Anda di halaman 1dari 35

PENEMUAN HUKUM

Untuk Memenuhi Tugas Penemuan Hukum dibawah Dosen


Pengampu

Dr. Herman Bakir, S.H., M.H

OLEH
ROBERTO FERNANDES
NIM : 1810246455

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia berkepentingan untuk merasa bahwa ia aman. Aman berarti

bahwa kepentingan-kepentingannya tidak diganggu. Oleh karena itu manusia

selalu berharap bahwa kepentingan-kepentingannya dilindungi dari konflik,

gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta menyerang kepentingan

dirinya dan kehidupan bersama. Gangguan dan konflik harus dicegah dan tidak

dibiarkan berlangsung terus menerus, karena akan merusak keseimbangan tatanan

masyarakat. Jadi manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan

kepentingan. Perlindungan kepentingan itu akan tercapai jika tercipta pedoman

atau peraturan yang menentukan manusia seharusnya hidup dalam masyarakat

agar tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Pedoman, patokan atau

ukuran untuk bertingkah laku atau bersikap dalam kehidupan bersama itu disebut

dengan norma atau kaidah social. Kaidah sosial pada hakekatnya merupakan

perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya

dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan

untuk dijalankan.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Jadi agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum

dapat berlangsung secara normal dan damai tapi dapat terjadi juga pelanggaran

hukum. Dalam kasus pelanggaran hukum inilah maka hukum harus ditegakkan.

1
Melalui penegakkan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam

menegakkan hukum, terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian

hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Pembahasan tentang hukum cenderung dikaitkan dengan perundang-

undangan. Undang-undang sendiri tidak sempurna, tidak mungkin undang-

undang mengatur seluruh kegiatan manusia secara tuntas. Adakalanya undang-

undang tidak jelas dan adakalanya tidak lengkap. Meskipun tidak lengkap dan

tidak jelas, undang-undang tersebut tetap harus dilaksanakan. Hakim tidak dapat

dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan

karena hukumannya tidak lengkap dan tidak jelas. Ia dilarang menolak

menjatuhkan putusan dengan dalil tidak sempurnanya undang-undang atau tidak

adanya hukum. Jika dalam perkara tertentu tidak lengkap atau tidak jelas dalam

undang-undang maka hakim harus mencari hukumnya atau menemukan

hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum. Penegakkan dan pelaksanaan

hukum sering melupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.

Karena itu usaha penemuan hukum ini merupakan salah satu kegiatan yang harus

dilakukan hakim dalam memutuskan perkara.

Berpikir secara progresif berarti harus berani keluar dari mainstream

pemikiran absolutisme hukum, yang kemudian menempatkan hukum dalam

keseluruhan persoalan kemanusiaan. Bekerja berdasarkan pola pikir yang

determinan hukum memang perlu, namun hal itu bukanlah suatu yang mutlak

harus dilakukan manakala berhadapan dengan suatu masalah yang menggunakan

logika hukum modern, yang akan mencederai posisi manusia kemanusiaan dan
2
kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir atau paradigma hukum yang progresif

akan melihat faktor utama dalam hukum itu adalah manusia, sedangkan dalam

paradigma hukum yang positivistis meyakini kebenaran hukum atas manusia.

Manusia boleh dimarjinalkan asalkan hukum tetap tegak. Sebaliknya, paradigma

hukum progresif berpikir bahwa justru hukumlah yang boleh dimarjinalkan untuk

mendukung proses eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan.

Penemuan hukum ini menjadi pokok bahasan yang lebih menarik karena

dinamikanya dalam merujuk pada undang-undang dan kasus-kasus serupa yang

pernah diputuskan perkaranya, Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi

hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar

ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada

mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa

menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan

yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun

luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum

pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi

juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang

hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan

indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan

dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan

pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan

sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang

dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya
3
diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan.

Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari

masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.

Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai

hukum yang carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai

tindak pidana di televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat

mengambil kesimpulan bahwa hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali

kejadian yang menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh

maling sandal hingga maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di

Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem

peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi

kekuasaan, maupun perlindungan hukum.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah metode penemuan hukum dalam perspektif hukum progresif?

2. Bagaimana Problematika penegakan hukum di Indonesia?

3. Bagaimana Contoh Kasus penemuan hukum?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Metode Penemuan Hukum Dalam Perspektif Hukum Progresif

Dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menentukan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,

mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila suatu peraturan

perundang- undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus

bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan

hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya.

Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.

Masalah penemuan hukum dalam kaitannya dengan tugas hakim adalah

muncul pada saat hakim melakukan pemeriksaan perkara hingga saat menjatuhkan

putusan. Hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memeriksa,

mengadili dan kemudian menjatuhkan putusan harus didasarkan pada hukum yang

berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya, bukan berdasarkan logika hukum

semata.

Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori metode penemuan hukum yang

dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu antara lain:

1. Metode Interpretasi Hukum

5
Interpretasi merupakan penjelasan setiap istilah dari suatu perjanjian

apabila terdapat pengertian ganda atau tidak jelas dan para pihak memberikan

pengertian yang berbeda terhadap istilah yang sama atau tidak dapat

memberikan arti apa pun terhadap istilah tersebut. Tujuan utama interpretasi

adalah menjelaskan maksud sebenarnya dari para pihak atau merupakan suatu

kewajiban memberikan penjelasan mengenai maksud para pihak seperti

dinyatakan dalam kata-kata yang digunakan oleh para pihak dilihat dari

keadaan-keadaan yang mengelilinginya.

2. Metode Konstruksi Hukum

Salah satu metode yang akan digunakan oleh hakim pada saat ia

dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) atau

kekosongan undang-undang (wet vacuum), karena pada prinsipnya hakim

tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak

ada atau belum mengaturnya (asas ius curia novit). Hakim harus terus

menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang ditengah-

tengah masyarakat, karena sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.

Metode konstruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam

peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta

memberikan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Meskipun nilai dari rasa

keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu

menghendaki terhadap setiap peristiwa- peristiwa hukum yang sama


6
diperlakukan sama, sedangkan nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada

kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan, para penegak hukum,

pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat luas.

Dengan berdasarkan pertimbangan hati nuraninya, seorang hakim harus

memberikan putusan yang seadil-adilnya. Untuk mengisi kekosongan hukum

(recht vacuum), hakim harus melakukan kontruksi antara sisterm formal dan

sistem materiil hukum. Berdasarkan ketentuan hukum positif yang

mengandung persamaan, hakim membuat suatu pengertian hukum baru yang

menjadi dasar pembenaran dari putusan yang dijatuhkannya.

Berangkat dari konsep hukum progresif, penemuan hukum yang

progresif, bahwa hukum itu adalah untuk manusia, yang didalamnya termasuk

nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan yang menjadi titik pembahasan

hukum, sehingga faktor etika dan moralitas tidak terlepas dari pembahasan

tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa karakteristik penemuan hukum

yang progresif adalah :

a) Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan

dibimbing oleh pandangannya atau pemikirannya secara mandiri, dengan

berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk mengabdi kepada

manusia.

b) Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran

dan keadilan, serta juga etika dan moralitas.

c) Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam

kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat


7
yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta keadaan

masyarakat.

Dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum yang

progresif tersebut diatas, maka dapat dijelaskan metode penemuan hukum

yang progresif adalah sebagai berikut:

a) Metode penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat

permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan

dengan melihat case by case.

b) Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan

(rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi berpedoman

pada hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib

dan keadaan bangsa dan negaranya.

c) Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan

kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara

keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini.

Oleh karena itu secara faktual, tidak dapat ditentukan metode

penemuan hukum yang bagaimanakah yang dapat digunakan hakim dalam

melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan karakteristik penemuan

hukum yang progresif, karena dalam setiap perkara atau kasus mempunyai

bentuk dan karakteristik yang berlainan atau variatif sifatnya. Sehingga hakim

akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus yang

dihadapinya (case by case), apakah itu salah satu metode interpretasi hukum

ataukah salah satu dari metode konstruksi hukum atau hanya berupa
8
gabungan dari beberapa metode interpretasi hukum atau konstruksi hukum,

ataukah sekaligus dari metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum

sekaligus.

