Anda di halaman 1dari 13

KEBEBASAN HAKIM DAN KEPASTIAN HUKUM DALAM

MENANGANI PERKARA PIDANA DI INDONESIA

Vivi Ariyanti

Fakultas Syariah IAIN Purwokerto


Jl. Ahmad Yani No. 40-A, Purwokerto, Jawa Tengah
Email :viviariyanti@iainpurwokerto.ac.id

Abstrak
Hakikat hukum bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral. Keadilan dan
ketidakadilan menurut hukum akan diukur dan dinilai oleh moralitas yang mengacu pada
harkat dan martabat manusia. Hakim ikut serta dalam pembentukan hukum, bukan secara
objektif seperti undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif, tetapi menerapkan teks
undang-undang yang abstrak ke dalam peristiwa kongkrit. Tulisan ini membahas tentang
peran hakim dalam menjamin kepastian hukum dan keadilan di masyarakat, khususnya dalam
menangani perkara pidana. Kajian dalam tulisan ini menggunakan analisis normatif dan
filosofis terhadap penerapan asas kebebasan hakim dalam penyelesaian perkara pidana
dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Tulisan ini berkesimpulan bahwa Hakim sebagai
ujung tombak penegakan keadilan perlu mempunyai persepsi yang sama tentang penerapan
asas kebebasan hakim dalam melakukan penjatuhan pidana. Dengan adanya keseragaman
pola pikir dalam penerapan aturan tersebut dari para hakim di seluruh Indonesia diharapkan
tidak terjadi lagi adanya disparitas putusan pemidanaan, yang berujung pada ketidakpuasan
masyarakat atas putusan hakim tersebut.

Kata kunci: kebebasan hakim, kepastian hukum, keadilan, peradilan pidana

Abstract
The nature of law rests on the idea of justice and moral strength. Justice and
injustice according to a law will be measured and judged by a morality that refers to human
dignity. Judges participate in the formation of law, not objectively like the law created by
legislators, but judges apply abstract text of the law to concrete legal events. This paper
discusses the role of judges in ensuring legal certainty and justice in society, especially in
handling criminal cases. This study uses a normative and philosophical analysis of the
application of the principle of judicial independence in the resolution of criminal cases in the
Indonesian criminal justice system. This paper concludes that judges as the spearhead of the
enforcement of justice need to have the same perception about the application of the principle
of judicial independence in carrying out criminal offenses. It is hoped that the uniformity of
mindset in applying these rules from judges throughout Indonesia is no longer the case with
the disparity in the conviction, which results in public dissatisfaction with the judge's
decision.

Keywords: judicial independence, legal certainty, justice, criminal

Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 162


Vol. 4, No. 2, Desember 2019
E-ISSN: 2502-6593
Vivi Ariyanti 163

A. Pendahuluan ciri independennya. Keadilan dan


Tugas pokok hakim dalam mengadili ketidakadilan menurut hukum akan diukur
perkara pidana adalah melakukan kegiatan dan dinilai oleh moralitas yang mengacu
yuridis. Hakim ikut serta dalam pada harkat dan martabat manusia. Undang-
pembentukan hukum, bukan secara objektif undang hanya menjadi hukum bila
seperti yang diciptakan pembentuk undang- memenuhi prinsip-prinsip keadilan.
undang yang abstrak, tetapi menerapkan teks Adanya keterkaitan antara hukum
undang-undang yang abstrak kedalam dan moralitas melahirkan suatu formulasi
peristiwa kongkrit. Proses menerapkan teks bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari
undang-undang yang bersifat umum dan ide keadilan dan konsep-konsep moral agar
abstrak ke dalam peristiwa yang kongkrit hukum itu sendiri tidak tiranik, bertentangan
perkara hukum pidana, pada hakikatnya dengan moral masyarakat dan jauh dari
merupakan kegiatan membaca dan keadilan. Keterkaitan tersebut akan memiliki
menafsirkan teks undang-undang yang nilai dan manfaat jika ia terwujud dalam
bersifat umum dan abstrak kedalam hukum moral dan hukum materiil serta
peristiwa kongkrit. Tugas hakim yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.2
berkaitan dengan penerapan teks undang- Keadilan dalam cita hukum merupakan
undang ke dalam peristiwa kongkrit pergulatan revolusi kemanusiaan yang
peristiwa perkara pidana sebagai kegiatan mengikuti ritme zaman dan ruang, dari
penafsiran hukum di sinilah terletak dahulu sampai sekarang tanpa henti dan
kebebasan hakim. Pola pikir hakim yang akan terus berlanjut sampai manusia tidak
masih terbelenggu legalitas formal akan beraktifitas lagi. Manusia sebagai makhluk
menghasilkan penegakan hukum yang ciptaan tuhan yang terdiri atas roh dan jasad
cenderung tidak adil yang akan menciderai memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-
rasa keadilan masyarakat. duanya merupakan daya rohani, di mana
Hukum menetapkan apa yang harus rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan
dilakukan, apa yang boleh dilakukan serta keputusan-keputusan akal agar berjalan di
apa yang dilarang untuk dilakukan. Sasaran atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan
hukum yang hendak dituju bukan saja orang keburukan, karena yang dapat menentukan
yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, baik dan buruk adalah rasa.3
melainkan juga perbuatan hukum yang Hukum yang terekam dalam
mungkin terjadi, dan kepada alat peraturan-peraturan tertulis maupun yang
perlengkapan negara untuk bertindak merupakan kaidah hukum dan dalam hukum
menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang tidak tertulis merupakan sesuatu yang
yang demikian merupakan salah satu bentuk abstrak dan berlaku umum, sedangkan
dari penegakan hukum.1 Hakikat hukum hukum yang konkrit dan khusus sifatnya
bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan manakala telah diterapkan/diberlakukan
moral. Idea keadilan tidak pernah lepas dari pada kasus yang tertentu. Pengadilan
kaitan hukum, sebab membicarakan hukum melalui putusan-putusan hakim berperan
jelas atau samar-samar senantiasa mentranformasikan ide-ide yang bersumber
merupakan pembicaraan mengenai pada nilai-nilai moral yang bersifat abstrak
keadilan. Kekuatan moral pun adalah unsur
hakikat hukum, sebab tanpa adanya 2
moralitas maka kehilangan supremasi dan Bani Syarif Maula, Sosiologi Hukum Islam
di Indonesia (Malang: Aditya Media, 2010), 12.
3
M. Rasjidi dan H. Cawidu, Islam untuk
1
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Disiplin Ilmu Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1998),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), . 1. . 17.

