Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada

sesorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

suatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan diantara dua orang tersebut

dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang

yang membuatnya.Dalam bentuknya, Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan

yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.1

Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap

harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau

menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut

merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III

KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi

cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan

hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak

yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan

hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari

suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

1
http://www.negarahukum.com/hukum/hukum-perikatan-pertemuan-pertama.html.diakses pada 8
novemeber 2019,pukul 14.00 WIB.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua

orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain

berkewajiban atas sesuatu.Rumusan tersebut membawa konsekuensi bahwa seluruh

harta kekayaan seseorang atau badan yang diakui sebagai badan hukum,akan

dipertaruhkan dan dijadikan jaminan setiap perikatan orang perorangan dan atau

badan hukum tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau

si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan

debitur atau si berhutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi, adalah

suatu perhubungan hukum, yang berarti hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum

atau undang-undang.

Rumusan pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang secara lengkapnya

menyatakan : “Segala kebendaan,yang bergerak dan tak bergerak milik debitor,baik

yang sudah ada maupun yang akan ada,menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan

debitor itu.” 2

3
Dalam buku seri hukum perikatan : Perikatan pada umumnya telah dijelaskan bahwa

berdasarkan dengan rumusan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,yang

merupakan pasal pertama dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Tentang Perikatan,yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karna persetujuan,baik karna undang-undang” ,selain perjanjian,Kitab Undang-

2
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi. Perikatan yang lahir dari undang-undang. Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2003, Hal.1.
3
Ibid. Hal. 2
Undang Hukum Perdata menentukan bahwa perikatan dapat lahir dari Undang-

Undang.Dengan pernyataan ini,pembuat undang-undang hendak menyatakan bahwa

hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan dapat terjadi setiap saat,baik terjadi

karena dikehendaki oleh pihak yang terikat dalam perikatan tersebut,maupun secara

yang tidak dikehendaki oleh orang perorangan yang terikat (yang wajib

berprestasi)tersebut. Untuk itu maka selayaknyalah setiap orang harus berhati-hati

dalam kehidupan bermasyarakat.Setiap tindakan yang dilakukan,peristiwa yang

terjadi,atau keadaan tertentu dapat berubah menjadi hubungan hukum,dikehendaki

atau tidak oleh pihak,yang karna dan oleh undang-undang,diberikan kewajiban atau

prestasi untuk dipenuhi.

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian

itu mnerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-

sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju

untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (Perjanjian dan

persetujuan) itu adalah sama artinya4. Perkataan kontrak, lebih sempit karena

ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat

hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber

pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan

4
Salim HS, S.H.,M.S. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, 2014, Hal. 174.
undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan

syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana

yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk

berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan

untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak

melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk

tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah

disepakati dalam perjanjian

B. Rumusan Masalah

1. Apa contoh kasus wanprestasi dari objek perikatan ?

2. Bagaimanakah analisa kasus terhadap perikatan yang tidak berjalan dengan

semsestinya ?

C. Tujuan

1.untuk mengetahui dan memahami mengenai perikatan

2.untuk mengetahui contoh kasus wanprestasi dari objek perikatan

4.untuk mengetahui contoh dari perikatan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Isitlah perikatan

Istilah perikatan berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis”atau

“Verbintenissenrecht”5.Namun dalam kepustakaan Indonesia memakai berbagai

macam istilah untuk perikatan verbintenis.Subekti dan Tjiptosubdio,menggunakan

istilah perikatan untuk verbintenis ,dan persetujuan untuk

“overeenkomst6”.Utrecht,dalam bukunya Penghantar Dalam Hukum Indonesia

memakai istilah “perutangan.”untuk verbintenis dan “perjanjian

“untuk“overeenkomst”.sedangkan Ahmad Ichsan ,menerjemakan verbintenis dengan

perjanjian dan overeenkomst untuk persetujuan7.Dengan demikian, verbintenis ini

dikenal memiliki 3 istilah di Indonesia :

a. Perikatan

b. Perutangan

c. Perjanjain

Sedangkan untuk overeenkomst dipakai 2 istilah :

a. Perjanjian

5
I Ketut Oka Setiawan,2017,Hukum Perikatan.Sinar Grafika,Jakarta,Hlm.1.
6
Overeenkost adalah suatu Peristiwa dimana satu orang atau pihak berjanji kepada seorang atau
pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melakasankan suatu hal.
Pasal 1313 KUHPerdata.
7
Titik Triwulan Tutik,Pengantar Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher,2006
,hlm. 217
b. Persetujuan

B. Pengertian perikatan

Menurut para Ahli :

1. Hofman yang dikutip oleh Badrulzaman,dkk

Perikatan adalah suatu hubungan antara sejumlah subjek-

subjek hukum yang mengikat dirinya masing –masing untuk

bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang

lain,yang berhak atas sikap yang demikian itu.

2. Subekti

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau

dua orang pihak,yang mana satu orang pihak berhak menuntut

sesuatu dan pihak yang lainnya berkewajiban memenuhi

tuntutan tersebut.

3. Abdulkadir Muhammad

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara idividu

satu dengan individu lain karena perbuatan,peristiwa dan

keadaan.

Secara luas :
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan

harta kekayaan (law of property),bidang hukum keluarga (family

law),bidang hukum warisa (law of succession) dan dalam bidang

hukum pribadi (law of personal).

Secara umum :

Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta

kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak

atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu dalam bentuk

prestasi.

C. Unsur-unsur Perikatan

1. Adanya Hubungan Hukum

Yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diatur

dan diakui oleh hukum. Hubungan yang diatur oleh hukum ,biasa disebut dengan

perikatan yang lahir karena undang-undang ;karena perikatan tersebut sudah di atur

dan ditentukan sendiri oleh undang-undang tersebut.

Ex:terikatnya orangtua untuk mendidik dan memelihara anaknya .

