Anda di halaman 1dari 27

MATA KULIAH KONSENTRASI HUKUM PERDATA

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN STANDAR

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:

Aisyah Syarafina (14/366519/HK/20010)

Muhammad Fahmi (14/366525/HK/20016)

Caecilia Terra Andreana (14/366528/HK/20019)

Dwi Tirtousada (14/366541/HK/20030)

Muhammad Revan Pratama Putra (14/366544/HK/20033)

Alan Sylvester C (14/366555/HK/20037)

Kartika Yustisia (14/366575/HK/20053)

Lalu Agung Mubarok (14/366594/HK/20071)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis menuntut manusia untuk bertindak cepat dan
tidak membuang-buang waktu. Hal ini terlihat juga dalam sistem pembuatan kontrak.
Banyak kontrak dibuat dalam bentuk perjanjian standar. Menurut Abdul Kadir
Muhammad, perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah asing yakni ‘standaard
contract’ sebagai tolak ukur, yakni pedoman atau patokan bagi konsumen dalam
mengadakan hubungan hukum dengan pihak pengusaha. Dalam hal ini, yang
dibakukan adalah model, rumusan dan ukuran. Artinya, tidak dapat diganti atau
diubah lagi, karena produsen telah membuat atau mencetaknya dalam bentuk blanko
tetap berupa naskah perjanjian lengkap dengan syarat-syarat perjanjian dan syarat-
syarat baku yang wajib dipenuhi konsumen 1. Perjanjian standar memiliki ciri yakni
perjanjian yang isinya ditentukan oleh salah satu pihak dan biasanya merupakan
pihak yang lebih tinggi bargaining power nya. Sebagai suatu perjanjian, harusnya
perjanjian standar mematuhi asas itikad baik sama seperti perjanjian pada umumnya,
akan tetapi kemungkinan adanya suatu itikad buruk dalam suatu perjanjian standar
sangat besar.
Asas-asas dalam membuat suatu perjanjian diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Asas yang pertama adalah asas Kebebasan
Berkontrak. Asas Kebebasan Berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata. Asas yang kedua adalah asas Konsesualisme. Asas ini diatur dalam Pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata. Asas yang ketiga adalah asas Pacta Sunt Servanda atau
asas Kepastian Hukum. Asas Pacta Sunt Servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata. Asas yang keempat adalah asas Kepribadian. Asas Kepribadian
diatur dalam Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Lalu asas yang terakhir yang tidak
kalah penting adalah asas Itikad Baik. Asas Itikad Baik diatur dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata.
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menegaskan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik, maksudnya adalah dalam suatu perjanjian, para

1
Abdulkadir Muhammad. 2006. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni. Hlm 78
pihak melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak. Sebagaimana kita ketahui, perjanjian
standar atau perjanjian baku adalah perjanjian yang sebelumnya telah dibuat baku
oleh kreditur dan selanjutnya tergantung debitur ingin setuju mengenai perjanjian
tersebut atau tidak, “take it or leave it”. Di dalam perjanjian standar terdapat klausula
baku, lebih lanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen atau biasanya disebut UUPK. Klausula Baku didefinisikan
sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Menurut Charles Fried, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan
yang dipakai untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang
mungkin dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam pembuatan maupun
pelaksanaan perjanjian2.
Asas Itikad Baik menurut J. Satrio dapat dimasukkan kepada dua pengertian,
yaitu itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif atau
subjectief goeder trow berkaitan dengan apa yang ada di dalam pikiran manusia,
yaitu berkaitan dengan sikap batinnya apakah yang bersangkutan sendiri menyadari
bahwa kehendaknya itu bertentangan dengan itikad baik. Itikad baik objektif atau
objectief goeder trow adalah kalau pendapat umum mengungkapkan tindakan begitu
bertentangan dengan itikad baik.3.
Berdasarkan hal-hal tersebut, menjadi sebuah pertanyaan bagaimana
penerapan asas itikad baik dalam suatu perjanjian standar mengingat perjanjian
standar dibuat oleh salah pihak yang mempunyai bargainin power yang lebih tinggi
dibandingkan pihak lain dalam pembuatan perjanjian.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan mengenai itikad baik dalam perjanjian standar
berdasarkan hukum positif Indonesia?
2. Bagaimana pelaksanaan itikad baik dalam perjanjian standar?