163
164 Mahkamah, Vol. 4, No. 2,Desember 2019

ke dalam peristiwa konkrit, sehingga Membatasi kebebasan hakim dalam


putusan hakim memvisualisasikan asas-asas mengekspresikan logika-logika hukum
yang abstrak menjadi kaidah hukum konkrit. terhadap setiap kasus tertentu pada akhirnya
Misalnya kebijakan pidana terhadap hanya akan menghambat upaya proses
penyalahgunaan narkotika, dalam hal pencarian nilai-nilai keadilan yang
seseorang yang menggunakan narkotika sebenarnya, walaupun kebebasan itu bukan
secara tanpa hak dan melawan hukum untuk berarti dapat dilakukan sebebas-bebasnya
dirinya sendiri dalam batas kepemilikan tanpa disertai dengan tanggung jawab secara
yang minimum untuk konsumsi satu hari. yuridis. Metode penafsiran dan penemuan
Hal ini jelas berbeda dengan tindak pidana hukum adalah upaya bagi hakim untuk
penyalahgunaan narkotika dalam kategori menggali makna hukum yang tersembunyi,
orang yang secara tanpa hak dan melawan namun jika hal itupun tidak mungkin
hukum memiliki narkotika dan kemudian dilakukan, maka hakim harus menciptakan
mengedarkannya.4 hukumnya sendiri dengan cara
Putusan hakim pada dasarnya dibuat mengesampingkan aturan yang ada dan
dalam rangka memberikan jawaban terhadap menciptakan hukum yang dipandang dapat
persoalan yang diajukan kepadanya. Oleh memberikan kebaikan dan kemaslahatan
karena hakim dianggap selalu mengetahui bagi para pihak khususnya dan maryarakat
hukumnya (ius curia novit), maka putusan luas pada umunya.6 Hakim harus memiliki
itu harus memuat pertimbangan- kemandirian dan kebebasan penuh dalam
pertimbangan yang memadai, yang bisa menjatuhkan putusan, ia bebas menentukan
diterima secara nalar di kalangan forum keyakinan dalam dirinya berdasarkan alat-
keilmuan, masyarakat luas dan para pihak alat bukti yang dihadapkan di depan
yang berperkara. Hakim perlu mencermati persidangan, di luar kerangka itu tidak boleh
agar putusannya sejalan dengan doktrin ilmu ada hal-hal yang dapat mempengaruhi
pengetahuan hukum.5 dirinya dalam menjatuhkan putusan.7
Wilayah penentuan pidana Banyak putusan-putusan perkara
merupakan wilayah otoritas hakim, bahkan tindak pidana yang diputus berbeda dengan
pada wilayah ini tidak seorangpun dapat ketentuan pidana minimum, misalnya kasus-
mempengaruhi kehendak hakim dalam kasus tindak pidana korupsi, di mana
menentukan seberapa besar pidana yang penegakan hukum terhadap kejahatan
pantas dijatuhkan kepada terdakwa. Tidak korupsi sudah seharusnya dilakukan secara
heran jika dalam suatu pemidanaan sering tegas, komprehensif, berkesinambungan,
terjadi disparitas pidana, karena ukuran dan dengan terobosan-terobosan hukum
pemidanaan dari masing-masing hakim tidak (dengan cara-cara luar biasa).8 Hal ini
akan sama, karena wilayah hati nurani kemudian memunculkan pertanyaan yang
merupakan wilayah paling abstrak dalam
suatu dimensi kewenangan. 6
Supandriyo, Asas Kebebasan Hakim dalam
Penjatuhan Pidana: Kajian Komprehensif terhadap
4
Vivi Ariyanti, “Kedudukan Korban Tindak Pidana dengan Ancaman Minimum Khusus
Penyalahgunaan Narkotika dalam Hukum Pidana (Yogyakarta: Arti bumi Intaran, 2019), . 11.
7
Indonesia dan Hukum Pidana Islam”, Al-Manahij: Pontang Moerad, Pembentukan Hukum
Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XI, No. 2, Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana
Desember 2017. (Bandung: Alumni, 2005), . 24.
5 8
D.Y. Witanto dan A.P. Negara Vivi Ariyanti, “Implementasi Asas Legalitas
Kutawaringin, Diskresi Hakim: Sebuah Instrument dan Retroaktif tentang Tindak Pidana Korupsi dalam
Menegakkan Keadilana Substantive dalam Perkara- Perspektif Hukum Islam”, Al-Manahij: Jurnal Kajian
perkara Pidana (Bandung: Alfabeta, 2013), . 128. Hukum Islam, Vol. IX, No. 1, Juni 2015.
Vivi Ariyanti 165

sering menjadi perdebatan di kalangan memeriksa dan mengadili suatu perkara.


