Anda di halaman 1dari 9

Nama : Rebekka Silawati Hutauruk

NIM : 1710611010

Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama (H)

Dosen : Dr. Yayan Sopyan, SH., MA., MH

METODE PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

Dalam bukunya yang berjudul Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif ini merupakan upaya penemuan hukum yang dilakukan olehh hakim melalui putusan-
putusannya, dilihat dari paradigm hukum progresif sebagai bahan telaah kita bagaimana secara
teoretis hakim melakukan upaya penemuan hukum dan sekaligus penerapnnya dalam praktik di
persidangan. Hakim dituntut dapat menyelesaikan problematika social, sehingga seyogianya
hakim harus mendengar rasa keadilan yang disuarakan oleh masyarakat. Hati nurani seorang
hakim harus merasa terpanggil dalam memikirkan nasib dan keadaan seseorang. Hukum yang
progresif menyoroti keprihatinan berbagai kalangan masyarakat dalam mengenal keadaan
penegakan hukum di Indonesia saat ini, yang dinilai tidak mencerminkan keadilan dan tidak pula
berpihak pada masyarakat luas. Untuk itulah diperlukan peran hakim dengan melakukan
penemuan hukum yang bersifat progresif agar kehancuran social atau ketidakstabilan social yang
terjadi di masyarakat Indonesia dapat dihindarkan, serta membantu bangsa dan negara keluar
dari jurang keterpurukan dalam segala bidang.

Penegakan hukum di Indonesia masih carut marut, dan hal ini sudah diketahui dan diakui
bukan saja oleh orang orang yang sehari-harinya berkecimpung di bidang hukum, tetapi juga
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan juga komunitas masyarakat internasional. Proses
penegakan hukum acap kali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan hanya
mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum
merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Secara
universal, jika ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka harus membebaskan diri dari
belenggu formalisme positivisme, karena jika hanya mengandalkan pada teori dan pemahaman
hukum secara legalistik-positivistis yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka
tidak akan pernah mampu untuk menangkap hakikat akan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
Usaha pembebasan dan pencerahan tersebut dapat dilakukan dengan mengubah aura kerja yang
konvensional yang selama ini diwariskan oleh mazhab hukum positif dengan segala doktrin dan
prosedurnya yang serba formal prosedural tersebut, dan untuk melakukan pembebasan dan
pencerahan itulah dibutuhkan kerja keras untuk keluar dari kondisi hukum yang serba formal
prosedural itu.
Berdasarkan permasalahan diatas, timbul ide akan suatu gagasan untuk memilih cara
yang lebih progresif, yang bertujuan untuk mencari cara mengatasi keterpurukan hukum di
Indonesia secara lebih bermakna (significant) dengan mengadakan perubahan secara lebih cepat,
melakukan pembalikan yang mendasar, melakukan pembebasan, terobosan, dan lainnya.

Asumsi dasar yang disampaikan adalah mengenal pandangan tentang hubungan hukum
dan manusia. Di sini ditegaskan prinsip, bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan
sebaliknya. Hukum Itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas
dan besar. Oleh karena Itulah, apabila setiap ada masalah di dalam dan dengan hukum, hukumlah
yang harus ditinjau lalu diperbaiki dan bukan manusianya yang dipaksa untuk dimasukkan dalam
skema hukum. Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan
sangat bergantung pada bagalmana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang
merupakan penentu dan bukan hukum. Menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita
melakukan pilihan yang rumit, tetapi pada hakikatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada
kedua faktor tersebut. Semakin suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin menganggap
hukum sesuatu yang mutlak, otonom, dan final. Semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu
ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.

Hukum yang progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final,
melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam
konteks pemikiran itulah, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah
Institusi yang secara terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat
kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan ini bisa diverifikasikan ke dalam faktor
keadilan. kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain sebagainya. Inilah hakikat hukum
yang selalu daiam proses menjadi (law as a process, law in the making). Dari hal- hal tersebut
dapat ditarik asumsi bahwa yang mendasari hukum yang progresif itu adalah sebagai berikut:

1. Hukum ada adalah untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri
2. Hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final
3. Hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, dan bukan teknologi yang tidak berhati
nurani

Sumber utama dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah peraturan
perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian Internasional, kemudian
doktrin. Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan dari sumber hukum yang
lain. Jikalau hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata, maka dicari terlebih dahulu dalam
undang-undang, karena undang-undang bersifat autentik, berbentuk tertulis, dan lebih menjamin
kepastian hukum. Tidak mudah untuk membaca undang-undang, karena tidak hanya sekadar
bunyi kata-kata saja, tetapi harus mencari arti, makna, atau tujuannya. Suatu undang undang
secara keseluruhan mengandung ratusan ribu kalimat, di mana pikiran yang ada di belakang
kalimat kalimat ini bertujuan untuk memenuhi banyak kebutuhan yang justru saling
bertentangan. Oleh karena itu, membaca undang-undang tidak cukup dengan membaca pasal-
pasalnya saja, tetapi harus pula dibaca penjelasan dan juga konsiderannya. Jika hukum dikatakan
sebagai suatu sistem, maka untuk memahami suatu pasal dalam undang-undang atau untuk
memahami suatu undang-undang sering harus dibaca pasal-pasal lain dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang lain. Undang- undang tidak boleh ditafsirkan bertentangan dengan
undang-undang itu sendiri (contra legem), lebih-lebih kalau undang-undang itu sudah cukup
jelas.