Dalam ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009, pasal 5 ayat (1)

menyatakan bahwa : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti

dan mamahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.” Ketentuan tersebut memberikan makna bahwa hakim sebagai

perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidupdalam masyarakat,

harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan

mampu menyelami hukumdan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,

sehingga dalam menghadapi suatu perkara atau kasus yang masuk pada suatu

ketentuan undang-undang, dan ternyata hakim mencermati ketentuan undang-

undang tersebut tidak sejalan dengan nilai- nilai kebenaran, keadilan, maupun

moralitas dan etika, maka hakim dapat mengenyampingkan ketentuan dalam

undang-undang tersebut, dan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sebagaimana yang disebut tentang metode penemuan hukum dalam

perspektif hukum progresif, maka putusan hakim yang sesuai dengan metode

penemuan hukum yang progresif adalah:

a) Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni hanya

sekedar corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun seharusnya

hakim selalu harus legalistik karena putusannya tetap berpedoman pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku.


9
b) Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau

sekadar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi

mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi

sosial dalam pergaulan.

c) Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner), yang

mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum(rule

breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang- undang yang ada

bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan

kemanusiaan yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim

bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil

putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang

bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan.

d) Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa

dan negaranya yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk

kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan negaranya keluar

dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.

e) Putusan hakim yang demikian diharapkan dapat mendorong pada

perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam

pergaulan antar anggota masyarakat serta dapat dipergunakan sebagai

sumber pembaharuan hukum.

2.2 Problematika penegakan hukum di Indonesia

Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang

khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada
10
kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian

peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati

posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan

akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999

tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai

tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat

mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara

sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab (Siswanto, 2005: 50).

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang

hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi

masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari

golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau

menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan

panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga

menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan

panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam

memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta

memberikan keteladanan yang baik (Soerjono, 2002: 34).

Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab

lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas

aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption

yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali
11
diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di

Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum

terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan

pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa

dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat)

bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.

Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat

terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada

hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan

masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup

kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh

negatifnya (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987: 20). Misalnya, kalau

hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang

lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan

masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.

Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang

lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah.

Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman

salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam

penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh

Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai

berikut:

a. Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,


12
b. Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan.

c. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas

kepada masyarakat,

d. Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang

diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas

yang tegas pada wewenangnya (Zainuddin, 2006: 95).

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan

hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi

lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman

agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya.

Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran

penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila

peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan

munculnya masalah masih terbuka.

Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya

kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan

penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan

(unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu

sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan

profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan

hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh

aparat hukum sudah menjadi rahasia umum. Terlepas dari dua hal di atas
13
lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan

masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari

keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan.

Akhir-akhir ini banyak isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan

salah satunya adalah permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi

tradisi yang mendarah daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh

lapisan masyarakat bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat

yang seharusnya menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya.

Salah satu lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan.

Korupsi telah merambat dan mengotori hampir seluruh institusi penegakan

hukum kita termasuk lembaga peradilan. Misalnya saja tentang salahnya

penegakan hukum di Indonesia seperti saat seseorang mencuri sandal, ia disidang

dan didenda hanya karena mencuri sandal seorang briptu yang harganya bisa

dibilang murah, sedangkan para koruptor di Indonesia bisa dengan leluasa

merajalela, menikmati hidup seakan tanpa dosa, karena mereka memandang

rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita ambil contoh Arthalyta Suryani, yang

menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari tahanan yang lain karena

lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas, AC, bahkan sampai ruang karokean. Hal

ini kemudian memperlihatkan diskriminasi di dalam pemutusan perkara oleh

lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin yang tidak mempunyai kekuatan

financial seakan hukum begitu runcing kepadanya sedangkan para orang-orang

yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan saya anggap bahwa sel

14
tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel tetapi hotel sementara

sedangkan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya sel tahanan

Hukum di negara kita ini dapat diselewengkan atau disuap dengan

mudahnya, dengan inkonsistensi hukum di Indonesia. Selain lembaga peradilan,

ternyata aparat kepolisianpun tidak lepas dari penyelewengan hukum. Misalnya

saat terkena tilang polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau

bahkan terkadang minta suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun

mendapatkan keuntungan materi dengan cepat namun salah tempat. Ini

merupakan contoh kongkrit di lingkungan kita.

