Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pemerintahan negara berdasarkan penjelasan tentang Undang-Undang


Dasar Negara Indonesia, antara lain menegaskan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(machtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting
negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan
hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Profesi hukum merupakan profesi yang keberadaannya berhubungan
langsung dengan kehidupan masyarakat umum. Pengemban profesi hukum
haruslah orang yang dapat dipercaya secara penuh, bahwa profesional hukum
tidak akan menyalahgunakan situasi yang ada. Pengemban hukum haruslah
dilakukan secara martabat dan harus mengerahkan segala kemampuan
pengetahuan dan keahlian yang ada padanya, sebab tugas profesi hukum adalah
tugas kemasyarakatan yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai dasar yang
merupakan perwujudan martabat manusia dan oleh karena itu pulalah pelayanan
hukum memerlukan pengawasan dari masyarakat.1
Di dalam suatu profesi termasuk profesi hukum, tentu di dalamnya terdapat
suatu kode etik. Kode etik dimana sebagian ahli berpendapat bahwa dapat
diartikan sebagai sarana kontrol sosial yang bertujuan untuk terciptanya
kesejahteraan bagi semua pihak yang sedang terlibat dalam suatu kelompok yang
berada dalam satu aturan yang dibentuk. Selain itu, kode etik juga dapat
memberikan semacam kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi
(demikian juga terhadap para anggota baru) dan membantu mempertahankan

1
Abintoro Prakoso, Etika Profesi Hukum Telaah Historis, Filosofis, dan Teoritis Kode Etik
Notaris, Advokat, Polisi, Jaksa dan Hakim (Surabaya: LaksBang Justitia, 2015), hlm. 115.

1
2

pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan
dalam semua pihak yang berada dalam ruang lingkup tersebut.2
Adapun dengan terciptanya kode etik sebagai sarana kontrol sosial maka
memunculkan adanya kode etik profesi. Kode etik profesi ini digunakan sebagai
pencegahan ataupun pengawasan terhadap terjadinya campur tangan yang
dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui beberapa agen atau
pelaksananya. Jadi digunakan sebagai salah satu alat untuk mencegah dari adanya
campur tangan pihak-pihak yang tidak terlibat di dalam anggota profesi tersebut
dan juga bertujuan untuk terciptanya keselarasan untuk semua anggota yang
berada dalam profesi itu sendiri. Jadi, dapat dikatakn bahwa etika profesi adalah
etika yang di normakan dan dipakai suatu kelompok profesi tertentu yang menjadi
nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi oleh kelompok profesi tersebut.3
Salah satu profesi hukum yang ada ialah Jaksa. Secara yuridis Kejaksaan RI
lahir sejak pasca kemerdekaan yang diputuskan dalam rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Kejaksaan RI terus
mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai
dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. 4 Kejaksaan sebagai
lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya secara merdeka dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam negara hukum berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 serta diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU
Kejaksaan).
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan menyatakan bahwa,

“Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan


negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-
undang.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka kedudukan kejaksaan Republik
Indonesia adalah sebagai lembaga penuntutan yang berperan sangat penting dalam

2
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Yogyakarta: Anggota IKAPI, 1995), hlm. 35.
3
Adis Suciawati, Sanksi Hukum Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik Profesi Hakim,
Skripsi pada Program Sarjana Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, (Jakarta:
UIN, 2019), hlm. 1.
4
Kejaksaan Republik Indonesia, “Tentang Kejaksaan,” https://www.kejaksaan.go.id/profil-
_kejaksaan.php?id=3, diakses 14 Desember 2019.
3

upaya penegakan hukum, khususnya di bidang hukum pidana.5 Dalam


menjalankan tugasnya yaitu melakukan penuntutan dan pelaksanaan putusan
pengadilan kejaksaan dijalankan oleh jaksa sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1
ayat (1) UU Kejaksaan, yaitu