2
Ridwan Khairandy. 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pascasarjana UI. Hlm 74
3
Satrio. 2000. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti. Hlm 179
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Perjanjian


1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian ada di dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Abdul Kadir Muhamad, pengertian perjanjian dalam pasal
tersebut mengalami beberapa kelemahan, antara lain:4
a. Hanya menyangkut satu pihak, karena perumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. kata
“mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua
belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi
ada konsensus antara pihak-pihak.
b. Kata perbuatan termasuk didalamnya konsensus, karena tercantum kata
“perbuatan”, yang mana perbuatan ini dapat mencakup tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan
hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan
perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara debitur dan kreditur
dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh
Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebutkan tujuan
Dalam pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian,
sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dkk., pengertian perjanjian
dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak lengkap dan terlalu luas. Dikatakan

4
Muhammad. Op.Cit. Hlm 78
tidak lengkap karena yang dirumuskan hanya bersifat sepihak saja. Dikatakan
terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan
hukum keluargam seperti janji kawin. Janji kawin walaupun merupakan
perjanjian juga, namun sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam
KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III
kriterianya dapat dinilai secara materiil (dengan uang).5 Dikatakan terlalu
sempit, karena dikatakan “satu orang atauu lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”, yang mana kata “mengikatkan” berarti
perjanjian tersebut hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah
pihak, atau dengan kata lain hanya bersifat sepihak saja.
Menurut J. Satrio, perjanjian mempunyai arti luas dan arti sempit.
Dalam arti luas, perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat
hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak,
termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian perkawinan, dan lain-lain.
Dalam arti sempit, perjanjian ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum
dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud dalam Buku III
KUH Perdata.6
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal7. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad,
perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan.8
Dari berbagai pendapat di atas, Penulis menyimpulkan bahwa
pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas dan terlalu
sempit. Terlalu luas karena kata “perbuatan” dapat mencakup perbuatan
melawan hukum, sedangkan terlalu sempit karena kata “mengikatkan diri”
berarti bahwa perjanjian tersebut hanya datang dari satu pihak, dengan kata
lain hanya bersifat sepihak.

5
Mariam Darus Badrulzaman, dkk. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Jakarta: Citra Aditya Bakti. Hlm
65
6
Satrio. Op.Cit. Hlm 28
7
Subekti. 1987. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa. Hlm 1
8
Muhammad. Op.Cit. Hlm 78
Mengenai pengertian perjanjian, Penulis menyimpulkan bahwa
perjanjian adalah suatu kesepakatan antara dua orang atau lebih yang saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang mana termasuk dalam
lapangan harta kekayaan.

2. Syarat sahnya perjanjian


Syarat sahnya perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu
sebagai berikut:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Artinya, para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat
mengenai perjanjian yang diadakan tanpa ada penyalahgunaan
wewenang, paksaan, kekhilafan, dan penipuan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap hukum.
Ketentuan mengenai kecakapan ini dapat diartikan secara a contrario
terhadap Pasal 1330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat perjanjian yakni orang yang belum
dewasa dan mereka yang berada di bawah pengampuan. Dengan kata lain
dapat diartikan bahwa orang yang cakap hukum adalah orang yang sudah
dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan. Ukuran mengenai
kedewasaan adalah seseorang telah mencapai batas usia kedewasaan atau
sudah menikah.
Adapun ketentuan mengenai usia kedewasaan di Indonesia
sekarang mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris dan Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu seseorang yang
telah dewasa adalah seseorang yang berusia 18 tahun ke atas.
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
Hal ini berarti bahwa perjanjian yang diadakan harus mengenai
suatu objek yang sudah dapat ditentukan bentuk dan jenisnya.
d. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Isi dan tujuan dari perjanjian tersebut haruslah tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
3. Asas-asas Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, terdapat beberapa asas perjanjian yang dikenal, antara
lain:
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak
membuat suatu perjanjian, mengadakan perjanjian kepada siapa pun,
menentukan isi perjanjian, menentukan bentuk perjanjian, dan
menentukan pilihan hukum apabila terjadi sengketa.
b. Asas konsensualisme
KUH Perdata mengatur asas konsensualisme yang mana
tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata pada butir 1 yang menyatakan
“kesepakatan mereka yang mengikatkan diri”. Asas ini merupakan salah
satu syarat sahnya perjanjian, yang mengandung arti bahwa harus ada
kesepakatan dari para pihak dalam suatu perjanjian.
c. Asas pacta sunt servanda
Asas ini mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak. Asas pacta sunt servanda diatur
pula di dalam KUH Perdata yakni pada Pasal 1338 ayat (1) yang
menyatakan, “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang”.
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik diatur di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,
yang menyatakan bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Asas itikad baik mengandung arti bahwa kreitur maupun debitur
harus melaksanakan isi perjanjian dengan kemauan baik dari para pihak.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini mengandung arti bahwa seseorang yang
membuat kontrak, ia membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Asas ini juga diatur dalam KUH Perdata yaitu dalam
Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata
menyatakan bahwa “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Sedangkan Pasal
1340 KUH Perdata menyatakan bahwa “Perjanjian hanya berlaku antara
para pihak yang membuatnya”.
Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap asas
kepribadian ini. Pengecualian tersebut adalah ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yakni yang menyatakan bahwa “Dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Artinya, bahwa
seseorang dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga
dengan syarat yang ditentukan. Contoh dari perjanjian untuk kepentingan
pihak ketiga adalah orang tua mengadakan asuransi pendidikan untuk
kepentingan anaknya.