Persamaan di hadapan hukum yang selama ini di kampanyekan oleh

pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan efektif. Hukum yang berlaku sekarang

di Indonesia seakan-akan berpihak kepada segelintir orang saja. Supremasi hukum

di Indonesia masih harus diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan

dunia internasional tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak

kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus

diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan

hukum yang sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di

Indonesia. Hukum seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti

dengan banyaknya kasus yang terjadi, contohnya saja kasus nenek Minah yang

divonis 1,5 bulan penjara karena mencuri tiga buah kakao. Dari segi manapun

mencuri memang tidak dibenarkan. Namun, kita juga harus melihat dari sisi

kemanusiaan. Betapa tidak adilnya ketika rakyat kecil seperti itu betul-betul

ditekan sedangkan para pejabat yang korupsi jutaan bahkan miliaran rupiah bebas
15
begitu saja, walaupun ada yang terjerat hukuman tapi penjaranya bagaikan kamar

hotel.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan lembaga penegak hukum kita,

sehingga justice for all (keadilan untuk semua) berubah menjadi justice not for all

(keadilan untuk tidak semua). Hukum di negara kita ini seakan tidak

memperlihatkan cerminan terhadap kesamaan di depan hukum yang merata

kepada semua lapisan masyarakat tetapi terkesan tajam kebawah kepada rakyat

miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang. Berbagai

kasus terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat memprihatinkan

menjadi cambuk atau pukulan telak serta menjadi potret buram bagi kita semua

sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini

menjadi ironi tersendiri bagi kita.

Di Indonesia sendiri hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD

1945. Dalam penegakkan hukum di Indonesia memang terjadi beberapa masalah

seperti ketidakmampuan suatu lembaga keadilan dalam memberikan keadilan itu

sendiri bagi masyarakat. Keadilan dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan

terutama bagi masyarakat kelas bawah yang sekiranya merupakan golongan yang

tidak mampu dalam segi materi. Sekiranya kita dapat melihat fakta yang terjadi di

lapangan dengan berbagai macam kasus yang ada dan melibatkan masyarakat

kelas bawah. Beberapa kasus seperti pencurian sendal yang dilakukan oleh

seorang murid terhadap salah satu anggota kepolisian misalnya, terdapat berbagai

kejanggalan dalam kasus tersebut seperti berbedanya sandal yang dimaksud serta

adanya penganiayaan terhadap sang pelaku oleh oknum polisi tersebut. Dengan
16
hanya mencuri sepasang sendal jepit yang kemungkinan pula bukan anak tersebut

pelakunya, malah diberikan tuntutan hukuman 5 tahun penjara. Adilkah itu ?

Masyarakat awam pun pasti mengetahui apa yang dimaksud keadilan. Berbeda

dengan kasus yang melibatkan rakyat kecil yang seharusnya memang bisa

diselesaikan dengan rasa keadilan serta kekeluargaan, para pimpinan negara yang

terhormat malah melakukan banyak korupsi dan tak terselesaikan masalahnya.

Para penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan

penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk

mengimplementasikan suatu prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam

sila kedua secara optimal dan maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di

Indonesia. Banyak kasus penegakan hukum yang tidak berjalan semestinya.

Banyak keganjalan yang terjadi didalam penegakan hukum itu seperti dengan

mudahnya seseorang yang mempunyai uang mendapatkan fasilitas di ruang

tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat mengganjal keputusan yang di

putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.

Penegakkan hukum dari aparat kepolisian juga dinilai sangat kurang, bisa

dilihat dengan banyaknya penilangan kepada kendaraan bermotor yang berakhir

dengan istilah UUD (Ujung-Ujungnya Duit) atau biasa disebut uang sogokkan.

Serta ada pula masalah tentang kebijakkan-kebijakkan pemerintah yang dinilai

kurang serta tidak didasari dengan landasan hukum yang tepat. Seperti kebijakkan

bagi pengendara motor yang diharuskan menyalakan lampu utama pada siang hari

yang dinilai kurang realistis. Karena menyalakan lampu pada siang hari sama saja

dengan pemborosan energi, sesungguhnya cahaya matahari sudah cukup terang


17
bagi pengguna jalan. Dan alasan karena banyaknya terjadi kecelakaan siang hari

oleh para pengguna sepeda motor tentu bukan karena lampu atau cahaya yang

kurang.

Dengan adanya pemanasan global dan yang dicanangkan pemerintah

tentang save energy-pun dipertanyakan karena memang menyalakan lampu pada

siang hari adalah pemborosan energi. Beberapa Undang-undang yang seharusnya

dibuat setiap tahun dengan jumlah yang sudah ditetapkan pun molor sehingga

hanya ada sedikit Undang-undang yang sudah terealisasikan. Hal ini tentu menjadi

catatan bagi pemerintah yang seharusnya hukum itu untuk keteraturan serta

tercipta kedamaian di negara kita menjadi begitu tidak dapat diandalkan.

