Anda di halaman 1dari 23

REFORMULASI HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP HAK

TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM PERSPEKTIF SISTEM


PERADILAN PIDANA
Unggul Basoeky

Magister Ilmu Hukum, Lawyer.ubay@gmail.com


Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Indonesia

Abstrak

Lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai Karya Agung hukum acara
pidana Indonesia ternyata banyak keterbatasan dan tidak dapat mengakomodir
persoalan hukum pidana di masyarakat. Materi Muatan KUHAP banyak terjadi
inkonsistensi baik norma yang tidak jelas, ambigu, maupun kekosongan norma. Salah
satu Inkonsistensi rumusan materi muatan KUHAP adalah menyangkut hak tersangka
dan terdakwa. Inkonsistensi materi muatan menyangkut Hak tersangka dan terdakwa
bertentangan dengan prinsip keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis, mensistematisasi dan menginterpreasi
berbagai inkonsistensi hukum terhadap materi muatan KUHAP menyangkut hak
tersangka dan terdakwa . Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan system hukum. Bahan hukum
diperoleh dari berbagai bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Kesimpulan
penelitian ini adalah terjadi inkonsistensi rumusan norma dalam materi muataun KUHAP
menyangkut hak tersangka dan terdakwa yang mengindikasikan perumus KUHAP tidak
memahami konsepsi hak secara benar sehingga melanggar prinsip kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Reformulasi hak-hak tersangka
dan terdakwa dalam kerangka system peradilan pidana melalui metode tiga pendekatan
yaitu Pendekatan normative, Pendekatan administrative dan Pendekatan sosial sehingga
tidak terjadi pertentangan hak tersangka dan terdakwa dalam penegakan hukum pidana

Kata Kunci : Reformulasi, hak tersangka, system peradilan pidana

Abstract

The birth of the Criminal Procedure Code as a Masterpiece of Indonesian criminal


procedure law has many limitations and cannot accommodate criminal law issues in
society. The content of the KUHAP contains many inconsistencies, both unclear and
ambiguous norms, and termination of norms. One of the inconsistencies in the
formulation of the contents of the KUHAP relates to the right of accusation and fine.
Inconsistencies in content related to the rights of accusations and accusations against
the principle of justice, protection of human dignity, support and legal certainty for the
establishment of a rule of law state. The purpose of this study is to analyze, systematize
and interpret various legal inconsistencies in the contents of the Criminal Procedure
Code regarding the right to detention and protection. This research method uses a
normative juridical research method with a statutory and legal system approach. Legal
materials are obtained from various primary, secondary and tertiary legal materials. The
conclusion of this study is that there is an inconsistency in the formulation of norms in
the material contained in the Criminal Procedure Code regarding the rights of the
defendant and involvement which indicates that the formulation of the Criminal
Procedure Code does not understand the conception of rights correctly so that it violates
the principles of fair legal certainty and equal treatment before the law. Reformulation
of rights and defense lawsuits within the framework of the criminal justice system
through three approaches, namely the normative approach, the administrative approach
and the social approach so that there is no settlement of charges and defense rights in
criminal law enforcement

Keywords: Reformulation, prosecution rights, criminal justice system

1. Pendahuluan

Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) merupakan
pengganti dari hukum acara peninggalan Belanda yang terdapat dalam Het
Herziene Inlandsch Reglement/ HIR ( Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44)
dihubungkan dengan undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor
81). Pada awal dimunculkannya KUHAP, bangsa Indonesia sangat bangga atas
terciptanya karya kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana nasional
tersebut. Pasca KUHAP diberlakukan selama kurun waktu 40 tahun, ternyata
semakin banyak menampakkan keterbatasannya. Harapan-harapan terhadap
KUHAP telah berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan setelah pada
kenyatannya masih banyak terjadi inkonsistensi hukum dalam materi
muatannya baik norma yang tidak jelas (vagueness of norm) maupun
kekosongan norma (vacuum of norm). inkonsistensi hukum ini menjadikan
siapapun dapat menafsirkan sekehendaknya sesuai dengan berkepentingan
sehingga justru semakin kehilangan aspek nilai kepastian hukumnya,
kemanfaatan dan keadilan hukum1.
Salah satu permasalahan dalam KUHAP adalah menyangkut hak-hak
tersangka dan terdakwa. Hak-Hak tersangka dan terdakwa diatur dalam
KUHAP sebanyak 18 (delapan belas) Pasal yang terdiri dari Pasal 51 s.d Pasal
68 KUHAP. Inkonsistensi rumusan norma dalam materi muataun KUHAP
menyangkut hak tersangka dan terdakwa adalah terkait frasa “segera” yang
tidak jelas berapa ukuran waktunya, apakah sehari, seminggu atau sebulan.
Frasa “segera” dalam KUHAP menyangkut ketidakjelasan terhadap hak
tersangka dan terdakwa diatur dalam Pasal 50 KUHP yang berbunyi:

