Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS KERITIS TERHADAP KODE ETIK JAKSA

( CRITICAL ANALYSIS FOR PROSECUTOR CODE OF ETHICS )

Disusun untuk memenuhi tugas Makala Mata Kuliah


Etika Profesi Hukum

Oleh :

Hardiansyah Lubis 71160111073

Indah Aulia Harahap 71200111048

Arien Anastasya 71200111048

Nurul Aini Purba 71210111048

Ferdi Hendrawan 00000

UNIVERSITAS ISLAM SUMATRA UTARA

FAKULTAS HUKUM

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam penelitian ilmu hukum, beberapa orang mengemukakan bahwa selain

norma hukum, terdapat norma lain yang turut menjaga ketertiban masyarakat.

Norma hukum tidak dapat secara independen mempengaruhi semua aspek

kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan ketertiban lain sebagai upaya

menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Akibat logis dari situasi ini, kode etik

berasal dari berbagai kelompok profesi, yang dirumuskan dalam bentuk kode etik

profesi yang bertujuan untuk melatih, melindungi dan mengawasi anggota kelompok

profesionalnya. Seperti halnya profesi hukum, pembela, notaris dan profesi hukum

lainnya juga telah merumuskan kode etiknya sendiri. Proses perumusan kode etik

oleh berbagai kalangan profesi tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor, yang belum

optimal dari segi fungsi pelayanan.

Lahadho meyakini bahwa tatanan sosial yang menjalin hubungan tetap dan

tertib di antara anggota masyarakat bukanlah konsep tunggal. Namun, ada

beberapa sub-urutan dalam urutan ini, termasuk adat istiadat, hukum, dan moralitas.

Inti dari tatanan sekunder yang santun / moral ini justru menekankan pada cita-cita

yang harus tetap diwujudkan dalam masyarakat. Cita-cita adalah kriteria untuk

mengukur perilaku anggota masyarakat. Oleh karena itu, satu-satunya perilaku yang

dapat diterima untuk tatanan ini adalah perilaku yang sesuai dengan cita-cita

manusia.
Salah satu cara untuk melaksanakan kode etik dan regulasi terjadi dalam

profesi jaksa, dan jaksa berkewajiban menjalankan dan melaksanakan semua

etika profesi yang berlaku padanya. Menurut Saherojdi, istilah jaksa berasal dari

bahasa Sansekerta yang artinya mengawasi atau mengontrol yaitu pembina

urusan sosial. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang yang berfungsi sebagai penuntut umum dan pelaksana

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan kewenangan lain

yang dijalankan sesuai dengan hukum. Jaksa adalah pejabat fungsional instansi

pemerintah, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala

negara, tetapi oleh ketua jaksa.

Kejaksaan merupakan lembaga negara yang bertugas menegakkan hukum

atas nama negara dan oleh karena itu berkewajiban untuk menaati kode etik profesi.

Dalam menjalankan tugasnya kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian

hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran yang berlandaskan hukum, serta

berpegang pada norma agama, tata krama dan keadilan dalam masyarakat. Dalam

hal ini, jaksa dituntut untuk berperan lebih besar dalam menegakkan supremasi

hukum, melindungi kepentingan umum, menegakkan HAM, dan memberantas

korupsi, kolusi, dan nepotisme. (selanjutnya disebut KKN). Dalam

undang-undang kejaksaan yang baru, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai

lembaga yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus secara

mandiri menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya tanpa terpengaruh oleh

kewenangan pemerintah dan kewenangan lainnya.

Dalam profesinya ini, upaya kejaksaan tidak hanya memenuhi unsur- unsur

yang terkandung dalam undang- undang, tetapi juga mendengarkan dan

memperjuangkan apa yang sebenarnya terjadi dan dirasakan langsung di


masyarakat, itulah yang disebut metode sosiologis. Jaksa tidak bisa menangkap

suara sebenarnya dari sebagian besar masyarakat, kecuali masyarakat Indonesia

yang heterogen, kondisi yang tercakup juga dalam keadaan normal tidak sempurna.