Selain dengan masalah-masalah tersebut tentu dengan adanya hukum yang

lemah maka ketahanan negara juga akan lemah. Bisa kita lihat dari berbagai

macam kasus tentang perbatasan negara maupun pencaplokan wilayah dan budaya

yang dilakukan oleh negara tetangga. Pemerintah Indonesia sangat lamban dalam

mengambil sikap dalam hal pertahanan dan keamanan negara, adanya

kesenjangan sosial di wilayah perbatasan Indonesia serta kota-kota lain di

Indonesia serta sarana dan infrastruktur di daerah perbatasan yang sangat kurang

menjadi masalah yang harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Masyarakat

perbatasan tentu merasa dianak tirikan oleh pemerintah karena tidak adanya peran

pemerintah dalam mengatasi hal tersebut, dan tentu hal ini menjadi senjata bagi

negara lain untuk dengan mudah mencaplok daerah perbatasan sebagai daerah

negaranya karena negara tersebut mengambil hati masyarakat dengan memberi

18
berbagai macam kebutuhan oleh negara tersebut berbeda dengan apa yang

diberikan oleh pemerintah Indonesia.

Hal tersebut menyebabkan bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun

dibuat dengan berlandaskan pancasila serta UUD 1945 namun dalam

pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila yang melekat dalam setiap penegak

hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan melemahnya hukum di Indonesia

tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di Indonesia akan terkikis dengan adanya

sikap pemerintah yang seakan hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan

kekuasaan politik bagi diri dan partainya

Sungguh menjadi sesuatu yang ironis ketika kepercayaan masyarakat

kepada pemimpinnya menjadi berkurang, dan ketika itulah masyarakat akan

menjadi merasa tersakiti serta tak mempercayai kepemerintahan negara, karena

kepercayaan adalah salah satu tiang keadilan dan kemakmuran. Ketika hukum

yang hanya memihak golongan tertentu maka keadilan juga akan memudar dan

akan meruntuhkan derajat dan martabat negara. Dengan runtuhnya derajat negara,

runtuh pula negara tersebut dan akan mudah bagi pihak-pihak yang merasa

diuntungkan dengan situasi ini yaitu adanya intervensi asing dalam masalah

negara.

Karena intervensi itu sendiri sudah mulai muncul ketika banyaknya media

asing yang memberitakan tentang bobroknya negara ini. Sebagai salah satu

contohnya dimana ada media asing yang memberitakan tentang masalah jembatan

yang tak layak di Indonesia. Masyarakat terutama para siswa yang ingin

bersekolah harus menantang nyawa dengan menyebrangi sungai hanya dengan


19
seutas tali. Dimana peran pemerintah? Hanya ada janji yang entah kapan akan

ditepati. Hukum memang salah satu cara untuk memberikan keadilan, dan hukum

seharusnya ditegakkan dengan bijaksana, tegas dan apa adanya.

Selain beberapa faktor diatas, faktor uang juga mempengaruhi penegakan

hukum di Indonesia. Beberapa kasus bisa menjadi cerminan lemahnya hukum di

Indonesia ketika sudah berbenturan dengan uang, misalnya saja kasus korupsi

yang menjerat nama Gayus Tambunan. Kasus ini memang sudah di selesaikan

dipengadilan, tetapi walaupaun Gayus telah ditempatkan di dalam penjara,

nyatanya dia masih bebas untuk berwisata ke Bali bahkan sampai keluar negeri

yaitu Makau. Ini karena lemahnya iman para petugas yang seharusnya

menegakkan keadilan hukum setegak-tegaknya kalau sudah dihadapkan dengan

uang. Mereka tentunya mengabulkan permintaan Gayus tersebut tidak dengan

cuma-cuma, tetapi ada imbalan yang diberikan kepada para petugas tersebut.

Beberapa kasus yang diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, ini semua

tidak lepas dari lemahnya iman aparat yang bertugas menegakkan hukum ketika

sudah di hadapkan dengan uang. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”?

Dan apakan hukum di negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau sudah seperti

itu Anda pun dapat menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum

di negeri tercinta kita ini, sehingga jangan heran kalau ada istilah yang kemudian

muncul di masyarakat kita tentang penegakkan hukum di Indonesia yaitu KUHP

(Kasih Uang Habis Perkara). Ini adalah cerminan bahwa rakyat Indonesia sudah

mulai hilang kepercayaan dengan penegakan hukum yang ada di Indonesia.