(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan


selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Ketidakjelasan mengenai makna frasa “segera” mengakibatkan pihak


yang berkepentingan yaitu tersangka dan terdakwa mengalami kerugian
hukum baik materiil maupun immateriil. KUHAP seolah-olah tidak
memberikan prinsip keberimbangan dan memberikan kewenangan yang luas
kepada penyidik dan penuntut umum yang mengesampingkan hak hukum
pihak yang baru disangka dan diduga melakukan tindak pidana. Hak ini
bertentangan dengan prinsip hukum equality before the law dan
bertentangan dengan konsideran KUHAP yang seharusnya memastikan
prosedur dan tata cara penegakan hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta
kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum yang sesuai dengan
UUD 1945.
1
Fitria Anita, Sosialisasi Pembaharuan Hukum Acara Pidana Menyangkut Proses Penyidikan
Berbasis Multimedia, Jurnal Majalah Keadilan Volume 21 Nomor 2 (2021), p. 48
Menurut Oxford Learner Dictionaries, Reformulation is the act of
creating or preparing something again. to formulate (something) again and
usually in a different way. to change or update (an idea, plan, etc, already
formulated). Reformulasi berarti suatu Tindakan untuk menciptakan atau
mempersiapkan lagi dengan cara yang berbeda untuk merubah sesuatu hal
baik secara ide, gagasan, Teknik dan metode-metodenya. Reformulasi dapat
dikatakan suatu Tindakan memformat ulang terhadap keadaan (atau apapun)
yang ada, karena ia jauh dari ideal. Diperlukan upaya reformulasi terhadap
KUHAP dengan menciptakan ide, gagasan dan metode yang sistematis untuk
memperbaiki inkonsistensi materi muatan KUHAP menyangkut hak-hak
tersangka dan terdakwa yang tidak jelas maknanya dan jauh dari ideal
rumusan prosedur hukum acara pidana sebagai dasar melaksanakan hukum
pidana materiil.
Berbagai uji materiil terhadap materi muatan KUHAP di Mahkamah
Konstitusi selama 42 tahun belum dapat memformulasikan secara jelas dan
eksplisit frasa “segera” tersebut. Bahkan tidak ada “good will” dari institusi
kepolisian, kejaksaan dan peradilan untuk merumuskan peraturan dan
kebihjakan untuk merumuskan frasa “segera” tersebut. Berkaca dari belum
adanya upaya kongkret pembuat hukum untuk merumuskan kembali materi
muatan KUHAP menyangkut hak-hak tersangka dan terdakwa maka
diperlukan suatu kajian yuridis dalam perspektif system peradilan pidana.
Sebagaimana menurut Muladi bahwa system peradilan pidana di
dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem
pendukungnya, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi
(lembaga pemasyarakatan) yang secara keseluruhan dan merupakan satu
kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi
keluaran yang menjadi tujuan system peradilan pidana yang berupa
resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan
(jangka menengah) dan kesejahteraan (jangka panjang)2.
Berdasarkan uraian diatas, mendorong penulis untuk membuat analisis
hukum yang membahas issu hukum dan menganalisis inkonsistensi hukum
materi muatan KUHAP menyangkut hak tersangka dan terdakwa serta
merumuskan formulasi KUHAP dalam perspektif system peradilan pidana
sehingga diharapkan dengan penelitian ini bertujuan memberikan referensi
yang berguna bagi pengembanan hukum baik teoretik maupun praktek
khususnya menyangkut hukum acara pidana yang menjadi pedoman dalam
praktek penegakan hukum bagi aparat kepolisian, kejaksaan dan lembaga
pengadilan