B. Tnjauan Umum Itikad Baik


Oleh karena Penulis dalam makalah ini mengambil tema asas itikad baik
dalam perjanjian standar, maka dalam tinjauan pustaka Penulis akan lebih membahas
mengenai itikad baik yang ada di dalam perjanjian. Telah Penulis uraikan dalam sub
bab sebelumnya, bahwa asas itikad baik tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik”. Artinya, baik kreditur maupun debitur harus melaksanakan isi perjanjian
dengan kepercayaan atau kemauan baik dari para pihak.
Adapun Sutan Remy (1993) mendefinisikan itikad baik dalam perjanjian
adalah niat baik dari pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian untuk tidak
merugikan pihak lainnya serta tidak merugikan kepentingan umum.
Dalam hukum perdata, asas itikad baik dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu
itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif memiliki
pengertian bahwa seseorang (yang menjadi subjek) harus jujur dalam melakukan
suatu perbuatan hukum. Artinya, sikap batin seseorang harus menunjukan niat baik
berupa kejujuran.
Sedangkan, itikad baik dalam arti objektif memiliki pengertian bahwa
pelaksanaan suatu perjanjian (yang menjadi objek) harus didasarkan pada norma-
norma kepatutan dan norma yang berlaku di masyarakat.9
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, Penulis menyimpulkan bahwa
pengertian asas itikad baik dalam suatu perjanjian standar adalah para pihak yang
membuat perjanjian standar melaksanakan perjanjian tersebut dengan suatu niat baik,
kemauan baik, kejujuran, dan sesuai dengan undang-undang, kesusilaan, serta
ketertiban umum sehingga tidak merugikan pihak yang lain dalam perjanjian dan
tidak merugikan kepentingan umum.

C. Tinjauan Umum Perjanjian Standar


Dalam sub bab ini penulis akan memaparkan gambaran secara umum
mengenai teori perjanjian baku atau perjanjian dengan syarat baku secara
komprehensif dan detail.

1. Pengertian Perjanjian Standar


Perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah yang dikenal dalam
bahasa Belanda yaitu “standard contract” atau “standard voorwaarden”. Di
luar negeri belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan
untuk perjanjian baku. Kepustakan Jerman mempergunakan istilah
“Allgemeine Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”,
“standaardkonditionen”. Dan Hukum Inggris menyebut dengan “standard
contract”.
Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif dari perjanjian baku
“Vera Bolger” menamakannya sebagai “take it or leave it contract”.
Maksudnya adalah jika debitur menyetujui salah satu syarat, maka debitur
mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali,
kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada.
Selanjutnya ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai definisi
dari perjanjian baku, antara lain:

a. Treitel dengan definisinya yaitu

9
“Definisi Menurut Para Ahli”, diakses dari http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-
itikad-baik/ pada tanggal 8 Mei 2017 pukul 18.19 WIB
”The Terms of many contracts are set out in printed standard forms which
are used for all contracts of the same kind, and are only varied so far as
the circumstances of each contracts require”10
b. Hondius dengan definisinya yaitu perjanjian baku sebagai sebuah konsep
perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya
dituangkan kedalam sejumlah bentuk formulir yang bermacam-macam
bentuknya.11
c. Mariam Darus Badrulzaman dengan definisinya yaitu perjanjian baku
adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan
dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.12
d. Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian
yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi
setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha,
yang distandardisasikan atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan,
dan ukuran.13
e. Asser Rutten dengan definisinya yaitu setiap orang yang menandatangani
perjanjian bertanggung jawab terhadap isinya. Tanda tangan pada formulir
perjanjian baku membangkitkan kepercayaan bahwa yang menandatangani
mengetahui dan menghendaki isi formulir perjanjian.14
f. Sluitjer berpendapat bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian, sebab
kedudukan pengusaha itu (yang berhadapan dengan konsumen) adalah
seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever).15
g. Pitlo dengan definisinya yang singkat yaitu perjanjian baku adalah
perjanjian paksa16
Dari definisi para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang memuat klausula-klausula yang

10
G.H.Treitel. 1995. The Law of Contract 9th Edition. London: Sweet&Maxwell. Hlm 196
11
Ibid. Hlm 47
12
Ibid. Hlm 47-48
13
Muhammad. Op.Cit. Hlm 2
14
Satrio. Op Cit. Hlm 125
15
Mariam Darus Badrulzaman. 1981. Perjanjian Baku (standard) perkembangannya di Indonesia,
dimuat dalam: Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan
Pidato-Pidato Pengukuhan). Bandung: Penerbit Alumni. Hlm 105
16
Satrio. Op.Cit. Hlm 124
sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir dengan jumlah yang
banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama bentuknya.