20
Penegakan hukum yang carut-marut, kacau, dan mengesampingkan

keadilan tersebut bisa saja diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan

kepada fungsi aslinya, yaitu untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta

kenyamanan. Selain itu sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat

berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor,

yakni:

1. Hukum dan peraturan itu sendiri.

Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam

peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu.

Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-

undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala

ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan

seterusnya.

2. Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.

Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa,

pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan

perundang- undangan sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum

kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan hukum.

3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.

Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas

penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan

hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.

4. Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.


21
Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum

bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai

dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan.

Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di

masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan

proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere

semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang

berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara

dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub,

dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya.

Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat

manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral.

Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau

sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum

Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui

suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu

kesejahteraan jasmani maupun rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).

Penegakan hukum yang acap kali menciderai rasa keadilan, baik keadilan

menurut pandangan yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. Hal inilah

salah satu pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak

hukum dalam menegakan hukum di tengah masyarakat. Jika kita pandang dari

kacamata sosiologi hukum, kita dapat mengasumsisikan bahwa ada dua faktor

yang paling menonjol yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam


22
menegakan hukum yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal

(yang berasal dari penegak hukum itu sendiri) salah satu contoh, adanya

kecenderungan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum berpedoman

pada undang-undang semata sehingga mengesampingkan nilai-nilai yang

berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya faktor eksternal (yang berasal dari

luar penegak hukum itu sendiri) misalnya ketika terjadi peristiwa hukum adanya

kecenderungan masyarakat yang menyelasaikan dengan caranya sendiri.

Lembaga hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu

masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu

keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh sedikitpun bergoyah dalam

menerapkan keadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum dan syari’at yang

telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan dapat dijalankan secara

murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-usul, warna

kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada

lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga

hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini

bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin

integritasnya secara konsekuen (Miftah, 2003: 218).

Jika kita berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia setelah

menilik dari berbagai kasus (menurut penulis) belumlah berjalan dengan baik,

bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini

dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah

satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat
23
sedikit yang terjerat oleh hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik

dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat

penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat

kasus korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang

berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari

penegakan hukum itu sendiri.

Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati

rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum,

khususnya aparat penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana sama- sama kita

ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering

dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada

golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia

seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil,

namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang

mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba (Jimly, 2011: 156).

Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan

mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya

bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin

Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, UUD

(Ujung-Ujungnya Duit) tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan

“produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.

Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang

terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun


24
putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada

aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban

tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan

pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.

2.3 Kasus Penemuan Hukum

Sumanto, begitulah laki-laki berumur 31 tahun lalu itu dinamakan. Orang

tuanya, Mulya Wikarta (67 tahun) dan Samen (60), tak pernah ‘bermimpi’

anaknya akan tumbuh menjadi seorang kanibal - yang memakan tubuh

tetangganya sendiri. Namun, pada Selasa (14/1) malam lalu, Wikarta justru

dikejutkan dengan ‘mimpi buruk’, ketika polisi membekuk Sumanto sebagai

pencuri mayat wanita tua, dan dinyatakan memakan daging mayat tersebut.

Celakanya lagi, karena tidak tahu sang ayah juga ikut makan bersama anaknya,

setelah potongan daging Mbah Rinah dibakar oleh Sumanto.

Peristiwa tersebut mulai terkuak ketika berita hilangnya mayat seorang

nenek berusia 81 tahun yang belum sampai 24 jam dikubur di kuburan Desa

Mojotengah, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah. Warga setempat geger

karena kuburan Mbah Rinah sudah acak-acakan. Mereka lebih dibuat geger lagi

ternyata mayat Mbah Rinah sudah raib. Berita tersebut segera menyebar sampai

ke desa tetangga. Malahan ada yang membumbuinya dengan hal-hal yang berbau

mistis sehingga membuat warga desa ‘terteror.’ Kaum perempuan tak berani tidur

sendirian, para lelaki melakukan ronda sampai pagi. Ketegangan baru berakhir

saat polisi membekuk Sumanto di rumahnya sekitar lima kilo meter dari makam

25
Mbah Rinah. Sumanto rupanya teledor. Ia tak memperhitungkan ‘sisa’ mayat

yang ia tanam di depan rumahnya bakal menyebarkan bau busuk. Warga yang

mencium aroma tak sedap curiga, lalu melapor ke polisi.

