Anda di halaman 1dari 17

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perikatan Islam


Hukum Perikatan Islam yang dimaksud di sini, adalah bagian dari
Hukum Islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia di dalam
menjalankan hubungan ekonominya. Pengertian Hukum Perikatan Islam
menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH. adalah merupakan seperangkat
kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur'ân, As-Sunnah (Al-Hadits), dan
Ar-Ra'yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau
lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.
Lebih lanjut beliau menerangkan, bahwa kaidah-kaidah hukum yang
berhubungan langsung dengan konsep Hukum Perikatan Islam ini adalah
yang bersumber dari Al-Qur'ân dan hadits Nabi Muhammad SAW (As-
Sunnah). Sedangkan kaidahkaidah fiqih berfungsi sebagai pemahaman dari
syariah yang dilakukan oleh manusia (para ulama mazhab) yang merupakan
suatu bentuk dari ijtihad. Pada masa sekarang ini, bentuk ijtihad di lapangan
Hukum Perikatan ini dilaksanakan secara kolektif oleh para ulama yang
berkompeten di bidangnya. Dari ketiga sumber tersebut, umat Islam di mana
pun berada dapat mempraktikkan kegiatan usahanya dalam kehidupan
sehari-hari.

Dari pengertian tersebut di atas, tampak adanya kaitan yang erat antara
Hukum Perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip
kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya
terdapat dalam sumber-sumber Hukum Islam tersebut. Hal ini menunjukkan
adanya sifat "religius transcendental yang terkandung pada aturan-aturan
yang melingkupi Hukum Perikatan Islam itu sendiri yang merupakan
pencerminan otoritas Allah SWT. Tuhan Yang Maha Mengetahui segala
tindak tanduk manusia dalam hubungan antarsesamanya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa substansi dari Hukum


Perikatan Islam lebih luas dari materi yang terdapat pada Hukum Perikatan

1
Perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara Hukum Perikatan
itu sendiri dengan Hukum Islam yang melingkupinya yang tidak semata-
mata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga
hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah SWT) dan dengan
alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut merupakan Hubungan
Vertikal dan Horizontal.
Sebagai cerminan dari ketentuan yang bersumber dari Tuhan YME.,
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perikatan dalam Hukum
Perikatan Islam ini mengandung proteksi, yaitu dimaksudkan untuk
memberi perlindungan-perlindungan kepada manusia, terhadap kelemahan
sifat-sifat manusia yang berpotensi untuk saling menguasai atau melampaui
batas-batas hak orang lain. Hukum Perikatan Islam sebagai bagian dari
Hukum Islam di bidang muamalah, juga memiliki sifat yang sama dengan
induknya, yaitu bersifat "terbuka" yang berarti segala sesuatu di bidang
muamalah boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan

B. Pengertian Hukum Perjanjian


Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih
tentang hal-hal tertentu yang telah mereka sepakati. Ketentuan umum
tentang kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia.
Ricardo Simanjuntak menjelaskan bahwa perjanjian merupakan bagian
dari pengertian perjanjian, artinya perjanjian juga merupakan perjanjian,
meskipun perjanjian belum tentu merupakan perjanjian. Perjanjian yang
mempunyai akibat hukum yang mengikat disamakan dengan perjanjian.
Perjanjian tanpa akibat hukum bukanlah suatu kontrak. Dasar untuk
menentukan apakah suatu kontrak mempunyai akibat hukum yang mengikat
atau hanya merupakan suatu kontrak yang berkonsekuensi moral timbul dari
kehendak dasar para pihak yang berkontrak.
Hukum perjanjian meliputi pengertian umum dari asas-asas hukum yang
mengatur hubungan-hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan perjanjian yang sah. Hukum kontrak Indonesia tetap
menggunakan ketentuan pemerintah kolonial Belanda yang tertuang dalam
Buku III KUH Perdata.

