Kelompok 2 :
Kelas: Ekstensi B1
Secara gramatikal, istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, contract. Baik perjanjian maupun kontrak
mengandung pengertian yang sama, yaitu suatu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para pihak kedalam suatu
hubungan hukum perikatan. Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam praktek bisnis. Karena jarang sekali orang
menjalankan bisnis mereka secara asal-asalan, maka kontrak-kontrak bisnis biasanya dibuat secara tertulis, sehingga kontrak
dapat juga disebut sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis.
Hukum kontrak Indonesia masih menggunakan peraturan Pemerintah Belanda yang terdapat dalam buku ketiga
KUH Perdata. Kontrak dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah
perjanjian. KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Salah satu sebab
mengapa perjanjian oleh banyak orang tidak selalu dapat dipersamakan dengan kontrak adalah karena dalam pengertian
perjanjian yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak memuat kata “perjanjian dibuat secara tertulis”.
Menurut Salim H.S., definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah:
a. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian tertulis
semata-mata, sehingga orang sering menanyakan ”mana kontraknya” diartikan bahwa yang
ditanyakan adalah kontrak yang tertulis.
b. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian dalam
dunia bisnis semata-mata.
c. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan dengan hukum yang mengatur tentang perjanjian-
perjanjian internasional, multinasional atau perjanjian dengan perusahaan multinasional.
d. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-
perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah pihak. Jadi, akan janggal jika digunakan
istilah kontrak untuk ”Kontrak Hibah”, ”Kontrak warisan dan sebagainya
Dengan sekian banyak pengertian perjanjian yang telah dipaparkan di atas, ada tiga unsur yang dapat ditarik
kesimpulan, yaitu:
a) Ada orang yang menuntut, atau dalam istilah bisnis biasa di sebut kreditor
b) Ada orang yang dituntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut debitur
c) Ada sesuatu yang dituntut, yaitu prestasi.
2. Wirjono Prodjodikoro, menurutnya Persetujuan adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak
melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut kontrak itu. (R. Wirjono
Prodjodikoro 1991;1).
3. Herlien Budiono menjelaskan kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan,
berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian,
kontrak atau perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu
perbuatan hukum adalah kontrak atau perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum
disebut pihak-pihak. (Herlien Budiono 2009;67-72).
4. Prof. Subekti mendefenisikan Perjanjian atau kontrak adalah Suatu peristiwa dimana ada seorang
berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari
peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan “perikatan”. Oleh
karena itu perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya (R. Subekti;
1996)
Subekti dalam bukunya berjudul Hukum Perjanjian (hal. 1) membedakan pengertian perjanjian dengan perikatan.
Subekti menyatakan bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena
dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Selain itu, Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Hukum Kontrak Teknik
Perancangan Kontrak Bisnis (hal. 30-32) menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian.
Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi okum yang mengikat para pihak yang
pelaksanaannya akan berhubungan dengan okum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Selanjutnya, arti kontrak menurut J. Satrio dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu arti luas dan arti sempit. Kontrak
dalam arti luas berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat okum sebagaimana yang dikehendaki oleh para pihak
termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit, kontrak hanya ditujukan
kepada hubungan-hubungan okum dalam lapangan okum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata.
Jadi, dari pendapat para sarjana okum tersebut, yang dapat kita simpulkan antara lain:
a. Perjanjian, persetujuan dan kontrak pada esensinya memiliki makna yang sama, yaitu peristiwa okum di mana
3
dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang melahirkan
adanya hubungan okum. Dari perjanjian, persetujuan, dan kontrak lahirlah sebuah perikatan.
b. Perikatan lebih luas cakupannya dari perjanjian/persetujuan/kontrak, karena perikatan terlahir tak hanya lahir
dari perjanjian/persetujuan/kontrak, namun perikatan juga lahir dari undang-undang.
Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum
yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan
sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata
hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakatnya. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum. lni berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-
asas tersebut. Asas hukum berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi berdasarkan mana hukum dapat dijalankan.