Sedangkan hubungan yang diakui oleh hukum,biasa disebut dengan perikatan

karena perjanjian.dikatakan demikian karena hubungan hukum itu telah dibuat oleh
para pihak (subjek hukum)sedemikian rupa sehingga mengikat kedua-belah pihak dan

berlaku sebagai undang-undang(hukum).Dengan demikian ada 2 jenis perikatan :

a. perikatan karena undang-undang

b. perikatan karena perjanjian

Dan ada juga yang mengatakan bahwa hubungan hukum itu disebut dengan kaidah

hukum.

Kaidah hukum dibedakan menjadi dua macam yaitu tertulis dan tidak tertulis.kaidah

hukum perikatan tertulis adalah kaidah hukum yang terdapat dalam perundang-

undangan ,traktat,dan yurisprudensi.sedangkan kaidah hukum perikatan tidak tertulis

adalah kaidah hukum perikatan yang timbul,tumbuh,dan hidup dalam praktek

kehidupan masyarakat (kebiasaan),seperti transaksi gadai,jual tahunan,atau jual lepas.

2. Antara Seseorang Dengan Satu Atau Beberapa Orang

Maksudnya adalah perikatan itu biasa berlaku terhadap seseorang atau dengan

satu atau beberapa orang,yang dalam hal ini adalah para subjek hukum atau para

penyandang hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum.

Subjek hukum yang dimaksudkan disini adalah subjek hukum yang memiliki

kemampuan hukum untuk menutup (menandatangangani)sutu perikatan yang

dilahirkan oleh perjanjian.Unsur kemampuan hukum (kecakapan) ini sangat

penting.Tanpa unsur ini,suatu perjanjian akan menjadi tidak sah(batal).


3. Melakukan atau Tidak Melakukan dan Memberikan Sesuatu

Melakukan atau tidak melakukan dan memberikan sesuatu di dalam perikatan

disebut dengan prestasi,atau objek dari prestasi,atau objek dari perikatan.Dan jika

subjek perikatan tidak melakukan apa yang seharusnya,dilkukan,atau melakukan apa

yang seharusnya dilakukan,atau melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan,dan

tidak melakukan sesuatu yang mengikatnya maka subjek perikatan tersebut telah

melakukan wanprestasi.

Dalam syariat islam,perikatan islam adalah bagian dari hukum islam dalam bidang

muamalah,yang menurut HM.Tahir Azhary Perikatan islam adalah seperangkat

kaidah hukum yang bersumber dari Alquran,AS sunah(Hadis), dan Ar-Ra’yu(Itjihad)

yang mengatur hubungan antar dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang

dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.

D. Objek Perikatan

Objek perikatan disebut dengan istilah: Prestasi, yaitu adalah hal yang harus

dilaksanakan dalam suatu perikatan. Kewajiban memenuhi prestasi oleh debitur

selalu disertai dengan tanggung jawab. Artinya, debitur mempertaruhkan harta

kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan utangnya kepada kreditor. Menurut

ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta kekayaan debitur

baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka

nada menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor, jaminan semacam

ini disebut jaminan umum.


Macam-macam dari prestasi antara lain: (1) memberikan sesuatu, yaitu

menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari kreditur

Pada praktiknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat

dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk pemenuhannya,

yang disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim

dapat menentukan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya.

Jaminan harta kekayaan yang dibatsi ini disebut jaminan khusus. Arti jaminan

khusus adalah jaminan benda tertentu saja yang nilainya sepadan dengan nilai

utang debitur, misalnya rumah, kendaraan bermotor. Bila debitur tidak dapat

memenuhi prestasinya maka benda yang menjadi jaminan khusus inilah yang

dapat diuangkan untuk memenuhi utang debitur.pada kreditur, seperti membayar

harga atau yang lainnya; (2) melakukan perbuatan, yaitu melakukan perbuatan

seperti yang telah ditetapkan di dalam perikatan, contohnya memperbaiki barang

yang rusak dan lainnya; dan (3) tidak melakukan sesuatu perbuatan, yaitu tidak

melakukan perbuatan seperti yang telah diperjanjikan, contohnya tidak

mendirikan bangunan dan lainnya.

Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh

debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut, yakni:

1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan

2. Harus mungkin

3. Harus diperbolehkan (halal)


4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur

5. Bias terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.

Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie”

yang artinya tidak dipenuhhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan

terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang

dilahirkan dari suatu perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-

undang.

a. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa prestasi adalah ketiadaan suatu

prestasi di dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan

sebagai isi dari suatu perjanjian.

b. Subekti, mengemukakan, “wanprestasi” itu masalah kelalaian atau kealpaan

seorang debitur yang dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu:

1) Tidak melakukan apa yang telah disanggupi a kan dilakukannya

2) Melasanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana

yang diperjanjikan.

3) Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat

4) Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat

dilakukan.
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya

dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak bagi pihak yang dirugikan

untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi guna memberikan ganti

rugi, sehingga oleh hukum diharapkan tidak ada satu pihak pun yang

dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Sebelum dilakukan penuntutan terlebih dahulu dilakukan “somasi” yaitu

teguran dari kreditor kepada debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai

dengan isi perjanjian yang telah disepakati mereka. Ketentuan tentang somasi

ini diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUHPerdata. Dari pasal-pasal

tersebut dapat disimpulkan bahwa somasi bisa terjadi karena:

a. Debitur melaksanakan prestasi yang keliru

b. Debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan

c. Prestasi yang dilakukan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditor karena

kadaluara.

E. Asas-Asas Perikatan

1. ASAS KONSESUALISME

(Pasal 1320 dan pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pada

dasarnya suatu perjanian dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih orang telah

mengikat , dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam

perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau

consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.


Berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi

para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk

menjaga keppentingan pihak debitor (atau yang berkewajiban untyk memenuhi

prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkannya adanya suatu

tindakan nyata tetentu.

Ketentuan yang mengatur dapat ditemukan dlam rumusan Pasal 1320

yang berbunyi:

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:

a) Kecakapan mereka yang mengikatkan dirinya

b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c) Suatu pokok persoalan tertentu

d) Suatu sebab yang tak terlarang.8

Asas konsensualitas muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum

Jerman. Dalam hukum Jerman tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang

dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu

perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum

adat). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan

bentuknya, tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta dibawah tangan).

