FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis menuntut manusia untuk bertindak cepat dan
tidak membuang-buang waktu. Hal ini terlihat juga dalam sistem pembuatan kontrak.
Banyak kontrak dibuat dalam bentuk perjanjian standar. Menurut Abdul Kadir
Muhammad, perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah asing yakni ‘standaard
contract’ sebagai tolak ukur, yakni pedoman atau patokan bagi konsumen dalam
mengadakan hubungan hukum dengan pihak pengusaha. Dalam hal ini, yang
dibakukan adalah model, rumusan dan ukuran. Artinya, tidak dapat diganti atau
diubah lagi, karena produsen telah membuat atau mencetaknya dalam bentuk blanko
tetap berupa naskah perjanjian lengkap dengan syarat-syarat perjanjian dan syarat-
syarat baku yang wajib dipenuhi konsumen 1. Perjanjian standar memiliki ciri yakni
perjanjian yang isinya ditentukan oleh salah satu pihak dan biasanya merupakan
pihak yang lebih tinggi bargaining power nya. Sebagai suatu perjanjian, harusnya
perjanjian standar mematuhi asas itikad baik sama seperti perjanjian pada umumnya,
akan tetapi kemungkinan adanya suatu itikad buruk dalam suatu perjanjian standar
sangat besar.
Asas-asas dalam membuat suatu perjanjian diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Asas yang pertama adalah asas Kebebasan
Berkontrak. Asas Kebebasan Berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata. Asas yang kedua adalah asas Konsesualisme. Asas ini diatur dalam Pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata. Asas yang ketiga adalah asas Pacta Sunt Servanda atau
asas Kepastian Hukum. Asas Pacta Sunt Servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata. Asas yang keempat adalah asas Kepribadian. Asas Kepribadian
diatur dalam Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Lalu asas yang terakhir yang tidak
kalah penting adalah asas Itikad Baik. Asas Itikad Baik diatur dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata.
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menegaskan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik, maksudnya adalah dalam suatu perjanjian, para
1
Abdulkadir Muhammad. 2006. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni. Hlm 78
pihak melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak. Sebagaimana kita ketahui, perjanjian
standar atau perjanjian baku adalah perjanjian yang sebelumnya telah dibuat baku
oleh kreditur dan selanjutnya tergantung debitur ingin setuju mengenai perjanjian
tersebut atau tidak, “take it or leave it”. Di dalam perjanjian standar terdapat klausula
baku, lebih lanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen atau biasanya disebut UUPK. Klausula Baku didefinisikan
sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Menurut Charles Fried, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan
yang dipakai untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang
mungkin dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam pembuatan maupun
pelaksanaan perjanjian2.
Asas Itikad Baik menurut J. Satrio dapat dimasukkan kepada dua pengertian,
yaitu itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif atau
subjectief goeder trow berkaitan dengan apa yang ada di dalam pikiran manusia,
yaitu berkaitan dengan sikap batinnya apakah yang bersangkutan sendiri menyadari
bahwa kehendaknya itu bertentangan dengan itikad baik. Itikad baik objektif atau
objectief goeder trow adalah kalau pendapat umum mengungkapkan tindakan begitu
bertentangan dengan itikad baik.3.
Berdasarkan hal-hal tersebut, menjadi sebuah pertanyaan bagaimana
penerapan asas itikad baik dalam suatu perjanjian standar mengingat perjanjian
standar dibuat oleh salah pihak yang mempunyai bargainin power yang lebih tinggi
dibandingkan pihak lain dalam pembuatan perjanjian.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan mengenai itikad baik dalam perjanjian standar
berdasarkan hukum positif Indonesia?
2. Bagaimana pelaksanaan itikad baik dalam perjanjian standar?
2
Ridwan Khairandy. 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pascasarjana UI. Hlm 74
3
Satrio. 2000. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti. Hlm 179
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Muhammad. Op.Cit. Hlm 78
tidak lengkap karena yang dirumuskan hanya bersifat sepihak saja. Dikatakan
terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan
hukum keluargam seperti janji kawin. Janji kawin walaupun merupakan
perjanjian juga, namun sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam
KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III
kriterianya dapat dinilai secara materiil (dengan uang).5 Dikatakan terlalu
sempit, karena dikatakan “satu orang atauu lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”, yang mana kata “mengikatkan” berarti
perjanjian tersebut hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah
pihak, atau dengan kata lain hanya bersifat sepihak saja.
Menurut J. Satrio, perjanjian mempunyai arti luas dan arti sempit.
Dalam arti luas, perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat
hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak,
termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian perkawinan, dan lain-lain.