Kode etik jaksa serupa dengan kode etik lainnya. Mengandung nilai-nilai luhur dan

ideal sebagai norma perilaku

profesional. Jika bisa dilaksanakan sesuai dengan tujuan ke depan maka

akan dihasilkan jaksa yang memiliki kualitas moral yang baik. Jadikan kehidupan

peradilan negara kita berhasil. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kekuatan

penegakan hukum di bidang penegakan hukum, sudah selayaknya setelah kurun

waktu tersebut Kejaksaan mempertimbangkan kembali keberadaan lembaga ini

agar dapat terbentuk paradigma baru jaksa dari refleksi tersebut, yang tercermin

pada Sikap moral, pikiran dan perasaan. Oleh karena itu, Kejaksaan tetap akan

mengakui identitasnya dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil nasional dan

wali masyarakat di bidang penegakan hukum.

Selain itu, kejaksaan di Indonesia terdapat lima kode etik profesi yang dimana

semuanya itu mengatur bagaimana hukum itu ditegakkan sesuai dengan fakta

pelanggaran dan hukum yang berlaku. Kode etik ini juga sebaai barometer untuk

mengukur sejauh mana profesionalisme penegak hukum. Profesionalisme seorang

jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan

diatas, bahwa di tangannyalah hukum menjadi hidup, dank arena kekuatan dan

otoritas yang dimilikinya inilah sampai muncul pertanyaan bahwa (it doesn’t matter

what the law says, what matter is what the guy behind the desk interprents the law

to say). Mungkin bagi orang dengan kesadaran normatif, ungkapan ini agak

dilebih-lebihkan. Namun dari segi sosiologis hal ini merupakan fakta yang

tidak dapat dipungkiri, bahkan beberapa ahli hukum dan ahli sosiologi sering
mengatakan bahwa hukum tidak lain adalah perilaku aparat hukum, dan aparat

hukum merupakan salah satu etika profesi jaksa yang paling luhur. Muhammad

Amin mengemukakan dalam bukunya "Legal Professional Ethics" bahwa salah satu

penyebab pelanggaran kode etik adalah tidak berfungsinya kode etik itu sendiri.

Artinya ketika sesuatu (suap atau menyuap) menguntungkannya, ia dengan sengaja

akan melanggar kode etik.

Oleh karena itu, dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membahas lebih

lanjut tentang kode etik hakim.Lingkup dan aturan kode etik penting bagi

mahasiswa, masyarakat umum, jaksa dan kelompok lainnya. Penulis menganalisis

masalah penegakan etika profesi jaksa Indonesia dan bagaimana menerapkan etika

ideal.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana problematika penegakan etika profesi jaksa di Indonesia?

2. Bagaimana seharusnya penegakan kode etik jaksa di Indonesia yang ideal?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Problematika Penegakan Etika Profesi Jaksa di Indonesia

1. Pengaturan Kode Etik Jaksa di Indonesia

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga negara yang menjalankan fungsi

penuntunan umum memiliki tugas dan kewajiban dibidang penegakan hukum serta

memainkan peran penting dalam penyelenggaraan ketertiban umum disamping

mandat tugas yang diberikan oleh Pemerintah. Sehingga, dalam menguatkan

peranan dan fungsinya, Kejaksaan berlandaskan pada Catur Asana. Catur Asana

ialah empat landasan yang

menjadi dasar eksistensi, wewenang, peran, serta tindakan Jaksa dalam

rangka mengemban tugasnya, antara lain Pancasila yang merupakan landasan idiil,

UUD NKRI Tahun 1945 yang berkedudukan sebagai landasan konstitusional,

Undang-Undang Kejaksaan sebagai suatu landasan struktural, serta peraturan

perundang-undangan lainnya sebagai landasan operasionalnya.

