan kreditnya bank wajib melakukan analisis terhadap


kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah kredit
diberikan, bank perlu melakukan pemantauan terhadap penggunaan kredit serta
kemampuan dan kepatuhan debitur dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu,
bank juga dituntut untuk melakukan peninjauan, penilaian, dan pengikatan
terhadap agunan yang disodorkan oleh debitur sehingga agunan yang diterima
dapat memenuhi persyaratan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut harus ditaati
karena telah dijadikan asas dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Dari ketentuan tersebut di atas yangpaling penting, yaitu bahwa bank dalam
menyalurkan dana untuk kredit harus didasarkan pada adanya suatu jaminan.
Adapun yang dimaksud dengan jaminan dalam pemberian kredit, yaitu keyakinan
bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan. (Pasal 2 ayat (1) SK Dir BI No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28
Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit). Sedangkan guna memperoleh
keyakinan tersebut maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan
penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha tersebut. Menurut Pasal 2 ayat (1) SK Dir BI No. 23/69/KEP/DIR tanggal
28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, yang dimaksud dengan
jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi
kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

Berdasarkan Pasal 10 PBI No.7/2/PBI/2005tentang Penilaian Kualitas Aktiva


Bank Umum, maka kualitas kredit ditetapkan menurut faktor penilaian yang
meliputi prospek, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar.
Dengan memperhatikan ketiga faktor penilaian tersebut, berdasarkan Pasal 12
ayat (3) PBI No.7/2/PBI/2005, maka kualitas kredit ditetapkan menjadi :

a.lancar;

b.dalam perhatian khusus;

c.kurang lancar;

d.diragukan; atau

e.macet.

Dalam Pasal 30 UU OJK dinyatakan, untuk perlindungan konsumen dan


masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum yang meliputi,
memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan
untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan lembaga jasa
keuangan dimaksud. Mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta
kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian atau
memperoleh ganti rugi kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada
konsumen. Mengenai perlindungan konsumen, OJK sendiri telah menerbitkan
aturan. Peraturan tersebut bernomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen dalam sektor jasa keuangan.

6. Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Penyaluran Kredit

Perjanjian kredit tunduk pada ketentuan buku III KUHP.Pdt tentang perikatan dan
Undang-undang perbankan No.10 tahun 1998, dan juga klasula-klasula yang telah
di tuangkan dalam perjanjian kredit dan telah di sepakati bersama oleh kedua
belah pihak sesuia dengan ketentuan pasal 1320 KUH.Pdt tentang sah nya
perjanjian berbunyi’Untuk sah nyapersetujuan di perlukan empat syarat:

a.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c.Suatu hal tertentu

d.Suatu sebab yang halal.

Terhadap syarat kesepakatan,kecakapan,hal tertentu dan sebab yang halal di


jelaskan dalam pasal selanjutnya hingga pasal 1337 KUH.Pdt. sedangkan
mengenai persetujuan diatur dalam pasal 1313 KUH.Pdt,dimana di katakan
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satuorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.

Namun demikian perjanjian kredit tidaklah sama dengan persetujuan sebagaimana


yang di atur oleh pasal 1313 jo pasal 1320 KUH.Pdt,sebab perjanjian kredit
mempunyai sifat khusus sebagai mana yang di atur oleh pasal 1754 KUH.Pdt,
yang menentukan bahwa;

“perjanjian pinjam mengganti ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
habis karena pemakaian,dengan syarat bahwapihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Apabila pihak bank dan pihak debitur telah sepakat mengenai unsur perjanjian
pinjam mengganti,maka tidak berarti perjanjian pinjam mengganti tersebut telah
lahir,tetapi yang terjadi adalah perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam
mengganti,perjanjian pinjam mengganti baru lahir apabila uang telah di serahkan
pihak bank kepada debitur sehingga dalam hal ini terdapat dua buah perjanjian
yang berdampingan yaitu;

1.Perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam mengganti yang merupakan


perjanjian timbal balik,dan perjanjian ini tunduk kepada bagian umum buku III
KUH Perdata.

2.Perjanjian pinjam mengganti yang merupakan perjanjian sepihak.dalam


perjanjian ini tunduk pada pasal 1754 sampai pasal 1759 KUH Perdata serta
bagian umum Buku III KUH Perdata, sepanjang tidak di simpangi oleh ketentuan
pasal 1754 sampai pasal 1759 maka perjanjian pinjam mengganti ini tidak akan
terjadi tanpa di dahului oleh adanya perjanjian yang pertama.

Selain aspek hukum tersebut,aspek hukum selanjutnya dalam pemberian kredit


adalah mengenai bunga bank yang merupakan salah satu unsur penting dalam
perjanjian kredit bank yaitu adanya kewajiban penerima kredit untuk membayar
bunga atas kredit yang di terimanya.