2. Metode Penelitian
Jenis hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah
penelitian yuridis normative (normative law research) yaitu penelitian yang
didasarkan pada suatu kaidah norma yang berlaku dalam masyarakat dan
menjadi acuan perilaku hukum bagi setiap orang. Fokus penelitian hukum
normative adalah pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin
hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto atau putusan
pengadilan, sistematik hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan
sejarah hukum.3

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


2
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang dalam Sugiharto, R, 2012, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Sekilas Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Unissula Press, Semarang. p. 20
3
Menurut Abdulkadir Muhammad penelitian hukum dibagi menjadi tiga yaitu penelitian hukum
normative, penelitian hukum normative-empiris, dan penelitian hukum empiris. Dalam
Muhammad, Abdulkadir 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Cet I, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, p. 52
3.1 Inkonsistensi Normativitas Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam UU
No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Menurut Koch and Rusmann, bahwa peraturan yang mengandung vagueness,


inconsistency, ambiguity (kesamaran, inkonsistensi, dan ambiguitas) maka
artinya menjadi tidak jelas4.

a) Vagueness, Koch and Russmann describe the term vagueness by


further developing Heck’s core-corona-model into a three sphere
model. According to this model, there are three categories of
vagueness :
1) There are individuals to which the concept undoubtedly applies
(so-called positives candidates)
2) There are individuals to which the conceps does undoubtedly not
apply (so called negative candidates)
3) The are individuals as to which it is debateable whether the
concept applies or not (so called neutral candidates)
b) Inconsistency, a term is considered to be inconsistent if it used within
the same context by different speaker with different meaning. Within
judicial terminology, we speak of inconsistency if the precise meaning
of a legal term has not yet been clarified by the supreme court. Their
use varies between different courts, or in the case dissenting votes of
individual judges, also within courts.

Inkonsistensi normativitas sendiri, terdiri dari dua kata,


inkonsistensi dan normativitas. Inkonsistensi sendiri, berasal dari dua
kata, ‘in’ yang berarti tidak, dan konsisten. Dalam ilmu logika, sesuatu
dikatakan konsisten, jika ia tidak mengandung atau tidak menuju pada
kontradiksi.5 Dengan kata lain, sesuatu dikatakan konsisten, jika
preposisi itu terangkai dalam suatu sistem atau logika yang harmonis,
dan tidak saling bertentangan satu sama lain, karenanya, inkonsistensi
sendiri secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah kondisi di

4
Koch and Rusmann, Jurustice Begrundungslehre, p. 191-201
5
Dalam Ilmu logika, kontradiksi muncul jika terdapat pertentangan antara satu preposisi dan
lainnya. Berkaitan dengan itu, Aristoteles menyatakan “it is impossible that the same thing can at
the same time both belong an not belong to the same object and in the same respect” Lihat, R
Horn, Laurence, 2018. Contradiction, The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Winter, Stanford
mana terdapat pertentangan antara satu preposisi dan lainnya, sehingga
mengakibatkan terjadi disharmonisasi.
Berkaitan dengan normativitas, dapat diketahui dengan
memahami pikiran Hans Kelsen. Hukum merupakan sistem norma,
sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-keharusan (apa yang
seharusnya atau das sollen). Bagi Hans Kelsen, norma merupakan
produk pemikiran manusia yang sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi
sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma, yang
penentuannya dilandaskan pada nilai-nilai yang baik. Jadi pertimbangan-
pertimbangan yang melandasi sebuah norma bersifat meta yuridis.
Sesuatu yang bersifat metayuridis tersebut bersifat das sollen, dan
belum menjadi hukum yang berlaku mengikat masyarakat. Singkatnya
bagi Hans Kelsen, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak.
Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila
norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan
dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan
memuat perintah. Dengan demikian, inkonsistensi normativitas itu
terjadi ketika suatu rumusan hukum itu tidak memiliki definisi yang
tepat, atau tidak terdefinisi secara formal. Dengan tidak adanya definisi
itu, suatu hukum itu nantinya akan menjadi kabur atau tidak jelas,
sehingga sulit atau tidak dapat diterapkan.
Berbicara mengenai relasi hukum dan hak ibarat dua sisi mata
uang walaupun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Hak adalah suatu
kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu
kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Baik pribadi maupun umum.
Dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak
diterima. Contoh hak untuk hidup, hak untuk mempunyai keyakinan,
dan lain- lain.6