Jaksa sebagai suatu profesi memiliki kode etik yang diatur berdasarkan

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang

Kode Perilaku Jaksa. Keberadaan kode etik dalam profesi ini berfungsi sebagai

petunjuk atau arahan kepada anggota profesi tersebut mengenai perilaku dan

menjamin mutu moral profesi tersebut di masyarakat, dalam hal ini kode etik Jaksa

digunakan sebagai suatu arahan atau petunjuk perilaku untuk mewujudkan Jaksa

yang memiliki integritas, bertanggungjawab, dan menjamin mutu moral Jaksa di


masyarakat demi mewujudkan suatu birokrasi yang efektif, efisien, bersih,

transparan dan akuntabel yang berlandaskan Tri Krama Adhyaksa. Doktrin Tri

Krama Adhyaksa merupakan doktrin Kejaksaan Indonesia yang terdiri dari Satya,

Adhi, dan Wicaksana. Satya memiliki makna kesetiaan yang bersumber dari rasa

jujur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri pribadi, keluarga, maupun sesama

manusia. Adhi memiliki arti kesempurnaan dalam menjalankan tugas dan berunsur

utama rasa tanggung jawab baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, maupun

sesama manusia. Wicaksana memiliki makna bijaksana dalam tutur kata dan

tingkah laku, khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012

tentang Kode Perilaku Jaksa memiliki 6 Bab dan 31 Pasal yang substansinya

meliputi ketentuan umum, perilaku jaksa, tindakan administratif, tata cara

pemeriksaan dan penjatuhan tindakan administratif, ketentuan lain-lain, dan

ketentuan penutup. Peraturan mengenai perilaku jaksa ini memuat tentang

kewajiban-kewajiban jaksa, peraturan tentang integritas, kemandirian,

ketidakberpihakan, dan perlindungan.

Kewajiban Jaksa sebagaimana termuat dalam Pasal 3 hingga 6, terbagi

menjadi empat yang meliputi: kewajiban kepada negara, kewajiban kepada institusi,

kewajiban kepada profesi jaksa, dan kewajiban kepada masyarakat. Selanjutnya

peraturan mengenai integritas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang berisi

mengenai larangan-larangan Jaksa dalam menjalankan profesinya. Adapun

peraturan terkait kemandirian sebagaimana diakomodasi dalam Pasal 8, yang mana

Jaksa dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara mandiri

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya, serta

tidak pula terpengaruh kepentingan individu maupun kelompok dan tekanan publik
maupun media. Dalam hal ini, Jaksa dapat menolak perintah atasannya apabila

perintah tersebut melanggar norma hukum dan berkaitan dengan penolakannya,

Jaksa tersebut memperoleh perlindungan hukum.

Selain itu, kode perilaku Jaksa juga menegaskan ketidakberpihakan Jaksa

dalam menjalankan tugasnya sebagaimana termaktub pada Pasal 9, sehingga

Jaksa dilarang melakukan tindakan diskriminasi, merangkap jabatan menjadi

pengusaha, pengurus atau karyawan baik BUMN/BUMD maupun badan usaha

swasta, pengurus atau anggota suatu partai politik, advokat, serta dilarang

memberikan dukungan terhadap hal- hal politik sebagaimana Pasal 9 huruf c.

Adapun demi menjamin kelancaran menjalankan tugas dan fungsi profesinya, Jaksa

juga memperoleh perlindungan dari tindakan sewenang-wenang sebagaimana

Pasal 10, serta memiliki hak-hak sebagaimana termuat dalam Pasal 11.

Kode etik Jaksa tersebut tidak lepas dari adanya prinsip-prinsip Tri Atmaka.