Sumanto tak berkutik karena polisi menemukan potongan tubuh dan

tulang-tulang Mbah Rinah di rumahnya. Selain itu Polisi juga mendapati

tengkorak manusia, dua alat vital laki - laki dalam botol. Kepada Polisi Sumanto

mengaku dirinya sedang memperdalam ilmu di bawah bimbingan seorang ‘guru.’

Dengan memakan mayat badannya akan menjadi kebal, tak terluka oleh goresan

senjata, dan mendapat ketenangan batin.

Perburuan Sumanto terhadap mayat Mbah Rinah dimulai sejak Sabtu

(11/1) pukul 19 00 WIB. Saat itu ia mulai menggali kuburan Mbah Rinah yang

telah diamatinya sejak sore. Kain kafan pembungkus mayat Mbah Rinah yang

dimakamkan Sabtu siang itu, baru berhasil ia sentuh pada Minggu pukul dua dini

hari. Hal itu dikarenakan pembongkaran kuburan ia lakukan dengan tangan

kosong tanpa menggunakan alat bantu. Setelah mayat Mbah Rinah dikeluarkan

dari liang kubur, kain kafan yang membalutnya dilucuti dan ditinggalkan begitu

saja. Mayat kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik lalu diangkut dengan

sepeda onthel menuju rumahnya yang berjarak sekitar 1,7 km.

Sesampainya di rumah, Sumanto memotong alat vital Mbah Rinah dan

membungkusnya dengan kain merah. Saat ia ditangkap Polisi menemukan

bungkusan kain merah itu di saku bajunya. Selanjutnya, ia memotong-motong

26
mayat seperti orang memotong daging ayam. Lantas dipotong-potong sebagian

dibakar, dimasak dengan kuali dan sebagian dimakan mentah-mentah.

Saat rekonstruksi kasus ini dilaksanakan pada pada Sabtu (18/1) pagi,

warga tampak histeris dan merasa jijik. Meski alat peraga dalam rekonstruksi itu

hanyalah daging dan tulang sapi mentah, Sumanto tampak antusias melahapnya.

Meski rekontruksi dilakukan pagi pukul 06.30, namun rekonstruksi tersebut

mendapat perhatian luas dari masyarakat sekitarnya. "Sengaja kita lakukan

rekonstruksi pagi-pagi sekali untuk menghindari kerumunan warga. Namun

kenyataannya, masyarakat tetap banyak yang melihat. Untungnya, rekontsruksi

berlangsung lancar," kata Kapolres Purbalingga, Ajun Komisaris Besar Polisi

(AKBP) Agus Sofyan Abadi, saat mempimpin acara tersebut.

Setelah terungkap, kasus Sumanto menjadi perdebatan hukum pasal apa

yang akan diterapkan. Jaksa lalu menjerat Sumanto dengan Pasal 362 KUHP

tentang Pencurian. Pasal ini berbunyi:

Barang siapa mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik

orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan

hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Tapi menjadi pertanyaan, apakah mayat termasuk barang?

"Mayat tidak termasuk barang karena definisi barang adalah sesuatu yang

bernilai ekonomis," kata salah satu hakim anggota yang memutus perkara itu,

Bagus Irawan.
27
Mendapati hal ini, maka majelis yang diketuai oleh Sumargiatmo

melakukan terobosan hukum meluaskan makna 'barang' menjadi sesuatu yang

memiliki nilai-nilai kerohanian yang melekat antara benda dengan ahli warisnya.

Dengan penafsiran ini, maka Sumanto memenuhi pasal pencurian yang dimaksud.

Jika tidak ditafsirkan secara luas, maka Sumanto bisa bebas.

Sehingga pada Putusan No : 32/Pid.B/2003/PN.Pbg. dengan terdakwa

Sumanto terdapat tiga poin penting yang  menjadi dasar hakim dalam memutus

perkara tersebut. Dalam putusan tersebut ketiga hal tersebut yang dimaksud

adalah.