2
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya para pihak
bebas mengadakan perjanjian dengan siapa saja, menentukan syarat-syarat,
berlakunya dan bentuk perjanjian itu baik secara tertulis maupun lisan.
Selain itu, ia memiliki hak untuk membuat kontrak sipil dan non-sipil. Ini
juga sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH , yang menyatakan: “Semua
yang secara sah masuk ke dalam kontrak diatur oleh hukum mereka yang
masuk ke dalamnya.”
Mendengar kata kontrak, sekilas kita langsung berpikir bahwa itu adalah
perjanjian tertulis. Dengan kata lain, kesepakatan dianggap dalam arti
sempit kesepakatan. Dalam arti luas, kontrak adalah perjanjian yang
mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih. Dua orang yang bersumpah
untuk menikah satu sama lain masuk ke dalam kontrak pernikahan;
Seseorang yang memilih makanan di pasar membuat kontrak untuk
membeli sejumlah tertentu dari makanan itu. Kontrak tidak lain adalah
kontrak itu sendiri (kontrak yang mengikat tentunya).
Hukum Perjanjian menurut para ahli :
a) Menurut Sudikno, hukum perjanjian adalah suatu hubungan hukum
kontraktual antara dua pihak atau lebih yang mempunyai akibat
hukum.
b) Menurut R. Subekti adalah peristiwa di mana satu pihak membuat
perjanjian dengan pihak lain untuk melakukan tindakan
atau hal tertentu.
c) Menurut R. Setiawan, hukum perjanjian adalah suatu perbuatan
membuat suatu perjanjian antara diri sendiri dengan satu orang atau
lebih.

C. Dasar Hukum Perjanjian


Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Teknik Perancangan Kontrak Bisnis
Menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian.
Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai
konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan
berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat
dalam perjanjian tersebut. Saat ini, dasar hukum perjanjian diatur dalam KUH

3
Perdata. Adapun ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur asas kebebasan
berkontrak yang berbunyi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Pasal tersebut menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak bebas untuk
membuat perjanjian, apapun isinya dan bagaimanapun bentuknya. Dengan kata
lain, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang dan
bagi mereka yang membuatnya.
Pada intinya, kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih
yang melahirkan suatu kewajiban, baik untuk berbuat maupun tidak berbuat
sesuatu. Penjelasan lebih lanjut tentang asas-asas utama dalam kontrak perdata
dapat Anda simak dalam Asas-Asas yang Berlaku dalam Hukum Kontrak.

D. Unsur-Unsur Perjanjian
Memperhatikan berbagai pendapat mengenai perjanjian seperti yang telah
dikemukakan di atas, tampak bahwa suatu perjanjian di dalamnya mengandung
unsur-unsur yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a) Terdapat dua pihak atau lebih yang berjanji
b) Ada sesuatu yang menjadi objek Perjanjian
c) Ada kata sepakat diantara pihak
d) Kata sepakat untuk melakukan suatu perbuatan yang halal dan
bermanfaat bagi para pihak
e) Ada akibat hukum yang timbul dari kata sepakat tersebut
f) Ada itikad baik dari para pihak yang melakukan Perjanjian
Unsur pertama, kedua, dan keenam disebut unsur subjektif, karena mengenai
orangnya atau pelaku perjanjian, sedangkan unsur yang ketiga, keempat, dan
kelima disebut unsur objektif, yaitu menyangkut objek perjanjian. Di dalam
perkembangan doktrin atau ajaran ilmu hukum perjanjian sekarang ini, dikenal
adanya 3 (tiga) bagian yang menjadi unsur dalam suatu perjanjian, antara
lain sebagai berikut :
1) Unsur Essensialia
Unsur ini merupakan unsur yang harus ada dalam mutlak harus ada
dalam suatu perjanjian. Apabila unsur essensialia ini tidak ada, maka bukan