Prinsip ini merupakan ciri yang dimiliki oleh Jaksa dan terdiri dari ketunggalan

profesi, kemandirian, dan mumpuni. Pertama, prinsip ketunggalan profesi berarti

bahwa profesi jaksa dalam menjalankan tugasnya ada kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Kedua prinsip kemandirian merupakan prinsip yang

menerangkan bahwa dalam menjalankan tugasnya selaku penuntut umum, jaksa

adalah satu-satunya instansi yang berwenang untuk melakukan penuntutan,

sehingga tidak ada badan lain yang dapat mempengaruhi jaksa di bidang

penuntutan ini. Ketiga, prinsip mumpuni yang mana korps kejaksaan dianggap

mumpuni dalam menjalankan tugasnya, sehingga profesi ini harus banyak

berinisiatif dalam menjalankan tugasnya disamping selalu bekerja sama dengan

penegak hukum lainnya, seperti hakim, polisi, maupun advokat.

Adapun Jaksa dalam menjalankan profesinya wajib mematuhi dan


menghormati kode etik sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik

Indonesia tentang Kode Perilaku Jaksa tersebut. Sehingga, apabila ada oknum

Jaksa terbukti melakukan pelanggaran, maka akan diberikan sanksi berupa tindakan

administratif. Sanksi tersebut diberlakukan kumulatif dengan sanksi ketentuan

pidana maupun hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin PNS apabila

terdapat ketentuan terkait yang dilanggar, sehingga sifat sanksi tindakan

administratif ini tidak mengesampingkan sanksi pidana maupun hukuman disiplin

tersebut. Sanksi tindakan administratif bagi Jaksa ini dapat berupa pembebasan dari

tugas-tugas Jaksa dengan durasi paling singkat tiga bulan dan paling lama satu

tahun; dan/atau pengalihtugasan ke satuan kerja lain, dengan durasi paling singkat

satu tahun dan paling lama dua tahun.

Pihak yang berwenang menangani pemeriksaan terhadap pelanggaran kode

etik oleh Jaksa adalah Majelis Kode Perilaku yang terdiri dari ketua merangkap

anggota, yaitu pejabat yang berwenang membentuk Majelis Kode Perilaku atau

pejabat yang ditunjuk, sekretaris merangkap anggota, serta seorang anggota dari

unsur PJI dengan jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari oknum Jaksa

yang akan diperiksa. Pemeriksaan terhadap pelanggaran tersebut harus

diselesaikan dalam kurun waktu 30 hari. Selanjutnya apabila terbukti melakukan

pelanggaran kode etik, maka Majelis Kode Perilaku akan mengeluarkan Putusan

Majelis Kode Perilaku.

Adapun terhadap pelapor dugaan pelanggaran hukum di lingkup Kejaksaan

memperoleh perlindungan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penangangan Laporan dan Perlindungan terhadap

Pelapor Pelanggaran Hukum (Whistle Blowing System) di Kejaksaan Republik

Indonesia. Dalam hal ini pelanggaran hokum yang dimaksud termasuk pula
pelanggaran kode perilaku oleh Jaksa sebagaimana uraian Pasal 3 peraturan

tersebut. Perlindungan terhadap pelapor dugaan pelanggaran kode perilaku Jaksa

ini dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana diatura dalam Pasal 12 ayat (3),

yaitu:

(a) merahasiakan dan menyamarkan identitas pelapor;

(b) perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminasi;

(c) perlindungan atas catatan yang merugikan dalam arsip data kepegawaian;

dan/atau

(d) merahasiakan isi laporan, laporan hasil telaah UPP dan tindak lanjut bidang

pengawasan.

Namun perlindungan berupa merahasiakan identitas ini tidak berlaku apabila

dalam proses penegakan hukumnya, identitas pelapor harus dinyatakan dengan

jelas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun selain

empat bentu perlindungan tersebut, pelapor berdasarkan Pasal 12 ayat (5) dapat

pula memperoleh perlindungan sebagaimana ketentuan peraturan

perundang- undangan, yaitu perlindungan dari ancaman, perlindungan terhadap

harta, dan pemberian keterangan tidak dihadapan terlapor.

