Anda di halaman 1dari 7

Nama : Kanishka Bhuller

NIM : 207005038

Tugas : Critical Review

Judul Jurnal : Membebaskan Positivisme Hukum ke Ranah Hukum Progresif (Studi Pembacaan
Teks Hukum Bagi Penegak Hukum)
Penulis : A. Sukris Sarmadi

1. Pendahuluan

Positivisme telah melahirkan hukum dalam skesta matematika, menyelesaikan hukum


yang terjadi dalam masyarakat berdasar apa yang tertulis dalam teks undang-undang, mengkristal
di posisi binernya suatu teks lalu pembaca harus memahami di keadaan itu dan tidak dibolehkan
untuk berpikir lain. Sementara para hakim memutus perkara dengan teks tersebut atas persoalan
hukum yang dihadapi. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, hakim memutus perkara
mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber utamanya. Kelompok-kelompok hakim yang
berpikir demikian dapat digolongkan sebagai suatu aliran konservatif. Produk hukum sendiri
akan melahirkan formalistik semata di mana kepastian hukum menjadi ikon kebenaran. Keadilan
adalah keadilan yang terdefinisi atas apa yang tertulis dan menutup diri atas keadilan yang
selama ini tidak termaktub dalam suatu teks perundang-undangan. Teori ini mengidentikkan
hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum di luar undang-undang dan satu-satunya
hukum adalah undang-undang.
Berdasarkan demikian, positivisme hukum harus dibebaskan dari kekakuan dirinya. Studi
ini tidak untuk mempertentangkan suatu aliran hukum ataupun menempatkan positivisme hukum
sebagai biang keladi kegagalan dalam pembangunan hukum di Indonesia. Tetapi dalam studi ini
diharapkan ada pembebasan dari kekakuan yang terjadi dan dirasakan seringnya terjadi
pembalikan dari keadilan yang diharapkan oleh rasa keadilan masyarakat. Oleh karenanya,
tulisan yang berjudul Membebaskan Positivisme Hukum Ke Ranah Hukum Progresif (Studi
Pembacaan Teks Hukum Bagi Penegak Hukum) sangatlah penting dan mendesak dipahami oleh
penegak hukum.
Cara penafsiran hukum yang selama ini digunakan oleh aparat penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan adalah penafsiran sistematik. Suatu undang-undang
merupakan legalitas mutlak beserta penjelasannya yang tidak dapat diartikan lain me- lewati
suatu penafsiran. Ini merupakan ciri utama dari paradigma positivisme, di mana para pelaku
hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara lega- listik
positivis dan berbasis peraturan (rule bound), sehingga dalam mengkaji hukum hanya aspek
lahiriahnya saja yang diperhatikan sedangkan nilai-nilai atau norma yang muncul dari realitas
sosial seperti keadilan, kebenaran, atau kebijaksanaan yang biasanya mendasari aturan-aturan
hukum tidak mendapat tempat, karena tidak dapat dijangkau oleh penginderaan. Cara-cara inilah
yang hingga sekarang terus diserang dan dikritik karena dianggap menjadikan hukum sebagai
institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier,
mekanistik, dan deterministik terutama untuk kepentingan profesi dan berakhir dengan
ketakmampuannya untuk mencapai kebenaran.
Ketidakadilan yang terjadi dalam pena- nganan hukum oleh penegak hukum adalah sua-
tu ironi karena sesungguhnya wujud hukum itu sendiri bercita-cita keadilan (gerechtigkeit).
Hukum telah diarenakan dalam konteksnya yang formal, mekanistik tanpa hati nurani sehingga
menjadi mudah bagi para penegak hukum untuk melakukan perbuatan yang sekedar memenuhi
kebutuhan formal meski harus bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Hasil laporan
penelitian Agus Raharjo dan Angkasa menyebutkan terjadinya kekerasan psikologis banyak
dilakukan penyidik dengan maksud untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari
tersangka. Dalam konteks yang lain, bukan hanya polisi tetapi juga jaksa dan hakim melakukan
prilaku yang bertentangan dengan keadilan. Sarjana hukum yang seharusnya berprilaku sesuai
aturan hukum ternyata ikut andil melakukan kerusakan hukum. Terkadang teks hukum ditelusuri
untuk mencari celah kekurangan yang pasti ada dalam suatu teks hukum untuk suatu kepentingan
yang bukan demi untuk hukum, tidak untuk mencari dan menyempurnakan tujuan sosialnya dari
hukum yang seharusnya responsif bagi keadilan masyarakat. Kekakuan teks hukum harusnya
disempurnakan dengan upaya pembacaan teks hukum yang benar dan responsif. Tanpa hukum
yang mampu menanggapi keadilan masyarakat (hukum responsif) maka hukum itu sendiri telah
kehilangan rohnya. Rohnya hukum itu adalah moral dan keadilan. Untuk itulah diperlukan suatu
kesadaran bagi penegak hukum bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Hukum bukan
dibuat karena sekehendak semata para penguasa atau hanya sekedar kepentingan golo- ngan
maupun kepentingan sesaat sekedar me- menuhi formalisme hukum. Tetapi hukum amat
ditentukan pada kemampuannya mengabdi pada manusia, bahkan merekayasa manusia pada
kultur kehidupan yang berkeadilan.
Para hakim, jaksa, polisi harus berani membaca teks hukum dengan makna yang lebih
luas secara progresif, yaitu menempatkan pada konteks sosial dan tujuan sosial masa kini. Tidak
sedikit teks undang-undang yang malah bisa mengganggu rasa keadilan di masyarakat apabila
tidak dibaca dan dimaknai secara progresif. Atas kenyataan itulah disadari benar oleh pembuat
undang-undang di negeri ini sehingga diberlakukan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
2. Critical Review Jurnal:
Permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini cukup menarik yaitu mengenai pembebasan
bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum. Tentu saja dalam menerapkan hukum,
aparat hukum khususnya hakim memiliki pertimbangan hukum. Pertimbangan hakim terdiri dari
pertimbangan yuridis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu fakta-fakta hukum yang terjadi
dalam persidangan. Pertimbangan hakim secara sosiologis diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.1
Jurnal tersebut sudah baik dan tepat. Pembebasan positivisme hukum ke ranah hukum
progresif akan memungkinkan bagi aparat untuk melakukan penemuan hukum. Hal ini tentu
diperlukan karena pada dasarnya hukum bukanlah sesuatu yang statis. Hukum senantiasa
bergerak mengikuti arus perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan sekarang ini,
penafsiran hukum oleh penegak hukum pada umumnya masih bersifat tekstual didasarkan ilmu
hukum dogmatik. Baik ditingkat kepolisian, kejaksaan mau pun di lembaga peradilan. Hukum
seharusnya aktif berperan untuk dan sebagai motor pembangunan kehidupan masyarakat dalam
tujuan sosialnya, kehidupan yang ideal dan melindungi serta mengabdi pada manusia.
Melalui pembebasan positivisme hukum ke arah hukum progresif, tentu akan
memungkinkan bagi hakim untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Selama ini, ada
beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum, yaitu:

1
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Jakarta, Citra Aditya, 2007, hal. 212
1) Kesadaran atau pengetahuan hukum yang lemah;
2) Ketaatan terhadap hukum;
3) Perilaku aparat hukum. 2
Diharapkan ke depannya, penegak hukum mampu mengembangkan wawasannya melalui
kegiatan pembacaan teks hukum sehingga akan mampu menegakkan hukum seadil-adilnya.
Tidak ada lagi diskriminasi terhadap si miskin dan si kaya. Ketidakpuasan masyarakat selama ini
terhadap putusan pengadilan adalah karena ketidaksesuaian antara keadilan yang tumbuh dalam
perasaan hukum masyarakat dengan keadilan yang diterapkan oleh hakim. 3
Review terhadap metode penelitian dirasa sudah tepat dengan menggunakan data-data
lapangan sehingga akan memudahkan dalam menentukan mengenai dampak implementasi
pembebasan positivisme hukum menuju ke ranah hukum progresif. Metode ini dianggap sudah
tepat karena akan memandang hukum sebagai sesuatu yang menggejala di masyarakat, bukan
saja hukum sebagai aturan tertulis.
Review terhadap hasil dan pembahasan direkomendasikan sebaiknya menjelaskan secara
rinci mengenai keharusan aparat penegak hukum dalam melakukan pembacaan teks hukum,
dimana harusnya disebutkan mengenai cara hakim dalam menafsirkan teks hukum. Di sisi lain,
pembebasan positivisme hukum tersebut juga dapat menjadi boomerang manakala hakim justru
salah menafsirkan makna yang tersirat dalam teks hukum yang dibacanya. Namun pada jurnal
ini, dipaparkan juga mengenai hal ini. Cara mengatasinya adalah dengan pertama, melihat teks
hukum harus tidak dilihat sebagai yang berdiri sendiri tetapi harus dipahami maksud atau tujuan
besar dari pembuat teks hukum atau undang-undang (legislation); kedua, setiap teks hukum
selalu memiliki tujuan dan objek yang ingin dicapainya, untuk itu perlu memahami lebih jauh
apa yang dimaksudkan dari suatu pasal hubungannya dengan tujuan besar dari diberlakukannya
suatu undang-un- dang. Cara pembacaan ini sering diungkap sebagai pembacaan teks atas
substantif hukum. Ketiga; meyakini adanya kemungkinan kesalah- an teks atas suatu hukum
karena berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan kata lain harus berani
mengetengahkan ide objektif hukum yaitu keadilan sosialnya bukan sekedar apa yang tertulis
pada teks hukum; keempat, berani mengkritik teks hukum untuk suatu ke- sempurnaan