praktisi maupun akademisi yaitu dalam Pada dasarnya yang dilakukan oleh hakim
kaitannya dengan asas kebebasan hakim, adalah memeriksa kenyataan yang terjadi,
bolehkah hakim memutuskan suatu perkara serta menghukum terdakwa dengan
pidana dengan mengesampingkan ketentuan peraturan yang berlaku. Pada waktu
undang-undang dan menentukan sendiri diputuskan tentang bagaimana atau apa
hukumnya yang adil menurut ukuran hakim hukumnya untuk suatu kasus, maka pada
yang mengadilinya. Mungkin bagi kalangan waktu itulah penegakan hukum mencapai
penganut aliran positivisme, mereka akan puncaknya. Oleh Hans Kelsen proses
dengan tegas menentangnya karena paham penegakan hukum yang dijalankan oleh
tersebut memandang bahwa hukum hanya hakim demikian disebut sebagai
sebatas peraturan tertulis, dalam hal ini konkretisierung (konkretisasi).11 Selain itu
adalah undang-undang, dan hakim tidak Oemar Senoadji menyebutkan bahwa dalam
boleh keluar dari ketentuan yang telah melaksanakan asas kebebasan guna dapat
digariskan oleh undang-undang.9 menjatuhkan putusan yang tepat, hakim
Berbeda halnya jika persoalan melakukan interpretasi rechtsverfijning
tersebut dikaji berdasarkan aliran/paham (penghalusan hukum) dan konstruksi hukum
hukum progresif sebagaimana digagas oleh dengan sebaik-baiknya. Seorang ahli hukum
Satjipto Rahardjo, bahwa hukum hendaknya umumnya dan hakim khususnya harus terjun
mengikuti perkembangan zaman; dengan ke tengah-tengah masyarakat untuk
segala prinsip di dalamnya berdasarkan mengenal, merasakan dan mampu
semangat mengikuti perkembangan zaman menyelami perasaan hukum dan rasa
itulah gagasan progresifitas hukum keadilan yang hidup dalam masyarakat.12
10
dibangun. Bagi penganut paham hukum Belum adanya formulasi tentang
progresif tidaklah haram bagi hakim untuk aturan/pedoman pemidanaan, terutama
menyimpangi undang-undang jika keadilan dalam undang-undang khusus di luar KUHP
dapat diperoleh dengan menyimpangi yang mencantumkan pidana khusus dalam
undang-undang tersebut dan justru keadilan rumusan deliknya, akan menimbulkan
akan muncul jika ketentuan dalam aturan permasalahan dalam penerapannya.
perundang-undangan tersebut diterapkan. Setidaknya ketika hakim yang mengadili
Pemikiran Satjipto Rahardjo tersebut lebih perkara pidana khusus tersebut dihadapkan
melihat fenomena hukum ini sebagai sebuah pada banyaknya faktor-faktor yang
13
realitas, artinya undang-undang bukanlah meringankan pidana tersebut. Di sinilah
sesuatu yang sangat sempurna dan pasti letak pentingnya asas kebebasan hakim
akan mendatangkan keadilan jika diterapkan dalam menyelesaikan perkara berdasarkan
apa adanya, namun pemikiran Satjipto keadilan yang hendak dicapai. Tulisan ini
Rahardjo menitik beratkan pada kenyataan membahas tentang peran hakim dalam
bahwa hukum itu untuk manusia bukan menjamin kepastian hukum dan keadilan di
sebaliknya manusia untuk hukum. masyarakat, khususnya dalam menangani
Masih menurut Satjipto Rahardjo, perkara pidana. Tulisan ini menggunakan
dalam ilmu hukum bagian penting dalam
11
proses mengadili terjadi pada saat hakim Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1996), . 182-183.
12
Kartono, Peradilan Bebas (Jakarta: PT.
9
D.Y. Witanto dan A.P. Negara Pradnya Paramita, 1982), . 43.
13
Kutawaringin, Diskresi Hakim, . 122 Aminal Umam, “Penerapan Pidana
10
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Minimum Khusus”, Varia Peradilan, Vol. XXV No.
Progresif (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), . 4. 29, 2010, IKAHI, Jakarta, . 16.

165
166 Mahkamah, Vol. 4, No. 2,Desember 2019

analisis normatif dan filosofis terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 Undang-Undang
penerapan asas kebebasan hakim dalam kekuasaan kehakiman, yang melarang
penyelesaian perkara pidana dalam sistem adanya campur tangan pihak lain dalam
peradilan pidana Indonesia. urusan peradilan, kecuali dalam hal
sebagaimana disebut Undang-Undang Dasar
B. Asas Kebebasan Hakim dan Prinsip- Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prinsip Penemuan Hukum dalam Menurut Oemar Seno Adji,
Hukum Pidana sebagaimana dikutip Adonara, independensi
Kebebasan Hakim merupakan salah kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari 2
satu prinsip penting dalam konsep Negara (dua) sudut, yaitu: independensi zakelijk
hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat atau fungsional dan independensi
(3) Perubahan Ketiga UUD 1945, Negara persoonlijk atau rechtspositionele.16 Dari
Indonesia adalah Negara hukum. Menurut kedua hal tersebut setidaknya ada dua aspek
Miriam Budiardjo, salah satu ciri-ciri yang perlu dipahami, pertama indepedensi
Negara hukum adalah adanya prinsip kekuasaan kehakiman dalam arti sempit
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang berarti kekuasaan institusional atau dalam
merdeka yang dijamin secara arti lain disebut indepedensi struktural.
14
konstitusional. Berdasarkan ketentuan Kedua, independensi kekuasaan kehakiman
Pasal 24 ayat (1) perubahan ketiga Undang- dalam arti luas berarti juga meliputi
Undang Dasar Negara Republik Indonesia independensi individual atau independensi
Tahun 1945, secara konstitusional fungsional atau indepedensi normatif.17
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman Hakim adalah salah satu predikat
merupakan salah satu kekuasaan Negara yang melekat pada seorang yang memiliki
dalam menyelenggarakan peradilan. pekerjaan dengan spesifikasi khusus dalam
Ketentuan Pasal ini kemudian dituangkan bidang hukum dan peradilan, sehingga
kembali dalam Pasal 1 angka 1 Undang- banyak bersinggungan dengan masalah
Undang No. 48 Tahun 2009 tentang mengenai kebebasan dan keadilan secara
Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam pasal legal dalam konteks putusan atas perkara
tersebut disebutkan bahwa kekuasaan yang dibuat.18 Untuk dapat menjatuhkan
kehakiman adalah kekuasaan Negara yang sebuah putusan yang adil tersebut
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan mensyaratkan adanya kebebasan dan
guna menegakkan hukum dan keadilan integritas moral otonom yang selalu melekat
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang pada diri seorang hakim. Kebebasan seorang
Dasar Negara Republik Indonesia demi hakim merupakan suatu kebebasan untuk
tersenggaranya Negara hukum Republik menentukan sebuah keputusan pengadilan
Indonesia.15 atas perkara yang diadili, yang
Kekuasaan kehakiman yang merdeka mensyaratkan bahwa keputusan yang
atau bebas merupakan asas yang bersifat diambil harus mempertimbangkan
universal karena pada dasarnya setiap
Negara mengenal asas kebebasan dalam 16
Firman Floranta Adonara, “Prinsip
kekuasaan kehakiman, hanya bentuk dan Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara sebagai
isinya berbeda satu sama lain. Asas Amanat Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No.
kebebasan hakim ini dituangkan ke dalam 2, Juni 2015, . 225.
17
Firman Floranta Adonara, “Prinsip
Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara sebagai
14
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Amanat Konstitusi”,, . 225
18
Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), . 50. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim
15
Supandriyo, Asas Kebebasan Hakim, . 18. (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), .169.
Vivi Ariyanti 167