2. Kasus Pelanggaran Kode Etik Jaksa

Adapun beberapa polemik yang terjadi di Indonesia tentang pelanggaran kode

etik profesi hukum sering kali dijumpai di berita manapun baik dari media cetak

maupun media elektronik. Kasus mengenai pelanggaran kode etik jaksa yang masih

hangat di tahun 2020 dan dan sering kali diperbincagkan yaitu tentang kasus jaksa

pinangki. Menurut berita yang telah beredar bahwa kasus jaksa pinangki merupakan
contoh dari pelanggarakan kode etik profesi hukum yaitu sebagai seorang jaksa.

Jaksa sebagai salah satu penegak hukum Indonesia yang bertugas untuk

menerapkan sistem hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Kasus jaksa pinangki yang masih berlangsung bisa

dijadikan suatu bahan analisis dalam mengenai pelanggaran kode etik profesi

hukum.

Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa menerima suap sebesar US$ 500 ribu

atau sekitar Rp7 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Jaksa

Pinangki selain didakwa tindak pidana suap juga didakwa Pasal 3 Undang-

Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang karena Jaksa Pinangki diduga mempergunakan

uang suap tersebut untuk kepentingan sendiri dengan total lebih dari Rp4,7

miliar. Selain itu, Jaksa Pinangki diduga melakukan permufakatan jahat

dengan dakwaan Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 15

juncto Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Mengenai kasus dari jaksa pinangki sebagai contoh dari pelanggaran kode

etik profesi hukum jaksa bisa dijadikan suatu bahan analisis bahwa tindakan yang

dilakukan oleh jaksa pinangki telah melanggar beberapa kode etik jaksa

berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor

PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, khususnya larangan untuk

seorang jaksa yang termuat dalam pasal 7 PERJA tersebut. Perilaku yang telah

dilakukan oleh jaksa pinangki tidak mencerminkan sama sekali tentang kode etik

profesi hukum dikarenakan perbuatan tersebut telah melanggar norma ataupun

kaidah hukum yang berlaku. Perbuatan jaksa piangki yang telah melakukan

penyuapan dan pencucian uang termasuk kedalam tindak pidana khusus atau
extraordinary crime, maka dari itulah dalam menangani perkara tersebut perlu

dilakukan secara khusus baik dari proses penyidikan sampai pengadilan khusus.

Berdasarkan kasus jaksa pinangki tersebut telah melanggar kode etik jaksa yang

termuat dalam PERJA Nomor PER- 014/A/JA/11/2012 pasal 7.

Adapun jaksa dalam melaksanakan tugasnya juga memiliki larangan

sebagai kode etik profesinya, larangan tersebut merupakan bagian dari integritas

yang diatur dalam pasal 7 dan terdiri atas beberapa hal, dalam kaitannya kasus

tersebut larangan yang yang yelah dilanggar yaitu :

a. Jaksa dilarang memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat

memberikan keuntungan pribadi secara langsung maupun tindak langsung

bagi diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau cara

apapun.

b. Jaksa dilarang meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan

dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik

langsung maupun tidak langsung.

Dari penjelasan kasus jaksa pinangki tersebut bahwa perbuatan jaksa

pinangki telah melanggar dan tidak sesuai dengan kode etik PERJA Nomor

PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa pasal 7 pada poin a dan b.

Mengartikan bahwasannya tindakan suap dan tindakan pencucian uang tersebut

telah dilarang secara tegas dalam PERJA tersebut. Untuk itulah jaksa pinangki

dikenakan dakwaan sesuai apa yang telah dilanggar suseuai ketentuan

undang-undang TIPIKOR dan TPPU. Kasus jaksa pinangki bisa dijadikan suatu

pembelajaran bagi profesi hukum lainnya bahwa sebagai penegak hukum dan

sebagai profesi hukum memiliki kode etik yang harus dijaga, ditaati, dan dijunjung

tinggi oleh pihak siapapun yang memiliki profesi hukum. Hal ini dikarenakan
sebagai penegak hukum harus bisa memberikan cerminan yang baik kepada

masyarakat Indonesia, dan menjadikan proyeksi bahwa penegak hukum di

Indonesia mempunyai suatu kehormatan yang tinggi.