Asas-asas hukum tersebut tidak saja akan berguna sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi juga dalam
hal menerapkan aturan. Terdapat beberapa asas penting yang perlu diperhatikan dalam hukum kontrak, yaitu:
Asas ini dijamin dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berisi “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada pihak – pihak yang terkait namun tetap dalam batasan hukum yang ada.
Kebebasan yang diberikan dalam asas ini seperti kebebasan untuk membuat atau tidak membuat suatu
perjanjian atau kontrak karena suatu hal tertentu, yang kedua kebebasan dalam memilih rekan kerjasama
dalam membuat suatu perjanjian, yang ketiga yaitu menentukan isi perjanjian, pelaksaan perjanjian, dan
persyaratan terhadap perjanjian atau kontrak tersebut yang ditentukan secara bebas namun tetap merupakan
hasil diskusi bersama antar pihak yan berkaitan, yang terakhir kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian
yang akan dibentuk apakah akan terbentuk sebagai perjanjian lisan atau non-lisan.
Asas konsensualisme diatur dalam pasal 1338 (1). Pasal 1320 angka I KUH Perdata. Kesepakatan yang terjadi
antar pihak dapat dilihat dan diketahui dari kata “dibuat secara sah”. Dalam pasal 1320 KUH Perdata tentang
sah nya suatu perjanjian tercantum salah satunya yaitu “sepakat mereka yang mengingatkan dirinya”, artinya
bahwa butuh nya asas kesepakatan dalam hukum kontrak atau perjanjian. Sepakat ini harus diberikan oleh
kedua belah pihak tanpa paksaan dari siapapun, sepakat yang diberikan secara paksa disebut juga Contradictio
Interminis.
a. Pengertian Subyektif .
Sikap batin yang ditunjukan oleh seseorang ketika ingin memulai nya suatu hubungan hukum.
Sikap ini contohnya yaitu jujur dan terbuka kepada pihak lainnya dan tidak berniat untuk
menyembunyikan sesuatu dan tidak berniat untuk merugikan pihak lain.
b. Pengertian Objektif
Itikad baik dari sisi pengertian obyektif adalah tindakan seseorang dalam melaksanakan isi dari
perjanjian / kontrak dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Pelaksanaan perjanjian harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan mengindahkan norma – norma kesusilaan yang ada,
sehingga perjanjian / kontrak bisa dilaksanakan dengan baik.
Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat kepada pihak –
pihak yang berpartisipasi atau sepakat untuk mengikat diri pada perjanjian atau kontrak tersebut. Sifat dari
perjanjian cenderung mengikat maka dari itu muncullah asas kekuatan mengikat. Perjanjian juga hanya
berlaku bagi pihak yang membuatnya. Namun, bisa juga berlaku kepada pihak luar jika memang perjanjian itu
ditujukan kepada pihak ketiga atau merupakan pemberian dari orang lain. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1340
KUHPdt dan Pasal 1317 KUHPerdata. Jadi, kesimpulan dari asas ini adalah perjanjian itu mengikat secara
hukum kepada pihak – pihak yang bersangkutan dan memiliki kesepakatan yang bersama.
Adapun menurut Fuady (2012) dalam bukunya menuliskan bahwa asas hukum terhadap suatu
kontrak terdiri dari:
Yang dimaksud dengan hukum mengatur (aanvullen recht, optional law) adalah peraturan-peraturan hukum
yang berlaku bagi subjek hukum. Para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu kontrak akan terikat dan
berialan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur;
Yaitu konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur. Asas kebebasan berkontrak adalah
asas yang menekankan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau
tidak membuat kontrak, begitu juga dengan kebebasannya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut;
Yaitu suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai
isi kontrak;
d. Asas konsensual.
5
Yaitu jika suatu kontrak telah dibuat, maka kontrak tersebut telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan
pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum;
e. Asas obligatoir.
Yaitu asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi
keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata;
Yaitu suatu kontrak yang dibuat dan disepakati oleh para pihak harus didasari dengan adanya iktikad baik,
baik sebelum kontrak dibuat, pada saat kontrak dibuat hingga pada saat berlakunya kontrak. Hal ini sesuai
dengan Pasal 1338 dalam KUH Perdata, yang isinya adalah: "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagal undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik."
Syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat:
a. Kesepakatan antara beberapa pihak yang mengikatkan dirinya pada suatu kontrak tertentu (Pasal 1321-1328
KUH Perdata).
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUH Perdata). Pasal 1330 KUH Perdata
menyebutkan bahwa: yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah:
Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya
semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
c. Suatu pokok persoalan tertentu. Artinya, sifat dan luas objek dalam kontrak dapat ditentukan (Pasal 1332-
1334 KUH Perdata).
d. Suatu sebab yang tidak terlarang. Artinya, klausa dalam kontrak tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan
dan peraturan yang berlaku (Pasal 1335-1337 KUH Perdata).
6
A. Prestasi
Menurut Abdulkabir Muhammad (1990), prestasi merupakan suatu esensi dari sebuah perikatan. Apabila
esensi itu tercapai dalam arti dilaksanakan sesuai dengan isi perjanjian oleh debitur maka perikatan itu
berakhir, untuk itu perlu diketahui sifat-sifat prestasi yaitu:
a. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan.
b. Harus mungkin
c. Harus diperbolehkan
d. Harus ada manfaatnya bagi kita
e. Bisa terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Jika salah satu atau semua sifat itu tidak dipenuhi pada prestasi, maka perikatan out dapat menjadi
tidak berarti, perikatan itu dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1234 tersebut di atas maka prestasi itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
Memberikan sesuatu;
Berbuat sesuatu; dan
Tidak berbuat sesuatu.
Dengan perikatan untuk memberikan sesuatu dimaksudkan kewajiban dari debitur untuk menyerahkan
kepemilikan, penguasaan atau kenikmatan dari suatu benda. Misalnya penyerahan hak milik atas benda tetap dan
gerak, pemberian sejumlah uang, memberikan benda untuk dipakai (menyewa).
B. Wanprestasi
Menurut Soebekti, wanprestasi adalah tidak terpenuhinya suatu kewajiban atau kelalaian atau
keterlambatan yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan perjanjian.. Wanprestasi adalah apabila si
berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia alpa
atau lalai atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa belanda, yang berarti prestasi buruk.
Menurut Harahap (1986), wanprestasi adalah sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur
untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah
satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Menurut Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan
debitur.
Menurut Prodjodikoro (2000), wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian,
berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.
Menurut Erawaty dan Badudu (1996), wanprestasi adalah pengingkaran terhadap suatu kewajiban
yang timbul dari suatu perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
Pada umumnya hak dan kewajiban yang lahir dari perikatan dipenuhi oleh pihak-pihak baik debitur
maupun kreditur. Akan tetapi dalam praktik, kadang-kadang debitur tidak mematuhi apa yang menjadi
7
kewajibannya dan inilah yang disebut dengan “wanprestasi”. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa
Belanda yang berarti “prestasi buruk” (Subekti, 1967:45). Selain itu, perkataan wanprestasi sering juga
dipadankan pada kata lalai atau alfa, ingkar janji, atau melanggar perjanjian, bila saja debitur melakukan atau
berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Terdapat beberapa bentuk dari wanprestasi, diantaranya:
1. Memenuhi prestasi tetapi tidak dapat pada waktunya, dengan perkataan lain terlambat melakukan
prestasi, artinya meskipun prestasi itu tidak dilaksanakan atau diberikan, akan tetapi tidak sesuai
dengan perikatan. Prestasi yang demikian itu disebut juga kelalaian;
2. Tidak memenuhi prestasi, artinya prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi juga tidak bisa lagi
dijalankan. Hal semacam ini disebabkan karena:
Pemenuhan kemudian tidak mungkin lagi karena barangnya telah musnah;
Prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi, karena saat penyerahan mempunyai arti yang
sangat penting.
3. Memenuhi prestasi tidak sempurna, artinya prestasi diberikan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi
prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan
pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru,
apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak
memenuhi prestasi sama sekali.
Selain bentuk adapula syarat tertentu hingga terpenuhinya wanprestai menurut Soebekti, sebagai beikut ;
Adapun syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang Debitur sehingga dikatakan dalam keadaan
wanprestasi, yaitu:
1. Syarat materill.
8
Yaitu adanya kesengajaan berupa:
a) Kesengajaan adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta
disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain.
b) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib berprestasi seharusnnya
tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan
menimbulkan kerugian.