2. Ciri-ciri Perjanjian Standar


Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri
perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan
masyarakat, yang antara lain adalah sebagai berikut:17
a. Bentuk perjanjian tertulis
Bentuk perjanjian meliputi seluruh naskah perjanjian secara
keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat
baku. Kata-kata atau kalimat pernyataan dibuat dalam akta otentik atau
akta dibawah tangan.
b. Format perjanjian distandardisasikan
Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini
dibakukan sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara
lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah
perjanjian lengkap atau blangko formulir yang dilampiri dengan naskah
syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat
syarat-syarat baku.
c. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha
Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak
ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi
pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pihak
pengusaha, maka cenderung menguntungkan pihak penguasa.
d. Konsumen hanya menerima atau menolak
Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang
ditawarkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut.
Penandatanganan perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen
tersebut bersedia memikul beban dan tanggung jawab sebagaimana
disyaratkan dalam perjanjian tersebut. Jika konsumen tidak setuju dengan

17
Treitel. Op.Cit. Hlm 6-9
syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia tidak bisa melakukan
negosiasi syarat-syarat yang sudah dibakukan tersebut.
e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau badan peradilan
Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula baku mengenai
penyelesaian sengketa. Jika timbul sengketa dikemudian hari dalam
pelaksanaan perjanjian, maka penyelesainnya dilakukan melalui badan
arbitrase terlebih dahulu atau alternatif penyelesaian sengketa sebelum
diselesaikan di pengadilan.
f. Perjanjian standar selalu menguntungkan pengusaha
Perjanjian baku dirancang secara sepihak oleh pihak pengusaha,
sehingga perjanjian yang dibuat secara demikian akan selalu
menguntungkan pengusaha, terutama dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Efisiensi biaya, waktu, dan tenaga;
2) Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau
blanko yang siap diisi dan ditanda tangani;
3) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui;
4) Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak;
5) Pembebanan tanggung jawab.
Sedangkan Mariam D.Badrulzaman menjelaskan bahwa ciri-ciri
perjanjian baku adalah sebagai berikut:18
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih
kuat dari debitur;
b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;
c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian
tersebut;
d. Dipersiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual.
Demikian ciri-ciri yang dapat penulis paparkan dimana terlihat dari
ciri-ciri tersebut banyak memperlihatkan sedikit aspek sepihak dan pihak
yang berat sebelah

3. Fungsi Perjanjian

18
Badrulzaman. Op Cit. Hlm 50
Perjanjian baku memegang peranan penting dalam dunia usaha
dan perdagangan modern. Perjanjian ini biasanya dibentuk pengusaha untuk
mengadakan berbagai jenis transaksi khusus. Isinya ditetapkan agar dapat
digunakan lagi dalam perjanjian mengenai produk atau jasa serupa dengan
pihak-pihak lain, tanpa harus melakukan perundingan berkepanjangan
mengenai syarat-syarat yang senantiasa muncul. Maksudnya adalah untuk
menghemat waktu, tenaga dan biaya-biaya transaksi, juga agar dapat
memusatkan perhatian pada hal-hal khusus yang lebih penting.
Disamping itu, penetapan syarat baku dapat memberi beberapa
keuntungan lain bagi pengusaha19. Perjanjian baku dapat melancarkan
hubungan pengusaha dengan sejumlah langganan dan pemasok bahan baku
karena mereka tidak perlu berunding dulu setiap hendak melakukan transaksi.