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
8
Kartini Muljadi dan Gunawan. widjaja, Op.cit., hlm 34-35
innominate. Berarti asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHP berkaitan

dengan bentuk perjanjian. 9

2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas

ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas

bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat

oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh

melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang telah dibuat oleh para pihak,

Asas pacta sunt servanda ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: :Perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-Undang”.

Pada mulanya asa ini dikenal dalam hukum gereja. Didalam hukum gereja itu

disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah

pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian

yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan

dengan unsur keagamaan. Namun dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda

diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan

9
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunn Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm
9
tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat

saja.10

3. ASAS KEBBASAN BERKONTRAK

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUHP, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Demikian pula ada

yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHP yang menerangkan tentang syarat

sahnya perjanjian.

Kenebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

diantaranya:

a) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak

b) Bebas menentukan dengan siapa dia akan melakukan perjanjian

c) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian

d) Bebas menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan

e) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

10
H. Zaeni Asyhadie, S.H., M.Hum., Hukum Keperdataan Dalam Perspektif Hukum Nasional Jilid
Ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Depok, hal 14
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin

kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas dari sifat Buku

III KUHPer yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak

dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal

tertentu yang sifatnya memaksa.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham

individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan

oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman Rennaisance melalui

ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rosseau ( dalam

buku Mariam Badrulzaman, 1997: 19-20).

Menurut paham individualisme setiap orang bebas utuk memperoleh apa yang

dikehendakinya. Dalam hukum perjanjian asas ini diwujudkan dalam “kebebasan

berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan

menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas karena pemerintah sama sekali

tidak boleh mengadakan intervensi dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham

individualisme mulai pudar, terlebih sejak berkahirnya Perang Dunia II. Dalam

paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah

mendapat lebih banyak perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi

berarti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan

umum. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan


kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum

kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran ke bidang hukum publik. Melalui campur

tangan ini terjadi pemasyarakatan (vermastcaphelijking) hukum kontrak.

4. ASAS IKTIKAD BAIK (GOEDE TROUW)

Asas iktikad baik dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-

undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik.” asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak

kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan

atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

Asas iktikad baik terbagi dua macam:

a. Iktikad baik nisbi;

orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek

b. Iktikad baik mutlak;

Penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang

objektif untuk menilai keadaan (penilaian tak memihak) menurut norma-

norma yang objektif.

Putusan hakim terikat pada asas iktikad baik, artinya hakim dalam memutuskan

sebuah perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau pada saat pinjam
meminjam uang. Apabila seseorang Belanda meminjam yang sebayak f5000, maka

orang tersebut harus mengembalikannya sebanyak itu juga, walaupun dari pihak

peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Lain hal nya dengan

Indonesia. Pada tahun 1997, kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter

dan ekonomi, pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara

sepihak tanpa diberitahu dulu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat,

disepakati suku bunga bank 16% pertahun, namun setelah terjadi krisis moneter, suku

bunga bank naik menjadi 21-24% pertahun. Ini berarti bahwa pihak nasabah berada

pada pihak yang dirugikan, karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang

lemah. Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus

melaksanakan isi kontrak isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati dan yang

berdasarkan pada iktikad baik.

Suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian

tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor

maupun kreditor, maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya diluar perjanjian. Hal

mengenai iktikad baik ini sebenarnya telah kita temukan dalam pasal 1235 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

“ Dalam eprikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk

menyerahkan barang yang bersangkuan dan untuk merawatnya sebagai

seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya
kewajiban yang terakhir ini tergantung pada perjanjian tertentu; akibatnya akan

ditunjuk dalam bab-bab bersangkutan”.

Dalam kaitannya dengan pasal 1237 Kitab Undang-undang Hukum Perdata hang

menyatakan bahwa:

“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi

tanggung jawab kreditor sejak perikatan lahir. Jika debitor lalai untuk menyerahkan

barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan,

menjadi tanggungannya.”

Dalam rumusan ini dapat kita lihat bahwa meskipun kebendaan yang harus

diserahkan berdasarkan suatu prestasi belum diserahkan oleh debitor, dan risiko atas

kebendaan sudah beralih pada kreditor, Kitab Undang-undang Hukum Perdata tetap

melindungi kepentingan dari kreditor yang berhak atas penyerahan kebendaan

tersebut. Debitor yang diwajibkan untuk menyerahkan kebendaan tersebut, sebagai

iktikad baik pemenuhan perikatan tersebut, diwajibkan untuk merawatnya hingga saat

penyerahan dilakukan.

Selanjutnya dalam ketentuan mengenai Actio Paulina yang diatur dalam pasal

1341 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa segala perjanjian yang dibuat oleh debitor

dan pihak ketiga yang mengetahui bahwa perjanjian tersebut akan merugikan

kepentingan kreditor dari debitor tersebut adalah perjanjian yang dilakukan dengan

tidak iktikad baik, dan karenanya memberikan hak kepada kreditor yang dapat
membuktikan iktikad tidak baik tersebut untuk meminta pembatalan perjanjian yang

merugikan kepentingannya tersebut.

5. ASAS KEPRIBADIAN/PERSONALITAS

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 1315 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tak seorangpun

dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji

selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa

pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya

sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk

dirinya sendiri.

Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315

menunjuk pada asas personalia, namun lebih jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315

juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seorang yang membuat atau

mengadakan perjanjian. Secara spesifik ketentuan Pasal 1315 ini menunjukan

pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai subyek hukum

pribadi mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama

dirinya sendiri. Dengan kapasitas kewenangan hukum, maka setiap tindakan,

perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subyek hukum pribadi yang

mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan, mengikat

seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadi. Dalam hal ini ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata, yang berbunyi :

”segala kebendaan milik debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,

baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Berlaku bagi dirinya pribadi.

Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam

kapasitasnya yang berbeda, yaitu tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, maka

kewenangannya harus disertai bukti-bukti yang menunjukan bahwa memang

orang perorangan tersebut tidak membuat dan atau menyetujui dilakukannya

suatu perjanjian untuk dirinya sendiri. Sehubungan dengan hal ini ada suatu

ketentuan yang menarik, yang diatur dalam ketentuan Pasal 107 KUHD untuk

wesel, yang menyatakan bahwa :

“tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya didalam sesuatu surat wesel

sebagai wakil orang lain atas nama siapa yang berwenang untuk bertindak, ia pun

dengan diri sendiri terikat karena surat wesel itu, dan apabila telah membayarnya,

memperoleh juga hak-hak yang sama yang sedianya ada pada orang yang

katanya diwakili itu. Akibat-akibat yang sama berlaku juga bagi seorang wakil

yang bertindak dengan melampaui batas kewenangannya”.

Pasal 176 KUHD untuk surat sanggup, yang menunjuk pada keberlakuan

Pasal 107 KUHD tersebut bagi wesel, dan Pasal 188 KUHD untuk cek.

Ketentuan tersebut adalah ketentuan yang bersifat khusus, karena sifat surat-surat

tersebut yang merupakan surat berharga, yang dapat diperjualbelikan dengan


mudah. Dalam hal ini KUHD memberikan sifat pertanggungjawaban rentang

antara orang yang menandatangani surat-surat berharga tersebut secara pribadi

dengan orang ( lebih tepat jika disebut dengan pihak) yang diwakili olehnya

dalam kapasitasnya sebagi wakil pihak tersebut.

Didalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, pasti dicantumkan

identitas dari subjek hukum yang meliputi nama, umur, tempat domisili dan

kewarganegaraan. Kewarganegaraan berhubungan erat dengan apakah yang

bersangkutan dapat melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti jual beli tanah

hak milik. Orang asing tidak dapat memiliki tanah hak milik, karena kalau

pranng asing diperkenankan untuk memiliki tanah hak milik maka yang

bersagkutan dapat membeli semua tanah yang dimilki masyarakat. Mereka

mempunya modal besar dibandingkan dengan masyarakat kita. WNA hanya

diberikan untuk mendapatkan HGB (hak guna bangunan), HGU (hak guna usaha)

dan hak pakai.

Di samping kelima asas itu, itu di dalam Lokalkarya Hukum Perikatan yang

diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah

berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asa itu

adalah:

1. ASAS KEPERCAYAAN
Mengandung pengertian bahwa setiap orang yang kan mengadakan

perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diakan di antara mereka di

belakang hari.

2. ASAS PERSAMAAN HUKUM

Yang dimaksud asa ini bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian

mempunyai kedudakan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka

tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda

warna kulit, agama, dan ras.

3. ASAS KESEIMBANGAN

Asas ini adalah asas menghandaki kedua belah pihak memenuhi dan

melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi

dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaandebitur,

namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu

dengan iktikad baik.

4. ASAS KEPASTIAN HUKUM

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatkan perjanjian, yaitu sebagai

undang-undang bagi yang membuatnya.

5. ASAS MORAL
Asas moral ini terikat dalam perjanjian wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela

dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari

pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seorang melakukan

perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban

hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor

yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan

hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati

nuraninya.

6. ASAS KEPATUTAN

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan

dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

7. ASAS KEBIASAAN

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak

hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal

yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

8. ASAS PERLINDUNGAN (PROTECTION)

mengandung arti bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh

hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur,

karena pihak debitur berada pada pihak dalam menentukan dan membuat

kontrak.
Sumber Hukum Perikatan

Dalam Pasal 1233 BW menegaskan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan

baik karena perjanjian maupun karena undang-undang”

Sementara itu sumber perikatan yang berupa undang-undang dapat dibagi atas

perikatan yang lahir karena undang-undang saja dan undang-undang karena

adanya perbuatan manusia (Pasal 1352 BW)

Sumber perikatan yang bersumber dari undang-undang karena adanya

perbuatan manusia, beradasarkan Pasal 1353 juga dapat dibagi perbuatan

manusia yang sesuai hukum/ halal dan perbuatan manusia yang melanggar

hukum.

Contoh:

1. Perikatan yang lahir karena perjanjian misalnya perjanjian jual beli,

sewa-menyewa, tukar menukar, dan perjanjian pijam meminjam.

2. Perikatan yang lahir karena undang-undang saja misalnya kewajiban

bagi orang tua untuk saling memberikan nafkah bagi anaknya.

3. Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia yang sesuai hukum

misalnya perwakilan sukarela (zaakwarneming) sebagai mana diatur dalam

Pasal 1354 BW “jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat

perintah untuk itu, mewakili uruan orang lain dengan atau tanpa

sepengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya

untuk mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan


tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannnya dapat mengerjakan

urusan itu.

4. Perikatan yang lahir karena perbuatan yang melanggar hukum

misalnya perjanjian untung-untungan seperti perjudian dan pertaruhan (Pasal

1774).

Tidak selamanya suatu perjanjian itu kepentingn para pihak berlawanan

melainkan ada yang searah atau hak-haknya sama tanpa ada timbal balik

pemenuhan hak dan kewajiban misalnya perjanjain pendirian perseroan

Terbatas (PT) dimana para pihak mempunyai kehendak yang sama, yaitu

menyetorkan uang sebagai modal saham, dan masing-masing pihak

mengharapkan keutungan dari PT tersebut. Dengan demikian perikatan yang

didefeniskan oleh Subekti tampaknya tidak dapat lagi dipertahankan

walaupun pada dasarnya pengertian itu setidaknya dapat menjadi kerangka

awal untuk mengenal unsur –unsur yang terdapat dalam suatu perikatan.

F. Macam-macam perikatan

1.perikatan murni

apabila dalam suatu perikatan masing-masing pihak terdiri atas satu orag

saja,sedangkan yang di tuntut juga berupa satu hal saja dan penuntutannnya dapat

dilakukan seketika maka periktan semacam ini disebutperikatan

murni.(subekti,1979:4)

2. perikatan bersyarat
Suatu perikatan bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang

masih akan datang dan yangmasih belom tentu belom tentu akan terjadi,baik dengan

cara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu ,maupun

dengan cara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadi peristiwa

tersebut (pasal 1253 KUH Perdata).