4
perjanjian yang dimaksudkan oleh para pihak. Misalnya, adanya kata
sepakat di antara para pihak. Demikian pula, misalnya harga jual merupakan
unsur essensialia yang harus ada pada perjanjian jual beli. Artinya, tanpa
dijanjikan adanya harga, maka perjanjian tersebut bukan perjanjian jual beli
melainkan perjanjian yang berciri tukar-menukar. Peristiwa hukum tersebut
tidak dapat digolongkan pada fakta hukum semata karena peristiwa hukum
tersebut memenuhi unsur perjanjian lain, yaitu memenuhi unsur-unsur
perjanjian tukar menukar.
Apabila mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, dimana sebagai syarat-
syarat yang diperlukan untuk syahnya suatu perjanjian, maka kecakapan
bertindak bukanlah bagian essensialia suatu perjanjian. Memang perjanjian
harus dilakukan oleh orang yang cakap. Namun kedewasaan yang
merupakan pengertian yuridis teknis, sebagaimana menurut C. Asser,
bahwa:
"Tidaklah menyebabkan perjanjian tidak dapat dilakukan oleh orang
yang tidak cakap. Sebab dengan adanya lembaga perwakilan, perbuatan
orang yang tidak Cakap tersebut tetap dapat dilakukan."
Berdasarkan pandangan di atas maka jelas bahwa unsur kecakapan tidak
digolongkan sebagai unsur atau bagian essensialia dalam suatu perjanjian.
Lain halnya dengan tercapainya kata sepakat dan hal tertentu, keduanya
merupakan bagian atau unsur essensialia yang menentukan terbentuknya
suatu perjanjian.
2) Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya
dianggap ada tanpa perlu diperinjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian.
dari perjanjian ini yang galibnya bersifat mengatur, yaitu termuat di dalam
ketentuan perundangundangan untuk masing-masing perjanjian bernama.
Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 1476 KUHPerdata, mengatur bahwa:
"Biaya penyerahan dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan
dipikul oleh pembeli, kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya."
Hal ini berarti bahwa para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri,
bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk
menyimpanginya. Misalnya, kewajiban penjual untuk dapat menanggung biaya

5
penyerahan dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Dalam kaitan
ini, Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja mengatakan bahwa :
Unsur naturalia merupakan unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian
tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam
perjanjian yang mengandung unsur essensialia jualbeli, pasti akan terdapat
unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan
yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi."
Olehnya itu, berdasarkan pernyataan Kartini Muljadi & Gunawan
Widjaja di atas, maka Pasal 1476 KUHPerdata tidak dapat disimpangi oleh para
pihak, karena sifat dari perjanjian jual-beli menghendaki hal yang demikian.
3) Unsur Aksidentila
Unsuraksidentalia merupakan unsur perjanjian berupa ketentuan yang
diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya, termin (jangka
waktu) pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja
menjelaskan bahwa:
"Unsur aksidentalia merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian
yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang
oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan
persyaratan khusus yang ditentukan secara bersamasama oleh para pihak."
Dengan demikian, unsur ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu
bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.
Misalnya, dalam hal jual beli, adalah ketentuan mengani tempat dan saat atau
waktu penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli

E. Syarat Sah Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :


a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c) Mengenai suatu hal tertentu;
d) Suatu sebab yang halal;
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

6
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa
kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau
seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak
yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik: Si
penjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu
barang dari si penjual.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya,
adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian :
4) Orang-orang yang belum dewasa;
5) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
6) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang,
dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat
suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai
cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab
yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban.
F. Jenis-Jenis Perjanjian
a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak Perjanjian timbal balik
adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah
pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain:
1) Perjanjian jual beli (koop en verkoop), yaitu suatu persetujuan antara 2
(dua) pihak, dimana pihak kesatu berjanji akan menyerahkan suatu

7
barang dan pihak kedua akan membayar harga yang telah disetujui.
Syarat-syarat jual-beli ialah :
a) harus antara mata uang dan barang;dan
b) jual beli bukan antara suami isteri yang masih dalam ikatan
perkawinan.
2) Perjanjian tukar-menukar (ruil) sebagaimana berdasarkan Pasal 1541
KUHPerdata, mengatur bahwa "Tukar menukar ialah suatu persetujuan
dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan
suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain."
3) Perjanjian sewa-menyewa (huur en verhuur) berdasarkan Pasal 1548
KUHPerdata, mengatur bahwa "Sewa menyewa adalah suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan
kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu,
dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap
maupun yang bergerak."
Dalam perjanjian sewa menyewa ini, maka orang dapat menyewakan
berbagai jenis barang, baik barang yang bergerak maupun barang yang tidak
bergerak. Berbeda dengan jenis perjanjian timbal balik, perjanjian sepihak
adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada 1 (satu) pihak dan hak
kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, wasiat, warisan dan lainnya.
Pihak yang 1 (satu) berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek
perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
b. Perjanjian Publik
Perjanjian publik ialah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, dengan alasan karena salah satu pihak yang
bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Di antara
keduanya terdapat hubungan antara atasan dan bawahan (subordinated), jadi
tidak berada dalam kedudukan yang sama o-ordinated). Contoh mengenai
perjanjian publik ini ialah perjanjian ikatan dinas.
c. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban
Perjanjian cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
1 (satu) memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya

8
sendiri, Sebagaimana berdasarkan Pasal 1314 KUHPerdata, mengatur
bahwa:
"Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan
memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan,
bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak
yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberakan adalah
suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu."
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara
kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi itu
dapat berupa kewajiban pihak lain, ataupun pemenuhan suatu syarat
postetatif (imbalan). Misalnya, X menyanggupi memberikan kepada Y
sejumlah uang, jika Y menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada X.
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst) adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual-beli. Perjanjian kebendaan ini
merupakan pelaksanaan dari pada perjanjian obligator. Perjanjian obligator
adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artinya, sejak terjadi
persetujuan timbullah hak dan kewajiban pihakpihak. Pembeli berhak
menuntut penyerahan barang dan penjual berhak atas pembayaran harga.
Pembeli berkewajiban membayar harga, sedangkan penjual berkewajiban
menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui
apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi
perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
G. Berakhirnya Perjanjian
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad
jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah
milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad
gadai dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang
telah dibayar.

Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi


fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.

9
Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
syara', seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli
barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
b. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau
majelis.
c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena
merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara
ini disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi riwayat Abu Daud
mengajarkan, bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan
orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan
menghilangkan kesukarannya pada hari Kiamat kelak.
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi
oleh pihak-pihak bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran
(khiyar naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada
pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya
tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu
yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi apabila ia
tidak membayar, akad menjadi rusak (batal).
e. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang.
f. Karena habis waktunya seperti dalam akad sewa menyewa berjangka
waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang. Karena tidak mendapat izin
pihak yang berwenang.
g. Karena Kematian
H. Asas-Asas Kontrak Bisnis
1. Asas Ilahiah
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari
ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS. alHadid (57): 4,
bahwa "Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.".
Kegiatan muamalat, termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah
lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian, manusia memiliki
tanggung jawab akan hal ini. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung

10
jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan
tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibatnya, manusia tidak boleh berbuat
sekehendak hatinya, karena segala perbuatannya akan mendapatkan
balasan dari Allah SWT
2. Asas Kebebasan (Al-Hurriyah)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu
perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak.
Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para
pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan
kewajibannya. Namun, kebebasan ini tidaklah absolut. Sepanjang tidak
bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh
dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil, bahwa "Syariah Islam
memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai
dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah
ajaran agama." "1⁹ Dasar hukumnya antara lain terdapat dalam QS. al-
Maidah (5): 1 "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akadakad itu."20
Dan QS. al-Hijr (15): 29 "Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
3. Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah)
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sering kali terjadi, bahwa
seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Seperti yang tercantum
dalam QS. an-Nahl (16): 71, bahwa "Dan Allah melebihkan sebagian kamu
dari sebagian yang lain dalam hal rezeki.""7 Hal ini menunjukkan, bahwa di
antara sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Untuk itu, antara manusia satu dengan yang lain hendaknya saling
melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Oleh
karena itu, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk
melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan perikatan ini, para pihak
menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas
persamaan atau kesetaraan ini. Tidak boleh ada suatu kezaliman yang
dilakukan dalam perikatan tersebut. Dalam QS. al-Hujuraat (49): 13, "Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

11
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal
4. Asas Keadilan
Dalam QS. al-Hadid (57): 25 disebutkan, bahwa Allah berfirman
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab
dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan."29
Adil adalah merupakan salah satu sifat Allah SWT yang sering kali
disebutkan dalam Al-Qur'ân. Bersikap adil sering kali Allah SWT tekankan
kepada manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan
manusia lebih dekat kepada takwa. Dalam QS. al-A'raaf (7): 29, disebutkan
bahwa "Katakanlah: "Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil"."30 Dan
dalam QS. al-Maidah (5): 8, disebutkan berikut ini.
5. Asas Kerelaan
Dalam QS. an-Nisa (4): 29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-
masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-
statement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan
dengan cara yang batil (al-akl bil bathil).42 Berikut isi dari QS. an-Nisa (4):
29.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu
6. Asas Kejujuran dan Kebeneran
Dalam QS. al-Isra (17): 27, Allah SWT berfirman "Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya."45 Pemborosan adalah suatu hal yang
menyia-nyiakan harta yang membuat harta tersebut menjadi tidak
bermanfaat. Akibatnya, pemborosan ini dapat memberikan madharat kepada
yang melakukannya.
7. Asas Tertulis
Dalam QS. al-Baqarah (2): 282-283, disebutkan bahwa Allah SWT
menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara

12
tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan diberikan tanggung jawab individu
yang melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan
pula bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara tunai,
maka dapat dipegang
I. Risiko
Apakah yang dimaksudkan dengan risiko dalam Hukum Perjanjian? Risiko
ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di
luar kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah di
perjalanan karena perahu yang mengangkutnya karam. Barang yang
dipersewakan terbakar habis selama waktu dipersewakannya. Siapa yang harus
memikul kerugian kerugian itu? Inilah persoalan yang dinamakan risiko.