Jika ternyata dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan atau jawabannya,
maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan, yang merupakan hukum tidak tertulis, yang untuk
menemukannya harus bertanya kepada warga atau tokoh masyarakat yang dianggap mengerti
Keblasaan adalah perllaku yang diulang. Suatu keblasaan dianggap sebagai hukum apabila
keblasaan Itu dianggap mengikat. Dalam hal ini perilaku tersebut harus dlulang dalam waktu
yang cukup lama, berulang ulang dan harus menimbulkan keyakinan umum bahwa perilaku yang
dlulang Itu memang patut secara objektif dilakukan. Hukurn kebiasaan pada umumnya
melengkapi undang-undang dan tidak dapat menge sampingkan undang-undang. Akan tetapl,
dalam keadaan tertentu hukum keblasaan mengalahkan undang-undang yang bersikap pelengkap
saja.

Penemuan Hukum (Rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim


atau petugas hukum lainnya yang diberikan tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa
hukum. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, pertama kali harus
menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup
atau tidak tepat dengan permasalahan atau perkara tersebut maka, hakim dapat mencari dan
menemukan sendiri hukumnya yang bersumber dari sumber hukum lain, seperti yurisprudensi,
doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Dalam UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 10
ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dalam praktek Pengadilan ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh Hakim yaitu
penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan hukum, dan penerapan hukum. Ketiga
istilah tersebut berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-
undang tidak jelas oleh karena itu diperlukan suatu penemuan hukum atau menciptakan hukum
yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. 1
Penemuan hukum oleh hakim
dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu di
tuangkan dalam bentuk putusan.2 Hakim dalam melakukan penemuan hukum berpedoman pada
metode-metode yang telah ada. Metode-metode dalam penemuan hukum meliputi metode
interpretasi (interpretation method), metode kontruksi hukum atau penalaran (redeneerweijzen).3

Metode kontruksi hukum bertujuan agar putusan hakim dalam peristiwa konkret yang
ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memberikan kemanfaatan.
Dalam metode kontruksi hukum, ada empat metode yang digunakan oleh hakim pada saat
penemuan hukum, yaitu: argumentum per analogium (analogi), argumentum a contrario,
penyempitan hukum, dan fiksi hukum.4
1. Penemuan Hukum dengan Metode Interpretasi.
Di Indonesia metode interpretasi dapat dibedakan jenis-jenisnya sebagai berikut :
a. Metode Penafsiran Substantif, adalah di mana hakim harus menerapkan suatu teks
undang-undang terhadap kasus in konkreto dengan belum memasuki rapat
penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekadar menerapkan silogisme.
b. Metode Penafsiran Gramatikal, ialah peraturan perundang-undangan dituangkan
dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan juga disusun dalam bahasa yang
logis sistematis. Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang yang belum
jelas perlu ditafsirkan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari.
Metode penafsiran gramatikal ini merupakan penafsiran yang paling sederhana
dibandingkan dengan penafsiran yang lain
c. Metode Penafsiran Sistematis atau Logis, ialah menafsirkan peraturan perundang-
undangan dengan meng- hubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-
undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Dalam metode penafsiran ini,