4. Pengaturan Perjanjian Standar di Indonesia


Pengaturan mengenai perjanjian baku terdapat didalam beberapa
ketentuan perundang-undangan di Indonesia. KUH Perdata sebagai salah satu
sumber hukum perjanjian di Indonesia turut serta dalam pengaturan
perjanjian ini namun pengaturannya bersifat umum seperti syarat sahnya
perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dimana dalam hal ini perjanjian baku
sebagai salah satu macam dari perjanjian harus memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian dan asas kebebasan berkontrak yang menjadi salah satu
asas dalam hukum perjanjian yang juga harus diperhatikan dalam penggunaan
perjanjian baku sehari-hari. Dikarenakan masih umum maka pemerintah
membuat UUPK sebagai salah satu komponen hukum yang secara lebih
khusus mengatur penggunaan perjanjian baku.
Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku dalam perjanjian
terdapat dalam UUPK, dimana pada Pasal 1 angka 10, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

19
David Yates. 1986. Standard Business Contracts: Exclusions and Related Devices. London:
Sweet&Maxwell. Hlm 3
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pengaturan
mengenai pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang
sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara
dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (Penjelasan
Pasal 18 ayat (1) UUPK)
Sehingga, dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka
pencantuman klausula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUPK
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang untuk membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap bara yang dibeli konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti;
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan undang-undang ini
Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal
hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan
klausula baku didalamnya, wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUPK
tersebut. Konsekuensi pada pelanggaran Pasal 18 UUPK adalah batal demi
hukum pada perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula sevarability
of provisions maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang
bertentangan dengan Pasal 18 saja.
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pengaturan Mengenai Itikad Baik dalam Perjanjian Standar Berdasarkan


Hukum Positif di Indonesia
A. Pengaturan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Standar Berdasarkan
KUHPerdata
Asas itikad baik berasal dari hukum Romawi. Di dalam hukum
Romawi asas ini disebut Bonafides. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mempergunakan istilah itikad baik dalam 2 (dua) pengertian. Pertama, itikad
baik dalam pengertian arti subyektif. Itikad baik dalam arti subyektif disebut
kejujuran. Hal itu terdapat dalam pasal 530 KUH Perdata dan seterusnya
yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit) yang mengatakan
bahwa terdapat itikad baik dan itikad buruk. Itikad baik dalam arti subyektif
ini merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa. Wirjono Prodjodikoro
memahami itikad baik dalam arti subjektif ini sebagai itikad baik yang ada
pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu
mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam hati
sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai
berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian
ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang
beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua.
Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai
akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.20
Pengertian kedua yaitu itikad baik dalam arti objektif. Dalam bahasa
Indonesia disebut kepatutan. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3) pasal 1338
KUH Perdata yang berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik”. Objektif di sini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para
pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik dan tidak
semata-mata berdasarkan pada anggapan para pihak sendiri. Kejujuran (itikad

20
Wiryono Prodjodikoro. 2006. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur. Hlm 56
baik) tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada
tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji,
jadi kejujuran disini bersifat dinamis.21
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, suatu kontrak haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut
mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat
sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320
KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan”
dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak. Sebab unsur “itikad
baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur
“klausa yang legal” dari Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian dapat
saja suatu kontrak dibuat secara sah, dalam arti memenuhi semua syarat
sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Jika
suatu kontrak dibuat dengan itikad baik, akan tetapi justru dalam
pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan pihak ketiga,
maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah
dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
Subekti menjelaskan bahwa itikad baik pada pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata merupakan satu dari beberapa sendi yang terpenting dari hukum
kontrak yang memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi
pelaksanaan suatu perjanjian/kontrak agar tidak melanggar kepatutan dan
keadilan. Ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari kontrak
jika pelaksanaan kontrak yang melanggar perasaan keadilan satu diantara dua
pihak. Asas itikad baik menuntut adanya kepatutan dan keadilan, dalam arti
tuntutan adanya kepastian hukum yang berupa pelaksanaan kontrak tidak
boleh melanggar norma-norma kepatutan dan nilai-nilai keadilan. 22
Itikad baik dalam arti kepatutan itu dipergunakan pula di dalam Pasal
1339 KUH Perdata yang menyebutkan: “Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.
21
Ibid. Hlm 61-62
22
Muhammad Syaifuddin. 2012. Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju. Hlm 94
Itikad baik yang berarti kejujuran juga diatur dalam Pasal 1386 KUH
Perdata, bahwa: “Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan pada
seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Arti itikad baik
disini adalah bahwa si pembayar utang tidak mengetahui bahwa pihak yang
menerima pembayaran itu bukan krediturnya, keadaan jiwa yang demikian
itulah yang dilindungi oleh undang-undang sehingga meskipun pembayaran
itu diterima oleh orang yang bukan krediturnya tetapi pembayaran itu
dianggap sah.23
Pasal 1965 KUH Perdata mengatur bahwa itikad baik selamanya
harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad
buruk diwajibkan membuktikannya. Sedangkan dalam Pasal 1966 KUH
Perdata, dikatakan cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh,
itikad baik itu ada. Kemudian, secara eksplisit melindungi seorang pembeli
benda bergerak beritikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata yang
mengatur bahwa terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun
piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang
menguasainya (dengan itikad baik) dianggap sebagai pemiliknya.

