Anda di halaman 1dari 4

Selanjutnya dalam teori perjanjian yang digunakan sebagai Applied Theory,

Abdulkadir Muhammad bahwa perjanjian adalah hubungan hukum. Hubungan hukum itu
timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan
dalam lingkup harta kekayaan.1 Mengenai pengertian perjanjian ini, J. Satrio mengemukakan
pendapatnya bahwa perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan-
ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain bahwa perjanjian
berisi perikatan.2 Scanlon menyatakan bahwa perjanjian merupakan janji antara para pihak
yang membuatnya yang mempunyai aspek moral dan aspek kekuatan memaksa sebagai
kekuatan mengikatnya.3
Van Dunne sebagaimana dikutip Salim H.S mengartikan perjanjian sebagai berikut:
Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian
semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang
mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru,
yaitu:
(1) tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,
(2) tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para
pihak, dan
(3) tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.4

Dengan demikian perjanjianmerupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji


kepada orang lain atau dapat dikatakan peristiwa dimana dua orang atau lebih saling
mengikrarkan diri untuk berbuat sesuatu. Definisi perjanjian batasannya telah diatur dalam
Pasal 1313 KUHPerdata yang mengatur “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Definisi
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sebenarnya tidak lengkap
karena terdapat beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut
adalah: (a) hanya menyangkut sepihak saja; (b) kata perbuatan mencakup juga tanpa
konsensus; (c) pengertian perjanjian terlalu luas; dan (d) tanpa menyebut tujuan.5
Ricardo Simanjutak memberikan bantahan terhadap pendapat Abdulkadir Muhammad
mengenai definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan terlalu
luas tersebut di atas menurut Ricardo Simanjutak definisi yang digambarkan dalam pasal

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.199.
2
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hlm. 5.
3
T. M. Scanlon, Promise and Contracts, dalam Peter Benson, The Theory of Contract Law,
Cambridge University Press, New York, 2001, hlm.99.
4
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta,
2011, hlm. 26.
5
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm.224
tersebut sudah tepat karena memang dimaksudkan sebagai suatu definsi yang berpengertian
luas. Cakupan luas dalam Pasal 1313 KUHPerdata dimaksudkan untuk menggambarkan
perjanjian sebagai suatu perbuatan, bukan perbuatan hukum. Pasal 1313 KUHPerdata
menggambarkan tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih yang tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum tetapi dapat pula
merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.6
Sementara itu R. Subekti menyatakan perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melakukan atau melaksanakan suatu hal.7 Dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana
dan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata di atas, maka dapat dirumuskan pengertian perjanjian
adalah hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lain yang dilandasi oleh
kehendak yang sama. Secara bebas untuk sepakat melakukan suatu perbuatan hukum, demi
kepentingan dan keuntungan para pihak yang terlibat di dalamnya.
Selanjutnya JJ.H. Bruggink mengemukakan bahwa asas hukum sebagai
kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum dan
merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu,
tetapi harus ada.8 Menurut Van Eikema Hommes seperti dikutip Sudikno Mertokusumo asas
hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma konkret, akan tetapi perlu dipandang
sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan
hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas
hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.9
Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami
tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami
hukum suatu bangsa dengan sebaikbaiknya, tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan
hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas hukum
inilah yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.10
Menurut para sarjana perdata terdapat lima asas yang penting dalam perjanjian
sebagai berikut:
a. Asas Kebebasan Berkontrak

6
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Mingguan Ekonomi dan Bisnis Kontan,
Jakarta, 2006, hlm.25.
7
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2008, hlm. 1.
8
JJ.H. Bruggink, op.cit, hlm.123-124.
9
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.42.
10
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm.87.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas,
pancaran hak asasi manusia.11 Dengan kebebasan berkontrak berarti orang dapat
menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III KUHPerdata,
tetapi diatur sendiri dalam perjanjian. Pasal-pasal di dalam Buku III KUHPerdata baru
mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau
mengaturnya dalam perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak
diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan. Kebebasan berkontrak
memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa
hal yang berkaitan dengan perjanjian.
b. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan
adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, meskipun demikian perlu
diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu dalam
perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau
memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.12
c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum,
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas
pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang
mengatur: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.13 Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat
untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji
yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang.14
d. Asas Itikad Baik

11
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum
Perikatan dan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1996, hlm.86.
12
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.29.
13
Salim H.S, op.cit, hlm. 26.
14
H.R. Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004, hlm.5.
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
yang mengatur: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dengan
rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak
perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk
merugikan kepentingan debitor maupun kreditor, maupun pihak lain atau pihak ketiga
lainnya di luar perjanjian.15 Di dalam hukum perjanjian, itikad baik mempunyai dua
pengertian, yaitu:
1) Iktikad baik dalam pengertian yang subyektif, dapat diartikan sebagai
kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan
perbuatan hukum.
2) Itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu
perjanjian harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai
dengan yang patut dalam masyarakat.16
e. Asas Kepribadian (Personalia)
Asas personalia diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315
KUHPerdata, yang mengatur: “Pada umumya tak seorangpun dapat mengikatkan diri
atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya
sendiri”. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara
para pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak ketiga).17
Perjanjian mengikat para pihak ditentukan oleh sah atau tidaknya perjanjian yang
dibuat oleh para pihak tersebut. Hal tersebut dengan tegas diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata yaitu, mengatur tentang empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian yaitu: (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) cakap untuk membuat
suatu perjanjian; (3) Mengenai suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-
orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu.18

15
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hlm.80.
16
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm.19.
17
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hlm. 15
18
R. Subekti, op.cit, hlm.17.

Anda mungkin juga menyukai