3. Penyelesaian Permasalahan Penegakan Kode Etik Jaksa yang Ideal di

Indonesia

a. Penyebab Pelanggaran Kode Etik Jaksa

Pelanggaran dari sebuah kode etik profesi ini adalah suatu tindakan

pelanggaran yang dapat dikerjakan oleh segelintir oknum maupun sekelompok

orang dari profesi tersebut yang disertai oleh sifat yang tidak mencerminkan

tentang bagaimana seharusnya seorang Jaksa dalam menjalankan profesinya

sebagaimana martabat profesi tersebut dan sekaligus menjaga mutu dari profesi

tersebut di tengah masyarakat. Dibawah ini merupakan Tujuan dari Kode Etik

Profesi:

a. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi tersebut.

b. Untuk meningkatkan mutu dari profesi tersebut.

c. Untuk menjaga serta memelihara kesejahteraan dari para anggotanya.

d. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota dari profesi tersebut.

e. Agar mempunyai suatu kesatuan organisasi professional yang kuat dan

terjalin secara erat.

f. Agar meningkatkan serta mendahului kepentingan layanan publik diatas

kepentingan pribadi.

Kode etik lahir sebagai untuk membatasi seorang profesional dalam sikap moral

agar sesuai dengan standar operasional yang telah disepakati bersama. Akan

tetapi, tetap saja masih banyak orang yang melanggar kode etik tersebut. Berikut

adalah faktor-faktor penyebab pelanggaran kode etik antara lain:


a. Pengaruh Sifat Kekeluargaan Adapkali kode etik tersebut berhubungan

dan berbenturan denga hubungan kekeluargaan ataupun

kekerabatan. Sifat tidak enak akan menolak hal tersebut menimbulkan hal

sedemikiran rupa mulai dari pelanggaran kode etik sampai nepotisme.

Seseorang yang professional harus bisa membedakan antara sikap

professional dan kekeluargaan.

b. Pengaruh Jabatan Dalam kenyataan yang terjadi, tidak semua keputusan

yang bermakna positif akan menghasilkan sesuatu yang positif juga.

Apabila berada di luar kode etik, terkadang menimbulkan permasalahan

yang baru. Seseorang cenderung mengambil suatu tindakan dengan hanya

memperhatikan efek positifnya saja tanpa memperhatikan efek negatifnya

dengan menghiraukan kode etik yang ada.

c. Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia Merupakan salah satu faktor

yang terbilang klasik dikarenakan penegakan akan ketaatan terhadap kode

etik itu sendiri cenderung lemah. Setiap kali ada sebuah celah, dapat

dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan untuk menyimpang dari kode

etik yang telah ada untuk memenuhi kepentingan pribadinya.

d. Lemahnya Kontrol dari Masyarakat Masyarakat dalam hal ini harus sebagai

pilar utama dalam penegakan hukum di Indonesia sesuai dengan kaidah

“Social Control” ataupun “Social Engineering”. Fungsi dari Masyarakat

untuk mengawasi secara penuh tentang bagaimana roda pemerintahan

berjalan demi mewujudkan cita-cita bersama dari bangsa dan negara.

e. Kurangnya Sarana Untuk Menyampaikan Keluhan Masyarakat Untuk

mengantisipasi pelanggaran kode etik di kemudian hari, sebaiknya

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk


menyampaikan pendapatnya mengenai pelayanan yang ada. Agar

harapannya terdapat ulasan positif yang baik dari masyarakat, sehingga

dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran kode etik yang

pernah ada.

b. Cara Menyikapi Pelanggaran Kode Etik Jaksa.