B. Pengaturan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Standar berdasarkan


Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Dewasa ini kebutuhan hidup manusia makin berkembang, setiap
orang menuntut untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cepat dan
serba mudah. Kemudian muncul suatu terobosan untuk mempermudah
kebutuhan, salah satunya ialah perjanjian standar. Perjanjian standar
merupakan perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh
produsen/penyalurproduk (penjual) dan mengandung ketentuan yang berlaku
umum (massal), sehingga pihak lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan
yakni menyetujui atau menolaknya.
Dari hal tersebut terkadang terdapat kesewenang-wenangan pada
orang yang posisi ekonominya lebih tinggi terhadap yang posisi ekonominya
lebih rendah, sehingga dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian standar
23
P.L. Wery. 1990. Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Nederland. Jakarta: Percetakan
Negara RI. Hlm 10
sangat diperlukan adanya asas itikad baik di dalamnya, baik yang dilakukan
pelaku usaha maupun konsumen, sehingga keduanya dapat menimbulkan
suatu keharmonisan dan tidak ada yang merasa dirugikan ataupun timpang
sebelah dalam pelaksanaannya.
Dalam pelaksanaan perjanjian standar dibutuhkan pula itikad baik
dalam pembuatan atau penyusunan serta dalam pelaksanaannya. Itikad baik
ini tidak hanya wajib dilakukan oleh pelaku usaha tetapi harus pula dilakukan
oleh konsumen.
Pemerintah Indonesia telah mengupayakan untuk memberikan jalan
tengah yang dapat melindungi pihak pihak dengan posisi tawar dan posisi
ekonomi yang lebih rendah dengan mengesahkan UUPK. Didalam UUPK
diatur mengenai hak dan kewajiban baik dari pihak konsumen maupun dari
pihak pelaku usaha, serta terkait perjanjian standar. Dalam pelaksanaan
perjanjian standar dibutuhkan pula itikad baik dalam pembuatan atau
penyusunan serta dalam pelaksanaannya. Itikad baik ini tidak hanya wajib
dilakukan oleh pelaku usaha tetapi harus pula dilakukan oleh konsumen.
Konsumen selaku pemakai barang memiliki kewajiban sebagaimana
yang tertuang dalam Pasal 5 huruf b UUPK, yang mana Konsumen
berkewajiban beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa. Berseberangan dari itu pelaku usaha mendapatkan
perlindungan yang tertuang dalam hak pelaku usaha yang mana dalam Pasal 6
UUPK disebutkan pelaku usaha memiliki hak untuk mendapat perlindungan
hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
Pelaku usaha dalam kewajibannya yang tertuang dalam Pasal 7 UUPK
diwajibkan untuk bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Dari
pasal ini dapat kita ketahui bahwa itikad baik yang dimaksud disini ialah:
1) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
2) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
3) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
4) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
5) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Kewajiban mengenai itikad baik oleh pelaku usaha ini juga selaras
dengan hak yang dimiliki oleh konsumen, yang mana dalam Pasal 4 huruf a
UUPK dinyatakan dengan tegas bahwa konsumen berhak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Dari kewajiban pelaku usaha inilah kita dapat mengetahui yang
dimaksud dengan perbuatan itikad baik yang dimaksud sesuai dengan UUPK.
Setiap pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya harus
berdasarkan dan berlandaskan pada hal hal tersebut diatas.
Perjanjian standar yang dibuat oleh setiap pelaku usaha diwajibkan
memegang teguh asas itikad baik bagaimana yang diatur dalam hukum yang
berlaku di Indonesia, sehingga baik dalam penyusunan maupun
pelaksanaannya diwajibkan baik konsumen maupun pelaku usaha memegang
teguh asas itikad baik. Pembuatan dan pelaksanaan perjanjian standar pelaku
usaha tidak boleh dengan tujuan dan keinginan serta niat yang tidak baik.
Dalam hal terdapatnya klausula eksonerasi atau yang mana merupakan
klausula atau syarat yang berisi ketentuan untuk membebaskan atau
membatasi tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perjanjian,
diwajibkan berdasarkan dan berlandaskan asas itikad baik. Hal ini semata-
mata untuk membatasi dan mengurangi seandainya ada kerugian pada pihak
yang lemah, sehingga menjadikan perjanjian tersebut memojokkan pihak
dengan kondisi ekonomi yang lebih lemah.

