Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEBEBASAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA


DITINJAU DARI ETIKA PROFESI HUKUM

OLEH :

NAMA : SYIFA ANINDYA


NPM : 203300416045
MATA KULIAH : ETIKA PROFESI HUKUM

UNIVERSITAS NASIONAL
FAKULTAS HUKUM
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tegaknya supremasi hukum merupakan harapan seluruh masyarakat
Indonesia yang hidup dalam Negara Hukum Indonesia. Penegakan hukum
tidak telepas dari adanya peraturan perundang-undangan, lembaga penegak
hukum dan aparat penegak hukum serta kemauan atau kesadaran masyarakat
untuk mematuhi hukum yang berlaku.
Hakim adalah salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai tugas
berat namun mulia. Salah satu persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang
berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak),
kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum,
pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Dengan memenuhi
kriteria tersebut maka dapat menjamin keadilan bagi pencari keadilan dalam
peradilan.
Hakim merupakan aktor utama lembaga peradilan, yang memiliki
posisi, dan peran yang sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang
dimilikinya. Sebagai contoh, melalui putusannya, seorang hakim dapat
mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara,
menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap
masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup
seseorang.
Hal ini menggambarkan bahwa seorang hakim mempunyai kebebasan
dalam memutuskan perkara namun sejauh mana kebebasan itu sejalan dengan
etika profesi hukum yang diembannya. Hakim di mana dan kapan saja diikat
oleh aturan etik disamping aturan hukum. Aturan etik adalah aturan mengenai
moral atau atau berkaitan dengan sikap moral. Moral menyangkut nilai
mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas.
Pedoman Tingkah laku (Code of Conduct) Hakim ialah penjabaran dari
kode etik profesi Hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik
dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan
kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus
dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan
kepada hukum.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai kebebasan
hakim dalam memutuskan perkara dan kebebasan tersebut ditinjau dari etika
profesi hukum seorang hakim. Agar semua kewenangan yang dimiliki oleh
hakim dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan
keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam latar belakang di atas maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
a) Apa yang dimaksud dengan kebebasan hakim?
b) Bagaimanakah kebebasan hakim dalam memutuskan perkara ditinjau dari
etika profesi hukum?

C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
a) Mengetahui makna dari kebebasan hakim
b) Menganalisis kebebasan hakim ditinjau dari etika profesi hukum.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kekuasaan Kehakiman
Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan
khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah Negara hukum, dasar sebagai Negara berdasarkan atas
hukum mempunyai sifat normatif bukan sekedar asas belaka. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah
jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Hakim adalah hakim pada Mahkamah
Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada
pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Kekuasaan kehakiman, dalam konteks Negara Indonesia, adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila ,demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia
Menurut Ridwan HR, implementasi Negara hukum harus didukung
dengan sistem demokrasi. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan
kehilangan bentuk dan arah sedangkan hukum tanpa demokrasi akan
kehilangan makna. Selanjutnya J.B.J.M ten Berge menyebutkan prinsip-
prinsip Negara hukum sebagai berikut :
a) Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga Negara (oleh Pemerintah)
harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan
peraturan umum.
b) Perlindungan hak-hak asasi
c) Pemerintah terikat pada hukum
d) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum, hukum
harus dapat ditegakkan ketika hukum itu dilanggar.
e) Pengawasan oleh hakim yang merdeka, superioritas hukum tidak dapat
ditampilkan jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ
pemerintahan sehingga diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.