2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak
debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa
kreditor menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah
teguran keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus
berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau
diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestassi adalah sebagai berikut (Satrio,1999) :
Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau
kelalaian dalam peristiwa yang merugikan pada diri debitur yang dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya. Kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga,
bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian. Sehubungan
dengan kelalaian debitur, perlu diketahui kewajiban-kewajiban yang dianggap lalai apabila tidak
dilaksanakan oleh seorang debitur, yaitu:
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena
terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak
dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ini debitur
tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul di luar kemauan dan
kemampuan debitur.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek
perikatan, ini selalu bersifat tetap.
9
Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk
berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh
debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.
1) Kreditur tetap berhak atas pemenuhan perikatan, jika hal itu masih dimungkinkan;
2) Kreditur juga mempunyai hak atas ganti kerugian baik bersamaan dengan pemenuhan prestasi
maupun sebagai gantinya pemenuhan prestasi;
3) Sesudah adanya wanprestasi, maka overmacht tidak mempunyai kekuatan untuk membebaskan
debitur;
4) Pada perikatan yang lahir dari kontrak timbal balik, maka wanprestasi dari pihak pertama memberi
hak kepada pihak lain untuk minta pembatalan kontrak oleh Hakim, sehingga penggugat dibebaskan
dari kewajibannya. Dalam gugatan pembatalan kontrak ini dapat juga dimintakan ganti kerugian.
Prestasi (performance) dalam suatu kontrak adalah melakukan ataumelaksanakan secara keseluruhan isi dari
kontrak yang telah disepakati. Segala sesuatu yang dilaksanakan tersebut, didasarkan kepada niat baikdari masing-masing
pihak yang bersepakat untuk menjalankannya. Hal ini berarti masing-masing pihak memiliki integritas, yaitu sesuaidengan
apa yang ditulis (disepakati) dengan yang dilaksanakan. Bentuk dari suatu prestasi pada kontrak adalah:
Wanprestasi (ingkar janji) dalam suatu kontrak adalah salah satuatau semua pihak yang terikat dalam suatu kontrak
tidak melakukan sesuatu kewajiban atau prestasi sesuai yang tertulis dalam kontrak yang telah disepakati bersama. Akibat
dari tidak dipenuhinya atau tidak dilakukannya kewajiban tersebut, akan merugikan hak dari salahsatu pihak yang telah
bersepakat tersebut. Secara umum, bentuk darisuatu wanprestasi (ingkar janji) dalam suatu kontrak adalah: Pertama.
wanprestasi karena tidak melakukan kewajiban sesuai kontrak. Kedua, wanprestasi karena telat melakukan kewajiban sesuai
isi kontrak. Ketiga, wanprestasi karena tidak sepenuhnya melakukan kewajiban sesuai isi kontrak. Keempat, wanprestasi
karena keliru atau lalai memenuhi kewajibannya
PENGERTIAN OVERMACTH
Salah satu keadaan yang tidak dapat dihindari oleh para pihak dalam suatu perjanjian adalah force majeure atau
overmacht. Menurut R. Subekti, force majeure atau overmacht adalah keadaan memaksa suatu keadaan untuk tidak
terlaksananya apa yang diperjanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat
10
berbuat apa-apa terhadap keadaan yang timbul di luar dugaan tadi, kemudian debiturlah yang harus membuktikan adanya
keadaan memaksa dalam hal terdapat wanprestasi. Terkait hal ini, untuk keefektifitasan waktu dan jaminan kepastian
terlaksananya suatu prestasi, dapat dilakukan addendum atau perpanjangan kontrak sesuai dengan kesepakatan bersama.
Namun, terkadang pemutusan perjanjian yang telah disepakati secara sepihak merupakan sikap yang diambil oleh pihak
yang merasa dirugikan atas suatu perjanjian.