6
Asikin, Zainal, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Cet.1.Jakarta, p.115
Pengertian lain menyebutkan bahwa Hak adalah kewenangan
yang diberikan oleh hukum obyektif kepada subyek hukum. Pengertian
lain juga menyebutkan bahwa hak adalah tuntutan sah agar orang lain
bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu. Kewenangan yang
diberikan oleh hukum obyektif tersebut pada subyek hukum
berimplikasi kepada subyek hukum itu sendiri sehingga ia dapat berbuat
apa saja terhadap sesuatu yang menjadi haknya tersebut asal asal tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
ketertiban umum maupun kepatutan yang ada.7
Konsideran KUHAP mempedomani bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Undang-Undang Dasar
1945 menjamin dan melindungi hak-hak hukum setiap warga negara
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan
bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum. Dengan demikian jelas bahwa hak untuk memperoleh jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum terhadap setiap orang tidak dapat
diambil dan tidak dapat diabaikan oleh siapapun termasuk oleh aparat
penegak hukum.
Terminologi tersangka dan terdakwa berdasarkan rumusan
Pasal 1 angka (14) dan (15) KUHAP mengatur bahwa Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana sedangkan
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili

7
Angrayni, Lysa, 2014, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Suska Press ,Riau. p.31-32
di sidang pengadilan. Selain itu Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Bahkan Pasal 9 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman memberi jaminan dan perlindungan bahwa Setiap orang
yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
Dengan demikian satu hal yang esensial dari rumusan terminology
hukum baik tersangka maupun terdakwa melekat prinsip praduga tak
bersalah, artinya melekat hak kepada tersangka dan terdakwa untuk
tidak diperlakukan selayaknya orang yang pasti melakukan kejahatan
dan terbukti bersalah.
Inkonsistensi rumusan norma dalam materi muataun KUHAP
menyangkut hak tersangka dan terdakwa adalah terkait frasa “segera”
yang tidak jelas berapa ukuran waktunya, apakah sehari, seminggu atau
sebulan. Frasa “segera” dalam KUHAP menyangkut ketidakjelasan
terhadap hak tersangka dan terdakwa diatur dalam Pasal 50 KUHP yang
berbunyi:

(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan


selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Ketidakjelasan mengenai makna frasa “segera”


mengindikasikan perumus KUHAP tidak cermat dan memahami konsepsi
hak secara benar. Setiap tersangka maupun terdakwa berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum karena baik tersangka maupun
terdakwa melekat prinsip praduga tak bersalah, artinya melekat hak
kepada tersangka dan terdakwa untuk tidak diperlakukan selayaknya
orang yang pasti melakukan kejahatan dan terbukti bersalah bahkan UU
Kekuasaan Kehakiman melindungi kepentingan tersangka dan terdakwa
dimana menyatakan bahwa Setiap tersangka dan terdakwa wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Materi muatan Pasal 50 KUHAP yang mengatur hak tersangka
maupun terdakwa seharusnya rigit dan tidak menimbulkan multi tafsir.
Konteks “segera” yang dirumuskan dalam Pasal a quo seharusnya diberi
kejelasan jangka waktu sampai kapan dan apa akibat hukumnya jika
sampai melampaui jangka waktu tersebut tidak dipenuhi hak-hak
tersangka maupun terdakwa tersebut. Ketidakjelasan rumusan frasa
“segera” menyangkut hak tersangka dan terdakwa mengakibatkan pihak
tersangka dan terdakwa mengalami kerugian hukum baik materiil
maupun immateriil. Jaminan konstitusional kepada setiap warga negara
untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum seolah
tidak terjadi dan tidak memberikan prinsip keberimbangan hak antara
penegak hukum dan tersangka maupun terdakwa. KUHAP memberikan
kewenangan yang luas kepada penegak hukum dengan
mengesampingkan hak hukum tersangka maupun terdakwa sebagai
orang yang belum tentu dinyatakan bersalah secara hukum.
Inkonsistensi normativitas hak-hak tersangka dan terdakwa
tidak hanya kesamaran (vagueness) dan ambiguitas (ambiguity) makna
“segera” dalam rumusan materi muatan Pasal 50 KUHAP, akan tetapi
juga kekosongan hukum (vacuum of norm) menyangkut definisi dan
ruang lingkup makna frasa “segera” tersebut. Kekosongan hukum
pengaturan makna frasa “segera” selain tidak diatur dalam KUHAP dan
penjelasannya, juga tidak diatur dalam peraturan organic turunan
KUHAP maupun peraturan kebijakan di internal institusi penegak
hukum. Akibat tidak diaturnya makna frasa “segera” dalam peraturan
perundang-undangan mengakibatkan tidak dapatnya di-intepretasikan
secara sistematis. Intepretasi sistematis sendiri merupakan cara
menafsirkan yang menghubungkan menghubungkan pasal yang satu
dengan yang lain dalam suatu perundang-undangan yang sama atau
pada perundang-undangan (hukum) lainnya, atau mencari makna
melalui penjelasan undang-undang, dengan harapan pembuat undang-
undang memberikan batasan atau penjelasan tertentu terhadap
undang-undang.8.
Inkonsistensi normativitas hak-hak tersangka dan terdakwa
sebagaimana rumusan Pasal 50 a quo bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana Pasal 5 UU
No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Inkonsistensi rumusan frasa “segera” jelas tidak memenuhi
kaidah asas-asas antara lain:9

1) Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) yang


berarti bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-
undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di
masyarakat karena mendapat dukungan baik secara filosofis,
yuridis, maupun sosioliogis sejak tahap penyusunannya. Dalam
konteks hak-hak tersangka dan terdakwa, maka terjadinya

8
H. Enju Juanda, Konstruksi Hukum dan Metode Interpretasi Hukum, Jurnal Ilmiah Galuh Institusi
(online), Vol.4, No.2, (2016). p. 12
9
Krisnayudha, Backy, 2016. Pancasila dan Undang-undang: Relasi dan Transformasi Keduanya
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kencana, Jakarta, p.85-195.
inkonsistensi normativitas berakibat nyata pada tidak dapat
dilaksanakannya ketentuan mengenai kapan secara jelas dapat
dilaksanakan perintah Pasal 50 a quo.
2) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminologie en duidelijke systematiek). Frasa “segera”
tidak pernah dijelaskan dalam peraturan-peraturan formal. Hal ini
menunjukkan secara nyata inkonsistensi normativitas hak-hak
tersangka dan terdakwa.
3) Asas kejelasan rumusan yang berarti bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan
kata atau istilah serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Frasa “segera” dalam Pasal 50
KUHAP jelas bertentangan dengan prinsip asas kejelasan rumusan
dimana pilihan kata atau istilah Bahasa hukumnya tidak jelas dan
tidak mudah dimengerti.
Ketidakselarasan materi muatan frasa “segera” yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan disebabkan oleh10:

a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering


dalam kurun waktu yang berbeda;
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-
undangan berganti-ganti karena dibatasi oleh masa jabatan dan
peralihan tugas;
c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan lebih kuat dibandingkan pendekatan sistem;

10
Wasis Susetio. Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria. Jurnal Lex
Jurnalica (3)10. (2013), p. 142.
d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin
hukum;
e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan masih terbatas

Disharmonisasi materi muatan frasa “segera” menyangkut hak-


hak tersangka dan terdakwa dalam peraturan perundang-undangan
mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya,
munculnya ketidakpastian hukum, peraturan perundang-undangan tidak
terlaksana secara efektif dan efisien, dan disfungsi hukum, artinya
hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada
masyarakat, pengendalian sosial, dan penyelesaian sengketa.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disharmonisasi
hukum perlu diperhatikan agar dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan tidak saling tumpang tindih. Pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan baru perlu memperhatikan undang-
undang yang sudah ada sebelumnya, agar peraturan yang baru tidak
bertentangan dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya.