1
Jamiz hamidi, Hermeneutika Hukum, 2005, “Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks”,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 51
2
Abdul Manan, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam praktek Hukum Acara di Peradilan Agama”, Jurnal
Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013, ISSN: 2303-3274, Hlm. 191
3
Muwahid, “Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum
yang Responsif”, AL-HUKAMA, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017,
Hlm. 226
4
Ahmad Rifaii, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam prespektif hukum Progresif”, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010),Hlm. 61
hukum dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak merupakan bagian yang berdiri
sendiri tetapi merupakan bagian dari satu sistem
d. Metode Penafsiran Historis, adalah penafsiran yang didasarkan kepada sejarah
terjadinya, peraturan tersebut. Dalam praktik Peradilan, penafsiran historis dapat
dibedakan antara penafsiran menurut sejarah lahirnya undang-undang dengan
penafsiran menurut sejarah hukum. Interpretasi menurut sejarah undang-undang
(wetshistorisch) adalah mencari maksud dari perundang-undangan itu seperti apa
yang dilihat oleh pembuat undang-undang ketika undang- undang itu dibentuk dulu,
di sini kehendak pembuat undang- undang yang menentukan. Interpretasi menurut
sejarah hukum (rechtshistorisch) adalah metode interpretasi yang ingin memahami
Undang-undang dalam konteks seluruh ajaran hukum.
e. Metode Penafsiran Sosiologis atau Teleologis, menerapkan makna undang-undang
berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Di sini hakirn menafsirkan undang-undang
sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, titik beratnya adalah pada tujuan
undang-undang itu dibuat, bukan pada bunyi kata-katanya saja. Peraturan perundang-
undangan yang telah usang, disesuaikan penggunaannya dengan menghubungkan
dengan kondisi dan situasi saat ini atau situasi sosial yang baru.
f. Metode Penafsiran Komperatif, adalah metode penafsiran undang- undang dengan
memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Penafsiran model ini paling
banyak dipergunakan dalam bidang hukum perjanjian internasionaI. Di luar hukum
internasional, penafsiran komperatif sangat jarang dipakai.
g. Metode Penafsiran Restriktif, adalah penafsiran untuk menjelaskan undang-undang
dengan cara ruang lingkup ketentuan undang-undang itu dibatasi dengan
mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.
h. Metode Penafsiran Ekstensif, adalah metode interpretasi yang membuat penafsiran
melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. Seperti perkataan
menjual dalam Pasal 1576 KUHPerdata; ditafsirkan bukan hanya jualbeli
sematarnata, tetapi juga "peralihan hak".
i. Metode Penafsiran Futuristis, adalah penafsiran undang-undang yang bersifat
antisipasi dengan berpedoman kepada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum (ius constituendum). Misalnya suatu rancangan undang-undang yang
masih dalam proses perundangan, tetapi pasti akan diundangkan.
2. Penemuan Hukum dengan Metode Konstruksi
Pada umumnya para praktisi hukum di kalangan Eropa Kontinental tidak memisahkan
secara tegas antara metode penemuan hukum interpretasi dengan penemuan hukum
metode konstruksi. Sebaliknya para praktisi hukum di kalangan Anglo Saxon dalam
karangannya telah memisahkan dengan tegas penemuan hukum dengan metode
interpretasi dengan penemuan hukum metode konstruksi. Para hakim dalam melakukan
konstruksi dalam penemuan dan pemecahan masalah hukum, harus mengetahui tiga
syarat utama yaitu : (1)konstruksi harus mampu meliput semua bidang hukum positif
yang bersangkutan; (2)dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di
dalamnya; (3)konstruksi kiranya mengandung faktor keindahan dalam arti tidak dibuat-
buat, tetapi dengan dilakukan konstruksi persoalan yang belum jelas dalam peraturan-
peraturan itu diharapkan muncul kejelasan-kejelasan. Konstruksi harus dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup
sederhana dan tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan.
Sedangkan tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit
dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan.5
Dalam praktik Peradilan, penemuan hukum dengan metode konstruksi dapat dijumpai
dalam bentuk sebagai berikut:
a. Argumen Peranalogian
Konstruksi hukum ini dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam
suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu mirip dengan yang
diatur dalam undang-undang. Hakim bersikap seperti pembentuk undang-undang
yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapi kekosongan itu
dengan peraturan-peraturan yang serupa dengan mencari unsur-unsur. Persamaannya
dengan menggunakan penalaran pikiran secara analogi. Jika pemakaian analogi
dilaksanakan secara baik, maka akan memecahkan problem yang dihadapi itu dengan
menemukan hukum yang baru pula dengan tidak meninggalkan unsurunsur yang ada
dalam peraturan yang dijadikan persamaan itu.
5
Ahmad Ali, 1996, “Mengenal Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis”, Jakarta: Chandra
Pratama, hlm. 192
b. Metode Argumentum A'contrario
Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal
tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu
dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Misalnya seorang duda yang
hendak kawin lagi tidak tersedia peraturan yang khusus. Peraturan yang tersedia bagi
