Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

NAMA : PUTRI NELIA EFENDI


KELAS : XI AKUNTANSI

GURU PEMBIMBING : LUSIA FENTIMORA,M.

SMK MUHAMMADIYAH 3 TERPADU


PEKANBARU
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia, sedangkan tatanan adalah
suatu sistem atau aturan. Bangsa Indonesia adalah negara hukum atau negara
berdasarkan hukum. Hal ini merujuk pada pernyataan tertulis dalam penjelasan
Undang-undang Dasar 1945. Di dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan:
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machtstaat)”.
Pengertian negara hukum telah dikenal dengan baik dalam perkembangan
peradaban yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Adapun seorang filosof
Yunani kuno Cicero, mengatakan Ubi societas ubi ius (di mana ada masyarakat, di
situ ada hukum) dapat memberikan gambaran bahwa pada setiap masyarakat manusia,
lepas dari persoalan seberapa sederhana keadaannya atau seberapa tinggi
kemajuannya, pasti terdapat hukum. Adapun tujuan utama hukum adalah keadilan,
akan tetapi tujuan hukum tidak hanya keadilan melainkan kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Hukum yang ideal harus mengadopsi ketiganya,putusan hakim
misalnya sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya.
Pengadilan adalah lembaga yang menjadi andalan masyarakat dan bahkan
menjadi tumpuan dan harapan terakhir bagi mereka yang mencari keadilan melalui
hukum. Suatu negara yang berdasarkan hukum adalah harus memiliki pengadilan
yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawalah yang mampu
menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin
pemenuhan hak asasi manusia.
Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi
sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Lembaga
peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana
(Criminal Justice System) merupakan suatu tumpuan dan harapan dari para pencari
keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Keadilan yang hakiki merupakan suatu syarat yang utama untuk mempertahankan
kelangsungan hidup suatu masyarakat, dalam hal ini hakim mempunyai suatu peranan
penting dalam penegakan hukum pidana untuk tercapainya suatu keadilan yang
diharapkan dan dicita-citakan.8 Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa
kedudukan hakim di negara kita merupakan kedudukan yang sangat tinggi.
Kebebasan hakim didasarkan kepada kemandirian dan kekuasaan kehakiman
di Indonesia itu, telah dijamin dalam konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang
Dasar 1945 yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan
diganti yang terakhir dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu perubahan
atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.
Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandiriaan atau kemerdekaan, dalam
arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan
kehakiman. Hal ini mencakup tiga hal, yaitu: (1) bebas dari campur tangan kekuasaan
manapun; (2) bersih dan berintegritas; dan (3) professional. Pada hakekatnya
kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada setiap peradilan.
Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya telah dirubah dengan Undang-Undang No.
48 Tahun 2009 dihubungkan dengan asas peradilan bebas dimana undang-undang
menunjukkan kepada para hakim dalam mengambil putusannya berpegang pada “asas
kepatuhan” (billijkheid), “rasa keadilan” (gerechtigheid), pemberian isi pada asas
itikad baik (te geeter trouw), dan itikad buruk (te kwarder trouw). Dalam
melaksanakan asas kebebasan guna dapat menjatuhkan putusan yang tetap hakim
melakukan interpretasi, penghalusan hukum (rechtverfining) dan kontruksi hukum
dengan sebaik-baiknya, seorang hakim khususnya harus terjun ketengah-tengah
mayarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Akan tetapi menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, eksistensi hakim
sebagai alat penegak hukum di Indonesia dewasa ini mempunyai suatu persepsi yang
negatif dari masyarakat, hal tersebut dikarenakan banyak sekali putusan hakim yang
tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Di samping itu juga karena semakin
kompleksnya bentuk dari kejahatan yang terjadi yang belum ada pengaturannya di
dalam undang-undang hukum pidana sehingga apa yang menjadi tujuan hukum
pidana tidak tercapai dengan ruang lingkup sistem peradilan pidana.
Masalah yang selalu muncul dan selalu dialami hakim dalam penegakkan
hukum pidana adalah mengenai putusan-putusan hakim yang dirasa kurang adil dan
kurang bertanggung jawab di dalam memutuskan suatu perkara, sehingga membuat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan menjadi berkurang dan
masyarakatpun akhirnya berpendapat bahwa dilembaga peradilan mempunyai suatu
prinsip “yang kuat yang melihara” dan “KUHP (kasih uang habis perkara)”.
Pendapat dari masyarakat tentang lembaga peradilan sekarang ini terjadi
karena tidak adanya control terhadap prinsip kebebasan dan kemandirian hakim,
sehingga mengakibatkan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah enggan
untuk menempuh jalur hukum yang bagi mereka lembaga peradilan adalah harapan
untuk mendapatkan keadilan, karena apabila berhadapan dengan mereka yang
mempunyai status sebagai konglomerat maka tidak akan mungkin keadilan dapat
ditegakkan sepenuhnya apalagi untuk tercapainya suatu kepastian hukum karena
prinsip di atas membuat lembaga peradilan berubah menjadi lembaga adu kekuasaan.
Berdasarkan latar belakang persoalan di atas, demi terciptanya putusan hakim
yang adil dan dapat dipertanggung jawabkan serta membuat para hakim lebih
profesional dalam memeriksa dan memutus perkara,maka DPR mengesahkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Tindak Pidana
Anak. Dimana di dalam undang-undang ini mengatur tentang pemidanaan terhadap
hakim yang apabila memutus suatu perkara tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam undang-undang ini.
Penyusunan undang-undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3668) yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang
benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap Anak yang
berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.
Adanya ketentuan Pemidanaan terhadap hakim dalam undang-undang sistem
peradilan pidana anak bagi sebagian masyarakat dianggap meruntuhkan independensi
badan peradilan dan wibawa hakim. Alasan ini didasarkan pada teori dan doktrin
“kekuasaan kehakiman” yang berlaku
secara universal dan konsepsi “pemisahan kekuasaan” antara kekuasaan
eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR) dan Yudikatif (Mahkamah agung) yang
melarang kekuasaan yudikatif (profesi hakim) diintervensi kekuasaan manapun.
Independensi hakim, selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam proses
pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara yang ditangani, mutlak
dijaga dan dilindungi kelestariannya dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri
hakim. Pengaruh itu berupa intervensi, tekanan, ancaman, dan campur tangan dari
pihak mana pun (dari pihak eksekutif dan legislatif).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul; “KRIMINALISASI TERHADAP HAKIM (Tinjauan Yuridis
UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan
yang perlu dikemukakan. Adapun perumusan masalah yang hendak dikemukakan
penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kriminalisasi terhadap hakim dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak?
2. Bagaimana Pendapat pakar hukum tentang kriminalisasi terhadap hakim dalam
UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka adapun tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui kriminalisasi terhadap hakim dalam UU No.11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Untuk mengetahui pendapat pakar hukum tentang kriminalisasi terhadap hakim
dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Berdasarkan
permasalahan di atas, maka manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian hukum
ini adalah sebagai berikut:
a. SecaraTeoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah serta diharapkan akan
memberikan sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum yang berkaitan
dengan hukum pidana.