3.2 Reformulasi Kewenangan Penyidikan Dalam Perspektif Sistem Peradilan


Pidana

Menurut Oxford Learner Dictionaries, Reformulation is the act of


creating or preparing something again. to formulate (something) again
and usually in a different way. to change or update (an idea, plan, etc,
already formulated). Reformulasi berarti suatu Tindakan untuk
menciptakan atau mempersiapkan lagi dengan cara yang berbeda untuk
merubah sesuatu hal baik secara ide, gagasan, Teknik dan metode-
metodenya. Reformulasi dapat dikatakan suatu Tindakan memformat
ulang terhadap keadaan (atau apapun) yang ada, karena ia jauh dari
ideal. Diperlukan upaya reformulasi terhadap KUHAP dengan
menciptakan ide, gagasan dan metode yang sistematis untuk
memperbaiki inkonsistensi materi muatan KUHAP menyangkut
penyidikan yang tidak jelas maknanya dan jauh dari ideal rumusan
prosedur hukum acara pidana sebagai dasar melaksanakan hukum
pidana materiil.
Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai
”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s
enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman
baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi
dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Sistem peradilan pidana
berasal dari kata, “sistem” dan “peradilan pidana”. Sistem dapat
diartikan sebagai suatu rangkaian di antara sejumlah unsur yang saling
terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem mengandung arti
terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling
berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan.
Sedangkan peradilan pidana merupakan suatu mekanisme pemeriksaan
perkara pidana yang bertujuan untuk menjatuhkan atau membebaskan
seseorang dari dakwaan melakukan tindak pidana.
Geoffrey Hazard Jr. juga mengemukakan adanya tiga pendekatan
dalam sistem peradilan pidana yaitu pendekatan normatif, pendekatan
administratif dan pendekatan social.11 Pertama, Pendekatan normatif
memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat
aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum semata mata. Kedua, Pendekatan administratif
memandang aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi
11
Atmasasmita, Romli.1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionism, Cet.II, Bina cipta, Bandung. p. 17-18
manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang
bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur
organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang
dipergunakan adalah sistem administrasi. Ketiga, Pendekatan sosial
memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara
keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan
dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan
tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem social
Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana merupakan
suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial yang lainnya.
Perbedaannya dapat dilihat dari keberadaannnya untuk memproduksi
segala sesuatu yang bersifat unwelfare (berupa perampasan
kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau bahkan
menghilangkan nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai
tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan
penekanan tindak pidana).12
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu
proses penegakkan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat
sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum
substantive maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan
pidana itu pada dasarnya merupakan penegakkan hukum pidana “in
abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakkan hukum “in
concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam
sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut
memberikan kekuasaan pada pengambilan kebijakan dan memberikan
dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan Jadi pada hakekatnya
dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu
12
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang. p. 21
tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar
terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem
dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal untuk
melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak
proses penyelidikan sampai proses pemidanaan
Penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal
dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana (two models of
the criminal process) yaitu Crime Control Model dan Due Process Model.
Crime Control Model (C.C.M) lebih memperhatikan kebutuhan untuk
menyelesaikan kasus atau memperhatikan kebutuhan untuk
menyelesaikan kasus atau memastikan ada tidaknya suatu kejahatan
dan mengontrol kejahatan. Pada Crime Control Model didasarkan pada
anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-
mata untuk menindas perilaku kriminal ( criminal conduct ), dan ini
merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan
adalah ketertiban umum (public order) dan efisiensi.13 Proses kriminal
pada dasarnya merupakan suatu perjuangan atau bahkan semacam
perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali
yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa ). Di sini
berlakulah apa yang disebut sebagai “presumption of guilt” (praduga
bersalah) dan “sarana cepat” dalam pemberantasan kejahatan demi
efisiensi. Dalam praktek model ini mengandung kelemahan yaitu
seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi.
Ketidakjelasan rumusan frasa “segera” dalam menentukan
jangka waktu hak tersangka dan terdakwa untuk dapat segera diproses
hukum mengindikasikan kuatnya system peradilan pidana di Indonesia
yang berbasis Crime Control Mode dalam proses penegakan hukum.
Proses penegakan hukum lebih memprioritaskan terhadap kepentingan

13
Sabuan, Ansorie.1990, Hukum Acara Pidana. Angkasa, Bandung, p. 6
negara diatas kepentingan individu (tersangka dan terdakwa), tersangka
selayaknya diperlakukan orang yang bersalah dan abai dengan prinsip
presumption of innocent sebagai prinsip pilar negara hukum. Hukum
dijadikan alat represif terhadap setiap Tindakan criminal yang
cenderung melanggar hak asasi manusia.
Karakter system crime control mode dalam system peradilan
pidana di Indonesia yang cenderung mengabaikan kepentingan individu
(tersangka dan terdakwa) dan melanggar hak asasi manusia tercermin
juga dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang
mengatur bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan” . Proses penegakan
hukum ditujukan dengan perhatian utama kepada efisiensi untuk
menyelesaikan perkara dan terkesan hanya menyerupai model
manajerial. Sungguh kontrak produktif dengan prinsip fundamental
bangsa Indonesia yang berjiwa Pancasila.
Berlandaskan prinsip Pancasila sebagai karakter jiwa bangsa