objektivitas keputusan dengan tanpa tekanan orang lain tanpa mengurangi


dari pihak manapun.19 Sikap dan tindakan- objektivitasnya. Prinsip-prinsip moral dasar
tindakan yang harus diambil tidak berdiri yang digunakan dalam kebebasan
diruang kosong, melainkan harus eksistensial manusia, khususnya bagi hakim
dipertanggungjawabkan terhadap nilai-nilai harus sudah disadari terlebih dahulu.22
kemanusiaan yang sebenarnya, terhadap Dalam menjatuhkan pidana, hakim
tugas yang menjadi kewajiban dan terhadap selain berpedoman kepada peraturan
harapan orang lain. Sikap yang diambil perundang-undangan juga diberi kebebasan
secara bebas hanya memadai apabila sesuai untuk menentukan hukuman yang adil
dengan tanggungjawab objektif itu.20 berdasarkan ukuran keadilan menurut hati
Asas kebebasan hakim merupakan nurani. Takaran pemidanaan bukanlah
jaminan bagi keadilan yang diharapkan oleh merupakan hasil analisis yuridis, karena
masyarakat. Tiap individu dalam masyarakat analisis yuridis dalam proses pertimbangan
memiliki hak-hak asasi manusia yang hukum akan berhenti pada saat menentukan
dijamin undang-undang. Jika ada suatu seseorang bersalah atau tidak, sedangkan
undang-undang yang dinilai bertentangan ketika seseorang terdakwa telah terbukti
dengan nilai-nilai keadilan, maka undang- bersalah, maka penjatuhan pidana akan
undang itu dapat dilakukan peninjauan ulang dilakukan berdasarkan takaran hati nurani
(uji materi) di Mahkamah Konstitusi, untuk hakim sesuai dengan nilai keadilan yang
menjamin bahwa hak-hak dan keadilan diyakininya.23
masyarakat dapat terpenuhi.21 Hal yang juga Melalui kebebasannya seorang
terjadi dalam sistem peradilan yang hakim akan menggunakan pertimbangan-
menjunjung asas kebebasan hakim. pertimbangan objektif untuk memutuskan
Keputusan hakim merupakan keputusan tuntutan masyarakat atas dasar tuntutan
pengadilan, sehingga jika ada suatu keadilan. Jelas bagi seorang hakim bahwa
keputusan pengadilan yang dinilai tidak putusan yang diambil harus memenuhi
sesuai dengan aspek keadilan bagi salah satu tuntutan dan harapan orang lain, yang
pihak, ma keputusan itu dapat ditinjau ulang artinya objektivitas hakim menjadi kendali
melalui mekanisme pengadilan banding dan atas putusan yang akan dibuat.24
kasasi.
Seorang hakim di dalam membuat C. Interpretasi Hukum dan Prinsip-
putusan atas perkara yang ditangani harus Prinsip Penemuan Hukum dalam
bersumber pada kemampuannya untuk Hukum Pidana
berfikir dan berkehendak secara bebas Penafsiran hukum adalah sebuah
namun dalam pembatasan tanggungjawab. pendekatan pada penemuan hukum dalam
Artinya posisi hakim sesungguhnya harus hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk
membuat putusan yang bisa dapat diterapkan pada peristiwanya.
dipertanggungjawabkan atas dasar harap Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus
memeriksa dan mengadili perkara yang tidak
19
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim
(Jakarta: .174
20
Franz Magnis Suseno, Etika Hukum:
22
Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, .
(Yogyakarta: Kanisius, 1983), . 40. 170.
21 23
Bani Syarif Maula, “The Role of Judicial D.Y. Witanto dan A.P. Negara
Review in Protecting Religious Minority Rights in Kutawaringin, Diskresi Hakim, . 128.
24
Indonesia”, Veteran Law Review, Vol. 1, No. 1, 2018, Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim,
. 1-19. . 171.