B. Etika Profesi Hukum


Istilah etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan, atau adat. sebagai suatu subjek etika berkaitan
dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai
apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atu benar, buruk
atau baik. Etika adalah refleksi dari self control karena segala sesuatunya
dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok itu sendiri.
Etika mempersoalkan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, apa
yang baik atau buruk untuk dilakukan. Jadi tugas utama etika adalah
menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia. Dalam etika, dibicarakan tema-
tema sentral seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, norma, hak,
kewajiban dan keutamaan.
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan nafkah hidup dengan mengandalkan suatu keahlian. Secara rinci
dalam pengertian profesi terkandung makna :
a) Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus;
b) Dilaksanakan sebagau suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purnawaktu);
c) Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup;
d) Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
Selanjutnya Muhammad Nuh menyatakan bahwa secara umum ada
beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu:
a) Adanya pengetahuan khusus, biasanya keahlian dan keterampilan in
dimiliki setelah mengikuti pendidikan, pelatihan, dan pengalaman bertahun-
tahun;
b) Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Setiap pelaku profesi
mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi;
c) Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksanan profesi
harus mengtamakan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan
pribadinya;
d) Ada izin khusus menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu
berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yaitu nilai-nilai kemanusiaan
berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, dan sebagainya untuk
menjalankan suatu profesi harus ada izin khusus;
e) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Profesi hukum adalah pekerjaan yang berkaitan dengan masalah hukum.
Penegak hukum salah satunya hakim, adalah pembela kebenaran dan keadilan.
Seorang profesional hukum harus bermoral dalam arti ini diperlukan suatu kode
etik bagi pengemban profesi hukum. Kode etik adalah sebuah kompas yang
menunjuk arah moral bagi professional hukum dan sekaligus juga menjamin
mutu moral profesi hukum di mata masyarakat.
Hakim dalam menjalankan profesinya juga berada di etika profesi
hukum yaitu kode etik profesi hakim (ditetapkan di Bandung Tahun 2001) dan
pedoman perilaku hakim, Mahkamah Agung mengeluarkan Pedoman Perilaku
Hakim yang berlaku untuk hakim di seluruh pengadilan di Indonesia. Selain itu
terdapat Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi
Yudisial Republik Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012 –
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kebebasan Hakim

Hukum sebagai suatu sistem tersusun dari berbagai komponen hukum,


salah satunya penegak hukum sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Hakim
sebagai salah satu penegak hukum memiliki pern penting dalam peradilan yang
memperjuangan keadilan bagi masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang
berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang
biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1
angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili
diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,
dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-
undang.

Pada dasarnya tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap


perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya artinya, hakim bertugas untuk
menetapkan hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan
hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya.
Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan para hakim harus mandiri dan
bebas dari pengaruh pihak mana pun termasuk pemerintan. Hal ini
menunjukkan bahwa seorang hakim memiliki kebeasan dalam memutuskan
perkara berdasarkan pertimbangannya dari segi asas, norma, substansi dan
prosedur hukum.

Konstitusi menenpatkan hakim sebagai penegak hukum yang


bertanggung jawab dalam mengemban tugas menegakkan hukum dan keadilan
dengan sebaik-baiknya. Melalui hakim hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran menjadi sesuatu yang nyata dan realita dalam kehidupan
masyarakat. Seorang hakim tidak hanya memutuskan suatu perkara
berdasarkan hukum tertulis tetapi juga menggali dari hukum tidak tertulis
hukum yang berlaku dan diakui oleh masyarakat, di sinilah letak kebebasan
hakim untuk mengeksplor semua materi yang ada untuk menghasilkan putusan
yang berkeadilan.

Setiap undang-undang tidak selalu lengkap, tidak atau kurang jelas.


Dalam soal-soal tertentu undang-undang sendiri memberikan kebebasan
kepada hakim untuk menilai apa yang diyakininya menurut hukum tepat dan
adil terhadap suatu perbuatan hukum yang konkret. Meskipun hakim memiliki
kebebasan dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya
namun tidak berarti ia bebas untuk mengesampingkan UU untuk mengabaikan
keadilan. Kebebasan hakim tidaklah mutlak sifatnya.

Selanjutnya Isaiah Berllin dalam Mahendra mengemukakan kebebasan


hakim terdiri atas kebebasan negatif yang mencakup kebebasan dari campur
tangan dan paksaan pihak lain jadi terkait dengan hambatan fisik dan campur
tangan terhadap tindakan, dan kebebasan positif yaitu kebebasan untuk
melakukan sesuatu, kebebasan ini berhubungan dengan aspek mental dari
kehendak, rasionalitas dan moralitas. Dalam konteks ini kebebasan hakim
berarti adanya kemampuan untuk menentukan pilihan secara bebas dan
rasional menurut keyakinannya dengan didasari oleh hukum dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran.