Didalam KUH perdata dikenal bermacam-macam bunga seperti:

1.Bunga moratoir yang di atur dalam pasal 1250 KUH perdata berbunyi:“Dalam
tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah
uang,penggantian biaya rugi dan bunga sekedar disebabkan karna terlambatnya
pelaksanaan. Hanya terdiri atas bunga yang di tentukan undang-undang dengan
tidak mengurangi peraturan undang-undang yang khusus’’.
2.Bunga yang di perjanjikanyang di atur dalam pasal 1766) KUH Perdata yang isi
nya “Bahwa di perbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau
barang lain yang habis karena pemakaian’’.

3.Bunga yang tidak diperjanjikan yang diatur dalam pasal 1766 KUH perdata
yang menyatakan “barang siapa telah menerima pinjaman dan membayar bunga
yang tidak telah di perjanjikan tidak dapat menuntut nya kembali maupun
mengurangi nya dari jumlah pokok,kecuali apabila bunga yang di bayar itu
melebihi bunga menurut undang-undang.dalam hal mana uang yang telah di bayar
selebihnya dapat di tuntut kembali atau di kurangkan dalam jumlah
pokok”.Dengan demikian bunga yang tidak diperjanjikan tidak wajib di
bayar,namun demikian apabila dibayar sebesar bunga moratoir,maka atas
pembayaran tersebut di anggap sebagai telah di perjanjikan.

4.Bunga majemuk yang di atur dalam pasal 1251 KUH perdata yang berbunyi
sebagai berikut: “Bunga dari uang pokok yang dapat di tagih dapat pula
menghasilkan bunga baik karna suatu permintaan di muka pengadilan maupun
karena suatu persetujuan khusus, asal saja permintaan atau persetujuan tersebut
mengenai bunga yang harus di bayar untuk satu tahun’’.

Terhadap bunga majemuk ketentuan besar kecilnya diserahkan kepada para pihak
yang di tetapkan dalam perjanjian,karena pembentuk undang-undang dalam hal
ini menyadari bahwa bunga majemuk itu memberatkan debitur,maka ditentukan
syarat-syarat yang limitatif yaitu jangka waktu satu tahun dan hanya dapat
dilakukan atas ijin pengadilan.

Disamping aspek bunga bank masih terdapat juga aspek tentang agunan
perbankan yang harus di penuhi sebagai suatu syarat bagi debitur (pemohon)
kredit bank, yang dinyatakan dalam pasal 1 butir (23) undang-undang No. 10
tahun 1998 :

“Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank
dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah”.

Sedangkan aspek-aspek hukum perdata yang mengatur mengenai jaminan adalah


masalah hipotik, gadai dan piutang yang diistimewakan seperti diatur dalam buku
ke-II, tentang kebendaan bab XIX, bab XX dan bab XXI KUH Perdata. Seperti
dijelaskan dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa:

“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya perseorangannya”.
Adanya jaminan kredit adalah merupakan aspek yang pentin dalam pemberian
kredit, karena berfungsi untuk mengamankan kredit yakni untuk meniadakan atau
setidak-tidaknya mengurangi risiko yang ditanggung oleh bank sebagai kreditur,
hal mana apabila kemudian hari pihak debitur melakukan wanprestasi, maka
untuk mengamankan kredit harus diadakan jaminan berupa kebendaan berupa
hipotik, kredit verban, gadai dan lainnya jaminan yang bersifat perorangan yaitu
penanggungan (borgtocht).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1.Untuk meningkatkan peranan bank dalam menjalankan fungsinya menyalurkan
kredit pada masyarakat (Fund Lending), perlu diterapkan konsep kehati-hatian
dalam memberikan kredit kepada debitur dengan meningkatkan profesionalisme
melalui analisis kredit secara cermat berdasarkan pertimbangan yang rasional.

2.Dalam prakteknya perjanjian kredit bank, klausa-klausa perjanjian hingga


sekarang masih ditetapkan oleh pihak kreditur, sedangkan pihak debitur hanya
menerima saja klausa yang telah ditetapkan tersebut, sehingga
bertentangandengan azas kebebasan berkontrak dalam perjanjian.

3.Aspek-aspek Hukum Perdata dalam penyaluran kredit bank meliputi unsur-


unsur perjanjian pada umumnya disamping perjanjian khusus yang diatur dalam
pasal 1754 KUH Pdt, aspek bunga bank serta aspek jaminan kredit perbankan.