Kata “syarat”dalam rumusan tersebut diartikan “perisiwa”yang akan masih akan

datang dan yang masih belum tentu akan terjadi.kerap kali perikatan bersyarat

dilawankan dengan perikatan murni,yaitu periktan yang tak mengandung

syarat.adanya peristiwa(syarat)di dalam periktan tidak memerlukan pernyataan

(tegas)b daripara pihak.sudah dianggap ada syarat dalam suatu peikatan,bila dari

keadaan dan tujuan perikatan itu terlihat dan ternyata adanya syarat itu.syarat ini

disebut “syarat diam”(Badrulzaman, 1995:47).

Mengingat syarat(peristiwa)dalam ketentuan pasal tersebut,maka terdapat dua

macam perikatan bersyarta,yakni:

a.perikatan bersyarat tangguh

perkatan bersyarat tangguh adalah perikatan yang lahir apabila peristiwa yang

dimaksud itu terjadi.misalnya, saya berjanji untuk menyewda akan rumqah saya,kalau

saya betul di pindahkan keluar Jakarta.Jadi,perikatan itu terjadi bila betul saya

dipindahkan ke luar Jakarta.Dalam perjanjian jual beli,dibolehkan meyerahkan

harganya kepada perkiraan seorang pihak ketiga dan bila pihak ketiga itubtidak
mampu membuat perkiraan tersebut maka tidaklah terjadi pembeliaan.Jual beli

seacam ini tergolong perikatan dengan syarat tangguh (subekti,1979 :5)

b.perikatan bersyarat batal

perikatan bersyarat batal adalah perikatan yang sudah lahir, justru berakhir

atau dibatalakan bila peristiwa yang dimaksud terjadi.misalnya menyewakan rumah

kepda ali,dengan ketentuan bahwa perikatan akan berakhir kalau naksaya yang berada

di luar negri kembali ke tanah air.Jadi,perikatan (persewaan)itu kan berakhir secara

otomatis kalau anak say kembali ke tanah air.

Semua syarat yang bertujuan untuk melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin

terlaksana,suseuatu yang bertentangan dengan kesusuilaan baik,atau sesuatu yang

dilarang oleh undang-undang adalah batal,dan berakibat bahwa persetujuan yang

digantungkan padanya tak berdaya apapun(Pasal 1254 KUH Perdata).

Undang-undang menetukan syarat-syarat yang tidak boleh dicantumkan oleh

pihak-pihak tentang dicantumkan oleh pihak-pihak di dalam suatu perikatan .bila

dilanggar,maka perikatan tersebut batal,karena syarat tersebut adalah bertujuan

melakasanaakan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana,misalnya,saya berjanji

menghadiahkan rumah kepada Ali.Kalau dia berhasil menurunkan rembulan dari

langit.Syarat yang bertentangan dengan kesusilaan baik mislanya,saya berjanji

menghadiahkan sepeda motor kepada badu bila ia mampu menzinahi gadis

tetangganya.syarat yang di larang oleh undang-undang misalnya ,saya bernjaji kepada


Ali akan memberi uang 50% dari harga barang dagangannya (narkoba kepada orang

asing itu).

Syarat yang pelaksannanya tergantung dari kemauan salah satu pihak yang terikat

didalammya dinamakan Postative voorwarde.Syarat yang demikian adalah batal

misalnya,saya berjanji menyewakan rumah kepada sesorang bila saya

menghendakinya .Janji seperti tidak mempunyai kekuatan apa pun

(Badrulzaman,1995:48).

3.Perikatan dengan ketetapan waktu

Suatu ketetapan waktu tidak menagngguhkan pelaksanannya (pasal 1268 KUH

Perdata).Perikatan dengan Ketetapan Waktu bertolak belakang dengan perikatan

bersyarat.Karena disebutkan belakangan itu mnagandung peristiwa yang belum pasti

terjadi,hanya saja penangguhan nya saja yang di tanggguhkan.

Misalnya,pengaksepan surat wesel yang hari bayarnya ditetapkan pada

tanggal tertentu tau satu bulan sesudah pengaksepan.contoh lain lagi,sya menjual

sawah saya kalau sudah panen atau menjual sapi saya kalau sudah beranak.Dalam

perikatan denga Ketetapan Waktu ,kreditur,tidak berhak untuk menagih pembayaran

sebelum waktu yang dijanjikan itu tiba.oleh karena itu,perikatan dengan Ketetapan

Waktu selalu di anggap untuk kepentingan debitur,kecuali sifat dan tujuan perikatan

itu sendiri,ternyata ketetapan waktu tersebut dibuat umtuk kepentingan kreditur(Pasal

1264 jo.Pasal 1270 KUH Perdata).Debitur tidak lagi dapat menarik manfaat dari
suatu ketetapan waktu jika ia telah dinyatakan pailitatau jika karna kesalahannya

jaminan yang diberikan bagi kreditur telah merosot(Pasal 1271 KUH Perdata).

Ketetapan waktu yang ditetapkan oleh undang-undang dalam jangka waktu

man debitur wajib memenuhi perikatan dinamakan terme de droit, seperti yang

terdapat dalam pasal 1963 KUH Perdata , dimana kepada sesorang yang beritikat baik

dan berdasarkan atas hak yang sah memperoleh hak atau benda tak bergerak karna

lampau waktu selama 20 tahun (Badrulzaman,1995:59).Adapun ketetapan waktu

yang diberikan kreditur atau Hakim kepada debitur untuk masih dapat memnuhi

perikatannya disebut terme de grace(waktu yang bertujuan mengampuni debitur dari

wanprestasi).Misalnya,terdapat dalam perjanjian timbal balik dengan syarat

putus,dalam halite hakim dapat memberikan jangka waktu satunbulan lagi kepada

debitur untuk memenuhi prestasinya (Badrulzaman,1995:59).