1. Menafsirkan mayat sebagai barang,

2. Tindak pidana yang dilakukan terdakwa Sumanto Bin Nuryadikarta

dikategorikan kedalam tindak pidana pencurian berkualifikasi (pengenaan

Pasal 363 ayat (1) Ke-5 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),

3. Kesimpulan hakim bahwa terdakwa sehat secara rohani.

Dari hasil analisis, putusan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan

undang-undang yang berlaku. Secara normatif putusan tersebut sudah

benar. Putusan tersebut telah memenuhi ketentuan yuridis karena terdakwa

secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 Kitab

Undang Undang hukum Pidana. Dalam penjatuhan pidana dengan putusan

28
No : 32/Pid.B/2003/PN.Pbg. Majelis hakim telah menggunakan berbagai

pertimbangan untuk memberikan putusan.

Dalam putusan, ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan hakim

untuk menjatuhkan putusan yakni faktor yuridis, faktor sosiologis dan

faktor keyakinan hakim. Faktor yuridis, hakim mempertimbangkan

bahwasanya terdakwa Sumanto telah melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5

secara sah dan meyakinkan. Faktor sosiologis, hakim menilai bahwasanya

terdakwa Sumanto telah melanggar etika, norma, serta nalar sehat dan

telah melanggar ketentaraman warga. Faktor keyakinan hakim didasarkan

pada keyakinan hakim yang menilai Sumanto dalam keadaan sehat dan

tidak terganggu jiwanya. Putusan tersebut dilihat dari sudut pandang

hukum pidana merupakan sebuah precedent bagus ditengah upaya

pembangunan hukum dan pembaharuan hukum pidana yakni dengan terus

diupayakannya pembentukan KUHP Nasional. Sehingga diharapkan

hukum pidana dapat dijadikan sebagai solusi atas persoalan hukum yang

ada dan menjadi alat rekayasa sosial.

29
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

1. Berangkat dari konsep hukum progresif, bahwa hukum itu adalah untuk

manusia, yang didalamnya termasuk nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan

yang menjadi titik pembahasan hukum, sehingga faktor etika dan moralitas

tidak terlepas dari pembahasan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa

karakteristik penemuan hukum yang progresif adalah :

a. Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan

dibimbing oleh pandangannya atau pemikirannya secara mandiri, dengan

berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk mengabdi kepada

manusia.

b. Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran

dan keadilan, serta juga etika dan moralitas.

c. Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam

kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat

yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta keadaan

masyarakat.

30
Dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum yang progresif

tersebut diatas, maka dapat dijelaskan metode penemuan hukum yang

progresif adalah sebagai berikut:

a. Metode penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat

permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke

depan dengan melihat case by case.

b. Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan

(rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi berpedoman

pada hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada

nasib dan keadaan bangsa dan negaranya.

c. Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan

kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara

keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini.

2. Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat

serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak

ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa

Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala

ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali

lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya

buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran

hukum yang berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus- kasus hukum
31
yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan

kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan

hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana

masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa

merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu,

dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan

kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan

baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan

hukum di negeri ini.

3.2. Saran

Sebagaimana yang disebut tentang metode penemuan hukum dalam perspektif

hukum progresif, maka saran-saran yang dapat kami sampaikan adalah agar

putusan hakim sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif yaitu

antara lain:

a. Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni hanya

sekedar corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun seharusnya

hakim selalu harus legalistik karena putusannya tetap berpedoman pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau

sekadar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi

mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi

sosial dalam pergaulan

32
c. Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner), yang

mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule

breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang-undang yang ada

bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan

kemanusiaan yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim

bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil

putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang

bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan.

d. Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa

dan negaranya yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk

kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan negaranya keluar

dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Cetakan Kedua.


Bogor: Ghalia.

Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif


Hukum Progresif. Sinar Grafika, Jakarta.

Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani hakim dan Putusannya. Bandung:


Citra Aditya Bakti.

Bagir Manan. 2005. Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman dalam

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Jakarta: Mahkamah Agung.

Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Teori Penemuan Hukum Baru


dengan Interpretasi Teks. Yogyakarta: UII Press.

Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum


Normatif.Jakarta: Bayumedia Publishing.

Munir Fuady. 2003. Aliran Hukum Kritis. Paradigma Ketidakberdayaan


Hukum.Bandung: Citra Aditya Bakti.

Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit


Kompas.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan


Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti.

Sudikno Mertokusumo. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.


Yogyakarta: Liberty

Utrecht. E. 1986. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum.


Bandung: Alumni.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


34

Anda mungkin juga menyukai