Dari apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas tadi, kita
lihat bahwa persoalan risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian.
Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam Hukum
Perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari
suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.

Bagaimana soal risiko itu diatur dalam Hukum Perjanjian? Dalam bagian
umum Buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebenarnya kita
hanya dapat menemukan satu pasal, yang sengaja mengatur soal risiko ini, yaitu
pasal 1237. Pasal ini berbunyi sebagai berikut: "Dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan
dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang". Perkataan tanggungan dalam
pasal ini sama dengan "risiko". Dengan begitu, dalam perikatan untuk
memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan,
musnah karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini
harus sipikul oleh "si berpiutang", yaitu pihak yang berhak menerima barang
itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, adalah suatu
perikatan yang timbul dari suatu perjanjian yang sepihak. Pembuat undang-
undang di sini hanya memikirkan suatu perjanjian di mana hanya ada suatu
kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban memberikan suatu barang tertentu,
dengan tidak memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat

13
menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Dengan kata lain,
pembuat undangundang tidak memikirkan perjanjian-perjanjian yang timbal-
balik, di mana pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak
menuntut suatu kontraprestasi! Dia hanya memikirkan pada suatu
perikatan secara abstrak,
di mana ada suatu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan suatu
pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Bagaimana pun pasal 1237 itu,
hanya dapat dipakai untuk perjanjian yang sepihak, sepertinya perjanjian
penghibahan dan perjanjian pinjam pakai. Ia tidak dapat dipakai untuk
Perjanjian-perjanjian yang timbal-balik! Jadi, satu-satunya pasal yang kita
ketemukan dalam Bagian Umum, yang sengaja mengatur perihal risiko, hanya
dapat kita pakai untuk perjanjian-perjanjian yang sepihak dan tidak dapat kita
pakai untuk perjanjian yang timbal-balik. Untuk perjanjian-perjanjian yang
timbal-balik ini, kita harus mencari pasal-pasal dalam Bagian Khusus, yaitu
dalam bagian yang mengatur perjanjian-perjanjian khusus: jual beli,
tukarmenukar, sewa-menyewa dan sebagainya.
Dalam Bagian Khusus, memang kita ketemukan beberapa pasal yang
mengatur soal risiko tersebut, misalnya pasal 1460. Jika kita bandingkan pasal
1460 (risiko dalam jual beli) dengan pasal 1545 (risiko dalam tukarmenukar),
maka ternyatalah dua pasal itu, kedua-duanya mengatur soal risiko dalam suatu
perjanjian yang timbal-balik tetapi sangat berbeda satu sama lain, bahkan
berlawanan satu sama lain!
Pasal 1460 mengatakan :
"Jika barang yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan,
maka barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun
penyerahannya belum dilakukan, dan sipenjual berhak menuntut harganya".
Sebaliknya pasal 1545 menentukan :
"Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di
luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak
yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah
diberikannya dalam tukar-menukar itu".
Memang kedua pasal tersebut di atas, berlainan sekali. Pasal 1460 (jual-beli)
meletakkan risiko pada pundaknya si pembeli, yang merupakan kreditur
terhadap barang yang dibelinya (kreditur, karena ia berhak menuntut

14
penyerahannya.). Pasal 1545 (tukar-menukar) meletakkan risiko pada pundak
masing-masing pemilik barang yang dipertukarkan. Pemilik adalah debitur
terhadap barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan

15
16
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, G. (2005). Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Vol. 240hlm). Jakarta: Prenada Media
Group.
Rahim. (2022). Dasar-Dasar Hukum Perjanjian : Perspektif Teori dan Praktik. (I. F. Rahim,
Ed.) Makassar: Humanities Genius.

17

Anda mungkin juga menyukai