Anda di halaman 1dari 11

Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

PERTEMUAN KE- 7

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi pada pertemuan ke-7 ini mahasiswa mampu
menerangkan tentang perikatan yang lahir dari perjanjian.

B. URAIAN MATERI
Menurut Subekti bahwa: “Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya
dalam bahasa Belanda yaitu verbintenis. Sedangkan perikatan itu sendiri ialah
sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.1
Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa "Tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena undang-undang". Isi dari ketentuan pasal
1233 KUH Perdata tersebut secara tegas membedakan antara persetujuan atau
perjanjian dengan perikatan. Walaupun dalam pembicaraan sehari-hari timbul kesan
bahwa perjanjian sama artinya dengan perikatan. Melihat dari isi pasal 1233 KUH
Perdata tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa perikatan merupakan isi dari
suatu perjanjian yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa perjanjian dan
undang-undang adalah sumber dari perikatan atau bahwa perikatan lahir karena
adanya perjanjian dan undang-undang yang melahirkan perikatan.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan
undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang dapat dibagi lagi
menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang
menurut hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.
Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak
yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan
pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.

1
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 18, Intermasa, Jakarta, 2001, hal.1

Hukum Perikatan 1
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

Perhubungan antara dua orang tadi, adalah suatu hubungan hukum, yang berarti
bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang.2
Menurut sumbernya perikatan dibedakan menjadi perikatan yang bersumber
dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Menurut
Simanjuntak bahwa : “ Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda
Overeenkomst, yang oleh beberapa ahli hokum juga diterjemahkan sebagai
persetujuan. Istilah persetujuan digunakan karena untuk terjadinya suatu
3
overeenkomst diperlukan persetujuan dari para pihak” .
Menurut Titik Triwulan Tutik bahwa : “Pasal 1313 KUHPerdata. Yang
menyatakan Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih dipandang memiliki kelemahan
karena :4

1. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;


2. Tidak tampak asas konsensualisme;
3. Bersifat dualism

Menurut Abdulkadir Muhammad dalam bukunya P.N.H.Simanjuntak, bahwa :


“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.5
Menurut Wiryono Prodjodikoro dalam bukunya P.N.H. Simanjuntak,
“Perjanjian adalah suatu perhubungan hokum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan
sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu.6
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa : ”Perikatan adalah hubungan hukum
yang terletak dalam lapangan harta kekayaan antara satu orang/lebih dengan satu
orang lain/lebih, dimana pihak yang satu adanya prestasi diikuti kontra prestasi dari
pihak lain. Perikatan seperti dimaksud di atas paling banyak dilahirkan dari suatu
peristiwa dimana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa
demikian saling tepat dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu
rangkaian janji – janji. Hubungan antara perikatan dengan perjanjian sangat erat
sekali. Perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian, dengan kata lain perjanjian
2
Ibid, hal 1
3
P.N.H, Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2009, hal 330-331
4
Titi Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hal 243
5
P.N.H, Simanjuntak, Loc Cit, hal 331
6
Ibid, hal 332

Hukum Perikatan 2
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

adalah sumber dari perikatan disamping sumber lain yang juga bisa melahirkan
perikatan. Sumber lain tersebut yaitu undang-undang. Adapun pengertian perjanjian
lainnya adalah naskah perjanjian keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang
memuat syarat – syarat baku”7.
Menurut Subekti bahwa :” Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah
bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,
disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak,
lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.8
Memahami unsur-unsur perjanjian sangat penting agar kita dapat mengetahui
dengan pasti apakah yang kita hadapi termasuk perjanjian atau bukan. Menurut
Herlien Budiono bahwa: “Unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut :9

1. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih


Kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataan kehendak, suatu
perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua pihak atau lebih yang saling
menyatakan kehendak untuk berbuat sesuatu. Inilah yang menjadi perbedaan
pokok antara perjanjian dengan perbuatan hukum sepihak. Pada perbuatan
hukum sepihak pernyataan kehendak hanya berasal dari satu pihak. Sehingga
perbuatan hokum sepihak, seperti membuat surat wasiat, dan mengakui anak
luar kawin tidak termasuk perjanjian.

2. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak.


Kehendak dari para pihak saja tidak cukup untuk melahirkan suatu
perjanjian, kehendak harus dinyatakan. Sehingga setelah para pihak saling
menyatakan kehendaknya dan terdapat kesepakatan diantara para pihak,
terbentuklah suatu perjanjian di antara mereka.

3. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum.


Suatu janji atau pernyataan kehendak tidak selamanya menimbulkan akibat
hokum. Terkadang pernyataan suatu kehendak hanya menimbulkan kewajiban
7
Abdulkadir Muhammad Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, 1992, Bandung,
hal.6
8
Subekti, Op Cit, hal. 1
9
Herlien Budiono, Ajaran umum hukum perjanjian dan penerapannya di bidang kenotariatan Citra Aditya, Bandung,
2010, hal. 5

Hukum Perikatan 3
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

social atau kesusilaan. Misalnya janji diantara beberapa orang untuk menonton
bioskop. Apabila salah satu diantara mereka tidak dapat menepati janjinya untuk
hadir di bioskop. Maka ia tidak dapat digugat di hadapan pengadilan.

4. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain
atau timbal balik.
Akibat hukum yang terjadi adalah untuk kepentingan pihak yang satu dan
atas beban terhadap pihak yang lainnya atau bersifat timbal balik. Yang perlu
diperhatikan adalah akibat hukum dari suatu perjanjian hanya berlaku bagi para
pihak dan tidal boleh merugikan pihak ketiga. (Pasal 1340 KUHPerdata).

5. Dibuat dengan mengindahkan kepentingan perundang-undangan.


Pada umumnya para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian. Namun
dalam beberapa perjanjian tertentu undang-undang telah menentukan bentuk
yang harus dipenuhi. Misalnya untuk pendirian Perseroan Terbatas harus dibuat
dengan akta notaris

Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad bahwa: “Berbicara tentang


unsur-unsur perjanjian, secara umum adalah sebagai berikut 10 :

1. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang;


Dalam suatu perjanjian pihak-pihak merupakan unsur yang utama, karena
disamping pihak-pihak itu dijadikan sebagai subjek perjanjian, juga
perjanjian itu tidak akan pernah ada apabila tidak adanya pihak yang
menginginkan, membuat perjanjian itu. Pihak-pihak dalam perjanjian itu
yang menurut hukum perjanjian merupakan subjek perjanji an selain
berupa manusia juga dapat berupa badan hukum. Karena menurut
hukum, manusia dan badan hukum merupakan subjek hukum yang dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum didalam masyarakat

2. Ada persetujuan diantara pihak-pihak itu;


Persetujuan disini adalah merupakan keputusan, setel ah
dilakukannya perundingan. Karena perundingan itu sendiri adalah tindakan
pendahulu untuk menuju tercapainya persetujuan. Selanjutnya persetujuan
itu ditunjukkan dengan penerimaan terhadap hal -hal yang berkenaan

10
Abdul Kadir Muhammad, “Hukum Perikatan”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, Hal. 78

Hukum Perikatan 4
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

dengan syarat-syarat dan objek perjanjian tersebut, maka timbullah


persetujuan sebagai salah satu syarat dari perjanjian

3. Ada tujuan yang akan dicapai;


Tujuan mengadakan perjanjian adalah mencapai sesuatu yang
dibutuhkan oleh pihak-pihak.Kebutuhan tersebut hanya dapat
terpenuhi dengan cara mengadakan perjanjian dengan orang lain.
Namun belum berarti para pihak boleh mengadakan perjanjian dengan mencapai
kebutuhan tersebut secara bebas yang mutlak. Karena undang -undang
telah membatasinya, dimana tujuan y a n g a k a n d i c a p a i i t u t i d a k
boleh bertentangan dengan ketertiban umum, disesuaikan
d a n bertentangan dengan undang-undang

4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;


Sebagai akibat adanya persetujuan timbullah kewajiban untuk
melakukan suatu prestasi yang merupakan kewajiban para pihak sesuai
dengan syarat-syarat perjanjian

5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;


Bentuk perjanjian ini berguna untuk dijadikan dasar kekuatan mengikat dan
kekuatan pembuktiannya. Bukti perjanjian ini biasanya dibuat dalam bentuk akta
atau tulisan.

6. Ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian


Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah
ditentukan oleh undang- undang, sehingga ia diakui oleh hukum”.

Untuk mengetahui apakah perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka
perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Menurut ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata, syarat- syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut :11

1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian


(consensus)

11
P.N.H. Simanjuntak, Op Cit hal. 334

Hukum Perikatan 5
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata pihak-pihak


mengenai pokok perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas,
artinya tidak ada paksaan, kekhilafan atau pun penipuan. Menurut P.N.H.
Simanjuntak bahwa: “Para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat
atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut”.

2. Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity)


Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum
apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah
kawin walaupun belum 21 tahun.

3. Ada suatu hal tertentu (object)


Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi
yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat
ditentukan. Misalnya Budi menjual mobil Toyota Avanza Nomor Polisi B 1234 MN
dengan harga Rp.165.000.000; kepada Andi. Obyek perjanjian tersebut jenisnya
jelas sebuah mobil dengan spesifikasi tertentu dan begitupun harganya.

4. Ada suatu sebab yang halal (legal cause)


Kata “causa” berasal dari bahasa Latin artinya “sebab”. Sebab adalah
suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang
membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan kausa yang halal dalam
Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau
yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi
perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-
pihak. Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek
yang terlarang tetapi diperbolehkan oleh hukum. Suatu sebab yang tidak halal itu
meliputi perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan
melanggar ketertiban umum. Misalnya perjanjian perdagangan manusia, atau
senjata illegal.