Dalam arti sempit, perjanjian ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum
dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud dalam Buku III
KUH Perdata.6
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal7. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad,
perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan.8
Dari berbagai pendapat di atas, Penulis menyimpulkan bahwa
pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas dan terlalu
sempit. Terlalu luas karena kata “perbuatan” dapat mencakup perbuatan
melawan hukum, sedangkan terlalu sempit karena kata “mengikatkan diri”
berarti bahwa perjanjian tersebut hanya datang dari satu pihak, dengan kata
lain hanya bersifat sepihak.
5
Mariam Darus Badrulzaman, dkk. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Jakarta: Citra Aditya Bakti. Hlm
65
6
Satrio. Op.Cit. Hlm 28
7
Subekti. 1987. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa. Hlm 1
8
Muhammad. Op.Cit. Hlm 78
Mengenai pengertian perjanjian, Penulis menyimpulkan bahwa
perjanjian adalah suatu kesepakatan antara dua orang atau lebih yang saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang mana termasuk dalam
lapangan harta kekayaan.
9
“Definisi Menurut Para Ahli”, diakses dari http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-
itikad-baik/ pada tanggal 8 Mei 2017 pukul 18.19 WIB
”The Terms of many contracts are set out in printed standard forms which
are used for all contracts of the same kind, and are only varied so far as
the circumstances of each contracts require”10
b. Hondius dengan definisinya yaitu perjanjian baku sebagai sebuah konsep
perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya
dituangkan kedalam sejumlah bentuk formulir yang bermacam-macam
bentuknya.11
c. Mariam Darus Badrulzaman dengan definisinya yaitu perjanjian baku
adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan
dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.12
d. Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian
yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi
setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha,
yang distandardisasikan atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan,
dan ukuran.13
e. Asser Rutten dengan definisinya yaitu setiap orang yang menandatangani
perjanjian bertanggung jawab terhadap isinya. Tanda tangan pada formulir
perjanjian baku membangkitkan kepercayaan bahwa yang menandatangani
mengetahui dan menghendaki isi formulir perjanjian.14
f. Sluitjer berpendapat bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian, sebab
kedudukan pengusaha itu (yang berhadapan dengan konsumen) adalah
seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever).15
g. Pitlo dengan definisinya yang singkat yaitu perjanjian baku adalah
perjanjian paksa16
Dari definisi para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang memuat klausula-klausula yang
10
G.H.Treitel. 1995. The Law of Contract 9th Edition. London: Sweet&Maxwell. Hlm 196
11
Ibid. Hlm 47
12
Ibid. Hlm 47-48
13
Muhammad. Op.Cit. Hlm 2
14
Satrio. Op Cit. Hlm 125
15
Mariam Darus Badrulzaman. 1981. Perjanjian Baku (standard) perkembangannya di Indonesia,
dimuat dalam: Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan
Pidato-Pidato Pengukuhan). Bandung: Penerbit Alumni. Hlm 105
16
Satrio. Op.Cit. Hlm 124
sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir dengan jumlah yang
banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama bentuknya.
17
Treitel. Op.Cit. Hlm 6-9
syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia tidak bisa melakukan
negosiasi syarat-syarat yang sudah dibakukan tersebut.
e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau badan peradilan
Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula baku mengenai
penyelesaian sengketa. Jika timbul sengketa dikemudian hari dalam
pelaksanaan perjanjian, maka penyelesainnya dilakukan melalui badan
arbitrase terlebih dahulu atau alternatif penyelesaian sengketa sebelum
diselesaikan di pengadilan.
f. Perjanjian standar selalu menguntungkan pengusaha
Perjanjian baku dirancang secara sepihak oleh pihak pengusaha,
sehingga perjanjian yang dibuat secara demikian akan selalu
menguntungkan pengusaha, terutama dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Efisiensi biaya, waktu, dan tenaga;
2) Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau
blanko yang siap diisi dan ditanda tangani;
3) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui;
4) Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak;
5) Pembebanan tanggung jawab.
Sedangkan Mariam D.Badrulzaman menjelaskan bahwa ciri-ciri
perjanjian baku adalah sebagai berikut:18
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih
kuat dari debitur;
b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;
c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian
tersebut;
d. Dipersiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual.