4. Tanggung jawab yuridis bankir mencakup baik bidang pidana, perdata, maupun
administrasi. Melihat sedemikian luasnya cakupan tanggungjawab yuridis yang
diemban oleh seorang bankir, amanat yang diberikan oleh undang-undang kepada
para bankir adalah agar senantiasa melaksanakan tugas dengan penuh tanggung
jawab dan memegang prinsip kehati-hatian dan hal ini harus lebih mendapatkan
perhatian yang lebih serius lagi dimasa-masa yang akan datang. Tantangan untuk
memajukan kinerja bank di tengah-tengah persaingan di era globalisasi dewasa ini
dapat memicu bankir untuk melihat kedepan demi kemajuan bank yang
dipimpinnya. Namun, adanya godaan untuk merebut peluang bisnis yang harus
segera diambil agar tidak dimanfaatkan oleh pesaing dan agar tidak tergilas dalam
persaingan bebas, dapat menjadi salah satu batu pemicu bagi para bankir sehingga
lupa akan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan bank yang
dipimpinnya.Agar terhindar dari kewajiban untuk mempertanggung jawabkan
fasilitas kredit yang dalam perjalanan waktu dikemudian hari dapat saja menjadi
macet, bankir perlu menghindarkan diri dari pemberian kredit kepada usaha yang
mengandungresiko yang besar terutama resiko yang tidak dapat dikendalikan. Hal
ini disebabkan terhadap setiap pemberian kredit yang kemudian menjadi gagal
bayar dengan alasan apapun, baik secara faktor internal maupun karena faktor
eksternal, pada akhirnya dapat mengakibatkan bankir yang memberikan
persetujuan kredit harus mempertanggung jawabkannya secara yuridis di depan
institusi penegak hukum. Hal ini perlu dicermati dan direnungkan terutama oleh
para bankir yang bekerja di bank-bank BUMN.

B. SARAN

1 . Perlunya direalisasikannya Rancangan Undang-Undang Perkreditan


Perbankan demi tercapainya kepastian hukuM dalam industri perkreditan
di Indonesia.
2. Perlunya pengawasan terhadap bank-bank umum yang lebih ketat oleh
Bank Indonesia.

3. Perlunya pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


(BPSK) di Indonesia

4. Agar dalam dalam pelaksanaan penandatanganan perjanjian penyerahan


hak milik atas kepercayaan (Fiducia) barang, sebelum melakukan tanda
tangan agar calon debitur membaca dengan benar-benar dan memahami isi
dari perjanjian tersebut agar kedepannya bisa sama-sama tahu hak dan
kewajiban masing-masing pihak sehingga di dalam pinjaman dapat lancar
sesuai dengan apa yang kedua belah pihak harapkan

5. Sesuai dengan tujuan bangsa dalam memajukan kemakmuran


masyarakat maka diharap pihak bank menurunkan bunga pinjaman
sehingga masyarakat juga tidak terlalu berat di dalam melakukan
pengembalian pinjaman, dan untuk para debitur harus sesuai dengan itikad
baik dalam merawat barang yang dijaminakan harus benar-benar
merawatnya dengan baik dan mempergunakan barang tersebut untuk
tujuan yang telah ditentukan.

6. Agar lebih mencermikan sifat pinjam pakai Buku III Bab XII KUH
Perdata dan jiwa Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fiducia
dalam pelaksanaan perjanjian fiducia sebaiknya diterapkan asas
keseimbangan dalam pembebanan biaya perawatan dan pengasuransian
barang jaminan yang harus ditanggung debitur.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Peraturan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Atas Perubahan Undang-Undang
Nomor7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan


PrinsipMengenal Nasabah

Undang-Undang OJK

Buku :

Badruzaman,D.mariam,1984.Aneka Hukum Bisnis.Alumni , bandung

Harun,Hasniel.1995,Aspek-aspek Hukum Dalam pemberian kredit


perbankan.IND-HELL-CO, Jakarta

Kasmir,1999,Bank Dan lembaga keuangan lainnya.Raja Grafindo


persada,jakarta.

Muhammad, Abdul kadir,2000.hukum dan lembaga keuangan.

Subekti. R. 1984. Aneka Perjanjian. Alumni, Bandung.

Subekti. R, Tjitro Sudibyo. R. 1994, Kitab Undang-undang Hukum


Perdata,PT.Pradnya Paramita. Jakarta.

Website :

http://eprints.ums.ac.id/12919/10/Bab.2.3.4.pdf

http://repo.unsrat.ac.id/369/1/ANALISIS_HUKUM_PERBANKAN_TERHA
DAP_PERJANJIAN_KREDIT_DENGAN__JAMINAN_SK_PENGANGKA
TAN_PNS.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/64250/Chapter
%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y

https://media.neliti.com/media/publications/177559-ID-hukum-pokok-dan-
hukum-pendukung-dalam-bi.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2874/ruu-tentang-perkreditan-
perbankan/

Anda mungkin juga menyukai