Menurut Soebekti (2010:150) overmacht atau keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut) apabila sama
sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perikatan. Contohnya barangnya sudah musnah karena bencana alam. Selain itu,
ada juga yang bersifat tidak mutlak (relatif), yaitu suatu keadaan suatu perikatan masih dapat dilaksanakan, tetapi dengan
pengorbanan yang sangat besar, dari hak si berutang (debitur). Contohnya barang yang masih harus didatangkan oleh
penjual dari luar negeri tiba-tiba harganya naik 100% atau tiba-tiba pemerintah mengeluarkan peraturan larangan
mengekspor barangbarang tersebut, bagi pelanggar akan diberikan sanksi. Apabila larangan ekspor sudah tidak ada lagi,
kembali kewajiban debitur harus dilaksanakan. Terdapat dua teori overmacht, diantaranya:
a. Teori ketidakmungkinan (On Mogelijkeheid), menyatakan bahwa overmacht suatu keadaan tidak mungkin
melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ajaran ini dibedakan lagi menjadi:
Ketidakmungkinan absolut atau objektif yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk
melakukan prestasinya;
Ketidakmungkinan relatif atau subjektif yaitu ketidak-mungkinan bagi debitur untuk memenuhi
prestasinya.
b. Teori Penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesingheid van schuld), yaitu ajaran yang mengatakan,
dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht meniadakan kesalahan, sehingga
akibat kesalahan yang telah ditiadakan tidak bisa dipertanggungjawabkan (Harahap, dalam Salim, 2006:103).
Keadaan memaksa absolut adalah suatu keaaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi
perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar.
Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan
pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si B.
Kalau keadaan memaksa mengakibatkan, bahwa suatu hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama
sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan memaksa itu
dinamakan “absolut”. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak
mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).
Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk
melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang
besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau
kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contohnya, A telah meminjam kredit usaha tani
dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat.
11
Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan
membayar pada musim panen mendatang..
Setiap kontrak yang akan diakhiri oleh salah satu pihak maka ia harusmemberitahukannya kepada pihak lainnya (Pasal
7.3.2 Rancangan Undang-Undang Kontrak). Sedangkan berakhirnya perikatan karena perjanjian dibagi menjadi tujuh
macam, yaitu:
1) Pembayaran,
2) Novasi (pembaruan utang).
3) Kompensasi,
4) Konfusio (percampuran utang),
5) Pembebasan utang
6) Kebatalan atau pembatalan, dan
7) Berlaku syarat batal.
Di samping ketujuh cara tersebut, dalam praktik dikenal pula caraberakhirnya kontrak, yaitu:
Para pihak yang melaksanakan perikatan dapat menimbulkan akibat tersendini yang secara sah dijamin oleh
undang-undang dalam suatupelaksanaan kontrak.Hal ini yang menyebabkan suatu perikatan dapatberakhir atau hapus bagi
para pihak.Akibat dari terpenuhinya prestasi atauperikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam kontrak
yangmenjadi sebab berakhirnya suatu kontrak.Sehubungan dengan itu, Burgelik Wetboek jugamembahas berakhimya atau
hapusnya perikatan disebabkan oleh terjadinyaperbuatan hukum,peristiwa hukum,diantaranya sebagai berikut:
a. Jangka Waktu Berlakumya Kontrak Berakhir
Berdasarkan asas kebebasan membuat kontrak, para pihak dapatmenentukan sendiri jangka waktu
berlakunya kontrak yang mereka buatberdasarkan pertimbangan yang rasional bahwa mereka akan
dapatmemperoleh manfaat ekonomis dari kontrak yang mereka laksanakandalam jangka waktu
tersebut. Hal ini juga terdapat dalam Pasal 1646 ayat (1) Burgelik Wetboek yang menyatakan
bahwa"persekutuan berakhir dengan lewatnyajangka waktu untuk mana persekutuan telah diadakan".
Untuk menentukan berapa lama jangka waktu yang diperlukan, bisa kita lihat ketentuan dalam Pasal
1066 Burgelik Wetboek yang menyatakan bahwa"Persetujuan yang sedemikian hanyalah mengikat
unuk selama lima tahun, namun setelah lewatnya tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan itu
diperbaharui.