Demikian ciri-ciri yang dapat penulis paparkan dimana terlihat dari
ciri-ciri tersebut banyak memperlihatkan sedikit aspek sepihak dan pihak
yang berat sebelah
3. Fungsi Perjanjian
18
Badrulzaman. Op Cit. Hlm 50
Perjanjian baku memegang peranan penting dalam dunia usaha
dan perdagangan modern. Perjanjian ini biasanya dibentuk pengusaha untuk
mengadakan berbagai jenis transaksi khusus. Isinya ditetapkan agar dapat
digunakan lagi dalam perjanjian mengenai produk atau jasa serupa dengan
pihak-pihak lain, tanpa harus melakukan perundingan berkepanjangan
mengenai syarat-syarat yang senantiasa muncul. Maksudnya adalah untuk
menghemat waktu, tenaga dan biaya-biaya transaksi, juga agar dapat
memusatkan perhatian pada hal-hal khusus yang lebih penting.
Disamping itu, penetapan syarat baku dapat memberi beberapa
keuntungan lain bagi pengusaha19. Perjanjian baku dapat melancarkan
hubungan pengusaha dengan sejumlah langganan dan pemasok bahan baku
karena mereka tidak perlu berunding dulu setiap hendak melakukan transaksi.
19
David Yates. 1986. Standard Business Contracts: Exclusions and Related Devices. London:
Sweet&Maxwell. Hlm 3
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pengaturan
mengenai pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang
sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara
dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (Penjelasan
Pasal 18 ayat (1) UUPK)
Sehingga, dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka
pencantuman klausula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUPK
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang untuk membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap bara yang dibeli konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti;
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan undang-undang ini
Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal
hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan
klausula baku didalamnya, wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUPK
tersebut. Konsekuensi pada pelanggaran Pasal 18 UUPK adalah batal demi
hukum pada perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula sevarability
of provisions maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang
bertentangan dengan Pasal 18 saja.
BAB III
PEMBAHASAN
20
Wiryono Prodjodikoro. 2006. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur. Hlm 56
baik) tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada
tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji,
jadi kejujuran disini bersifat dinamis.21
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, suatu kontrak haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut
mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat
sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320
KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan”
dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak. Sebab unsur “itikad
baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur
“klausa yang legal” dari Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian dapat
saja suatu kontrak dibuat secara sah, dalam arti memenuhi semua syarat
sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Jika
suatu kontrak dibuat dengan itikad baik, akan tetapi justru dalam
pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan pihak ketiga,
maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah
dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
Subekti menjelaskan bahwa itikad baik pada pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata merupakan satu dari beberapa sendi yang terpenting dari hukum
kontrak yang memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi
pelaksanaan suatu perjanjian/kontrak agar tidak melanggar kepatutan dan
keadilan. Ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari kontrak
jika pelaksanaan kontrak yang melanggar perasaan keadilan satu diantara dua
pihak. Asas itikad baik menuntut adanya kepatutan dan keadilan, dalam arti
tuntutan adanya kepastian hukum yang berupa pelaksanaan kontrak tidak
boleh melanggar norma-norma kepatutan dan nilai-nilai keadilan. 22
Itikad baik dalam arti kepatutan itu dipergunakan pula di dalam Pasal
1339 KUH Perdata yang menyebutkan: “Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.
21
Ibid. Hlm 61-62
22
Muhammad Syaifuddin. 2012. Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju. Hlm 94
Itikad baik yang berarti kejujuran juga diatur dalam Pasal 1386 KUH
Perdata, bahwa: “Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan pada
seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Arti itikad baik
disini adalah bahwa si pembayar utang tidak mengetahui bahwa pihak yang
menerima pembayaran itu bukan krediturnya, keadaan jiwa yang demikian
itulah yang dilindungi oleh undang-undang sehingga meskipun pembayaran
itu diterima oleh orang yang bukan krediturnya tetapi pembayaran itu
dianggap sah.23
Pasal 1965 KUH Perdata mengatur bahwa itikad baik selamanya
harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad
buruk diwajibkan membuktikannya. Sedangkan dalam Pasal 1966 KUH
Perdata, dikatakan cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh,
itikad baik itu ada. Kemudian, secara eksplisit melindungi seorang pembeli
benda bergerak beritikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata yang
mengatur bahwa terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun
piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang
menguasainya (dengan itikad baik) dianggap sebagai pemiliknya.
29
Ridwan Khairandy. Loc.Cit
30
Sutan Remy Sjahdeni. 1993. Kebebasan Berkontrak Dan PerlindunganYang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. Hlm 49
31
Ibid. Hlm 112
32
Salim. 2004. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 11
Prinsip itikad baik ini bisa diketahui saat proses pembuatan perjanjian yakni
pada tahap perundingan antara pihak pertama dan pihak kedua, akan tetapi dalam
perjanjian baku tidak ada tahap perundingan sebab perjanjian telah disediakan oleh
salah satu pihak. Pada perjanjian baku, itikad baik pra-kontraktual diketahui dari
alasan konsumen untuk menandatangani perjanjian, dan pada pengusaha dapat
diketahui dari pasal-pasal dalam perjanjian yang ditawarkan kepada konsumen.