2. Pelaksanaan Itikad Baik dalam Perjanjian Standar


Berdasarkan Pasal 1320 butir 1 KUH Perdata, Hukum perjanjian dalam KUH
Perdata menganut asas konsensualisme. Konsensualisme berasal dari kata konsensus
yang berarti sepakat. Kesepakatan dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan
atau kebiasaan yang terjadi dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu24
Lahirnya suatu perjanjian terjadi apabila ada kata sepakat dan pernyataan
sebelah menyebelah, pernyataan sepakat dalam hal ini adalah mengenai hal-hal yang
pokok baik berbentuk lisan ataupun tulisan sedangkan pernyataan sebelah
menyebelah terjadi apabila satu pihak yang menawarkan menyatakan tentang
perjanjian dan pihak lawan setuju tentang apa yang dinyatakan sebelumnya25
Mengenai pelaksanaan asas itikad baik dalam perjanjian standar Hukum
perjanjian di Indonesia mempergunakan sistem terbuka artinya adanya kebebasan
yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi
apa saja asalkan tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan26.
Perkembangan dan kemajuan perekonomian di Indonesia saat ini
menimbulkan banyak transaksi-transaksi jenis baru mulai diterapkan. dalam
perkembangannya praktek perjanjian mulai dilaksanakan dalam suatu bentuk kontrak
yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir27 inilah yang
dikenal dengan istilah perjanjian baku atau perjanjian standar.
Penggunaan kontrak baku menunjukkan satu sisi dominasi ekonomi modern
oleh badan usaha atau perusahaan mereka menciptakan bentuk kontrak sebagai
bagian untuk menstabilkan hubungan pasar eksternal mereka 28
, dengan alasan
keseragaman dan efisiensi perusahaan telah merumuskan seluruh atau sebagian besar
klausul perjanjian secara sepihak sehingga konsumen dirasa tidak memiliki
kesempatan untuk menegosiasikan isi perjanjian.
24
Subekti. 1995. Aneka Perjanjian Cetakan ke 10. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hlm 3
25
Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Penerbit Alumni. Hlm 17
26
Subekti. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa. Hlm 13
27
Sri Gambir Melati Hatta. 2000. Beli sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat
dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia. Bandung: Hlm 146
28
Ridwan Khairandy. 2007. Keabsahan Perjanjian Standar Pasca Berlakunya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Jurnal Hukum No. 4 Vol. 17
Dalam praktek bisnis, perjanjian baku memudahkan pelaksanaan bisnis dan
mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku bisnis,
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Dengan memenuhi persyaratan ini, masyarakat dapat membuat perjanjian apa
saja.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari pihak
yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah
kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam
melaksanakan apa yang akan diperjanjikan29 asas itikad baik mengandung
pengertian, bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat
diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya30 Sutan Remy
Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut: “Itikad baik
adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra
janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum”.31
Asas itikad baik ini terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan
itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaian terletak pada
akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.32
Unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu perjanjian sudah dapat dicakup
oleh unsur “klausa yang legal” dari pasal 1320 tersebut. Dengan demikian suatu
perjanjian dapat dibuat secara sah. Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat dengan
itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang
merugikan salah satu pihak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut
telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.