Menurut Komariah bahwa: “ Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat
subyektif karena kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif karena
kedua syarat ini harus dipenuhi sebagai obyek perjanjian”. Komariah melanjutkan
bahwa : “Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian

Hukum Perikatan 6
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

dapat dibatalkan. Maksudnya perjanjian tersebut menjadi batal apabila ada yang
memohonkan pembatalan. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif akan
mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak semula
dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan”.12
Asas-asas yang berlaku dalam sebuah perjanjian harus diperhatikan ketika
kita membuat suatu perjanjian. Asas-asas perjanjian tersebut termaktub dalam
KUHPerdata, diantaranya :

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)


Asas kebebasan berkontrak, asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak yang membuat suatu perjanjian
untuk menentukan isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang dan peraturan lain yang berlaku. Selain itu asas kebebasan berkontrak
juga emberikan kebebasan untuk para pihak dalam menentukan syarat dan
bentu perjanjian yang mereka sepakati. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338
KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme atau asas kesepakatan dapat ditarik kesimpulan
dalam Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata, yang menentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri. Asas ini memberikan pengertian bahwa pada umumnya perjanjian tidak
diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dengan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)


Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt
servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kalimat
“berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” berarti bahwa

12
Komariah, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, hlm. 175-177

Hukum Perikatan 7
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

perjanjian seperti itu mengikat para pihak dan karenanya para pihak harus
memenuhi janji-janjinya.

4. Asas Itikad Baik (good faith)


Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini
menyatakan bahwa para pihak, harus melaksanakan iwsi perjanjian berdasarkan
atas kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta keinginan yang baik dari para
pihak untuk melaksanakan perjanjian. Pada itikad baik dalam perjanjian, subyek
perjanjian memperlihatkan perilaku nyata yang baik. Selain itu , itikad baik juga
terletak pada akal sehat dan nilai-nilai keadilan yang menjadi tolak ukur obyektif
dalam menghadapi suatu keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-
norma yang beraku.

5. Asas Kepribadian (personality)


Asas kepribadian adalah asas yang mengatur bahwa seseorang yang akan
melakukan perjanjian hanya untuk kepentingan diri pribadinya saja. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal
1315 KUHPerdata menegaskan “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan
ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus
untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian
hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Hal ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi ketentuan itu
mendapat pengecualian dari Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan, “dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian
yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini mengamanatkan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian
untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu sayart tertentu. Sedangkan di
dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang
yang memperoleh hak daripadanya. Dari kedua pasal tersebut yakni Pasal 1317
KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam
Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan

Hukum Perikatan 8
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Maka Pasal 1317
KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318
KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.

CONTOH KASUS:

“Pada awal dibukanya PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) pihak pengelola
menyewakan untuk pertokoan, namun merasa kesulitan untuk
memasarkannya. Salah satu cara yang ditempuh adalah mengajak para pedagang
meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Surabaya itu. Salah seorang diantara
pedagang yang menerima ajakan PT surabaya Delta Plaza adalah Tarmin Kusno,
yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III itu untuk menjual
perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture. Empat bulan berlalu
Tarmin menempati ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin membuat
“Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat
mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala
hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin bersedia
membayar semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak Mei 1988
s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 2
0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara
pengelola PT SDP dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus
Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal
perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah dipenuhi, Tarmin menganggap
kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola SDP
tidak pernah dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak
berlaku karena pihak SDP telah membatalkan “Gentlement agreement”
dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa
ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali di akhir tahun 1991. Namun
pengelola SDP berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa
ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan
Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP. Meski kian hari jumlah uang yang harus
dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap

Hukum Perikatan 9
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola SDP, yang mengajak Tarmin


meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu,
pengelola SDP menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya”.

C. SOAL LATIHAN
1. Apa perbedaaan antara perikatan dengan perjanjian dan bagaimana
hubungannya?
2. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pengertian perjanjian sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan. Apakah
kelemahan yang dimaksud? Jelaskan!
3. Berikan contoh perikatan yang lahir dari perjanjian dan apa akibat hukum dari
perjanjian tersebut?
4. Untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian maka harus diuji dengan
beberapa syarat. Jelaskan syarat-syarat tersebut!
5. Apakah perjanjian yang tidak memenuhi asas-asas yang disebutkan dalam
KUHPerdata sama artinya bahwa perjanjian tersebut tidak sah? Berikan
pendapat saudara!

Hukum Perikatan 10
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

D. REFERENSI

Abdul Kadir Muhammad, “Hukum Perikatan”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,


Citra Aditya Bakti, 1992, Bandung

Herlien Budiono, Ajaran umum hukum perjanjian dan penerapannya di bidang


kenotariatan Citra Aditya, Bandung, 2010

Komariah, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, 2002

P.N.H, Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta,


2009

Titi Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka,


Jakarta, 2006

Hukum Perikatan 11

Anda mungkin juga menyukai