b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan kajian bagi
semua kalangan akademisi dan penegak hukum untuk menambah wawasan
dibidang ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan pemidanaan terhadap
hakim dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

D. Kerangka Pemikiran
Istilah pemidanaan merupakan istilah umum dan konvensional yang
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Sudarto menjelaskan pemidanaan sebagai
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat tertentu.
Hakim merupakan sosok seorang penegak hukum yang sangat menentukan
arah, jenis, maupun lamanya proses pembinaan terhadap pelaku tindak pidana
berdasarkan putusan yang dikeluarkannya. Adapun definisi hakim menurut Pasal 1
butir (8) KUHAP yaitu : “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”.
Hakim harus selalu menaati kode etik hakim dan diharapkan hakim dapat
bersikap adil dan bijaksana, sehingga putusannya benar-benar selaras dengan nilai-
nilai yang diyakini masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh Soerjono Soekanto.
“Hakim tidak boleh mengadili semata-mata menurut perasaan keadilan
pribadi, tetapi ia terikat pada nilai-nilai yang secara nyata berlaku dan hidup dalam
masyarakat. Dengan kepentingannya diharapkan bahwa seorang hakim memperkuat
kehidupan norma hukum yang bersangkutan”.Putusan adalah pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka
untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).Menurut
Pasal 191 KUHAP, bahwa seorang hakim dapat menjatuhkan putusan berupa:
1. Menjatuhkan pidana/tindakan
2. Membebaskan; atau
3. Melepaskan dari segala tuntutan.
Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan tindak
pidana anak, terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur menganai
pemidanaan terhadap hakim.Misalnya ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA itu
mengatakan apabila hakim tidak melakukan diversifikasi atau penyelesaian perkara di
luar pengadilan, ini nanti diancam pidana dua tahun.
Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain, mengenai
penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam undang-
undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut.

E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu metode ilmiah yang dilakukan melalui penyelidikan
dengan seksama dan lengkap terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh
mengenai suatu permasalahan tertentu sehingga dapat diperoleh melalui suatu
permasalahan itu. Sedangkan metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya.
Adapun mengenai metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai
berikut:
1. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,
karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan, sebagai norma-norma tertulis
yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat Negara yang
berwenang. Oleh karena itu pengkajian yang dilakukan, hanyalah “terbatas” pada
peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan objek yang diteliti.
2. Jenis penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran tentang keadaan subyek dan/atau obyek penelitian
sebagaimana adanya.23 Tipe kajian dalam penelitian ini bermaksud
menggambarkan tentang kriminalisasi terhadap hakim apabila tidak melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam suatu undang-undang.

3. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan.
Penelitian kepustakaan digunakan untuk mendapatkan bahan hukum primer dan
bahan hukum skunder.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat.24
Adapun bahan hukum primer dari penelitian ini terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2) UU No. 48 Tahun 2009 perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder, meliputi literatur-literatur yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan pidana anak.
c. Bahan Hukum Tersier
Adalah bahan hukum yang mendukung hukum primer dan bahan hukum
sekunder, diantaranya berupa bahan dari media internet dan kamus.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data penulisan penelitian ini penulis melakukan
dengan menggunakan studi kepustakaan dengan penelusuran buku literature,
jurnal dan dekumen perundangan yang relevan dengan permasalahan.
5. Teknik Analisis Data
Metode analisis yang digunakan yakni dengan menerapkan logika, yakni logika
berfikir deduktif. Logika pemikiran deduktif merupakan cara menarik kesimpulan
dengan menjadikan norma ditempatkan sebagai premis mayor, selanjutnya data
sekunder yaitu buku literature ditempatkan sebagai premis minor, langkah yang
dilakukan selanjutnya adalah menarik konklusi, konklusi ini diperoleh dengan
cara membandingakan data sekunder (premis minor) dengan norma ( premis
mayor) sehingga pada tahap akhirnya penulis dapat menarik suatu kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan Skripsi


Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, analisis, serta penjabaran
isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut : BAB I adalah Pendahuluan, berisi tentang Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka pemikiran, Metode
Penelitian, Sistematika penulisan skripsi.

Anda mungkin juga menyukai