DIKETAHUI
25/08/2013 No Comments
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum
dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut
kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa,
misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya;
letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang
bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat,
maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat
hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu
disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak
lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu
akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers
onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut
menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang
abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam
pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya
suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah
demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system
terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak
harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-
undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit
de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge
van’s mensen toedoen)
Unsur-Unsur Perikatan
Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-iapt perikatan dilahirkan karena persetujuan baik
karena UU”.
Contoh A berjanji menjual sepeda motor kepada B Akibat dari janji, A wajib menyerahkan
sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya sedangkan B wajib menyerahkan
harga sepeda motor itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda.
Dalam contoh diatas apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban maka hukum
“memaksakan” agar kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi.
Perlu dicatat tidak semua hubungan hukum dapat disebut perikatan. Contoh kewajiban
orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.
Artinya adalah setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan
kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk
dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan.
1. Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki
utang (kewajiban)
2. Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau pihak
yang memiliki piutang (hak)
Pihak-pihak (debitur kreditur) tidak harus “orang” tapi juga dapat berbentuk “badan”,
sepanjang ia cakap melakukan perbuatan hukum.
Pihak-pihak (debitur kreditur) dalam perikatan dapat diganti. Dalam hal penggantian debitur
harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur, untuk itu debitur harus dikenal oleh kreditur
agar gampang menagihnya misalnya pengambilalihan hutang (schuldoverneming) sedangkan
penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak.
Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak
mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht),
misalnya A menjual sebuah mobil kepada B, mobil mana telah diasuransikan kepada
perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B maka B sekaligus
pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat pada mobil
tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi dari
perikatan demikian dinamakan hak kwalitatif.
Selanjutnya seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kwalitatif sehingga kewajiban
memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kwalitatif, misalnya seorang pemilik
baru dari sebuah rumah yang oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa
menyewa, terikat untuk meneruskan perjanjian sewa menyewa.
Dalam suatu perjanjian orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa yang
berkedudukan sebagai kreditur/debitur seperti pada perjanjian timbal balik (contoh jual beli).
Si penjual adalah kreditur terhadap uang harga barang yang diperjual belikan, tetapi ia
berkedudukan sebagai debitur terhadap barang (objek prestasi) yang perjualbelikan.
Demikian sebaliknya si pembeli berkedudukan sebagai debitur terhadap harga barang
kreditur atas objek prestasi penjual yaitu barang yang diperjualbelikan.
Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan
sebagai ukurannya (kriteria) ada 2 pandangan yaitu :
Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan objek perikatan.
Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang
bersifat kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul apabila terjadi
hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian (perikatan).
Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah
satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya
(prestasi).
Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat
pula muncul dari peraturan hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang.
Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib
hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda
motor, dll
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu
Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai
(menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya
membangun rumah. Tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B
ketika menjual apotiknya, untuk tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama.
Ketiga prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur.
Syarat-syarat prestasi :
Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang sedangkan haftung adalah
kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang
debitur, guna pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar
hutang tersebut.
Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak
menagih hutang piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak
menagih hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar
hutangnya maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya
pada debitur itu (verhaalsrecht).
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut
azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1. Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang
menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak
yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
2. Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam
Pasal 1320 KUHP Perdata.
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21
tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan
terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan
terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau
ketertiban umum
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai
dengan Pasal 1237 KUH perdata.