“Kode etik profesi hukum sangat dekat kaitannya dengan apa yang disebut

dengan integrated criminal justice system yaitu sistem perkara pidana secara

terpadu”. Jaksa sendiri merupakan sebuah profesi yang ditugaskan sebagai

perwakilan negara dalam rangka menegakkan keadilan dimuka hukum. Jaksa

diwajibkan mampu berfikir secara rasional disamping tugas fungsional utamanya

adalah penututan terhadap sebuah kasus yang ditangani. Tugas fungsional seorang

jaksa pun pada akhirnya memberikan kesempatan untuk seorang jaksa agar

mampu memberikan keuntungan pribadi bagi mereka sendiri, misalnya dengan

menerima suapan yang diberikan dari kasus – kasus yang mereka tangani. Maka

dari itu penekanan terhadap profesi jaksa dalam menjalankan tugasnya harus

sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan harus menjunjung tinggi

martabat profesi nya karena jika seorang jaksa bisa mengindahkan nilai-nilai dan

menjunjung tinggi martabat profesi jaksa akan ada timbal baliknya dengan institusi

jaksa itu sendiri dan nama baik profesi jaksa terjaga.

Cara menyikapi pelanggaran kode etik jaksa memiliki dua cara khusus

yaitu:

1. dengan cara pendidikkan karakter dari pendidikan karakter ini diharapkan


agar jaksa bisa berperilaku sesuai kode etik jaksa dan melaksanakan

kewajiban nya sebagai aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi

nilai profesionalitas dalam bertugas.

2. Selanjutnya, dengan cara memberikan hukuman kepada jaksa yang tidak

profesional dalam menjalankan tugasnya.

Pedoman penyikapan pelanggaran kode etik oleh jaksa melalui cara represif

diatur dalam Peraturan Jaksa Agung mengenai Kode Perilaku Jaksa. Yang tertuang

pada pasal 3 hingga 5 yaitu mengenai kewajiban jaksa sebagai profesi, pasal 7

mengenai pelarangan, dan pasal 12 hingga pasal 14 mengenai sanksi yang

diberikan. Tentunya pelanggaran profesi jaksa ini disamping mendapatkan sanksi

administratif melalui peraturan Jaksa agung, juga mendapatkan sanski hukum

lainnya menyesuaikan dengan pelanggaran seperti apa yang dilakukan oleh

seorang jaksa. Peran Komisi Kejaksaan ini dalam menyikapi pelanggaran kode etik

jaksa disini sangat penting karena Komisi Kejaksaan memiliki tugas salah satunya

adalah mengawasi dan menilai kinerja seorang jaksa dalam melakukan tugas

dinasnya. Dengan adanya kehadiran komisi kejaksaan diharapkan dapat membuat

para jaksa ini mematuhi kode etik jaksa dan komisi kejaksaan mempunyai

wewenang yaitu, menerima aduan masyarakat mengenai perilaku jaksa yang tidak

sesuai dengan kode etik jaksa. Dengan adanya peran serta masyarakat yang dapat

melaporkan perilaku jaksa yang tidak sesuai dengan kode etik jaksa maka dapat

langsung di laporkan ke komisi kejaksaan sebagai lembaga pengawas eksternal lalu

dilanjutkan kepada unit pengawas internal kejaksaan untuk di proses. Tetapi komisi

kejaksaan ini mempunyai hambatan dalam menyikapi pelanggaran kode etik jaksa

yaitu Komisi Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan untuk menghukum para jaksa

yang melanggar kode etik jaksa, terbatas nya manusia yang ada di dalam komisi
kejaksaan sehingga memperhambat penegakan pelanggaran kode etik jaksa,

alokasi anggaran yang sedikit kepada Komisi Kejaksaan sehingga tidak dapat

melakukan tugasnya dengan baik karena terbatas dengan anggaran-nya, dan yang

terakhir ialah aduan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seorang jaksa tidak

berdasar sehingga sulit untuk ditindak lanjuti oleh komisi kejaksaan karena tidak

ada bukti dalam aduannya.