14
Suatu kontrak dapat berakhir atau hapus, apabilah salah satu pihakmaupun kedua belah pihak sebagai
subjek yang membuat kontrak itumeninggal dunia. Hal ini juga terdapat dalam Pasal 1646 ayat (4)
Burgelik Wetboek yang menyatakan bahwa "Persekutuan berakhir jika salah scorang
sekutumeninggal dunia atau ditaruh di bawah pengampuan, atau dinyatakan pailit".
Kontrak yang dibuat para pihak dapat berakhir atau hapus,dikarenakan satu diantara dua pihak
ataupun kedua belah pihak sebagai subjek hukum yang membuat kontak itu menyatakan mengakhiri
kontrak,meskipun jangka waktu berlakunya kontrak yang ditentukan oleh para pihak dalam kontrak
yang ditentukan oleh undang-undang belum berakhir.Hal ini juga terdapat dalam Pasal 1603Burgelik
Wetboek yang menyatakan bahwa "masing-masing pihak dapat mengakhiri hubungan kerjanya
tanpapemberitahuan penghentian atau mengindahkan ketentuan-ketentuan yangberlaku untuk
pemberitahuan-pemberitahuan penghentian atau apabila ia mengakhiri hubungan kerja secara
demikian itu karena suatu alasan yang mendesak yang seketika diberitahukan kepada pihak lawan".
Kontrak dapat berakhir atau hapus, apabila para pihak sebagai subjek yang membuat kontrak telah
melaksanakan maksud dan tujuan isi kontrakyang berupa prestasi yang merupakan kepentingan para
pihak telah tercapai. Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan objek
perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatubeban yang ditanggung oleh seseorang yang
bersifat kontraktual/perjanjian.Bersandar pada Pasal 1382 Burgelik Wetboek, dapat dijelaskan bahwa
parapihak (atau pihak yang mempunyai kewajiban pelaksanaan prestasi dalamkontrak) dalam hal ini
kontrak yang dibuat secara sukarela, berarti pertama, para pihak telah melaksanakan prestasi
sesuai kontrak, dan kedua, kontrak dapat berakhir atau hapus.
Kontrak berakhir atau hapus, karena terdapat putusan hakim yangmemutus berakhir atau hapusnya
kontrak tersebut. Berdasarkan gugatanpembatalan yang diajukan oleh salah satu pihak, disebabkan
karena tidakdipenuhinya syarat-syarat subjektif sahnya suatu kontrak sebagaimanayang ditentukan
dalam Pasal 1320 ayat (1) dan (2) Burgelik Wetboek, akibat adanya cacat kehendak (wilsgebreke)
atau karena ketidakcakapan(onbekwaamheid) serta adanya salah satu pihak yang ditempatkan
dalamposisi di bawah pengampuan atau pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1646 Burgerlijk
Wetboek.
15
KASUS I
Konflik yang terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia merupakan
salah satu contoh kasus wanprestasi. Kasus ini bermula ketika GMF memberikan biaya jasa kepada Batavia Air, seperti
menambah angin ban dan penggantian oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak juga melunasi biaya perawatan
pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF menuding Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh
tempo. Total nilai utang yang seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar 1,192 juta dollar AS. Untuk
menyelesaikan penagihan utang tersebut, GMF telah mengajukan gugatan perdata terhadap Batavia melalui Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada 25 September 2008. Pada tanggal 4 Maret 2009 lalu, untuk pertama kalinya Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita
jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-
200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan
diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya. Ketujuh
pesawat Batavia berstatus sita jaminan sampai kewajibannya dilunasi. Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada
GMF atas biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia. Maskapai penerbangan itu terbukti melakukan
wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar AS$ 256.266 plus bunga 6 persen per tahun terhitung sejak 17 November
2007. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menolak seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia
terhadap GMF AeroAsia dalam perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan ESN 724662. Keputusan ini
dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Maret 2009. Meski ketujuh pesawat Batavia disita,
pesawat Batavia masih bisa beroperasi selama masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat berada di luar
negeri, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Hal itu untuk menjaga kepentingan
transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 yang diumumkan kuasa hukum Garuda, Adnan Buyung
Nasution.