167
168 Mahkamah, Vol. 4, No. 2,Desember 2019

menghadapi kekosongan atau 120 Grondwet. Akan tetapi dalam


ketidaklengkapan undang-undang yang perkembangannya, tidak semua hukum
harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim ditemukan dalam undang-undang.28 Oleh
tidak boleh menolak memeriksa dan karena itu unsur hukum/sumber hukum
mengadili perkara dengan dalih tidak ada dalam penemuan hukum tidak hanya
hukumnya atau tidaklengkap hukumnya. meliputi undang-undang semata, tetapi juga
Hakim menemukan hukum itu untuk sumber hukum lainnya, yaitu doktrin,
mengisi kekosongan hukum tersebut.25 yurisprudensi, perjanjian dan kebiasaan.29
Penemuan hukum oleh hakim Metode penemuan hukum yang
menurut Sudikno Mertokusumo merupakan dapat dilakukan oleh hakim dalam praktek
suatu proses pembentukan hukum oleh peradilan menurut Achmad Ali dibedakan
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya menjadi dua jenis, yaitu penemuan hukum
yang diberi tugas menerapkan hukum metode interpretasi dan penemuan hukum
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang dengan metode konstruksi.30 Metode
konkret. Dengan kata lain, merupakan interpretasi adalah metode untuk
proses konkretisasi atau individualisasi menafsirkan terhadap teks perundang-
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat undangan yang tidak jelas, agar perundang-
umum dengan mengingat akan peristiwa undangan tersebut dapat diterapkan terhadap
konkret (das sein) tertentu. Yang penting peristiwa konkrit tertentu.31 Sedangkan yang
dalam penemuan hukum adalah bagaimana dimaksud dengan metode konstruksi adalah
mencarikan atau menemukan hukum untuk penalaran logis untuk mengembangkan
peristiwa kongkret.26 Sedangkan menurut suatu ketentuan dalam undang-undang yang
J.A. Pontier, penemuan hukum adalah tidak lagi berpegang pada kata-katanya,
sebuah reaksi terhadap situasi-situasi tetapi tetap harus memperhatikan hukum
problematik yang dipaparkan orang dalam sebagai suatu sistem.32
peristilahan hukum. Masih menurut Pontier, Penemuan hukum, menurut Sudikno
penemuan hukum diarahkan pada pemberian Mertokusumo dapat dibedakan menjadi dua
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang jenis yaitu:33
hukum yang ditimbulkan oleh kejadian- a) Penemuan hukum heteronom adalah
kejadian konkrit.27 jika dalam penemuan hukum, hakim
Ada dua unsur penting dalam sepenuhnya tunduk pada undang-
penemuan hukum. Pertama, hukum/sumber undang, hakim hanya menetapkan
hukum dan kedua adalah fakta. Pada bahwa undang-undang dapat diterapkan
awalnya, unsur hukum/sumber hukum dalam
penemuan hukum adalah undang-undang. 28
Ibid., . 18.
Hal ini berkaitan dengan suatu postulat yang 29
Eddy. O.S. Hiariej, Asas-Asas Legalitas
dikenal dengan istilah “De wet is dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana
onschendbaar” (undang-undang itu tidak (Jakarta: Airlangga, 2009), . 56.
30
dapat diganggu gugat) yang dalam hukum Eddy. O.S. Hiariej, Asas-Asas Legalitas dan
Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, . 56
belanda tertuang secara eksplisit dalam Pasal 31
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan
Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan
25
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Berkeadilan), cet. 1 (Yogyakarta UII Press, 2015), .
Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2009), . 37. 106.
26 32
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, cet.
Sebuah Pengantar …. 37. 1 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), . 159.
27 33
J.A. Pontier, Penemuan Hukum, terj. B. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum:
Arief Sidharta (Bandung: Jendela Mas Pustaka, Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2009), . 43-
2008), . 1. 44.
Vivi Ariyanti 169

pada peristiwa konkritnya, kemudian masyarakat.35Apabila ditinjau dalam konteks


hakim menerapkannya menurut bunyi yang lebih luas pemikiran mengenai
undang-undang tersebut; keadilan itu berkembang dengan pendekatan
b) Penemuan hukum otonom adalah jika yang berbeda-beda, karena perbincangan
hakim dalam menjatuhkan putusannya tentang keadilan yang tertuang dalam
dibimbing oleh pandangan-pandangan, banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa
pemahaman, pengalaman dan melibatkan tema-tema moral, politik dan
pengamatan atau pikirannya sendiri. teori hukum yang ada. Oleh karena itu
Jadi hakim memutus suatu perkara yang menjelaskan mengenai keadilan secara
dihadapkan kepadanya menurut tunggal hampir sulit untuk dilakukan.36
apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak Pada abad ke-19, Hans Kelsen
kepada ketentuan undang-undang. mengembangkan Teori Hukum Murni,
Menurut Eddy O.S. Hiariej dalam keadilan menurut Kelsen adalah suatu
konteks penemuan hukum dalam hukum tatanan masyarakat yang mengatur
pidana, yang selalu menjadi persoalan hubungan timbal balik antar manusia yang
adalah bagaimana cara menerapkan mungkin diwujudkan, tetapi tidak harus
peraturan hukum yang umum sifatnya terwujud. Keadilan adalah sebuah norma
terhadap peristiwa konkrit. Dengan kata lain, manusia bila tingkah lakunya sesuai dengan
persoalan terbesar penemuan hukum dalam norma-norma sebuah tatanan masyarakat
hukum pidana adalah cara menemukan yang dipandang adil, yaitu bila tatanan
hukum tersebut, entah dengan jalan masyarakat yang mengatur tingkah laku
penafsiran atau analogi.34 anggota-anggotanya dapat memuaskan
semua orang.37 Menurut Kelsen, Teori
D. Konsep Keadilan dan Kebebasan Hukum Murni adalah teori tentang hukum
Hakim dalam Menjatuhkan Putusan positif, ia berusaha untuk mempersoalkan
Pidana dan menjawab pertanyaan, “apakah
Tujuan akhir dari sebuah putusan hukumnya” dan bukan “bagaimanakah
hakim adalah memberikan keadilan, hukum yang seharusnya”. Oleh karena titik
kebebasan hakim dalam melakukan tolak yang demikian itu, maka Kelsen
penjatuhan pidana sangat terkait dengan berpendapat bahwa keadilan sebagaimana
keadilan tersebut, karena tidak boleh hakim lazimnya dipersoalkan, hendaknya
menggunakan kebebasannya tersebut secara dikeluarkan dari hukum.38
serampangan dan sebebas-bebasnya. John Rawls membangun teori
Kebebasan hakim tersebut dalam mengenai keadilan secara teliti, di mana
penerapannya harus dibatasi dengan nilai- baginya keadilan itu tidak saja meliputi
nilai keadilan. Secara hakiki dalam konsep moral tentang individunya, tetapi
diskursus keadilan, bahwa keadilan dapat
dilihat dalam dua arti pokok, yakni dalam 35
arti formal yang menuntut bahwa hukum itu Franz Magnis Suseno, Etika Hukum:
Masalah-masalah pokok Filsafat Moral (Yogyakarta:
berlaku secara umum, dan dalam arti Kanisius, 1983), . 81.
materiil yang menuntut agar setiap hukum 36
E. Fernando M. Manulang, Menggapai
itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan Hukum Berkeadilan (Jakarta: Penerbit Kompas,
2007), . 96.
37
Muhammad Taufiq, Keadilan Substansial
Memangkas Rantai Birokrasi Hukum (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014), . 21
34 38
Eddy. O.S. Hiariej, Asas-Asas Legalitas, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Cetakan
58. keenam (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), .278.