“Jaksa merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-


undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang.”
Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta
disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum dalam rangka
mewujudkan keadilan dan kebenaran maka dalam menjalankan wewenang yang
dimilikinya jaksa juga harus selalu mematuhi kode etik profesinya dalam
melakukan setiap tindakannya sebagaimana aparat penegak hukum lainnya. Kode
etik profesi jaksa juga dikenal dengan sebutan kode perilaku jaksa yang mana
telah termuat dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-
014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Selain itu kode etik profesi jaksa
dikenal dengan sebutan Tri Karma Adhyaksa. Dalam kode perilaku jaksa ini
dijelaskan hak dan kewajiban jaksa, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh
jaksa, sebagaimana halnya suatu peraturan dibuat, kode perilaku jaksa juga dibuat
sebagai upaya preventif dan represif terhadap perilaku jaksa yang menyimpang
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya maupun di luar tugasnya.
Namun pada kenyataannya masih banyak jaksa yang melakukan pelanggaran
dan penyimpangan terhadap kode etiknya tersebut. Pada pelaksanaan tugasnya
memang cukup banyak jaksa yang terbukti melakukan penyimpangan-
penyimpangan-penyimpangan. Koalisis Pemantau Peradilan (KPP) mencatat
setidaknya ada 34 jaksa yang terjerat perkara dugaan korupsi sejak 2016-2017.
Dari jumlah tersebut, lima jaksa ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
pada masa kepemimpinan M. Prasetyo sebagai Jaksa Agung, ditambah tujuh nama
lain diamankan oleh tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Polri. Lima
nama yang ditangkap KPK yaitu Jaksa Fahri Nurmalo (Kejati Jawa Barat),
Devianti Rohaini (bertugas di Kejati Jawa Barat), Fahrizal (Kejati Sumatera
5
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya dalam Penegakkan Hukum di Indonesia) (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009),
hlm. 62.
4

Barat), Parlin Purba (Kejati Bengkulu) dan yang terakhir Rudi Indra Prasetya
(Kajari Pamekasan).6
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas maka penulis
tertarik untuk menganalisis mengenai kode etik profesi jaksa dan contoh kasus
pelanggaran dari kode etik jaksa tersebut. Adapun judul dari makalah ini adalah
“ANALISIS PELANGGARAN KODE ETIK JAKSA DALAM KASUS
PENYUAPAN JAKSA FARIZAL”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat


dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai kode etik profesi jaksa di Indonesia?


2. Bagaimanakah contoh kasus pelanggaran terhadap kode etik profesi jaksa di
Indonesia?

6
Wahyu Widodo, Pengawasan Terhadap Jaksa dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan
Pidana, Skripsi pada Program Sarjana Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, (Surakarta:
UMS, 2018), hlm. 4.
5

BAB II

ANALISIS PELANGGARAN KODE ETIK JAKSA DALAM KASUS


PENYUAPAN JAKSA FARIZAL

A. Pengaturan Kode Etik Profesi Jaksa

1. Tinjauan Umum Kode Etik Profesi


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa
pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(keterampilan, kejujuran, dan sebagainya). Profesi memiliki makna yang berbeda
dengan pekerjaan pada umumnya, karena profesi dituntut untuk memiliki
keahlian, keterampilan tertentu (khusus) sehingga tidak semua kegiatan dapat
dikategorikan sebagai sebuah profesi. Profesi ialah suatu jenis pekerjaan yang
karena sifatnya, menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan yang
istimewa7, adapun pendapat lain mengatakan bahwa profesi adalah suatu
pekerjaan yang menuntut kemampuan intelektual khusus yang diperoleh melalui
kegiatan belajar dan pelatihan yang bertujuan untuk menguasai keterampilan
dalam melayani atau memberikan nasihat kepada orang lain dengan memperoleh
upah atau gaji dalam jumlah tertentu.
Dapat dikatakan bahwa secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang
selalu melekat pada suatu profesi, antara lain:8

a. Adanya pengetahuan khusus, biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki


setelah mengikuti pendidikan, pelatihan, dan pengalaman bertahun-tahun;
b. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Setiap pelaku profesi
mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi;
c. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksanaan profesi
harus mengutamakan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan
pribadinya;

7
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), hlm. 271.
8
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 120.
6

d. Ada izin khusus menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu
berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yaitu nilai-nilai kemanusiaan
berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, dan sebagainya untuk
menjalankan suatu profesi harus ada izin khusus;
e. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

Kode etik berasal dari dau kata, kode dan etik. Kode yaitu tanda-tanda
atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati
untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan
atau suatu kesepakatan suatu organisasi, kode juga dapat berarti kumpulan
peraturan yang sistematis.9 Sedangkan etik atau etika atau ethcis dalam bahasa
Inggris, yang mengandung banyak pengertian. Dari segi etimologi, istilah etika
berasal dari kata Latin “ethicus” dan dalam bahasa Yunani diebut “ethos” yang
dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atas kecenderungan hati
seseorang untuk berbuat kebaikan.
Etika menyangkut kelakuan, yang mengikuti norma-norma yang baik.
pengertian ini menempatkan etika sebagai perangkat norma dalam kehidupan
manusia yang tidak berbeda dengan norma-norma kesusilaan. 10 Dengan demikian
etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial
(profesi) itu sendiri. Peranan etika dalam ruang lingkup profesi terdiri atas nilai-
nilai etika itu sendiri, etika tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang
paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa.
Kode etik profesi adalah tatanan moral yang dibuat sendiri oleh
kelompok profesi tertentu khusus bagi anggotanya. Tatanan tersebut mengikat
secara internal anggotanya. Di dalamnya ada larangan-larangan moral profesi.
Pelanggaran atasnya, akan dikenakan sanksi organisasi profesi tersebut setelah
melalui persidangan yang diadakan khusus untuk itu. Kode etik itu ditujukan
sebagai acuan kontrol moral atau semacam pengawas perilaku yang sanksinya

9
Rizal Isnanto, Buku Ajar Etika (Semarang: Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 2009),
hlm. 13.
10
Siti Marwiyah, Penegakan Kode Etik Profesi di Era Malapraktik Profesi Hukum (Madura:
UTM Press, 2015), hlm. 8.
7

lebih dikonsentrasikan secara psikologis dan kelembagaan. Pelaku profesi yang


melanggar, selain dapat dipertanggungjawabkan oleh ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, juga dapat dipertanggungjawabkan secara moral
berdasarkan kode etik profesinya.11 Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi
dari kode etik profesi, yaitu:12

a. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang
prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik
profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukuan;
b. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas
profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat
memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat
memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan
pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial);

c. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi
tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat
dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan
yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di alin instansi atau
perusahaan.

2. Kode Etik Profesi Jaksa


Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung
nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang
apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-
jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan
tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada
keberhasilan.
Jabatan fungsional jaksa adalah bersifat keahlian teknis yang melakukan
penuntutan. Bahwa dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas
kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum
11
Ibid., hlm. 64.
12
Wisnu Gita Prapanca, “Penegakan Hukum Terhadap Jaksa yang Melakukan Tindak Pidana
Narkotika,” Logika: Journal of Multidisciplinary Studies Vol. 01 No. 01 (Juni 2019), hlm. 63.
8

dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka diperlukan adanya kode etik
profesi jaksa. Kode etik profesi jaksa diatur dalam Peraturan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
Kode etik profesi jaksa juga sering dikenal dengan nama Tri Krama Adhyaksa.
Tri Krama Adhyaksa adalah landasan jiwa dari setiap warga Adhyaksa
dalam meraih cita-cita luhurnya, terpatri dalam trapsila yang disebut Tri Krama
Adhyaksa yang meliputi tiga krama, yaitu Satya, Adhy, dan Wicaksana. 13 Adapun
pengertiannya yaitu:

a. Satya, mengandung arti setia terhadap profesinya dengan berprilaku yang


baik dan jujur. Seorang jaksa harus memiliki kesetiaan yang bersumber pada
rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap pribadi, keluarga
maupun kepada sesama manusia. Hal ini diartikan juga jujur terhadap tugas,
artinya bahwa setiap warga kejaksaan apapun pangkat dan jabatannya, wajib
menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik dan tidak
berkhianat. Kesemua hal tersebut mencerminkan sikap berpegang teguh
kepada kebenaran dan keadilan yang membuktikan dirinya jauh dari hal-hal
yang dapat membuat ia gagal dalam melaksanakan tugas;
b. Adhy, mengandung arti kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama
pemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga
dan sesama manusia. Seorang jaksa dalam menjalankan profesinya harus
lebih bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri, juga terhadap bangsa
dan negara, dan dalam melakukan semua perbuatan selalu dilandasi dengan
alasan-alasan yang benar, sehingga perbuatannya dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Wicaksana, mengandung arti bahwa seorang jaksa harus selalu bijaksana
dalam menjalankan profesinya. Seorang jaksa haruslah bijaksana dalam
bertutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan
kewenangan. Hal ini berarti bahwa setiap warga kejaksaan dalam
menunaikan tugas dharma bhaktinya, disamping harus cakap, mampu dan
terampil harus pula membuktikan dirinya sebagai petugas yang matang dan

13
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
hlm. 104.
9

dewasa dengan tanpa mengorbankan prinsip dan ketegasan, dapat bertindak


bijaksana.

Kode perilaku jaksa juga dapat dijelaskan sebagai serangkaian norma


penjabaran dari kode etik jaksa, sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku
jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan
martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar
kedinasan.14 Mengenai pengaturan kode etik profesi jaksa di dalam Peraturan
Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode
Perilaku Jaksa, antara lain diatur mengenai:

a. Kewajiban jaksa kepada Negara:15


1) Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam
masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan

3) Melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui hal


yang dapat membahayakan atau merugikan negara.

b. Kewajiban Jaksa kepada Institusi:16


1) menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya;
2) menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa;
3) menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik
Indonesia;
4) melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang kewenangan;
5) menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan,
ketulusan dan kewibawaan; dan

14
Pasal 1 angka 3 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-
014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
15
Ibid., Pasal 3
16
Ibid., Pasal 4
10

6) mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling


memotivasi untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan
kewajibannya.

c. Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa:17


1) menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur
dan adil;
2) mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai
kepentingan pribadi atau keluarga;
3) mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan kedinasan;
4) meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta mengikuti
perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup nasional dan
internasional;
5) menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan petunjuk
kepada Penyidik;
6) menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap
tersangka/terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak pidana
kesusilaan kecuali penyampaian informasi kepada media,
tersangka/keluarga, korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
7) memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan
jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
hak asasi manusia; dan

8) memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum,


penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara profesional, adil,
efektif, efisien, konsisten, transparan dan menghindari terjadinya benturan
kepentingan dengan tugas bidang lain. untuk meningkatkan kinerja
dengan menghormati hak dan kewajibannya.

d. Larangan
1) Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:18

17
Ibid., Pasal 5
11

a) memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberika


keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung bagi diri
sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau cara
apapun;
b) meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk
apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung;
c) menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau
keluarga, atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;
d) melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para pihak
yang terkait dalam penanganan perkara;
e) memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum yang
berlaku;
f) merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
g) menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan secara
fisik dan/atau psikis; dan
h) menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga telah
direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan melalui cara-
cara yang melanggar hukum;

2) Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah


atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan
tugas Profesi Jaksa.

e. Sanksi
1) Jaksa wajib menghormati dan mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
2) Setiap pimpinan unit kerja wajib berupaya untuk memastikan agar Jaksa di
dalam lingkungannya mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
3) Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran dijatuhkan tindakan
administratif.

18
Ibid., Pasal 7
12

4) Tindakan adminstratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan


hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil
apabila atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar.
5) Tindakan administratif terdiri dari:19
a) pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama (1) satu tahun; dan/atau
b) pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 2 (dua) tahun.
6) Apabila selama menjalani tindakan administratif diterbitkan Surat
Keterangan Kepegawaian (Clearance Kepegawaian) maka dicantumkan
tindakan administratif tersebut.
7) Setelah selesai menjalani tindakan administratif, Jaksa yang bersangkutan
dapat dialihtugaskan kembali ketempat semula atau kesatuan kerja lain
yang setingkat dengan satuan kerja sebelum dialihtugaskan.
8) Keputusan pembebasan dari tugas-tugas Jaksa dan
Keputusanpengalihtugasan pada satuan kerja lain terhadap Jaksa
diterbitkan olehpejabat yang berwenang melakukan tindakan
administratif.20

B. Kasus Pelanggaran Terhadap Kode Etik Profesi Jaksa di Indonesia

1. Contoh Kasus Pelanggaran Terhadap Kode Etik Profesi Jaksa di


Indonesia
Pada tahun 2016 terdapat kasus pelanggaran kode etik oleh jaksa Farizal.
Farizal merupakan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
KPK menahan Jaksa Farizal setelah diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan
tindak pidana korupsi pengurusan perkara Direktur Utama CV Semesta Berjaya,
Xaveriandy Sutanto atas kasus dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar
Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton yang diadili di Pengadilan Negeri

19
Ibid., Pasal 13.
20
Ibid., Pasal 14.
13

Padang.21 Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Padang memvonis


jaksa Farizal 5 tahun penjara. Farizal juga harus membayar denda 250 juta rupiah
subsider 4 bulan penjara dan wajib membayar uang pengganti sebesar 335,6 juta
rupiah.22
Hakim menyebut, Farizal menerima suap sebesar 440 juta rupiah dari
pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto. Uang diberikan sebanyak
sembilan kali sejak Juni 2016 hingga Septembeer 2016. Uang diserahkan lewat
sejumlah pertemuan di beberapa tempat, seperti rumahnya di kawasan Lubuk
Minturun Kecamatan Kota Tangah, di gudang milik Sutanto di kawasan Bypass
Kilometer 22, dan di minimarket Tanaka milik Sutanto di kawasan Kalawi Lubuk
Lintah. Uang dalam jumlah paling besar yang ia terima sebesar 150 juta rupiah,
selebihnya nominalnya 50 juta rupiah, 20 juta rupiah, dan 15 juta rupiah. Uang
tersebut digunakan Farizal untuk keperluan pribadi, seperti biaya sopir, uang
sekolah anak-anaknya dan dibagikan ke pihak-pihak lain.23

Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Kejaksaan Agung telah


memeriksa sejumlah pihak terkait dugaan pelanggaran etik ini. Dari pemeriksaan
itu, ditemukan sejumlah fakta yang mengindikasikan bahwa Farizal memang
melanggar etik. Berdasarkan keterangan yang diambil dari pejabat Kejati Sumbar
dan pengakuan Farizal, hasilnya menyerupai dengan apa yang dituduhkan KPK
kepadanya, antara lain yaitu:24

a. Tak pernah ikut sidang


Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum
mengatakan, ada indikasi sejumlah penyimpangan perilaku Farizal. Pertama,
Farizal tidak pernah sekalipun mengikuti sidang perkara di mana Sutanto
21
Sandy Indra Pratama, “KPK Tahan Jaksa Farizal Tersangka Suap Perkara Gula,”
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt57e8fd1b15b30/kpk-tahan-jaksa-farizal-tersangka-suap-
perkara-gula/, diakses 15 Desember 2019.
22
Andri El Faruqi, “Jaksa Penerima Sogokan Rp 440 Juta Divonis 5 Tahun Penjara,”
https://nasional.tempo.co/amp/872664/jaksa-penerima-sogokan-rp-440-juta-divonis-5-tahun-
penjara, diakses 15 Desember 2019.
23
Ibid.
24
Ambaranie Nadia Kemala, “Indikasi Pelanggaran Etik Jaksa Farizal, Absen Sidang Hingga
Terima Uang dari Pengusaha,”
https://nasional.kompas.com/read/2016/09/22/07372381/indikasi.pelanggaran.etik.jaksa.farizal.abs
en.sidang.hingga.terima.uang.dari.pengusaha?page=all, diakses 15 Desember 2019.
14

menjadi terdakwa. Padahal, ia merupakan jaksa penuntut umum dalam kasus


terkait distribusi gula yang diimpor tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI)
itu.
Farizal juga disebut tidak informatif kepada sesama anggota tim jaksa
penuntut umum dalam kasus itu, sehingga mereka berjalan tanpa koordinasi
dengan Farizal.

Selain itu, Farizal juga membantu Sutanto dalam menyusun eksepsi.


Perbuatan tersebut dianggap melampaui kewenangannya sebagai jaksa
penuntut umum karena semestinya yang menyusun eksepsi adalah terdakwa
bersama penasihat hukum.

b. Mengaku terima suap

Hal lain yang diakui oleh Farizal yaitu penerimaan sejumlah uang dari
Suanto. Sejak di tingkat penyidikan hingga persidangan, Sutanto hanya
menjadi tahanan kota oleh Kejaksaan Tinggi Sumbar. Ia tidak diamankan di
balik jeruji besi oleh kepolisian di Padang. Rum mengatakan, kewenangan
penetapan seseorang bisa menjadi tahanan kota oleh Kejati Sumbar.

c. Tidak periksa berkas perkara

Berdasarkan pengakuan salah satu pihak yang diperiksa Jamwas, terungkap


bahwa jaksa penuntut umum tidak mencermati berkas perkara di tingkat
penyidikan untuk dilimpahkan ke persidangan.

2. Analisis Kasus Pelanggaran Terhadap Kode Etik Profesi Jaksa di


Indonesia
Penyalahgunaan profesi hukum dapat terjadi karena persaingan yang
melanda individu profesional hukum atau karena tidak adanya disiplin diri. Dalam
profesi hukum sering terjadi pertentangan antara dua kepentingan yang
bersebrangan, yaitu cita-cita etika yang tinggi di satu sisi, sedang praktek hukum
berada pada posisi yang jauh dengan cita-cita tersebut.
Dalam kasus diatas jelas telah terjadi pelanggaran kode etik profesi jaksa
di mana jaksa Farizal diduga menerima suap sebesar Rp 440 juta untuk tidak
15

menahan Xaveriandy Sutanto. Selain itu, ia juga tidak melakukan tugas dan
kewajibannya sebagai jaksa dengan semestinya dimana ia Farizal, tidak pernah
sekalipun mengikuti sidang perkara di mana Sutanto menjadi terdakwa, padahal ia
merupakan ketua jaksa penuntut umum dalam kasus terkait distribusi gula ilegal
yang diimpor tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) itu.
Farizal juga disebut tidak informatif kepada sesama anggota tim jaksa
penuntut umum dalam kasus itu, sehingga mereka berjalan tanpa koordinasi
dengan Farizal. Selain itu, Farizal juga membantu Sutanto dalam menyusun
eksepsi atas surat dakwaan agar mendapatkan hukuman yang ringan. Perbuatan
tersebut dianggap melampaui kewenangannya sebagai jaksa penuntut umum
karena semestinya yang menyusun eksepsi adalah terdakwa bersama penasihat
hukum. Perbuatan tersebut dinilai telah melanggar tugasnya sebagaimana telah
diatur dalam:
a. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, yang berbunyi,
“Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan
Republik Indonesia, serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
melaksanakan peraturan perundang- undangan yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia.
bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum,
kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan
wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh- sungguh, saksama,
obyektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-bedakan
jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan
melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung
jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Esa, masyarakat, bangsa, dan
negara.
bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak
mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap
teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan
undang-undang kepada saya.
bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa
pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada
siapa pun juga.
16

bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas
ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapa pun juga suatu janji atau pemberian.”

b. Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang


Kejaksaan Republik Indonesia, karena telah melakukan seolah-olah rangkap
jabatan sebagai penasihat hukum dari terdakwa. Adapun bunyi pasal tersebut
adalah:
“Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang
merangkap menjadi:
a. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik
negara/daerah, atau badan usaha swasta;
b. Advokad.”
Selain itu, perbuatan jaksa Farizal juga melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf
b Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-014/A/JA/11/2012
tentang Kode Perilaku Jaksa, dimana seorang jaksa tidak boleh menerima
hadiah/keuntungan dalam bentuk apapun dari pihak yang berwenang maupun
pihak yang tidak berwenang. Perbuatan Farizal sendiri bertentangan dengan
makna timbangan yang terdapat di dalam lambang Kejaksaan. Seorang jaksa
seharusnya memandang sama semua terdakwa, baik itu pejabat ataupun orang
biasa sekalipun karena semua orang memiliki kedudukan yang sama dimata
hukum.
Jaksa Farizal juga dianggap tidak mengamalkan Tri Karma Adhyaksa.
Perbuatannya jelas-jelas bertentangan dengan satya. Artinya, dalam menjalankan
tugasnya jaksa Farizal tidak berpegang teguh kepada keadilan serta kebenaran,
sehingga dirinya mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dapat membuat ia gagal
dalam menjalankan tugas. Dengan kata lain jaksa Farizal telah melanggar semua
kewajiban jaksa yang terdapat pada Pasal 3 huruf a dan b, Pasal 4, dan Pasal 5
huruf a dan e. Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik
profesi jaksa, yaitu:

a. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani,


bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya;
b. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif
dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil;
c. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan;
17

d. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri,
berkata dan bertingkah laku;

e. Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi


atau golongan.

Jaksa Farizal telah terbukti melakukan tindak penyuapan dan dapat


dikenai sanksi administratif berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor Per-014/A/JA/11/2012 Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan:
“Tindakan administratif terdiri dari:
a. pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama (1) satu tahun; dan/atau
b. pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 2 (dua) tahun.”

Sanksi administratif yang tepat untuk dijatuhkan kepada jaksa Farizal adalah
pembebasan dari tugas-tugas jaksa, paling singkat 3 bulan dan paling lama 1
tahun. Jika setelah dikenai sanksi administratif, jaksa melakukan suatu
pelanggaran kode etik yang sama, maka berdasarkan Pasal 27 ayat (2) yang pada
intinya mengatakan, bahwa apabila seorang jaksa yang telah terbukti melakukan
suatu pelanggaran kode etik kemudian melakukan pelanggaran kode etik yang
sama, maka dapat dijatuhi sanksi administratif yang lebih berat.
18

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pengaturan mengenai kode etik profesi jaksa di Indonesia diatur dalam


Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-
014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Selain itu kode etik
profesi jaksa juga sering dikenal dengan nama Tri Krama Adhyaksa,
yang meliputi tiga krama, yaitu Satya, Adhy, dan Wicaksana. Satya,
mengandung arti setia terhadap profesinya dengan berprilaku yang baik
dan jujur. Adhy, mengandung arti kesempurnaan dalam bertugas yang
berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, keluarga dan sesama manusia. Wicaksana, mengandung arti
bahwa seorang jaksa harus selalu bijaksana dalam menjalankan
profesinya. Selain itu dalam menjalankan segala tugas dan
wewenangnya jaksa juga berpedoman kepada Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
2. Contoh kasus pelanggaran terhadap kode etik profesi jaksa di Indonesia
dapat ditemukan dalam kasus jaksa Farizal. Jaksa Farizal merupakan
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. KPK
menahan Jaksa Farizal setelah diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan
tindak pidana korupsi pengurusan perkara Direktur Utama CV Semesta
Berjaya, Xaveriandy Sutanto atas kasus dugaan impor gula ilegal dan
tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton. Jaksa Farizal
terbukti menerima suap sebesar 440 juta rupiah. Selain itu pelanggaran
etik lainnya yang dilakukan oleh jaksa Farizal antara lain, tidak pernah
menghadiri sidang, tidak informatif kepada sesama anggota tim jaksa
penuntut umum dalam kasus tersebut, juga membantu terdakwa dalam
19

menyusun eksepsi, dan tidak mencermati berkas perkara di tingkat


penyidikan untuk dilimpahkan ke persidangan.

B. Saran

1. Selalu dilakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-


undangan yang digunakan sebagai acuan dalam menjalankan segala
tugas, fungsi, dan wewenang kejaksaan agar dapat menyesuaikan dengan
kondisi dan zaman yang lebih maju agar terciptanya kepastian hukum.
2. Harus ditetapkan sanksi administratif yang lebih tegas terkait
pelanggaran berat yang dilakukan oleh jaksa yang melanggar agar tidak
menimbulkan keraguan dan hilangnya rasa kepercayaan dari masyarakat
terhadap aparat penegak hukum.
20

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yesmil dan Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009.

Faruqi, Andri El. “Jaksa Penerima Sogokan Rp 440 Juta Divonis 5 Tahun
Penjara.” https://nasional.tempo.co/amp/872664/jaksa-penerima-sogokan-rp-
440-juta-divonis-5-tahun-penjara. Diakses 15 Desember 2019.

Indonesia. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-


014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa

Isnanto, Rizal. Buku Ajar Etika. Semarang: Fakultas Teknik Universitas


Diponegoro, 2009.

Kejaksaan Republik Indonesia. “Tentang Kejaksaan.”


https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3. Diakses 14
Desember 2019.

Kemala, Ambaranie Nadia. “Indikasi Pelanggaran Etik Jaksa Farizal, Absen


Sidang Hingga Terima Uang dari Pengusaha.”
https://nasional.kompas.com/read/2016/09/22/07372381/indikasi.pelanggaran
.etik.jaksa.farizal.absen.sidang.hingga.terima.uang.dari.pengusaha?page=all.
Diakses 15 Desember 2019.

Marwiyah, Siti. Penegakan Kode Etik Profesi di Era Malapraktik Profesi Hukum.
Madura: UTM Press, 2015.

Nuh, Muhammad. Etika Profesi Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Prakoso, Abintoro. Etika Profesi Hukum Telaah Historis, Filosofis, dan Teoritis
Kode Etik Notaris, Advokat, Polisi, Jaksa dan Hakim. Surabaya: LaksBang
Justitia, 2015.

Prapanca, Wisnu Gita. “Penegakan Hukum Terhadap Jaksa yang Melakukan


Tindak Pidana Narkotika.” Logika: Journal of Multidisciplinary Studies Vol.
01 No. 01 (Juni 2019).

Pratama, Sandy Indra. “KPK Tahan Jaksa Farizal Tersangka Suap Perkara Gula.”
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt57e8fd1b15b30/kpk-tahan-jaksa-
farizal-tersangka-suap-perkara-gula/. Diakses 15 Desember 2019.
21

Suciawati, Adis. Sanksi Hukum Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik Profesi
Hakim. Skripsi pada Program Sarjana Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. Jakarta: 2019.

Sumaryono, E. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: Anggota IKAPI, 1995.

Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 1991.

Tedjosaputro, Liliana. Etika Profesi dan Profesi Hukum. Semarang: Aneka Ilmu,
2003.

Widodo, Wahyu. Pengawasan Terhadap Jaksa dalam Pelaksanaan Sistem


Peradilan Pidana. Skripsi pada Program Sarjana Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta: 2018.

Anda mungkin juga menyukai