4.Perikatan Manasuka

Perikatan semacam ini diatur dalam Pasal 1272 KUH Perdata yang berbunyi “Dalam

perikatan-periktan manasuka si berutang dibebaskan jika ia menyeerahkan salah satu

dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan,tetapi ia tidak dapat memaksa si

berpiutang untuk menerima sebgian dari barang yang lain.”

Hak memilih itu ada pad si berutang,jika hak ini tidak secara tegas diberikan

kepada pihak siberpiutang(Pasal 1273 KUH Perdata).misalnya si Ali mempunyai

tagihan uang kepda si Badu yang sudah lama tidak dibayarnya.kemudian Ali
mengadakan perjanjian dengan Badu,bahwa Badu akan dibebaskan oleh Ali atas

utangnya jika saja ia mau menyeerahkan mobil atau motor kesayangannya.

Menurut Badrulzaman (1995:60),Perikatan Manasuka dapat berubah menjadi

Perikatan Murni (Bersahaja)dengan cara,yaitu:

a.bila salah satu dari barang yang dijanjikan tidak dapat menjadi pokok perikatan

(Pasal 1274 KUH Perdata)

b.bila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan itu hilang atau musnah (Pasal

1275 KUH Perdata)

c.bila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan karena kesalahan si berutang

tidak lagi dapat diserahkan (Pasal 1275 KUH Perdata).

Bila kedua barang itu hilang dan debitur salah tentang hilangnya salah satu

barang itu,ia harus membayar harga barang yang hilang paling akhir.Bila hak

memiliki diserahkan kepada kreditur dan hanya salah satu barang saja yang

hilang,sedangkan kesalahan tidak ada pada pihak debitur maka kreditur harus

mendapat barang yang masih ada.bila hilangnya salah satu barang karena kesalahan

debiur maka kreditur dapat menuntut penyerahan barang yang masih ada atau harga

barang yang telah hilang paling akhir.bila hak memiliki diserahkan kepada kreditur

dan hanya salah satu barang saja yang hilang,sedangkan kesalahan tidak ada pada

pihak debitur maka kreditur harus mendapat barang yang masih ada.bila hilangnya

salah satu barang karena debitur mak kreditur dapat menuntut penyerahan barang
yang telah hilang.Bila kedua barang telah musnah dan kesalahan ada pada debitur

maka kreditur dapat menuntut pembayaran harga salah satu barang tersebut menurut

pilihannya (Pasal 1276 KUH Perdata).

5.Perikatan Tanggung-menaggung (Tanggung Renteng)

Perikatan tanggung-menanggung atau Perikatan Tanggung Renteng terjadi ketika di

salah satu pihak terdapat beberapa orang .Dalam hal dipihak debituar terdiri atas

beberapa orang (ini yang lazim),dikenal dengan sebutan ”Perikatan Tanggung

Menanggung Aktif “sedangkan bila sebaliknya di pihak kreditur terdiri atas beberapa

orang disebut “Perikatan Tanggung Menanggung Pasif”(Pasal 1280 KUH Perdata).

Dalam hal Perikaan Tanggung-menanggung Aktif,maka tiap-tiap kreditur

berhak menuntut pembayaran seluruh utangnya .sebaliknya pembayaran yang

diladebitur,kukan oleh salah seorang debitir,membebaskan debitur-debitur

lainnya.Begitu juga pembayaran yang dilakukan seorang debitur kepada seorang

kreditur membebaskan debitur terhadap kreditur lainnya.

Adapun dengan perjanjian dapat diketahui melalui ketentuan Pasal 1749

KUH Perdata :”jika beberapa orang bersama-sama menerima suatu barang

pinjaman,maka mereka masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap

orang yang meminjamkan “.

Dalam perjanjian penyuruhan atau pemberi kuasa ,jika seorang juru kuasa

diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili urusan mereka,maka masing-masing


mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap juru kuasa tersebut yang

menyangkut segala akibat dari pemberi kuasa itu (Pasal 1811 KUH Perdata).Dalam

Perjanjian Penanggungan (broghtocht),bila beberapa orang telah mengikatkan dirinya

sebagai penanggung untuk seorang debitur,maka masing-masing mereka terikat untuk

seluruh utang (Pasal 1836 KUH Perdata).

6.Perikatan Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi

Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi semata-mata menyangkut

soal peristiwanya,apakah dapat dibagi atau tidak.Misalnya,perikatan untuk

menyerahkan sejumlah barang(hasil bumi merupakan periktan dapat dibagi

,sedangkan menyerahkan seekor kuda,merupakan perikatan tidak dapat dibagi).

Mengenai dapat atau tidak dapat dibagi suatu perikatan,barulah mempunyai arti bila

perikatan itu terdiri ataslebih dari seorang debitur.Oleh karena itu,bila suatu perikatan

hanya terdiri dari seorang debitur maka perikatan itu harus dianggap tidak dapat

dibagi,walaupun prestasinya dapat dibagi.Tiada serang debitur pun dapat

memaksakan krediturnya menerima pembayaran utangnya sebagian,meskipun utang

itu dapat dibagi-bagi (Pasal 1390 KUH Perdata).

Akibat hukum dari ataubtidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah bila

perikatan tidak dapat dibagi,maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut seluruh

prestasinya pada tiap-tiap debitur ,sedangkan masing-masing debitur diwajibkan

memnuhi prestasi tersebut seliuruhnya ,dengan pengertian bahwa pemenuhan


periktan tidak dapat di tuntut lebih dari satu kali.Bila perikatan dapat dibagi,tiap-tiap

kreditur hanyalah berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi

tesebut,sedangkan masing-masing debitur juga hanya diwajibkan memenuhi

bagiannya .

