NIM : 207005038
Judul Jurnal : Membebaskan Positivisme Hukum ke Ranah Hukum Progresif (Studi Pembacaan
Teks Hukum Bagi Penegak Hukum)
Penulis : A. Sukris Sarmadi
1. Pendahuluan
1
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Jakarta, Citra Aditya, 2007, hal. 212
1) Kesadaran atau pengetahuan hukum yang lemah;
2) Ketaatan terhadap hukum;
3) Perilaku aparat hukum. 2
Diharapkan ke depannya, penegak hukum mampu mengembangkan wawasannya melalui
kegiatan pembacaan teks hukum sehingga akan mampu menegakkan hukum seadil-adilnya.
Tidak ada lagi diskriminasi terhadap si miskin dan si kaya. Ketidakpuasan masyarakat selama ini
terhadap putusan pengadilan adalah karena ketidaksesuaian antara keadilan yang tumbuh dalam
perasaan hukum masyarakat dengan keadilan yang diterapkan oleh hakim. 3
Review terhadap metode penelitian dirasa sudah tepat dengan menggunakan data-data
lapangan sehingga akan memudahkan dalam menentukan mengenai dampak implementasi
pembebasan positivisme hukum menuju ke ranah hukum progresif. Metode ini dianggap sudah
tepat karena akan memandang hukum sebagai sesuatu yang menggejala di masyarakat, bukan
saja hukum sebagai aturan tertulis.
Review terhadap hasil dan pembahasan direkomendasikan sebaiknya menjelaskan secara
rinci mengenai keharusan aparat penegak hukum dalam melakukan pembacaan teks hukum,
dimana harusnya disebutkan mengenai cara hakim dalam menafsirkan teks hukum. Di sisi lain,
pembebasan positivisme hukum tersebut juga dapat menjadi boomerang manakala hakim justru
salah menafsirkan makna yang tersirat dalam teks hukum yang dibacanya. Namun pada jurnal
ini, dipaparkan juga mengenai hal ini. Cara mengatasinya adalah dengan pertama, melihat teks
hukum harus tidak dilihat sebagai yang berdiri sendiri tetapi harus dipahami maksud atau tujuan
besar dari pembuat teks hukum atau undang-undang (legislation); kedua, setiap teks hukum
selalu memiliki tujuan dan objek yang ingin dicapainya, untuk itu perlu memahami lebih jauh
apa yang dimaksudkan dari suatu pasal hubungannya dengan tujuan besar dari diberlakukannya
suatu undang-un- dang. Cara pembacaan ini sering diungkap sebagai pembacaan teks atas
substantif hukum. Ketiga; meyakini adanya kemungkinan kesalah- an teks atas suatu hukum
karena berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan kata lain harus berani
mengetengahkan ide objektif hukum yaitu keadilan sosialnya bukan sekedar apa yang tertulis
pada teks hukum; keempat, berani mengkritik teks hukum untuk suatu ke- sempurnaan
2
Arman Suaidi, Filsafat Keadilan: Biological Justice dan Praktiknya dalam Putusan Hakim, Jakarta,
Prenadamedia, 2020, hal. 163
3
Winardi dan Sirajuddin, Politik Hukum, Malang, Setara Press, 2019, hal, 69
pelaksanaan hukum, menggali keadilan sekalipun di luar teks hukum demi moral, keadilan sosial
dan hati nurani rakyat.
3. Kesimpulan dan Saran
Hasil critical review terhadap jurnal tersebut menunjukkan bahwa jurnal tersebut sudah
baik dan tepat. Pembebasan positivisme hukum ke ranah hukum progresif akan memungkinkan
bagi aparat untuk melakukan penemuan hukum. Hal ini tentu diperlukan karena pada dasarnya
hukum bukanlah sesuatu yang statis. Hukum senantiasa bergerak mengikuti arus perkembangan
dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan sekarang ini, penafsiran hukum oleh penegak hukum
pada umumnya masih bersifat tekstual didasarkan ilmu hukum dogmatik. Review terhadap
metode penelitian dirasa sudah tepat dengan menggunakan data-data lapangan sehingga akan
memudahkan dalam menentukan mengenai dampak implementasi pembebasan positivisme
hukum menuju ke ranah hukum progresif. Review terhadap hasil dan pembahasan
direkomendasikan sebaiknya menjelaskan secara rinci mengenai keharusan aparat penegak
hukum dalam melakukan pembacaan teks hukum, dimana harusnya disebutkan mengenai cara
hakim dalam menafsirkan teks hukum.
Untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum progresif itu, butuh
sokongan kerangka keyakinan baru barupa sebuah model rujukan yang dapat memandu
perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan model/exemplar seperti itu didasarkan pada
tiga pertimbangan. Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak keberadaan status quo–
manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status korup, dan semangat merugikan
kepentingan rakyat. Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat perlawanan dan
pemberontakan untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para
pelaku hukum. Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh, akan dapat menyatukan
kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi, karena exemplar selalu
menyediakan tiga perangkat lunak, yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement). (1) Landasan
ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan. (2) Masalah yang dianggap
relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, serta (3) Metode dan prosedur yang
tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud. Kejelasan mengenai tiga hal itu, per
teori, akan merekatkan kekuatan-kekuatan potensil hukum progresif dalam satu agenda dan garis
perjuangan.
4. Lesson Learned
Melalui jurnal tersebut memberikan pengetahuan mengenai pembebasan positivisme
hukum menuju ke arah hukum progresif. Hukum progresif diartikan dengan kalimat, pertama,
hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan
untuk sesuatu yang luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemuliaan manusia. Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a procces, law in making).
Paradigma positivistik hukum di atas menjelaskan bahwa hukum tidak didasarkan pada
dunia empiris dan sosiologis, namun lebih pada nilai-nilai formal yang berlaku dan telah
dipositivisasi oleh penguasa. Bahkan, dalam pandangan tersebut hukum bukanlah sesuatu yang
empiris sebagaimana para ilmuan sosial gunakan dalam mengkaji kebenaran hukum (order of
fact), tetapi kebenaran hukum bagi kaum positivis ialah kebenaran yang logis dalam nalar hukum
(order of logic). Paradigma positivisme hukum mendasarkan pada aliran rasionalisme dan logika
modern yang melihat bahwa kebenaran itu ada dua, pertama, kebenaran eternal
(abadi)/kebenaran logis. Kedua, kebenaran fakta yang ditentukan oleh self evident, tetapi
kebenaranya ditentukan oleh proposisi yang satu dengan proposisi yang lain. Aliran rasionalisme
berbeda secara ekstrim dengan aliran empirisme. Aliran kritisisme dan intuisisme berupaya
mendamaikan aliran rasionalisme dan empirisme. 4
4
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta, Belukar, 2005, hal. 49- 51
5. Daftar Pustaka
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer, Jakarta, Citra Aditya
Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Belukar
Suaidi, Arman. 2020. Filsafat Keadilan: Biological Justice dan Praktiknya dalam Putusan
Hakim, Jakarta, Prenadamedia
Winardi dan Sirajuddin. 2019. Politik Hukum, Malang, Setara Press