BAB III

PENUTUP

Dalam rangka menciptakan ketertiban dalam masyarakat, setiap komponen

masyarakat harus mampu menaati berbagai nilai dan norma di masyarakat, tidak

terkecuali berlaku pada berbagai profesi yang dijalankan di masyarakat. Secara

khusus dalam ranah penegak hukum dari banyak komponen yang ada, profesi jaksa

adalah salah satu yang memiliki komponen aturan khusus yang mengatur

bagaimana profesi ini seharusnya dijalankan sesuai nilai dan norma atau yang

dapat kita sebut sebagai etika dalam profesi. Maka muncullah aturan kode etik

khusus yang diterapkan pada profesi ini.

Pengaturan kode etik jaksa di Indonesia diwujudkan dengan berlakunya

prinsip prinsip seperti landasan Catur Asana, Doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta

prinsip- prinsip Tri Atmaka. Selain itu adanya peraturan dalam Peraturan Jaksa

Agung Republik Indonesia Nomor PER- 014/A/JA/11/2012 mengenai kode perilaku

jaksa yang memiliki 6 Bab dan 31 Pasal yang substansinya meliputi ketentuan

umum, perilaku jaksa, tindakan administratif, tata cara pemeriksaan dan penjatuhan
tindakan administratif, ketentuan lain-lain, dan ketentuan penutup. Peraturan

mengenai perilaku jaksa ini memuat tentang kewajiban- kewajiban jaksa, peraturan

tentang integritas, kemandirian, ketidakberpihakan, dan perlindungan. Jaksa yang

tidak mampu atau melanggar peraturan kode etik yang telah ditetapkan akan

dikenakan sanksi tindakan administratif yang mana tindakan ini tidak

mengesampingkan ketentuan hukum pidana dan hukuman disiplin berdasarkan

peraturan disiplin PNS apabila diketahui adanya pelanggaran ketentuan terkait.

Dalam realitasnya banyak pelanggaran yang terjadi pada kode etik profesi ini,

seperti kasus Jaksa Pinangki terkait suap dan pencucian uang yang secara jelas

melanggar kode etik profesi jaksa berdasarkan peraturan yang ada. Adapun

beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran adalah

pengaruh sifat kekeluargaan, jabatan, lemahnya penegakkan hukum di Indonesia,

lemahnya kontrol di masyarakat serta minimnya sarana pengaduan pelanggaran.

Dalam upaya menyikapi realitas ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu

tindakan preventif dengan pendidikan karakter dan moral maupun tindakan represif

dengan pemberian sanksi. Pemberian sanksi yang dilakukan juga memiliki

pedoman khusus, yaitu Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-

014/A/JA/11/2012 pada pasal 12 hingga pasal 14 mengenai sanksi yang diberikan.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. Pokok- Pokok Filsafat Hukum. Jakarta, PT.

Gramedia Pustaka Utama. 2019.

Kansil dan Christine. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta, Pradnya

Paramita, 2003.

Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006.

Qamar, Nurul & Farah S. Rezah. Etika Profesi Hukum: Empat Pilar Hukum.

Makassar, CV Social Politic Genius, 2017.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung, Rineka Cipta, 1996.

Utomo, Priyo. Etika dan Profesi. Jakarta, Gramedia, 1998.

Yuwono, Ismantoro Dwi. Memahami Berbagai Etika Profesi & Pekerjaan.

Yogyakarta, Media Pressindo, 2013.

JURNAL
Sinaga, Niru Anita. “Kode Etik sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum

yang Baik”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara Vol. 10, No. 2, (Maret 2020).’

Skripsi / Thesis / Disertasi

Barizqi, Gita Cheryl. “Peran Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap

Penegakkan Kode Etik Jaksa”. Skripsi Ilmu Hukum, Program Studi Ilmu

Hukum. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2018. Dipublikasikan.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.

Peraturan Jaksa Agung Republik

Indonesia Nomor:

PER-014/A/JA/11/2012.

tentang Kode Perilaku Jaksa.

Anda mungkin juga menyukai