peristiwa yang tidak sama tetapi mirip, ialah bagi janda yaitu Pasal 39 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Bagi janda yang hendak kawin lagi harus menunggu
masa iddah. Maka Pasal itu juga diberlakukan untuk duda secara argumentum
a'contrario, sehingga duda kalau hendak kawin lagi tidak perlu menunggu. Tujuan
argumentum a'contrario ini adalah untuk mengisi kekosongan hukum atau
ketidaklengkapan undang-undang, Jadi, argumentum a'contrario bukan merupakan
argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan tertentu.
c. Pengkonkretan Hukum (Rechtsvervijnings)
Kontruksi model ini ada yang menyebutnya dengan penghalusan hukum,
penyempitan hukum, dan ada pengkonkretan hukum. Dalam tulisan ini dipergunakan
istilah pengkonkretan hukum yang merupakan pengkonkretan terhadap suatu masalah
hukum yang tersebut dalam peraturan perundangundangan, karena peraturan
perundang-undangan tersebut terlalu umum dan sangat luas ruang lingkupnya. Agar
dapat dipergunakan dalam menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang
diperiksa, masalah hukum yang sangat luas itu dipersempit ruang lingkupnya
sehingga dapat diterapkan dalam suatu perkara secara konkrit. Misalnya pengertian
melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang luas ruang lingkupnya karena
dalam peraturan itu tidak dijelaskan tentang apakah kerugian harus diganti juga oleh
yang dirugikan, yang ikut bersalah menyebabkan kerugian. Tetapi dalam
yurisprudensi ditentukan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan, ini hanya
dapat menuntut sebagian dari kerugian yang diakibatkan olehnya. Jadi di sini ada
pengkonkretan ruang lingkup tentang pengertian perbuatan melawan hukum.
d. Fiksi Hukum
Penemuan hukum ini sebenarnya berlandaskan asas "in dubio pro reo" yaitu asas
yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum. Pada fiksi hukum
pembentuk undang-undang dengan sadar menerima sesuatu yang bertentangan
dengan kenyataan sebagai kenyataan yang nyata. Fiksi adalah metode penemuan
hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil suatu
personifikasi baru di hadapan kita. Ada pun fungsi dari fiksi hukum ini di samping
untuk memenuhi hasrat untuk menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk
mengisi kekosongan undang-undang.
Jadi dalam fiksi hukum setiap orang mengetahui semua ketentuan-hukum yang
berlaku dan hal ini sangat diperlukan oleh hakim dalam praktik hukum. Fiksi hukum
sangat bermanfaat untuk mengajukan hukum, yaitu untuk mengatasi benturan antara
tuntutan-tuntutan baru dan sistem yang ada.
3. Metode Hermeneutika Hukum
Metode penemuan Hukum oleh Hakim berupa interpretasi Hukum dan kontruksi Hukum
sebagaimana yang telah di urakan di atas masih relevan dipergunakan oleh Hakim hingga
saat ini, akan tetapi pada abad ke 19 dan permulaan abad 20 sudah ditemukan metode
penemuan hukum lain yang dapat dipergunakan oleh Hakim dalam memutus perkara
yaitu metode Hermeneutika Hukum.
Fungsi dan tujuan Hermeneutika Hukum adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak
jelas supaya lebih jelas (bringing the unclear in to clarity), sedangkan tujuan yang lain
dari Hermeneutika Hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer hukum
dalam kerangka Hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasi teori hukum
dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa Hermeneutika memiliki korelasi pemikiran
dengan ilmu hukum dan Yurisprudensi.
Dalam praktek peradilan tampaknya metode Hermeneutika Hukum ini tidak banyak atau
jarang sekali di pergunakan sebagai metode penemuan hukum. Hal ini disebabkan karena
dominannya metode interptestasi dan Hantruksi Hukum yang sudah sangat mengakar
dalam praktek di Peradilan Indonesia. Mungkin juga para hakim belum begitu familiar
dengan metode Hermeneutika ini sehingga tidak menggunakannya dalam penemuan
hukum. Padahal metode ini dianggap paling baik sebab ia merupakan sutau metode
menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja, tetapi juga
konteks-konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontekstualisasi atau penerapan
hukumnya dimasa kini dan masa mendatang.
Untuk mengisi kekosongan hukum, hakim dalam menjalankan tugasnya dapt melakukan
penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi, yang di bagi menjadi 3,
yaitu: (1) argumentasi analogi atau argumentasi a fortiori; (2) atgumen a contrario; (2)
penyempitan hukum atau pengalusan hukum. Metode argumentasi ini berbasis teks,
artinya metode ini digunakan apabila aturan hukum tertulisnya ada tetapi tidak lengkap.
Analogi dan penghalusan hukum merupakan metode konstruksi, yaitu species ke genus
untuk kemudian melihat apakah pada kasus itu masuk dalam kawasan gunus tersebut.
Penghalusan hukum, orang memulai dari genus untuk kemudian turun kepada
speciesnya.6
Terdapat 3 (tiga) alasan hakim diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum atau
penciptaan hukum, yaitu: (1) hakim Indonesia tidak menganut sistem preseden; (2) hakim
wajib mengadili seluruh bagian gugatan; (3) hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
hukumnya tidak ada atau tidak jelas, tetapi wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.7

6
Satjipto Rahardjo, 2020, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.113-114
7
Dr. Syarif Mappiasse, 2015, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim , Jakarta: Kencana, hlm.145

Anda mungkin juga menyukai