Dalam hal ini berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal 1131 KUH Perdata, semua jenis atau bentuk harta kekayaan
debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala utang debitur. Sita
jaminan hanya dilarang terhadap hewan dan barang yang bisa digunakan untuk menjalankan pencaharian debitur. Pesawat
terbang bisa dijadikan objek sita jaminan. Pesawat tidak dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR,
melainkan sebagai alat perdagangan. Penetapan itu berbunyi, mengabulkan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag)
penggugat dengan batasan dan ketentuan sebagai berikut.
- Pertama, menyatakan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut tetap dapat dioperasikan demi
kepentingan pelayanan transportasi umum selama dalam sitaan.
- Kedua, menyatakan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut hanya boleh dioperasikan terbatas
dalam wilayah Negara Republik Indonesia selama dalam sitaan.
- Ketiga, memerintahkan termohon (Batavia Air) merawat pesawat-pesawat terbang dalam sitaan itu sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan biaya yang dibebankan kepada termohon sita.
- Keempat, memerintahkan termohon untuk selalu melaporkan kepada Departemen Perhubungan
Direkrtorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dan Pemohon atas setiap perubahan pada
pesawat, termasuk tidak terbatas pada mesin pesawat udara dan auxiliary power unit (APU) dari pesawat
16
yang disita.
- Kelima, memerintahkan termohon sita menghadirkan pesawat- pesawat terbang dalam sitaan tersebut di
Bandara Soekarno-Hatta pada saat sita jaminan diletakkan oleh Pengadilan Negeri.
- Keenam, memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri melaporkan sita jaminan atas pesawat-pesawat
terbang yang telah diletakkan pada Departemen Perhubungan Direkrorat Kelaikan Udara dan
Pengoperasian Pesawat Udara.
- Ketujuh, memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri yang melakukan sita jaminan pesawat terbang
berkoordinasi dengan Departemen Perhubungan Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat
Udara dalam melakukan sita jaminan, terkait dengan identifikasi pesawat terbang dan status pesawat guna
menghindari terjadinya peletakan sita jaminan dan eksekusi yang sia-sia.
- Kedelapan, memerintahkan termohon sita melaporkan segala perubahan barang tersita kepada Departemen
Perhubungan Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara. Batavia melaporkan penyitaan
kepada Departemen Perhubungan supaya dicatat, atas pesawat yang disita ke Direktorat Kelaikan Udara
dan Pengoperasian Pesawat Udara Ditjen Pehubungan Udara Departemen Perhubungan. Pencatatan itu
terkait dengan identifikasi dan status pesawat agar sita jaminan tidak sia-sia, termasuk setiap perubahan
terhadap pesawat selama dalam masa sitaan. Selain itu, Batavia harus merawat pesawat sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Majelis hakim membebankan biaya perawatan itu ke Batavia.
Kasus II
PT . MENSANA merupakan salah satu perusahaan vaksin atau obat – obatan hewan paling terkemuka di Indonesia. Salah
satu cabangnya berlokasi di Bali tepatnya di Jalan Mawar No 140, Tabanan, Bali. PT. MENSANA dalam menjalankan
perusahaannya dengan mitra tentunya memiliki perjanjian yang sudah dipertimbangan dimana kemudian kerjasama tersebut
berlangsung menguntungkan kedua belah pihak.
Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu
hukum. (Suharnoko. 2014. hlm 51) Suatu perjanjian antara para pihak yang telah melakukan ikatan seringkali melakukan
ingkar janj/wanprestasi terhadap hak dan kewajiban yang sudah disepakati diantara kedua belah pihak, akibat yang terjadi
dapat menimbulkan tidak terlaksananya prestasi salah satu pihak. (Yasman. 2014. Hlm 2)
Namun tidak semua perjanjian tertulis tidak menjamin bahwa salah satu pihak akan taat dalam menjalankan perjanjian
tersebut, beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dapat melakukan hal yang merugikan perusahaan, baik itu dari
pihak penyelia maupun pihak konsumen. Pelanggaran yang dilakukan disebut dengan istilah wanprestasi, Menurut kamus
hukum, istilah wanprestasi dapat diartikan sebagai kelalaian, kealpaan, cidera janji, dan tidak dapat menepati
kewajibanmnya dalam kontrak, dalam pengertian tersebut disimpulkjan bahwa wanprestasi adalah suatu keadaan dimana
seorang debitur (pihak berutang) tidak melaksanakan kewajiban atau prestasinya dalam suatu perjanjia atau kontrak, yang
timbul karena kesengajaan atau kelalaian dari debitur itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht ) yang membuat
debitur tidak dapat melaksanakan prestasinya. Wanprestasi dari suatu perjanjian berupa:
17
Sementara dalam kasus ini, bentuk wanprestasi yang dilakukan adalah perjanjian jual beli yang dibuat oleh PT . MENSANA
dan pembeli tidak dilaksanaan dengan baik atau tidak terpenuhinya prestasi (kewajiban) dengan baik sebagaimana yang
telah diperjanjikan oleh pembeli, sehingga terjadinya sebuah wanprestasi. Adapun faktor yang menyebabkan wanprestasi di
PT . MENSANA lantaran kasus pandemi virus corona (COVID- 19) yang mengakibatkan bisnis ayam mengalami
penurunan penjualam, hal ini otomatis berimbas pada pendapatan para peternak sehingga mereka tidak bisa memenuhi
kewajibannya dan melakukan sebuah wanprestasi. Selain dari dampak pandemi COVID-19, faktor kelalaian dari peternak
dalam mengelola keuangannya juga jadi penyebab wanprestasi, ada juga yang telah melakukan wanprestasi jauh sebelum
pandemi covid ini terjadi di Indonesia.
Adapun kasus wanprestasi yang terjadi setiap tahun di PT. MENSANA dapat dilihat pada tabel berikut :
N Jumlah
Tahun Keterangan
o Kasus
Pembayaran
1 2015 1
macet
Pembayaran
2 2016 3
macet
Pembayaran
3 2017 3
macet
Pembayaran
4 2018 1
macet
Pembayaran
5 2019 2
macet
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui jika jumlah kasus wanprestasi yang terjadi dengan kategori pembayaran macet
tahun 2015 di PT. MENSANA sebanyak 1 kasus, sedangkan pada tahun berikutnya mengalami peningkatan hingga 3 kasus
pada tahun 2016 dan 2017, 1 kasus kembali terjadi pada tahun 2018, dan peningkatan kasus pada tahun 2019, yaitu
sebanyak 2 kasus. Pada tahun 2020 terjadi pandemic COVID-19, sehingga kasus wanprestasi tidak terjadi.
18
PSAK
PSAK 72 Paragraf 11 : Beberapa kontrak dengan pelanggan dapat memiliki durasi yang tidak tetap dan dapat diakhiri atau
dimodifikasi oleh salah satu pihak setiap saat. Kontrak lainnya dapat secara otomatis diperbarui dengan dasar periodik
sebagaimana diatur dalam kontrak. Entitas menerapkan Pernyataan ini terhadap durasi kontrak (yaitu periode kontraktual) di
mana para pihak dalam kontrak memililki hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan saat ini.
OPINI
Menurut pendapat kelompok kami kontrak adalah instrumen hukum yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan,
terutama dalam dunia bisnis. Kontrak menciptakan dasar hukum yang kuat untuk menjaga hak dan kewajiban semua pihak
yang terlibat dalam perjanjian. Selain itu, asas-asas hukum kontrak, seperti kebebasan berkontrak, konsensualisme, itikad
baik, dan kekuatan mengikat, memberikan kerangka kerja yang adil dan transparan. Namun, penting juga untuk memahami
bahwa wanprestasi dan keadaan memaksa (overmacht) dapat terjadi, dan kontrak juga harus mengakomodasi kemungkinan-
kemungkinan ini. Oleh karena itu, penyusunan kontrak yang baik dan komprehensif sangat diperlukan untuk menghindari
konflik dan ketidakpastian di masa depan, sambil memastikan bahwa semua pihak terlindungi dengan baik.
19
DAFTAR PUSTAKA
Baker, Richard E, dkk. 2010. Akuntansi Keuangan Lanjutan (Perspektif Indonesia) Advance Financial
Accounting. Buku 1. Jakarta: Salemba Empat
Ikatan Akuntasi Indonesia (IAI). 2022. Pernyataan Standar Akuntansi Indonesia (PSAK)
20