Indonesia yang berbeda dengan negara lain, dimana berciri khas kan
negara berketuhanan (religious nation state ). Negara Indonesia yang
berfalsafah Pancasila melindungi agama, penganut agama, bahkan
berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mohammad Hatta (wakil Presiden
RI I) menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik
Indonesia, syariah Islam berdasarkan Alquran dan Hadis dapat dijadikan
peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam

mempunyai sistem syariah yang sesuai dengan kondisi Indonesia14.


Pancasila merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat di
14
Ichtijanto SA, “Prospek Peradilan Agama Sebagai Peeradilan Negara Dalam Sistem Politik
Hukum di Indonesia,” dalam Ahmad, Amrullah, 2016. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, p. 178
dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah
tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang benar, dan
disamping itu mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah
hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil
atau tidak.15
Usaha mereformulasi KUHAP tentang hak-hak tersangka dan

terdakwa dalam kerangka system peradilan pidana adalah mengatur


ulang system peradilan pidana yang berbasis crime criminal mode
menjadi due process model. Falsafah Pancasila sebagai karakter bangsa
dan sumber dari segala sumber hukum yang berciri khaskan semangat
keadilan secara religious sangat bertolak belakang dengan system crime
criminal mode yang nampaknya menjadi kerangka pemikiran mendasar
system peradilan pidana Indonesia.
Berbagai potret pelanggaran proses penegakan hukum terhadap

hak tersangka dan terdakwa dimana seringkali aparat penegak hukum


khususnya polisi dan kejaksaan dilaporkan kepada pengawas internal
maupun eksternal. Tidak sedikit penyidik polri yang dilaporkan kepada
pengawas internal baik Propam maupun Wasidik atau bahkan
Kompolnas sedangkan penyidik kejaksaan juga seringkali dilaporkan
kepada Jamwas dan Komisi Kejaksaan. Potret pelanggaran tersebut
mengindikasikan terjadi seringnya pelanggaran hak hukum dan hak asasi
manusia dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Di dalam Due Process Model ini muncul nilai-nilai yang
sebelumnya kurang diperhatikan yaitu konsep perlindungan hak-hak
individu dan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan peradilan
pidana. Dan nilai- nilai yang mendasari Due Proses Model adalah 16:

15
Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera.2009. Cara Praktis Menyusun & Merancang
Peraturan Daerah, Penerbit Kencana, Jakarta, p. 55
16
Sunaryo,Sidik. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, p. 269-270
1) Model ini menekankan pada pencegahan (preventive
measures) dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi
pengadilan.
2) Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang
sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan
merendahkan martabat manusia.
3) Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan.
4) Adanya gagasan persamaan di muka hukum.
5) Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi
pidana.

Bertumpu pada kerangka system due proses model, reformulasi hak-hak


tersangka dan terdakwa harus konstruksikan dengan metode tiga
pendekatan yaitu:

1) Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak


hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan ) sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum semata mata. Diperlukan revisi UU No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatur kembali frasa
“segera” agar tidak terjadi lagi interpretasi yang tidak jelas dan
memberi batasan serta kejelasan berapa lama waktu yang
diperintahkan oleh undang-undang. Revisi UU KUHAP
menyangkut hak tersangka dan terdakwa juga harus diselaraskan
dan diharmonisasikan dengan kewenangan masing-masing
aparat penegak hukum agar juga tidak ada tumpang tindih
kewenangan serta disharmonisasi kewenangan antar
kelembagaan penegak hukum. Jika modifikasi UU KUHAP tidak
dapat direalisasikan maka dapat melakukan pembentukan
peraturan organic di masing-masing institusi penegak hukum
atau dapat dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) antar
pimpinan lembaga penegak hukum;
2) Pendekatan administratif memandang aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme
kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang
bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah
sistem administrasi. Diperlukan suatu peraturan petunjuk teknis
dan petunjuk pelaksanaan internal masing-masing lembaga
penegak hukum agar tidak ada lagi kekosongan hukum dan
petunjuk yang jelas bagi para penyidik baik dari polri maupun
kejaksaan dalam melindungi dan menjamin hak-hak tersangka
dan terdakwa. Di lembaga kepolisian dapat dibuat peraturan
Kapolri atau peraturan Polisi mengenai petunjuk teknis dan
petunjuk pelaksanaan mengenai hak-hak tersangka pada saat
pemeriksaan di tingkat kepolisian sedangkan dilembaga
kejaksaan dapat dibentuk Peraturan Kejaksaan (Perja) atau
Peraturan Jaksa Agung untuk mengatur teknis dan pelaksanaan
pemenuhan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam
memperoleh keadilan selama proses penegakan hukum.
3) Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak
hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan dari
keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan
tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem social.
Melalui pendekatan social ini maka seharusnya kedudukan
antara penegak hukum dan tersangka maupun terdakwa
bukanlah suatu hal yang menjadi saling bertentangan,
seharusnya baik penegak hukum maupun tersangka merupakan
bagian integral dari suatu system social masyarakat yang saling
memiliki hak dan kewajiban yang harus saling dipenuhi dan
dilindungi. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan hukum
mengenai hak-hak tersangka yang seringkali tidak dipenuhi dan
dilindungi dalam proses penegakan hukum di Indonesia

4. Kesimpulan
Inkonsistensi rumusan norma dalam materi muataun KUHAP menyangkut hak
tersangka dan terdakwa mengindikasikan perumus KUHAP tidak cermat dan
memahami konsepsi hak secara benar sehingga melanggat pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum. Upaya Reformulasi hak-hak tersangka dan terdakwa
harus konstruksikan dengan dalam kerangka system peradilan pidana melalui
metode tiga pendekatan yaitu Pendekatan normatif dengan revisi UU No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatur kembali frasa “segera” agar tidak
terjadi lagi interpretasi yang tidak jelas dan memberi batasan serta kejelasan
berapa lama waktu yang diperintahkan oleh undang-undang. Pendekatan
administrative dengan suatu peraturan petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan internal masing-masing lembaga penegak hukum agar tidak ada
lagi kekosongan hukum dan petunjuk yang jelas bagi para penyidik baik dari
polri maupun kejaksaan dan Pendekatan sosial bahwa kedudukan antara
penegak hukum dan tersangka maupun terdakwa bukanlah suatu hal yang
menjadi saling bertentangan dan merupakan bagian integral dari suatu
system social masyarakat yang saling memiliki hak dan kewajiban yang harus
saling dipenuhi dan dilindungi
5. Daftar Pustaka

Jurnal :

Fitria Anita, Sosialisasi Pembaharuan Hukum Acara Pidana Menyangkut Proses


Penyidikan Berbasis Multimedia, Jurnal Majalah Keadilan Volume 21
Nomor 2 (2021);
H. Enju Juanda, Konstruksi Hukum dan Metode Interpretasi Hukum, Jurnal Ilmiah
Galuh Institusi (online), Vol.4, No.2, (2016);
Wasis Susetio. Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria.
Jurnal Lex Jurnalica (3)10. (2013);
Buku :

Abdulkadir Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Cet I, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung
Ahmad Amrullah, 2016. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
Gema Insani Press, Jakarta;
Ansorie Sabuan, 1990, Hukum Acara Pidana. Angkasa, Bandung;
Backy Krisnayudha, 2016. Pancasila dan Undang-undang: Relasi dan
Transformasi Keduanya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kencana,
Jakarta;
Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera. 2009. Cara Praktis Menyusun
& Merancang Peraturan Daerah, Penerbit Kencana, Jakarta
Laurence R Horn,, 2018. Contradiction, The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
Winter, Stanford;
Lysa Angrayni, 2014, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Suska Press ,Riau;
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang;
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionism, Cet.II, Bina cipta, Bandung;
R. Sugiharto, 2012, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Sekilas Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Unissula Press, Semarang;
Sidik Sunaryo. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang;

Zainal Asikin, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Cet.1,
Jakarta;

Peraturan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Undang Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Anda mungkin juga menyukai