Abstrak
Lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai Karya Agung hukum acara
pidana Indonesia ternyata banyak keterbatasan dan tidak dapat mengakomodir
persoalan hukum pidana di masyarakat. Materi Muatan KUHAP banyak terjadi
inkonsistensi baik norma yang tidak jelas, ambigu, maupun kekosongan norma. Salah
satu Inkonsistensi rumusan materi muatan KUHAP adalah menyangkut hak tersangka
dan terdakwa. Inkonsistensi materi muatan menyangkut Hak tersangka dan terdakwa
bertentangan dengan prinsip keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis, mensistematisasi dan menginterpreasi
berbagai inkonsistensi hukum terhadap materi muatan KUHAP menyangkut hak
tersangka dan terdakwa . Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan system hukum. Bahan hukum
diperoleh dari berbagai bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Kesimpulan
penelitian ini adalah terjadi inkonsistensi rumusan norma dalam materi muataun KUHAP
menyangkut hak tersangka dan terdakwa yang mengindikasikan perumus KUHAP tidak
memahami konsepsi hak secara benar sehingga melanggar prinsip kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Reformulasi hak-hak tersangka
dan terdakwa dalam kerangka system peradilan pidana melalui metode tiga pendekatan
yaitu Pendekatan normative, Pendekatan administrative dan Pendekatan sosial sehingga
tidak terjadi pertentangan hak tersangka dan terdakwa dalam penegakan hukum pidana
Abstract
1. Pendahuluan
2. Metode Penelitian
Jenis hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah
penelitian yuridis normative (normative law research) yaitu penelitian yang
didasarkan pada suatu kaidah norma yang berlaku dalam masyarakat dan
menjadi acuan perilaku hukum bagi setiap orang. Fokus penelitian hukum
normative adalah pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin
hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto atau putusan
pengadilan, sistematik hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan
sejarah hukum.3
4
Koch and Rusmann, Jurustice Begrundungslehre, p. 191-201
5
Dalam Ilmu logika, kontradiksi muncul jika terdapat pertentangan antara satu preposisi dan
lainnya. Berkaitan dengan itu, Aristoteles menyatakan “it is impossible that the same thing can at
the same time both belong an not belong to the same object and in the same respect” Lihat, R
Horn, Laurence, 2018. Contradiction, The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Winter, Stanford
mana terdapat pertentangan antara satu preposisi dan lainnya, sehingga
mengakibatkan terjadi disharmonisasi.
Berkaitan dengan normativitas, dapat diketahui dengan
memahami pikiran Hans Kelsen. Hukum merupakan sistem norma,
sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-keharusan (apa yang
seharusnya atau das sollen). Bagi Hans Kelsen, norma merupakan
produk pemikiran manusia yang sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi
sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma, yang
penentuannya dilandaskan pada nilai-nilai yang baik. Jadi pertimbangan-
pertimbangan yang melandasi sebuah norma bersifat meta yuridis.
Sesuatu yang bersifat metayuridis tersebut bersifat das sollen, dan
belum menjadi hukum yang berlaku mengikat masyarakat. Singkatnya
bagi Hans Kelsen, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak.
Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila
norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan
dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan
memuat perintah. Dengan demikian, inkonsistensi normativitas itu
terjadi ketika suatu rumusan hukum itu tidak memiliki definisi yang
tepat, atau tidak terdefinisi secara formal. Dengan tidak adanya definisi
itu, suatu hukum itu nantinya akan menjadi kabur atau tidak jelas,
sehingga sulit atau tidak dapat diterapkan.
Berbicara mengenai relasi hukum dan hak ibarat dua sisi mata
uang walaupun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Hak adalah suatu
kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu
kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Baik pribadi maupun umum.
Dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak
diterima. Contoh hak untuk hidup, hak untuk mempunyai keyakinan,
dan lain- lain.6
6
Asikin, Zainal, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Cet.1.Jakarta, p.115
Pengertian lain menyebutkan bahwa Hak adalah kewenangan
yang diberikan oleh hukum obyektif kepada subyek hukum. Pengertian
lain juga menyebutkan bahwa hak adalah tuntutan sah agar orang lain
bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu. Kewenangan yang
diberikan oleh hukum obyektif tersebut pada subyek hukum
berimplikasi kepada subyek hukum itu sendiri sehingga ia dapat berbuat
apa saja terhadap sesuatu yang menjadi haknya tersebut asal asal tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
ketertiban umum maupun kepatutan yang ada.7
Konsideran KUHAP mempedomani bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Undang-Undang Dasar
1945 menjamin dan melindungi hak-hak hukum setiap warga negara
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan
bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum. Dengan demikian jelas bahwa hak untuk memperoleh jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum terhadap setiap orang tidak dapat
diambil dan tidak dapat diabaikan oleh siapapun termasuk oleh aparat
penegak hukum.
Terminologi tersangka dan terdakwa berdasarkan rumusan
Pasal 1 angka (14) dan (15) KUHAP mengatur bahwa Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana sedangkan
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili
7
Angrayni, Lysa, 2014, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Suska Press ,Riau. p.31-32
di sidang pengadilan. Selain itu Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Bahkan Pasal 9 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman memberi jaminan dan perlindungan bahwa Setiap orang
yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
Dengan demikian satu hal yang esensial dari rumusan terminology
hukum baik tersangka maupun terdakwa melekat prinsip praduga tak
bersalah, artinya melekat hak kepada tersangka dan terdakwa untuk
tidak diperlakukan selayaknya orang yang pasti melakukan kejahatan
dan terbukti bersalah.