2
Arman Suaidi, Filsafat Keadilan: Biological Justice dan Praktiknya dalam Putusan Hakim, Jakarta,
Prenadamedia, 2020, hal. 163
3
Winardi dan Sirajuddin, Politik Hukum, Malang, Setara Press, 2019, hal, 69
pelaksanaan hukum, menggali keadilan sekalipun di luar teks hukum demi moral, keadilan sosial
dan hati nurani rakyat.
3. Kesimpulan dan Saran
Hasil critical review terhadap jurnal tersebut menunjukkan bahwa jurnal tersebut sudah
baik dan tepat. Pembebasan positivisme hukum ke ranah hukum progresif akan memungkinkan
bagi aparat untuk melakukan penemuan hukum. Hal ini tentu diperlukan karena pada dasarnya
hukum bukanlah sesuatu yang statis. Hukum senantiasa bergerak mengikuti arus perkembangan
dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan sekarang ini, penafsiran hukum oleh penegak hukum
pada umumnya masih bersifat tekstual didasarkan ilmu hukum dogmatik. Review terhadap
metode penelitian dirasa sudah tepat dengan menggunakan data-data lapangan sehingga akan
memudahkan dalam menentukan mengenai dampak implementasi pembebasan positivisme
hukum menuju ke ranah hukum progresif. Review terhadap hasil dan pembahasan
direkomendasikan sebaiknya menjelaskan secara rinci mengenai keharusan aparat penegak
hukum dalam melakukan pembacaan teks hukum, dimana harusnya disebutkan mengenai cara
hakim dalam menafsirkan teks hukum.
Untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum progresif itu, butuh
sokongan kerangka keyakinan baru barupa sebuah model rujukan yang dapat memandu
perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan model/exemplar seperti itu didasarkan pada
tiga pertimbangan. Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak keberadaan status quo–
manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status korup, dan semangat merugikan
kepentingan rakyat. Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat perlawanan dan
pemberontakan untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para
pelaku hukum. Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh, akan dapat menyatukan
kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi, karena exemplar selalu
menyediakan tiga perangkat lunak, yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement). (1) Landasan
ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan. (2) Masalah yang dianggap
relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, serta (3) Metode dan prosedur yang
tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud. Kejelasan mengenai tiga hal itu, per
teori, akan merekatkan kekuatan-kekuatan potensil hukum progresif dalam satu agenda dan garis
perjuangan.
4. Lesson Learned
Melalui jurnal tersebut memberikan pengetahuan mengenai pembebasan positivisme
hukum menuju ke arah hukum progresif. Hukum progresif diartikan dengan kalimat, pertama,
hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan
untuk sesuatu yang luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemuliaan manusia. Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a procces, law in making).
Paradigma positivistik hukum di atas menjelaskan bahwa hukum tidak didasarkan pada
dunia empiris dan sosiologis, namun lebih pada nilai-nilai formal yang berlaku dan telah
dipositivisasi oleh penguasa. Bahkan, dalam pandangan tersebut hukum bukanlah sesuatu yang
empiris sebagaimana para ilmuan sosial gunakan dalam mengkaji kebenaran hukum (order of
fact), tetapi kebenaran hukum bagi kaum positivis ialah kebenaran yang logis dalam nalar hukum
(order of logic). Paradigma positivisme hukum mendasarkan pada aliran rasionalisme dan logika
modern yang melihat bahwa kebenaran itu ada dua, pertama, kebenaran eternal
(abadi)/kebenaran logis. Kedua, kebenaran fakta yang ditentukan oleh self evident, tetapi
kebenaranya ditentukan oleh proposisi yang satu dengan proposisi yang lain. Aliran rasionalisme
berbeda secara ekstrim dengan aliran empirisme. Aliran kritisisme dan intuisisme berupaya
mendamaikan aliran rasionalisme dan empirisme. 4

4
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta, Belukar, 2005, hal. 49- 51
5. Daftar Pustaka
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer, Jakarta, Citra Aditya
Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Belukar
Suaidi, Arman. 2020. Filsafat Keadilan: Biological Justice dan Praktiknya dalam Putusan
Hakim, Jakarta, Prenadamedia
Winardi dan Sirajuddin. 2019. Politik Hukum, Malang, Setara Press

Anda mungkin juga menyukai