29
Ridwan Khairandy. Loc.Cit
30
Sutan Remy Sjahdeni. 1993. Kebebasan Berkontrak Dan PerlindunganYang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. Hlm 49
31
Ibid. Hlm 112
32
Salim. 2004. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 11
Prinsip itikad baik ini bisa diketahui saat proses pembuatan perjanjian yakni
pada tahap perundingan antara pihak pertama dan pihak kedua, akan tetapi dalam
perjanjian baku tidak ada tahap perundingan sebab perjanjian telah disediakan oleh
salah satu pihak. Pada perjanjian baku, itikad baik pra-kontraktual diketahui dari
alasan konsumen untuk menandatangani perjanjian, dan pada pengusaha dapat
diketahui dari pasal-pasal dalam perjanjian yang ditawarkan kepada konsumen.
Prinsip itikad baik ini tidak hanya ditunjukkan oleh pihak pengusaha saja, tetapi juga
harus dilaksanakan oleh pihak konsumen, akan tetapi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku asas itikad baik ini lebih ditekankan harus
dijalankan oleh pengusaha karena pada dasarnya pengusaha memiliki kedudukan
ekonomi lebih tinggi yang dapat mengakibatkan ketidakadilan kepada pihak
konsumen. Penerapan prinsip itikad baik ini diperlukan pada semua tahapan, baik
sebelum, selama atau setelah proses perjanjian. Hal ini bertujuan agar pelaksaan atau
pemenuhan obyek perjanjian dapat berjalan lancar, dari pra-perjanjian sampai pasca-
perjanjian.
Pengaturan itikad baik ini sebenarnya tidak ada aturan baku yang membahas
secara rinci, baik pendefinisiannya, batasan-batasan maupun metode penerapannya.
Jadi prinsip itikad baik ini tergantung dari kebiasaan (culture) masing-masing
lingkungan atau lembaga (corporate culture). Kebiasaan-kebiasaan baik yang
dilakukan secara terus-menerus dari waktu kewaktu mempunyai kekuatan normatif,
sehingga kebiasaan tersebut dapat menjadi acuan berkaitan dengan itikad baik ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Itikad baik dalam perjanjian standar berdasarkan hukum positif di
Indonesia diatur dalam KUH Perdata Buku III khususnya Pasal 1338.
Itikad baik dibagi menjadi 2, yaitu: itikad baik subjektif dan objektif.
Itikad baik subjektif dalam bahasa Indonesia disebut kejujuran. Itikad
baik subjektif merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa. Itikad baik
subjektif dapat dilihat pada waktu dirumuskannya perjanjian atau pra-
kontraktual. Itikad baik objektif dalam bahasa Indonesia disebut
kepatutan. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3) pasal 1338 KUH Perdata
bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik
dalam UUPK diatur dalam Pasal 7, dimana pelaku usaha diwajibkan
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik yang
dimaksud Pasal a quo misalnya seperti memberikan informasi yang benar
2. Prinsip itikad baik ini bisa diketahui saat proses pembuatan perjanjian
yakni pada tahap perundingan antara pihak pertama dan pihak kedua,
akan tetapi dalam perjanjian baku tidak ada tahap perundingan sebab
perjanjian telah disediakan oleh salah satu pihak. Pada perjanjian baku,
itikad baik pra-kontraktual diketahui dari alasan konsumen untuk
menandatangani perjanjian, dan pada pengusaha dapat diketahui dari
pasal-pasal dalam perjanjian yang ditawarkan kepada konsumen. Prinsip
itikad baik ini tidak hanya ditunjukkan oleh pihak pengusaha saja, tetapi
juga harus dilaksanakan oleh pihak konsumen, akan tetapi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku asas itikad baik ini lebih
ditekankan harus dijalankan oleh pengusaha karena pada dasarnya
pengusaha memiliki kedudukan ekonomi lebih tinggi yang dapat
mengakibatkan ketidakadilan kepada pihak konsumen. Penerapan prinsip
itikad baik ini diperlukan pada semua tahapan, baik sebelum, selama atau
setelah proses perjanjian. Hal ini bertujuan agar pelaksaan atau
pemenuhan obyek perjanjian dapat berjalan lancar, dari pra-perjanjian
sampai pasca-perjanjian.
B. Saran
1. Bagi konsumen sebaiknya lebih teliti dalam menandatangani dan
menyetujui perjanjian baku, tiap-tiap pasal harus dipahami dengan baik
agar asas itikad baik dapat berjalan sebagaimana mestinya dan tidak
merugikan konsumen.
2. Bagi pengusaha sebaiknya lebih teliti mengenal calon konsumen yang
akan menandatangani perjanjian baku. Pengusaha harus secara detail
menanyakan rasio konsumen ingin melakukan perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badrulzaman, Mariam Darus. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung

_______________________. 1981. Perjanjian Baku (standard) perkembangannya di


Indonesia, dimuat dalam: Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum
dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan). Bandung:
Penerbit Alumni

_______________________. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Jakarta: Citra


Aditya Bakti

Hatta, Sri Gambir Melati. 2000. Beli sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama:
Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia. Bandung:
Alumni.

Khairandy, Ridwan. 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta:


Pascasarjana UI

Muhammad, Abdulkadir. 2006. Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Alumni

Prodjodikoro, Wiryono. 2006. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur

Salim. 2004. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika

Satrio. 2000. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti

Sjehdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang


bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. Jakarta: Institut
Bankir Indonesia

Subekti. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa

______. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Syaifuddin, Muhammad. 2012. Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju

Treitel, G.H. 1995. The Law of Contract 9th Edition. London: Sweet&Maxwell

Wery, P.L. 1990. Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Nederland. Jakarta:
Percetakan Negara RI
Yates, David. 1986. Standard Business Contracts: Exclusions and Related Devices.
London: Sweet&Maxwell

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. 2008. Diterjemahkan


oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8


Tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Sekretaris
Negara: Jakarta

Jurnal

Khairandy, Ridwan. 2007. Keabsahan Perjanjian Standar Pasca Berlakunya


Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Jurnal Hukum No. 4
Vol. 17

Lain-lain

“Definisi Menurut Para Ahli”. http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-


itikad-baik/

Anda mungkin juga menyukai