Dalam perikatan tidak dapat dibagi,waris dari salah seorang debitur wajib

memenuhi prestasi seluruhnya,sedanglan dalam Perikatan Tanggung-menanggung

tidaklah demikian.Dalam hal ini sekalian ahli waris bersama-sama sebagai pengganti

dari debitur yang berutang secara tanggung-menanggung diwajibkan memenuhi

prestasi yang meninggal,tetapi masing-masing hanya sebesar bagiannya.Dalam

Perikatan Tidak Dapat dibagi,bila prestasinya sudah diganti dengan pembayaran ganti

rugi (selamanya “uang”)maka para debitur tidak lagi diwajibkan memenuhi seluruh

prestasi (perubahan prestasi mepunyai akaibat).sebaliknya dalam perikatan

Tanggung-menanggung bila terjadi perubahan prestasi seperti yang disebutkan

sebelumnya maka masing-masing debitur berkewajiban memenuhi seluruh prestasi.

7.Perikatan dengan Ancaman Hukuman

Adalah suatu ketentuan sedemikian rupa,deangan mana seorang untuk jaaminan

pelakasanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu

tidak dipenuhi (Pasal 1304 KUH Perdata).Menurut Subekti (1995:11),penetapan

hukuman ini dimakasudkan sebagai penggantian kerugian yang diderita oleh si

berpiutang,karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian.


Selanjutnya dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1304 KUH Perdata mempunyai

dua maksud,yaitu :

a.untuk mendorong (menjadi cambuk)si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya

b.untuk membebaskan siberpiutang dari pembuktian tentang jumlah atau besarnya

klerugian yang dideritanya.Misalnya ,saya berjanji dengan pemborongbuntuk

mendirikan sebuah rumah yang harus selesai pada tanggal 31 Desember 2012 dengan

ketentuan bahwa si pemborong akan dikenakan denda Rp.1.000.000,00 per bulan

untukn setiap keterlambatan.

Dalam hal hukuman atau denda yang ditetapkan telalu berat dalam suatu

perjanjian,Hakim diberikan wewenang oleh undang-undang untuk mengurangi atau

meringankan hukuman itu dengan ketentuan perjanjian itu sebagian telah dipenuhi

(Pasal 1309 KUH Perdata).Bagaimanakah bila pemenuhan perjanjian itu belum sama

sekali dilakukan oleh debitur,sedangkan Hakim beranggapan hhkuman itu terlampau

berat?Dalam keadaan seperti yang dipertanyakan di atas,Hakim dapat menggunakan

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengaharuskan segala perjanjian

dilakasankan dengan iktikad baik.Menurut Subekti (1995 :12),Pasal 1388 ayat (3)

KUH Perdata bertujuan untuk memberikan kepada Hakim untuk mengawasi

pelaksanaan perjanjian ,jangan sampai melanggar kepatutan dan keadilan.

G. BERAKHIRNYA PERIKATAN
Telah diketahui bahwa perikatan dapat bersumber dari undang-undang maupun dari

perjanjian yang dibuat oleh para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

Perikatan yang telah dibuat oleh para pihak adalah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka, maknanya keberadaan perikatan tersebut adalah telah melahirkan

kewajiban bagi para pihak di dalam lapangan harta kekayaan. Berdasarkan Pasal

1234 KUH Perdata, prestasi atau kewajiban para pihak dapat berbentuk 1) untuk

memberikan sesuatu, 2) untuk berbuat sesuatu atau 3) untuk tidak berbuat sesuatu.

Istilah prestasi ini juga kerap disandingkan dengan istilah wanprestasi yang dimaknai

sebagai tidak dipenuhinya prestasi/kewajiban dari salah satu atau kedua belah pihak

yang akhirnya akan melahirkan konsekwensi yuridis untuk dapat dituntutnya ganti

rugi oleh pihak yang dirugikan.

Rumusan Pasal 1381 KUH Perdata mengatur sepuluh (10) cara hapusnya/berakhirnya

perikatan, yaitu:

1) karena pembayaran

2) karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

3) karena pembaharuan utang

4) karena perjumpaan utang atau kompensasi

5) karena percampuran utang

6) karena pembebasan utang


7) karena musnahnya barang yang terutang

8) karena kebatalan atau pembatalan

9) karena berlakunya suatu syarat batal dan

10) karena lewat waktu


BAB III

PEMBAHASAN

ANALISIS KASUS WANPRESTASI PT.PRUDENTIAL DI LIHAT


DARI SISI HUKUM PERIKATAN
PENDAHULUAN
Ditengah pergeseran tren masyarakat yang mulai menunjukan minat terhadap sistem
asuransi, maka perusahaan asuransi tentunya dituntut jika pihaknya memang betul-
betul dapat menjadi andalan dan harapan masyarakat yang membutuhkan
perlindungan.
Namun sayangnya, masih saja ada perusahaan asuransi yang menolak klaim asuransi
nasabah atau pihak keluarganya sebagai penerima manfaat, dengan berbagai alasan
yang teresan mengada-ada dan salah satunya nasabah di anggap tidak jujur pada saat
pengisian surat pengajuan Asuransi jiwa (SPAJ), karena di anggap menyembunyikan
penyakitnya.

Buktinya PT..Prudential life Assurance telah di gugat wansprestasi (telah cidera janji)
oleh ibu Hotmauli manurung sebagai penerima manfaat dari pemegang polis
No.52635345,pada tanggal 10 Desember 2013 atas nama Tohap Napitupulu.
Sidang gugagat tersebut di gelar di Pengadilan Negri Jakarta. Senin(20/04/2015), di
gelar sidng ke tiganya terkait kasus penolakan klaim asuransi oleh PT..Prudential life
Assurance (tergugat) terhadap klaim Hotmauli Manurung selaku penggugat.
PEMBAHASAN
Capt.Samuel Bonaparte dan Ridha Sjartina selaku kuasa hukum penggugat
menjelaskan, dalam kasus ini Prudential menolak mencairkan Asuransi yang diajukan
oleh ibu Hotmauli Manurung dengan dasar tidak masuk akal dan terkesan mengada-
ada yaitu “menduga atau menuduh” tertanggung(suami penggugat) memiliki indikasi
penyakit jantung yang tidak di laporkan pada saat pengisian Surat Pengajuan
Asuransi Jiwa (SPAJ), semata-mata karena pernah berobat dengan nyeri dada,
dimana hal ini berbeda dengan fakta yang ada.
Walupun demikian pihak prudential tetap tidak melaksanakan kewajibanya untuk
membayarkan uang pertanggungan atas meninggalnya suami penggugat , pada 31
januari 2014 sesuai surat kematian No.101/RSEB-RM-IGD/BD/I/2014. Yang di
keluarkan oleh RS. St.Elisabeth.