Inkonsistensi rumusan norma dalam materi muataun KUHAP
menyangkut hak tersangka dan terdakwa adalah terkait frasa “segera”
yang tidak jelas berapa ukuran waktunya, apakah sehari, seminggu atau
sebulan. Frasa “segera” dalam KUHAP menyangkut ketidakjelasan
terhadap hak tersangka dan terdakwa diatur dalam Pasal 50 KUHP yang
berbunyi:
8
H. Enju Juanda, Konstruksi Hukum dan Metode Interpretasi Hukum, Jurnal Ilmiah Galuh Institusi
(online), Vol.4, No.2, (2016). p. 12
9
Krisnayudha, Backy, 2016. Pancasila dan Undang-undang: Relasi dan Transformasi Keduanya
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kencana, Jakarta, p.85-195.
inkonsistensi normativitas berakibat nyata pada tidak dapat
dilaksanakannya ketentuan mengenai kapan secara jelas dapat
dilaksanakan perintah Pasal 50 a quo.
2) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminologie en duidelijke systematiek). Frasa “segera”
tidak pernah dijelaskan dalam peraturan-peraturan formal. Hal ini
menunjukkan secara nyata inkonsistensi normativitas hak-hak
tersangka dan terdakwa.
3) Asas kejelasan rumusan yang berarti bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan
kata atau istilah serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Frasa “segera” dalam Pasal 50
KUHAP jelas bertentangan dengan prinsip asas kejelasan rumusan
dimana pilihan kata atau istilah Bahasa hukumnya tidak jelas dan
tidak mudah dimengerti.
Ketidakselarasan materi muatan frasa “segera” yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan disebabkan oleh10:
10
Wasis Susetio. Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria. Jurnal Lex
Jurnalica (3)10. (2013), p. 142.
d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin
hukum;
e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan masih terbatas
13
Sabuan, Ansorie.1990, Hukum Acara Pidana. Angkasa, Bandung, p. 6
negara diatas kepentingan individu (tersangka dan terdakwa), tersangka
selayaknya diperlakukan orang yang bersalah dan abai dengan prinsip
presumption of innocent sebagai prinsip pilar negara hukum. Hukum
dijadikan alat represif terhadap setiap Tindakan criminal yang
cenderung melanggar hak asasi manusia.
Karakter system crime control mode dalam system peradilan
pidana di Indonesia yang cenderung mengabaikan kepentingan individu
(tersangka dan terdakwa) dan melanggar hak asasi manusia tercermin
juga dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang
mengatur bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan” . Proses penegakan
hukum ditujukan dengan perhatian utama kepada efisiensi untuk
menyelesaikan perkara dan terkesan hanya menyerupai model
manajerial. Sungguh kontrak produktif dengan prinsip fundamental
bangsa Indonesia yang berjiwa Pancasila.
Berlandaskan prinsip Pancasila sebagai karakter jiwa bangsa
Indonesia yang berbeda dengan negara lain, dimana berciri khas kan
negara berketuhanan (religious nation state ). Negara Indonesia yang
berfalsafah Pancasila melindungi agama, penganut agama, bahkan
berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mohammad Hatta (wakil Presiden
RI I) menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik
Indonesia, syariah Islam berdasarkan Alquran dan Hadis dapat dijadikan
peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam
15
Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera.2009. Cara Praktis Menyusun & Merancang
Peraturan Daerah, Penerbit Kencana, Jakarta, p. 55
16
Sunaryo,Sidik. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, p. 269-270
1) Model ini menekankan pada pencegahan (preventive
measures) dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi
pengadilan.
2) Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang
sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan
merendahkan martabat manusia.
3) Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan.
4) Adanya gagasan persamaan di muka hukum.
5) Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi
pidana.
4. Kesimpulan
Inkonsistensi rumusan norma dalam materi muataun KUHAP menyangkut hak
tersangka dan terdakwa mengindikasikan perumus KUHAP tidak cermat dan
memahami konsepsi hak secara benar sehingga melanggat pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum. Upaya Reformulasi hak-hak tersangka dan terdakwa
harus konstruksikan dengan dalam kerangka system peradilan pidana melalui
metode tiga pendekatan yaitu Pendekatan normatif dengan revisi UU No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatur kembali frasa “segera” agar tidak
terjadi lagi interpretasi yang tidak jelas dan memberi batasan serta kejelasan
berapa lama waktu yang diperintahkan oleh undang-undang. Pendekatan
administrative dengan suatu peraturan petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan internal masing-masing lembaga penegak hukum agar tidak ada
lagi kekosongan hukum dan petunjuk yang jelas bagi para penyidik baik dari
polri maupun kejaksaan dan Pendekatan sosial bahwa kedudukan antara
penegak hukum dan tersangka maupun terdakwa bukanlah suatu hal yang
menjadi saling bertentangan dan merupakan bagian integral dari suatu
system social masyarakat yang saling memiliki hak dan kewajiban yang harus
saling dipenuhi dan dilindungi
5. Daftar Pustaka
Jurnal :
Abdulkadir Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Cet I, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung
Ahmad Amrullah, 2016. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
Gema Insani Press, Jakarta;
Ansorie Sabuan, 1990, Hukum Acara Pidana. Angkasa, Bandung;
Backy Krisnayudha, 2016. Pancasila dan Undang-undang: Relasi dan
Transformasi Keduanya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kencana,
Jakarta;
Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera. 2009. Cara Praktis Menyusun
& Merancang Peraturan Daerah, Penerbit Kencana, Jakarta
Laurence R Horn,, 2018. Contradiction, The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
Winter, Stanford;
Lysa Angrayni, 2014, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Suska Press ,Riau;
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang;
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionism, Cet.II, Bina cipta, Bandung;
R. Sugiharto, 2012, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Sekilas Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Unissula Press, Semarang;
Sidik Sunaryo. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang;
Zainal Asikin, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Cet.1,
Jakarta;
Peraturan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Undang Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman