Oleh :
FAKULTAS HUKUM
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
norma hukum, terdapat norma lain yang turut menjaga ketertiban masyarakat.
kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan ketertiban lain sebagai upaya
menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Akibat logis dari situasi ini, kode etik
berasal dari berbagai kelompok profesi, yang dirumuskan dalam bentuk kode etik
profesi yang bertujuan untuk melatih, melindungi dan mengawasi anggota kelompok
profesionalnya. Seperti halnya profesi hukum, pembela, notaris dan profesi hukum
lainnya juga telah merumuskan kode etiknya sendiri. Proses perumusan kode etik
oleh berbagai kalangan profesi tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor, yang belum
Lahadho meyakini bahwa tatanan sosial yang menjalin hubungan tetap dan
beberapa sub-urutan dalam urutan ini, termasuk adat istiadat, hukum, dan moralitas.
Inti dari tatanan sekunder yang santun / moral ini justru menekankan pada cita-cita
yang harus tetap diwujudkan dalam masyarakat. Cita-cita adalah kriteria untuk
mengukur perilaku anggota masyarakat. Oleh karena itu, satu-satunya perilaku yang
dapat diterima untuk tatanan ini adalah perilaku yang sesuai dengan cita-cita
manusia.
Salah satu cara untuk melaksanakan kode etik dan regulasi terjadi dalam
etika profesi yang berlaku padanya. Menurut Saherojdi, istilah jaksa berasal dari
urusan sosial. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan kewenangan lain
yang dijalankan sesuai dengan hukum. Jaksa adalah pejabat fungsional instansi
atas nama negara dan oleh karena itu berkewajiban untuk menaati kode etik profesi.
hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran yang berlandaskan hukum, serta
berpegang pada norma agama, tata krama dan keadilan dalam masyarakat. Dalam
hal ini, jaksa dituntut untuk berperan lebih besar dalam menegakkan supremasi
Dalam profesinya ini, upaya kejaksaan tidak hanya memenuhi unsur- unsur
yang heterogen, kondisi yang tercakup juga dalam keadaan normal tidak sempurna.
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik lainnya. Mengandung nilai-nilai luhur dan
akan dihasilkan jaksa yang memiliki kualitas moral yang baik. Jadikan kehidupan
peradilan negara kita berhasil. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kekuatan
agar dapat terbentuk paradigma baru jaksa dari refleksi tersebut, yang tercermin
pada Sikap moral, pikiran dan perasaan. Oleh karena itu, Kejaksaan tetap akan
Selain itu, kejaksaan di Indonesia terdapat lima kode etik profesi yang dimana
semuanya itu mengatur bagaimana hukum itu ditegakkan sesuai dengan fakta
pelanggaran dan hukum yang berlaku. Kode etik ini juga sebaai barometer untuk
diatas, bahwa di tangannyalah hukum menjadi hidup, dank arena kekuatan dan
otoritas yang dimilikinya inilah sampai muncul pertanyaan bahwa (it doesn’t matter
what the law says, what matter is what the guy behind the desk interprents the law
to say). Mungkin bagi orang dengan kesadaran normatif, ungkapan ini agak
dilebih-lebihkan. Namun dari segi sosiologis hal ini merupakan fakta yang
tidak dapat dipungkiri, bahkan beberapa ahli hukum dan ahli sosiologi sering
mengatakan bahwa hukum tidak lain adalah perilaku aparat hukum, dan aparat
hukum merupakan salah satu etika profesi jaksa yang paling luhur. Muhammad
Amin mengemukakan dalam bukunya "Legal Professional Ethics" bahwa salah satu
penyebab pelanggaran kode etik adalah tidak berfungsinya kode etik itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membahas lebih
lanjut tentang kode etik hakim.Lingkup dan aturan kode etik penting bagi
masalah penegakan etika profesi jaksa Indonesia dan bagaimana menerapkan etika
ideal.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
penuntunan umum memiliki tugas dan kewajiban dibidang penegakan hukum serta
peranan dan fungsinya, Kejaksaan berlandaskan pada Catur Asana. Catur Asana
rangka mengemban tugasnya, antara lain Pancasila yang merupakan landasan idiil,
Jaksa sebagai suatu profesi memiliki kode etik yang diatur berdasarkan
Kode Perilaku Jaksa. Keberadaan kode etik dalam profesi ini berfungsi sebagai
petunjuk atau arahan kepada anggota profesi tersebut mengenai perilaku dan
menjamin mutu moral profesi tersebut di masyarakat, dalam hal ini kode etik Jaksa
digunakan sebagai suatu arahan atau petunjuk perilaku untuk mewujudkan Jaksa
transparan dan akuntabel yang berlandaskan Tri Krama Adhyaksa. Doktrin Tri
Krama Adhyaksa merupakan doktrin Kejaksaan Indonesia yang terdiri dari Satya,
Adhi, dan Wicaksana. Satya memiliki makna kesetiaan yang bersumber dari rasa
jujur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri pribadi, keluarga, maupun sesama
manusia. Adhi memiliki arti kesempurnaan dalam menjalankan tugas dan berunsur
utama rasa tanggung jawab baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, maupun
sesama manusia. Wicaksana memiliki makna bijaksana dalam tutur kata dan
tentang Kode Perilaku Jaksa memiliki 6 Bab dan 31 Pasal yang substansinya
menjadi empat yang meliputi: kewajiban kepada negara, kewajiban kepada institusi,
tidak pula terpengaruh kepentingan individu maupun kelompok dan tekanan publik
maupun media. Dalam hal ini, Jaksa dapat menolak perintah atasannya apabila
swasta, pengurus atau anggota suatu partai politik, advokat, serta dilarang
Adapun demi menjamin kelancaran menjalankan tugas dan fungsi profesinya, Jaksa
Pasal 10, serta memiliki hak-hak sebagaimana termuat dalam Pasal 11.
Kode etik Jaksa tersebut tidak lepas dari adanya prinsip-prinsip Tri Atmaka.
Prinsip ini merupakan ciri yang dimiliki oleh Jaksa dan terdiri dari ketunggalan
bahwa profesi jaksa dalam menjalankan tugasnya ada kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Kedua prinsip kemandirian merupakan prinsip yang
sehingga tidak ada badan lain yang dapat mempengaruhi jaksa di bidang
penuntutan ini. Ketiga, prinsip mumpuni yang mana korps kejaksaan dianggap
Indonesia tentang Kode Perilaku Jaksa tersebut. Sehingga, apabila ada oknum
Jaksa terbukti melakukan pelanggaran, maka akan diberikan sanksi berupa tindakan
tersebut. Sanksi tindakan administratif bagi Jaksa ini dapat berupa pembebasan dari
tugas-tugas Jaksa dengan durasi paling singkat tiga bulan dan paling lama satu
tahun; dan/atau pengalihtugasan ke satuan kerja lain, dengan durasi paling singkat
etik oleh Jaksa adalah Majelis Kode Perilaku yang terdiri dari ketua merangkap
anggota, yaitu pejabat yang berwenang membentuk Majelis Kode Perilaku atau
pejabat yang ditunjuk, sekretaris merangkap anggota, serta seorang anggota dari
unsur PJI dengan jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari oknum Jaksa
pelanggaran kode etik, maka Majelis Kode Perilaku akan mengeluarkan Putusan
Indonesia. Dalam hal ini pelanggaran hokum yang dimaksud termasuk pula
pelanggaran kode perilaku oleh Jaksa sebagaimana uraian Pasal 3 peraturan
ini dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana diatura dalam Pasal 12 ayat (3),
yaitu:
(c) perlindungan atas catatan yang merugikan dalam arsip data kepegawaian;
dan/atau
(d) merahasiakan isi laporan, laporan hasil telaah UPP dan tindak lanjut bidang
pengawasan.
empat bentu perlindungan tersebut, pelapor berdasarkan Pasal 12 ayat (5) dapat
etik profesi hukum sering kali dijumpai di berita manapun baik dari media cetak
maupun media elektronik. Kasus mengenai pelanggaran kode etik jaksa yang masih
hangat di tahun 2020 dan dan sering kali diperbincagkan yaitu tentang kasus jaksa
pinangki. Menurut berita yang telah beredar bahwa kasus jaksa pinangki merupakan
contoh dari pelanggarakan kode etik profesi hukum yaitu sebagai seorang jaksa.
Jaksa sebagai salah satu penegak hukum Indonesia yang bertugas untuk
undangan yang berlaku. Kasus jaksa pinangki yang masih berlangsung bisa
dijadikan suatu bahan analisis dalam mengenai pelanggaran kode etik profesi
hukum.
Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa menerima suap sebesar US$ 500 ribu
atau sekitar Rp7 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Jaksa
Pinangki selain didakwa tindak pidana suap juga didakwa Pasal 3 Undang-
uang suap tersebut untuk kepentingan sendiri dengan total lebih dari Rp4,7
dengan dakwaan Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 15
Mengenai kasus dari jaksa pinangki sebagai contoh dari pelanggaran kode
etik profesi hukum jaksa bisa dijadikan suatu bahan analisis bahwa tindakan yang
dilakukan oleh jaksa pinangki telah melanggar beberapa kode etik jaksa
seorang jaksa yang termuat dalam pasal 7 PERJA tersebut. Perilaku yang telah
dilakukan oleh jaksa pinangki tidak mencerminkan sama sekali tentang kode etik
kaidah hukum yang berlaku. Perbuatan jaksa piangki yang telah melakukan
penyuapan dan pencucian uang termasuk kedalam tindak pidana khusus atau
extraordinary crime, maka dari itulah dalam menangani perkara tersebut perlu
dilakukan secara khusus baik dari proses penyidikan sampai pengadilan khusus.
Berdasarkan kasus jaksa pinangki tersebut telah melanggar kode etik jaksa yang
sebagai kode etik profesinya, larangan tersebut merupakan bagian dari integritas
yang diatur dalam pasal 7 dan terdiri atas beberapa hal, dalam kaitannya kasus
bagi diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau cara
apapun.
pinangki telah melanggar dan tidak sesuai dengan kode etik PERJA Nomor
telah dilarang secara tegas dalam PERJA tersebut. Untuk itulah jaksa pinangki
undang-undang TIPIKOR dan TPPU. Kasus jaksa pinangki bisa dijadikan suatu
pembelajaran bagi profesi hukum lainnya bahwa sebagai penegak hukum dan
sebagai profesi hukum memiliki kode etik yang harus dijaga, ditaati, dan dijunjung
tinggi oleh pihak siapapun yang memiliki profesi hukum. Hal ini dikarenakan
sebagai penegak hukum harus bisa memberikan cerminan yang baik kepada
Indonesia
Pelanggaran dari sebuah kode etik profesi ini adalah suatu tindakan
orang dari profesi tersebut yang disertai oleh sifat yang tidak mencerminkan
sebagaimana martabat profesi tersebut dan sekaligus menjaga mutu dari profesi
tersebut di tengah masyarakat. Dibawah ini merupakan Tujuan dari Kode Etik
Profesi:
kepentingan pribadi.
Kode etik lahir sebagai untuk membatasi seorang profesional dalam sikap moral
agar sesuai dengan standar operasional yang telah disepakati bersama. Akan
tetapi, tetap saja masih banyak orang yang melanggar kode etik tersebut. Berikut
kekerabatan. Sifat tidak enak akan menolak hal tersebut menimbulkan hal
etik itu sendiri cenderung lemah. Setiap kali ada sebuah celah, dapat
d. Lemahnya Kontrol dari Masyarakat Masyarakat dalam hal ini harus sebagai
pernah ada.
“Kode etik profesi hukum sangat dekat kaitannya dengan apa yang disebut
dengan integrated criminal justice system yaitu sistem perkara pidana secara
adalah penututan terhadap sebuah kasus yang ditangani. Tugas fungsional seorang
jaksa pun pada akhirnya memberikan kesempatan untuk seorang jaksa agar
menerima suapan yang diberikan dari kasus – kasus yang mereka tangani. Maka
dari itu penekanan terhadap profesi jaksa dalam menjalankan tugasnya harus
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan harus menjunjung tinggi
martabat profesi nya karena jika seorang jaksa bisa mengindahkan nilai-nilai dan
menjunjung tinggi martabat profesi jaksa akan ada timbal baliknya dengan institusi
Cara menyikapi pelanggaran kode etik jaksa memiliki dua cara khusus
yaitu:
Pedoman penyikapan pelanggaran kode etik oleh jaksa melalui cara represif
diatur dalam Peraturan Jaksa Agung mengenai Kode Perilaku Jaksa. Yang tertuang
pada pasal 3 hingga 5 yaitu mengenai kewajiban jaksa sebagai profesi, pasal 7
seorang jaksa. Peran Komisi Kejaksaan ini dalam menyikapi pelanggaran kode etik
jaksa disini sangat penting karena Komisi Kejaksaan memiliki tugas salah satunya
adalah mengawasi dan menilai kinerja seorang jaksa dalam melakukan tugas
para jaksa ini mematuhi kode etik jaksa dan komisi kejaksaan mempunyai
wewenang yaitu, menerima aduan masyarakat mengenai perilaku jaksa yang tidak
sesuai dengan kode etik jaksa. Dengan adanya peran serta masyarakat yang dapat
melaporkan perilaku jaksa yang tidak sesuai dengan kode etik jaksa maka dapat
dilanjutkan kepada unit pengawas internal kejaksaan untuk di proses. Tetapi komisi
kejaksaan ini mempunyai hambatan dalam menyikapi pelanggaran kode etik jaksa
yaitu Komisi Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan untuk menghukum para jaksa
yang melanggar kode etik jaksa, terbatas nya manusia yang ada di dalam komisi
kejaksaan sehingga memperhambat penegakan pelanggaran kode etik jaksa,
alokasi anggaran yang sedikit kepada Komisi Kejaksaan sehingga tidak dapat
melakukan tugasnya dengan baik karena terbatas dengan anggaran-nya, dan yang
terakhir ialah aduan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seorang jaksa tidak
berdasar sehingga sulit untuk ditindak lanjuti oleh komisi kejaksaan karena tidak
BAB III
PENUTUP
masyarakat harus mampu menaati berbagai nilai dan norma di masyarakat, tidak
khusus dalam ranah penegak hukum dari banyak komponen yang ada, profesi jaksa
adalah salah satu yang memiliki komponen aturan khusus yang mengatur
bagaimana profesi ini seharusnya dijalankan sesuai nilai dan norma atau yang
dapat kita sebut sebagai etika dalam profesi. Maka muncullah aturan kode etik
prinsip prinsip seperti landasan Catur Asana, Doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta
prinsip- prinsip Tri Atmaka. Selain itu adanya peraturan dalam Peraturan Jaksa
jaksa yang memiliki 6 Bab dan 31 Pasal yang substansinya meliputi ketentuan
umum, perilaku jaksa, tindakan administratif, tata cara pemeriksaan dan penjatuhan
tindakan administratif, ketentuan lain-lain, dan ketentuan penutup. Peraturan
mengenai perilaku jaksa ini memuat tentang kewajiban- kewajiban jaksa, peraturan
tidak mampu atau melanggar peraturan kode etik yang telah ditetapkan akan
Dalam realitasnya banyak pelanggaran yang terjadi pada kode etik profesi ini,
seperti kasus Jaksa Pinangki terkait suap dan pencucian uang yang secara jelas
melanggar kode etik profesi jaksa berdasarkan peraturan yang ada. Adapun
Dalam upaya menyikapi realitas ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu
tindakan preventif dengan pendidikan karakter dan moral maupun tindakan represif
pedoman khusus, yaitu Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
BUKU
Darmodiharjo, Darji & Shidarta. Pokok- Pokok Filsafat Hukum. Jakarta, PT.
Paramita, 2003.
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006.
Qamar, Nurul & Farah S. Rezah. Etika Profesi Hukum: Empat Pilar Hukum.
JURNAL
Sinaga, Niru Anita. “Kode Etik sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum
yang Baik”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara Vol. 10, No. 2, (Maret 2020).’
Penegakkan Kode Etik Jaksa”. Skripsi Ilmu Hukum, Program Studi Ilmu
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia.
Indonesia Nomor:
PER-014/A/JA/11/2012.