169
170 Mahkamah, Vol. 4, No. 2,Desember 2019

juga mempersoalkan mekanisme dari dengan kekayaan ekonomis, sehingga harus


pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk dimengerti bahwa keadilan lebih luas
juga bagaimana hukum turut serta melampaui status ekonomi seseorang.
mendukung upaya tersebut.39 Berdasarkan Tinggi dan luhurnya martabat manusia itu
prinsip ini, Rawls menegaskan bahwa unsur- ditandai dengan kebebasan, karena itu juga
unsur formal dari keadilan pada dasarnya kebebasan harus mendapat prioritas
terdiri atas nilai yang mengarahkan setiap dibandingkan dengan keuntungan-
pihak untuk memberikan perlindungan atas keuntungan ekonomis yang bisa dicapai
hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur seseorang.42
hak), dan perlindungan ini pada akhirnya Keadilan merupakan salah satu
harus memberikan manfaat pada setiap tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak
individu (unsur manfaat).40 hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum
Keadilan merupakan salah satu dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang
tujuan dari setiap sistem hukum, bahkan harus mengakomodasikan ketiganya.
merupakan tujuannya yang terpenting. Hakikat hukum bertumpu pada idea keadilan
Masih ada tujuan hukum yang lain yang juga dan kekuatan moral. Idea keadilan tidak
selalu menjadi tumpuan hukum, yaitu pernah lepas dari kaitan hukum, sebab
kepastian hukum, kemanfaatan dan membicarakan hukum jelas atau samar-sama
ketertiban. Di samping tujuan hukum, senantiasa merupakan pembicaraan
keadilan juga dapat dilihat suatu nilai mengenai keadilan.
(value). Bagi suatu kehidupan manusia yang Kaidah hukum yang mengandung
baik, ada empat yang merupakan fondasi nilai-nilai keadilan akan memudahkan bagi
pentingnya, yaitu: keadilan, kebenaran, hakim dalam menjalankan putusannya,
hukum dan moral. Akan tetapi dari keempat karena dengan integrasi moral yang tinggi
nilai tersebut, menurut filosof besar bangsa seorang hakim dapat menerapkan kaidah
Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan hukum tersebut. Namun jika kaidah
nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut hukumnya samar bagi hakim, maka terbuka
Plato, “Justice is the supreme virtue which peluang menjatuhkan putusan berdasarkan
harmonizes all other virtues”.41 keadilan dengan menggali nilai-nilai hukum
John Rawls menekankan pentingnya yang hidup dalam masyarakat.
melihat keadilan sebagai kebajikan utama Putusan hakim dalam perkara pidana
yang harus dipegang teguh dan sekaligus akan menjadi putusan majelis hakim dan
menjadi semangat dasar dari berbagai kemudian akan menjadi putusan pengadilan
lembaga sosial suatu masyarakat. yang menyidangkan dan memutus perkara
Memperlakukan keadilan sebagai kebajikan yang bersangkutan. Dalam proses
utama, berarti memberikan kesempatan persidangan, setelah selesai dilakukannya
secara adil dan sama bagi setiap orang untuk pemeriksaan, maka hakim akan menjatuhkan
mengembangkan serta menikmati harga diri vonis berupa hal-hal berikut ini:43
dan martabatnya sebagai manusia. Harga 1. Penghukuman bila terdakwa
diri dan martabat manusia tidak dapat diukur dinyatakan bersalah melakukan
39
E. Fernando M. Manulang, Menggapai
42
Hukum, . 99. Andre Ata Udjan, Keadilan dan Demokrasi:
40
E. Fernando M. Manulang, Menggapai Telaah terhadap Filsafat Politik John Rawls,
Hukum .100 (Yogyakarta: Kanisius, 2001), . 22-23.
41 43
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh
Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta:
Citra Aditya Bakti, 2003), . 52. Sinar Grafika, 2011), . 94.
Vivi Ariyanti 171

tindak pidana yang didakwakan sebelumnya merupakan tujuan dibuatnya


kepadanya; hukum. Putusan hakim yang baik adalah
2. Pembebasan jika dari hasil hukum yang baik, salah satu tujuan dari
pemeriksaan di sidang, kesalahan hakim memutus sebuah putusan karena
terdakwa atas perbuatan yang hakim dapat melakukan penemuan hukum.
didakwakan kepadanya tidak terbukti Salah satu tugas hakim sebagai penegak
secara sah dan meyakinkan; hukum adalah melakukan penemuan hukum
3. Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terhadap kasus yang ditanganinya. Dalam
perbuatan yang didakwakan kepada melakukan penemuan hukum, seorang
terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu hakim sepatutnya harus memperhatikan
tidak merupakan suatu tindak pidana. fakta-fakta hukum konkrit yang terjadi (das
Dalam putusannya hakim juga sein). Fakta konkrit itu kemudian
berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu: unsur dikonkritkan lagi pada proses aturan hukum
yuridis yang merupakan unsur pertama dan yang baik (das sollen) untuk dapat
utama; unsur filosofis, berintikan kebenaran menciptakan pertimbangan serta kesimpulan
dan keadilan; dan unsur sosiologis yaitu putusan.
mempertimbangkan tata nilai budaya yang Kebebasan hakim dalam mengadili
hidup dan berkembang dalam masyarakat. perkara pidana yang bertujuan untuk
Pertimbangan hakim yang menciptakan menghasilkan putusan yang adil dan
putusan yang adil pada hakikatnya adalah diterima oleh masyarakat perlu mendapat
seperti hukum yang dibuat oleh hakim. Oleh jaminan perlindungan, agar tidak ada
karena itu, hakim dalam bekerja di lembaga intervensi kekuasaan dan kepentingan.
peradilan menjadi sosok yang sentral. Putusan yang di buat dengan landasan
Tujuan hakim memberikan pertimbangan rasionalitas argumentasi hukum yang
dalam suatu putusan tidak lain karena di situ objektif dan kandungan etis moral yang kuat
harus terdapat pertimbangan yang bernilai. dapat dipertanggung jawabkan kepada
Pertimbangan akan penuh nilai jika masyarakat pencari keadilan. Jaminan
pertimbangan itu memenuhi unsur keadilan, hukum terhadap kebebasan hakim dalam
kemanfaatan dan kepastian. Bahkan jika menjalankan tugas peradilan (within the
terjadi benturan dalam pilihan rasa keadilan, exercise of the judicial function) diatur
kemanfaatan, dan kepastian hakim harus dalam konstitusi negara dan undang-
dapat memprioritaskan pilihan pada nilai undang.45
keadilan. Pengaturan kebebasan hakim dalam
Arti keadilan memiliki makna yang mengadili juga diatur dalam konvensi
berbeda-beda, karena keadilan itu dapat internasional yang menjamin kebebasan
dilihat dari sisi individu, kelompok, dan hakim dalam mengadili dan menjamin
masyarakat.44 Seorang hakim sepatutnya imunitas dari segala tuntutan hukum.
tidak saja melihat keadilan itu dari sisi Jaminan hukum terhadap kebebasan hakim
subyektif, tetapi hakim dituntut untuk dalam mengadili yang bersumber dari asaa-
obyektif yang profesional. Hakim yang asas peradilan antara lain yaitu ius curia
memenuhi pertimbangan hukum yang novit (hakim dianggap mengetahui hukum),
obyektif dan profesional, akan membuat
putusan semata-mata untuk keadilan. 45
Keadilan sebagaimana dijelaskan Ery Setyanegara, “Kebebasan Hakim dalam
Memutus Perkara dalam Konteks Pancasila (Ditinjau
dari Keadilan Substantif)”, Jurnal Hukum dan
44
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Pembangunan, Vol. 44, No. 4, Oktober-Desember
Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif , . 94. 2013, . 467.

171
172 Mahkamah, Vol. 4, No. 2,Desember 2019

res judicata pro varitate habetur (putusan pidana.49 Di Indonesia, disparitas hukuman
hakim dianggap benar). Sedangkan dalam sangat terkait dengan independensi hakim.
mengadili, hakim dibebaskan dari segala Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak
tuntutan hukum, apabila hakim dianggap boleh diintervensi pihak manapun. Undang-
melakukan kesalahan teknis yuridis, bukan Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
etika dan moral.46 Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
Independensi hakim dalam hakim wajib menggali, mengikuti, dan
menjatuhkan sanksi pidana bukan tanpa memahami nilai-nilai hukum dan rasa
batas. Eva Achjani Zulfa mengatakan ada keadilan yang hidup dalam masyarakat.
asas nulla poena sine lege yang memberi Selain itu, model pemidanaan yang diatur
batas kepada hakim untuk memutuskan dalam perundang-undangan (perumusan
sanksi pidana berdasarkan ketentuan yang sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi
sudah ditentukan dalam peraturan andil. Bahkan hakim juga wajib
perundang-undangan. Meskipun ada takaran, mempertimbangkan sifat baik dan buruk
masalah disparitas akan tetap terjadi karena pada diri terdakwa.
perbedaan antara sanksi pidana minimal dan Menghapuskan sama sekali
maksimal dalam aturan itu terlampau perbedaan putusan hakim untuk kasus yang
besar.47 Misalnya, ada dua orang yang mirip tidak mungkin dilakukan. Selama ini,
melakukan tindakan penyalahgunaan upaya yang dilakukan adalah meminimalisir
narkotika bagi diri sendiri dengan barang disparitas dengan cara antara lain membuat
bukti yang sama dan kondisi yang hampir pedoman pemidanaan (sentencing
sama, misalnya baru sekali pakai. Meskipun guidelines). Diskresi hakim sangat mungkin
hakim sama-sama menggunakan Pasal 127 disalahgunakan, sehingga pedoman
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik
tentang Narkotika, bisa jadi hukuman yang membatasi kebebasan hakim. Pedoman
dijatuhkan berbeda.48 pemidanaan itu, menurut Andrew Asworth,
Disparitas putusan mungkin saja ikut harus „a strong and restrictive guideline‟.50
berpengaruh pada cara pandang dan Demikian juga Eva Achjani Zulfa
penilaian masyarakat terhadap peradilan. Ia mengatakan bahwa ide tentang penjatuhan
dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan pidana yang proporsional berkembang
yang dirasakan oleh sebagian masyarakat. menjadi gagasan untuk membuat suatu
Namun demikian, Andrew Ashworth pedoman pemidanaan yang mampu
mengatakan bahwa disparitas putusan tidak mereduksi subjektivitas hakim dalam
bisa dilepaskan dari diskresi hakim dalam memutus perkara.51 Hakim merupakan pihak
menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara yang paling menentukan rasa keadilan bagi
masyarakat.

46
E. KESIMPULAN
Ery Setyanegara, “Kebebasan Hakim dalam Interpretasi hakim tentang penerapan
Memutus Perkara dalam Konteks Pancasila (Ditinjau
dari Keadilan Substantif…. 467. asas kebebasan hakim dalam melakukan
47
Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno
49
Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan (Bandung: Andrew Ashworth, Sentencing and
Lubuk Agung, 2011), . 33. Criminal Justice (Cambridge: Cambridge University
48
Vivi Ariyanti, “Indonesia‟s Criminal Law Press, 2005), . 72.
50
Policy On The Victim Of Narcotics Abuse In The Andrew Ashworth, Sentencing and
Perspective Of Victimology”, Veteren Law Review, Criminal Justice ,.. 101.
51
Vol. 1, No. 1, 2018, Universitas Pembangunan Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno
Veteran, Jakarta, . 32. Adji, 2011, Pergeseran Paradigma, . 37-38.
Vivi Ariyanti 173

penjatuhan pidana sangat dipengaruhi oleh DAFTAR PUSTAKA


paradigma hakim dalam memahami hukum Adonara, Firman Floranta. “Prinsip
baik dari dimensi ontologi, aksiologis, Kebebasan Hakim dalam Memutus
maupun epistemologi. Interpretasi terhadap Perkara sebagai Amanat Konstitusi”.
asas kebebasan hakim terbagi ke dalam dua Jurnal Konstitusi. Vol. 12, No. 2,
pandangan, yaitu: pertama, asas kebebasan Juni 2015.
hakim dalam melakukan penjatuhan pidana Ariyanti, Vivi. “Indonesia‟s Criminal Law
harus berpedoman pada ketentuan pidana Policy on the Victim of Narcotics
dalam undang-undang dan tidak boleh Abuse in the Perspective of
menyimpangi ketentuan pidana minimum Victimology”, Veteren Law Review,
tersebut; kedua, asas kebebasan hakim Vol. 1, No. 1, 2018, Universitas
dalam melakukan penjatuhan pidana tidak Pembangunan Veteran, Jakarta.
boleh dibaca dan ditafsirkan secara kaku, Ariyanti, Vivi. “Kedudukan Korban
sehingga dengan demikian dalam Penyalahgunaan Narkotika dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan kepada Hukum Pidana Indonesia dan Hukum
seorang terdakwa hakim harus mendasarkan Pidana Islam”. Al-Manahij: Jurnal
pada bobot tingkat kesalahannya dan tidak Kajian Hukum Islam, Vol. XI, No. 2,
terikat dengan ketentuan ancaman pidana Desember 2017.
minimum karena acuan tertinggi yang Ariyanti, Vivi. “Implementasi Asas
dijadikan patokan oleh hakim adalah nilai Legalitas dan Retroaktif tentang
keadilan.52 Tindak Pidana Korupsi dalam
Hakim sebagai ujung tombak Perspektif Hukum Islam”, Al-
penegakan keadilan perlu mempunyai Manahij: Jurnal Kajian Hukum
persepsi yang sama tentang penerapan asas Islam, Vol. IX, No. 1, Juni 2015.
kebebasan hakim dalam melakukan Ashworth, Andrew. Sentencing and
penjatuhan pidana. Dengan adanya Criminal Justice. Cambridge:
keseragaman pola pikir dalam penerapan Cambridge University Press, 2005.
aturan tersebut dari para hakim di seluruh Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu
Indonesia diharapkan tidak terjadi lagi Politik. Jakarta: Gramedia, 1982.
adanya disparitas putusan pemidanaan, yang Fuady, Munir. Aliran Hukum Kritis
berujung pada ketidakpuasan masyarakat Paradigma Ketidakberdayaan
atas putusan hakim tersebut. Dengan adanya Hukum. Bandung: Citra Aditya
pemahaman yang sama atas prinsip Bakti, 2003.
kebebasan hakim tersebut diharapkan dapat Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi.
memperkuat dan menjunjung tinggi Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
kebebasan hakim sehingga hakim dapat Hiariej, Eddy O.S. Asas-Asas Legalitas dan
menjalankan tugasnya sesuai dengan asas Penemuan Hukum dalam Hukum
kemanfaatan, asas keadilan, dan asas Pidana. Jakarta: Airlangga, 2009.
kepastian hukum, dengan tidak Kamil, Ahmad. Filsafat Kebebasan Hakim.
meninggalkan nurani dan perkembangan Jakarta: Prenada Media Group, 2012.
sosial yang aktual. Kartono. Peradilan Bebas. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1982.
Manulang, E. Fernando M. Menggapai
Hukum Berkeadilan. Jakarta:
Penerbit Kompas, 2007.
52
Supandriyo, Asas Kebebasan Hakim, . 25.

173
174 Mahkamah, Vol. 4, No. 2,Desember 2019

Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum, cet.


1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2014.
Maula, Bani Syarif. Sosiologi Hukum Islam
di Indonesia: Studi tentang Realitas
Hukum Islam dalam Konfigurasi
Sosial dan Politik. Malang: Aditya
Media, 2010.
Maula, Bani Syarif. “The Role of Judicial
Review in Protecting Religious
Minority Rights in Indonesia”.
Veteran Law Review, Vol. 1, No. 1,
2018.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum
Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty, 2009.
Moerad, Pontang. Pembentukan Hukum
Melalui Putusan Pengadilan dalam
Perkara Pidana. Bandung: Alumni,
2005.

Anda mungkin juga menyukai