Prinsip itikad baik ini tidak hanya ditunjukkan oleh pihak pengusaha saja, tetapi juga
harus dilaksanakan oleh pihak konsumen, akan tetapi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku asas itikad baik ini lebih ditekankan harus
dijalankan oleh pengusaha karena pada dasarnya pengusaha memiliki kedudukan
ekonomi lebih tinggi yang dapat mengakibatkan ketidakadilan kepada pihak
konsumen. Penerapan prinsip itikad baik ini diperlukan pada semua tahapan, baik
sebelum, selama atau setelah proses perjanjian. Hal ini bertujuan agar pelaksaan atau
pemenuhan obyek perjanjian dapat berjalan lancar, dari pra-perjanjian sampai pasca-
perjanjian.
Pengaturan itikad baik ini sebenarnya tidak ada aturan baku yang membahas
secara rinci, baik pendefinisiannya, batasan-batasan maupun metode penerapannya.
Jadi prinsip itikad baik ini tergantung dari kebiasaan (culture) masing-masing
lingkungan atau lembaga (corporate culture). Kebiasaan-kebiasaan baik yang
dilakukan secara terus-menerus dari waktu kewaktu mempunyai kekuatan normatif,
sehingga kebiasaan tersebut dapat menjadi acuan berkaitan dengan itikad baik ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Itikad baik dalam perjanjian standar berdasarkan hukum positif di
Indonesia diatur dalam KUH Perdata Buku III khususnya Pasal 1338.
Itikad baik dibagi menjadi 2, yaitu: itikad baik subjektif dan objektif.
Itikad baik subjektif dalam bahasa Indonesia disebut kejujuran. Itikad
baik subjektif merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa. Itikad baik
subjektif dapat dilihat pada waktu dirumuskannya perjanjian atau pra-
kontraktual. Itikad baik objektif dalam bahasa Indonesia disebut
kepatutan. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3) pasal 1338 KUH Perdata
bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik
dalam UUPK diatur dalam Pasal 7, dimana pelaku usaha diwajibkan
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik yang
dimaksud Pasal a quo misalnya seperti memberikan informasi yang benar
2. Prinsip itikad baik ini bisa diketahui saat proses pembuatan perjanjian
yakni pada tahap perundingan antara pihak pertama dan pihak kedua,
akan tetapi dalam perjanjian baku tidak ada tahap perundingan sebab
perjanjian telah disediakan oleh salah satu pihak. Pada perjanjian baku,
itikad baik pra-kontraktual diketahui dari alasan konsumen untuk
menandatangani perjanjian, dan pada pengusaha dapat diketahui dari
pasal-pasal dalam perjanjian yang ditawarkan kepada konsumen. Prinsip
itikad baik ini tidak hanya ditunjukkan oleh pihak pengusaha saja, tetapi
juga harus dilaksanakan oleh pihak konsumen, akan tetapi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku asas itikad baik ini lebih
ditekankan harus dijalankan oleh pengusaha karena pada dasarnya
pengusaha memiliki kedudukan ekonomi lebih tinggi yang dapat
mengakibatkan ketidakadilan kepada pihak konsumen. Penerapan prinsip
itikad baik ini diperlukan pada semua tahapan, baik sebelum, selama atau
setelah proses perjanjian. Hal ini bertujuan agar pelaksaan atau
pemenuhan obyek perjanjian dapat berjalan lancar, dari pra-perjanjian
sampai pasca-perjanjian.
B. Saran
1. Bagi konsumen sebaiknya lebih teliti dalam menandatangani dan
menyetujui perjanjian baku, tiap-tiap pasal harus dipahami dengan baik
agar asas itikad baik dapat berjalan sebagaimana mestinya dan tidak
merugikan konsumen.
2. Bagi pengusaha sebaiknya lebih teliti mengenal calon konsumen yang
akan menandatangani perjanjian baku. Pengusaha harus secara detail
menanyakan rasio konsumen ingin melakukan perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hatta, Sri Gambir Melati. 2000. Beli sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama:
Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia. Bandung:
Alumni.
Salim. 2004. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika
Satrio. 2000. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti
Treitel, G.H. 1995. The Law of Contract 9th Edition. London: Sweet&Maxwell
Wery, P.L. 1990. Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Nederland. Jakarta:
Percetakan Negara RI
Yates, David. 1986. Standard Business Contracts: Exclusions and Related Devices.
London: Sweet&Maxwell
Peraturan Perundang-undangan
Jurnal
Lain-lain