Ciri – ciri hukum menurut Franz Magnis-Suseno yaitu bahwa hukum


harus memiliki kepastian dan keadilan. Kepastian hukum berarti kepastian
dalam pelaksanaannya yaitu hukum yang resmi diperundangkan dan
dilaksanakan dengan pasti oleh Negara, setiap orang dapat menuntut agar
hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, serta setiap pelanggaran
hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum juga. Termasuk
pengadilan dalam memberikan keputusan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan.
B. Kebebasan Hakim dan Etika Profesi Hukum

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang


Kekuasaan Kehakiman pasal 3 ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan
dan segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Isi
Pasal tersebut menunjukkan bahwa pengadilan dalam hal ini hakim dapat
memberikan keputusan yang semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan,
dan kejujuran maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau
pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para hakim tidak bebas
lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya. Hal ini juga menjamin
kebebasan hakim dalam memutuskan perkara. Sejalan dengan pendapat Hans
Kelsen bahwa pengadilan diberi wewenang oleh tatanan hukum untuk
memutus perkara berdasarkan kebijaksanaanya sendiri, untuk menghukum
atau membebaskan terdakwa, untuk mengabulkan atau menolak gugatan
penggugat, untuk menjatuhkan atau menolak menjatuhkan sanksi kepada
terdakwa atau penggugat.

Amandemen UUD 1945 mengandung arti adanya the rule of law yang
juga mementingkan hukum tak tertulis maka titik beratnya adalah keadilan
maka dalam membuat keputuasn hakim tidak harus tunduk pada bunyi hukum
tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri dengan menggali rasa dan
nila-nilai keadilan di dalam masyarakat.

Keadilan adalah tujuan utama yang diingin dicapai, H.L.A Hart


menyatakan bahwa tradisi keadilan dipandang sebagai pemeliharaan atau
pemulihan keseimbagan (balance) atau jatah bagian (proportion), dan kaidah
pokonya seringkali dirumuskan sebagai “perlakukanlah hal-hal yang serupa
dengan cara yang serupa;kendatipun kita perlu menambahkan padanya dan
perlakukan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda”. Maka kebebasan
hakim hendaknya tidak disalahgunakan, kebebasan hakim adalah
mempertanggungjawabkan keputusannya secaa yuridis, moral, etik dan
spiritual.

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara


tetapi komitmen hakim bukan ditujukan kepada penguasa tetapi pada Negara
Republik Indonesia yang berdasar atas hukum. Kebebasan hakim
mengaharuskan adanya kemampuan intelektual dan keberanian moral untuk
menentukan pilihan secara bebas mengikuti panggilan hati nuraninya
berdasarkan penalaran hukum bukan semata-mata tiadanya campur tangan,
paksaan atau tekanan pihak-pihak lain.

Hakim sebagai professional hukum harus mampu menafsirkan hukum


yang berlaku secara tepat dan cermat bagi kehidupan bersama tanpa
mengabaikan etika profesinya. Tidak hanya penguasaan hukum tetapi juga
harus bermoral. Dari segi etika profesi hukum, kebebasan hakim adalah
kebebasan yang bermoral. Sehingga diperlukan kode etik yang merupakan
nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh
professional hukum.

Menurut Paul F. Camenisch18 kode etik penting bagi profesi hukum


karena profesi hukum merupakan suatu moral community (masyarakat moral)
yang memilki cita-cita dan nilai-nilai bersama serta memilki izin untuk
menjalankan profesi hukum. Dalam pengambilan keputusan para hakim hanya
terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau
dijadikan landasan yuridis keputusannya di samping sikap etis atau etika
profesi hakim yang berintikan : sikap taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang
teguh rahasia jabatan, solidaritas tinggi. Hakim memiliki kedudukan dan
peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum. Oleh karena itu, terdapat
beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim
dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas
dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.

Terdapat enam prinsip penting bagi hakim tidak hanya di Indonesia


tetapi seluruh dunia yaitu sebagaimana tercantum dalam The Bangalore
Principle sebagai berikut :

a) Independensi (independence principle), hal ini merupakan jaminan bagi


tegaknya hukum dan keadilan dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita
Negara hukum.
b) Ketidakberpihakan (impartiality principle), merupakan prinsip yang
melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan
memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya
c) Integritas (integrity principle), merupakan sikap batin yang mencerminkan
keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan
sebagai pejabat Negara dalam menjalankan tugas jabatannya
d) Kepantasan dan kesopanan (propriety principle), merupakan norma
kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam
perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat Negara
dalam menjalankan tugas profesionalnya yang menimbulkan rasa hormat,
kewibawaan, dan kepercayaan.
e) Kesetaraan (equality principle), merupakan prinsip yang menjamin
perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang
adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar
perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan,
kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun
alasan – alasan yang serupa.
f) Kecakapan dan kesamaan (competence end diligence principle), merupakan
prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya.
Kecakapan tercermin dalam kemampuan professional hakim yang diperoleh
dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas.
Kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan
kecermatan, kehati-hatian, ketelitian ketekuan dan kesungguhan dalam
pelaksanaan tugas profesional hakim.

Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan


wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan
ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama
manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim
melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya
hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Pedoman Perilaku Hakim untuk


menjaga martabat profesi hakim yang dalam kebebasannya mengadili perkara
harus berdasarkan prinsip dan perilaku berikut : adil, jujur dan mendengarkan
kedua belah pihak, arif dan bijaksana, mandiri, integritas tinggi,
bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati,
dan professional.

Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering


digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga
digolongkan sebagai profesi luhur yaitu profesi yang pada hakikatnya
merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Sebagai suatu profesi di
bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu
keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang
lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi
hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan
bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban
profesi ini.
Terhadap tanggung jawab profesi hakim itu sendiri dapat dibedakan
atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum, dan
tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat
kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat
bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung
jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan
tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis
profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara
profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi
yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam
lembaganya.

Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya
tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi
hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan
profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian.
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai
profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara
materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para
hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara
di persidangan.

Seperti diuraikan di atas bahwa tujuan akhir profesi hakim adalah


ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen
(kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan
alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika
profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal
perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four
Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari
empat butir di bawah ini:
a) To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
b) To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
c) To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
d) To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

Kode kehormatan hakim tercermin dalam pralambang atau sifat hakim


yang dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:

a) Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;


b) Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
c) Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
d) Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
e) Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.

Struktur kekuasaan kehakiman Indonesia di dalamnya telah terbentuk


Komisi Yudisial yang merupakan institusi pengawasan yang independen
terhadap para hakim. Komisi Yudisial adalah komisi yang bersifat mandiri yang
kewenangannya adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
kewenangan lain yaitu menjaga (mengawasi) dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim (UUD 1945 pasal 24B ayat (1). Dalam
menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial akan menilai
apak putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan
yang timbul dari masyarakat ataukah tidak, mengawasi apakah profesi hakim
itu telah dijalankan sesuai pedoman etika dan perilaku hakim atau memperoleh
pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap
dalam hakikat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga
dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.

Dengan demikian kebebasan hakim dalam mengadili dan memutuskan


suatu perkara dilakukan dengan berpedoman pada etika profesinya yang
berdasarkan moral dan akhlak yang mulia sehingga asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yaitu Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa" dapat tercapai.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa :

a) Kebebasan hakim memiliki makna bahwa adanya kemampuan untuk


menentukan pilihan secara bebas berdasarkan pertimbangannya dari segi
segi asas, norma, substansi dan prosedur hukum serta rasional menurut
keyakinannya dengan didasari oleh hukum dalam menegakkan keadilan dan
kebenaran tanpa adanya tekanan maupun paksaan dari pihak luar.
b) Kebebasan hakim dalam memutuskan perkara ditinjau dari etika profesi
hukum yaitu bahwa kebebasan hakim adalah mempertanggungjawabkan
keputusannya secara yuridis, moral, etik dan spiritual. Berpedoman pada
kode etik profesi hakim dan pedoman perilaku hakim.

B. Saran
a) Diperlukan kesadaran dan pemahaman yang baik dari para hakim untuk
tidak menyalahgunakan kebebasan dalam memutuskan perkara dan tetap
berpedoman pada kode etik dan pedoman perilaku hakim.
b) Diperlukan pengawasan secara khusus bagi para hakim untuk tetap menjaga
perilaku dan profesionalismenya dalam menegakkan keadilan dan
kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA

Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, , 2001, Gramedia Pustaka Utama ,Jakarta.

Hart, H.L. A, 1997, Konsep Hukum, Nusa Media, Bandung.


Huda, Ni’Matul, 2012,Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Kelsen, Hans,2011, Teori Umum tentang Hukum dan Negara ,Nusa Media,
Bandung

L. J. van Apeldroon. Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996

Nuh, Muhammad,2011, Etika Profesi Hukum, Pustaka Setia, Bandung.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman

Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial

Republik Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang


Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Anda mungkin juga menyukai