Dalam perjanjian Asuransi dikenal asas UTMOST GOOD (itikat baik), hal tersebut
adalah kewajiban semua pihak dalam perjanjian asuransi dan bukan hanya kewajiban
salah satu atau sebagian pihak saja, ujar Samuel Bonaparte selaku pengacara
penggugat. Jika pencairan asuransi jiwa, perusahaan mempermasalahkan formalitas
dalam pendaftaranya, maka hal tersebut menjadi tidak adil, karena saat pencairan
tertanggung pasti sudah meninggal dan tidak bisa lagi memberikan keterangan
tentang apa yang sebenarnya terjadi saat proses pengisian Surat Pengajuan
Asuransi(SPAJ).
Padahal ,kata ibu Hotmauli Manurung juga telah mengajukan klaim yang serupa pada
Asuransi Mega Life dan Asuransi BRIngin Life terkait dengan klaim atas kematian
Tohap Napitupulu, dan Klaimnya kepada Perusahaan-perusahaan tersebut di terima.

Hotmauli Manurung kini bisa bernapas lega. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
memutuskan bahwa PT Prudential Life Assurance telah melakukan wanprestasi atau
ingkar janji pada kesepakatan dan harus membayarkan ganti rugi kepada Hotmauli
selaku penggugat dari almarhum Tohap Napitupulu.

Samuel Bonaparte, kuasa hukum Hotmauli, menyambut baik putusan majelis hakim.
"Pihak kami cukup puas dengan putusan hakim," katanya, seperti dikutip Kontan,
Jumat (23/10/2015).
Putusan pengadilan tersebut telah dibacakan oleh majelis hakim pada Kamis
(22/10/2015).

Hotmauli menuntut pihak Prudential Indonesia membayar ganti rugi sebesar Rp 198
juta dan ganti rugi immaterial sebesar Rp 1 miliar.

Sebelumnya, sidang putusan tersebut sempat ditunda dua minggu lantaran hakim
belum siap.
Kuasa hukum Prudential Indonesia, Eri Endhi Satrio, enggan banyak berkomentar
dengan putusan majelishakim.
"Kami masih akan berkonsultasi dengan klien (Prudential Indonesia)," ujarnya.
Kasus ini berawal saat Hotmauli Manurung yang mengajukan klaim polis kepada
Prudential pada tanggal 18 Februari 2014 sebesar Rp 96 juta. Sayangnya, setelah lima
bulan, klaim polis belum juga keluar. Prudential Indonesia kemudian memberikan
tanggapan terkait hal tersebut pada 14 Oktober 2014. Salah satu perusahaan asuransi
terbesar di Indonesia ini menolak pengajuan klaim asuransi karena riwayat nyeri dada
yang dialami oleh almarhum Tohap Napitupulu tidak disampaikan. (Tri Sulistiowati)
PENYELESAIAN
PT. Prudential Indonesia akan membayar klaim sesuai yang diperintahkan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
"Pengadilan memerintahkan kami mematuhi kesepakatan yang dicapai kedua belah
pihak di Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)," kata
Widyananto Sutanto, VP Corporate Communication Prudential, Rabu (28/10/2015).
Dia menjelaskan, sudah ada kesepakatan tercapai di BMAI pada Januari lalu.
Isinya, Prudential hanya membayar klaim nasabah secara ex gratia (sesuai
kebijaksanaan Prudential) yaitu Rp 48 juta. Prudential juga tidak diharuskan untuk
membayar kerugian immaterial sebesar Rp 1 miliar.
Dengan putusan pengadilan itu, Prudential tidak akan membayar nilai lain yang
pernah digugat yaitu Rp 198 juta maupun ganti rugi imateriil Rp 1 miliar.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutuskan bahwa PT Prudential Life
Assurance telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji pada kesepakatan dan harus
membayarkan ganti rugi kepada Hotmauli selaku penggugat dari almarhum Tohap
Napitupulu.
Sekadar informasi, Hotmauli menggugat klaim polis Prudential pada Februari 2014
sebesar Rp 96 juta. Namun, pada Oktober 2014, Prudential menolak pengajuan klaim
lantaran almarhum Tohap sebelumnya tidak pernah menyampaikan riwayat nyeri
dada yang dialaminya.
Fakta yang Terjadi Di dalam Kasus wansprestasi PT.Prudential life Assurance :
a. Prudential menolak mencairkan Asuransi yang diajukan oleh ibu Hotmauli
Manurung dengan dasar tidak masuk akal dan terkesan mengada-ada yaitu “menduga
atau menuduh” tertanggung(suami penggugat) memiliki indikasi penyakit jantung
yang tidak di laporkan pada saat pengisian Surat Pengajuan Asuransi Jiwa (SPAJ),
semata-mata karena pernah berobat dengan nyeri dada.
b. pihak prudential tetap tidak melaksanakan kewajibanya untuk membayarkan
uang pertanggungan atas meninggalnya suami penggugat , pada 31 januari 2014
sesuai surat kematian No.101/RSEB-RM-IGD/BD/I/2014. Yang di keluarkan oleh
RS. St.Elisabeth.
dalam Kasus di atas dapat disimpulkan Bahwa PT..Prudential life Assurance memang
melakukan Wansprestasi karena telah mengingkari kesepakatan yang di buat oleh
PT.Prudential life Assurance dan Alm. Penggugat dalam Pasal 1243 KUHPerdata
Pasal tersebut mengatur Mengenai Kerugian akibat melanggar Perjanjian atau
BREACH OFF CONTRAK atau WANPRESTASI. Pada pasal tersebut dinyatakan
bahwa :
“ Peggatian biaya, Rugi dan Bunga karena tak di penuhinya Suatu Perikatan, barulah
mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatanya, tetap melalaikanya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya , hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukanya”
BAB IV
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai