PENDAHULUAN
1
Abintoro Prakoso, Etika Profesi Hukum Telaah Historis, Filosofis, dan Teoritis Kode Etik
Notaris, Advokat, Polisi, Jaksa dan Hakim (Surabaya: LaksBang Justitia, 2015), hlm. 115.
1
2
pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan
dalam semua pihak yang berada dalam ruang lingkup tersebut.2
Adapun dengan terciptanya kode etik sebagai sarana kontrol sosial maka
memunculkan adanya kode etik profesi. Kode etik profesi ini digunakan sebagai
pencegahan ataupun pengawasan terhadap terjadinya campur tangan yang
dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui beberapa agen atau
pelaksananya. Jadi digunakan sebagai salah satu alat untuk mencegah dari adanya
campur tangan pihak-pihak yang tidak terlibat di dalam anggota profesi tersebut
dan juga bertujuan untuk terciptanya keselarasan untuk semua anggota yang
berada dalam profesi itu sendiri. Jadi, dapat dikatakn bahwa etika profesi adalah
etika yang di normakan dan dipakai suatu kelompok profesi tertentu yang menjadi
nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi oleh kelompok profesi tersebut.3
Salah satu profesi hukum yang ada ialah Jaksa. Secara yuridis Kejaksaan RI
lahir sejak pasca kemerdekaan yang diputuskan dalam rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Kejaksaan RI terus
mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai
dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. 4 Kejaksaan sebagai
lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya secara merdeka dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam negara hukum berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 serta diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU
Kejaksaan).
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan menyatakan bahwa,
2
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Yogyakarta: Anggota IKAPI, 1995), hlm. 35.
3
Adis Suciawati, Sanksi Hukum Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik Profesi Hakim,
Skripsi pada Program Sarjana Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, (Jakarta:
UIN, 2019), hlm. 1.
4
Kejaksaan Republik Indonesia, “Tentang Kejaksaan,” https://www.kejaksaan.go.id/profil-
_kejaksaan.php?id=3, diakses 14 Desember 2019.
3
Barat), Parlin Purba (Kejati Bengkulu) dan yang terakhir Rudi Indra Prasetya
(Kajari Pamekasan).6
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas maka penulis
tertarik untuk menganalisis mengenai kode etik profesi jaksa dan contoh kasus
pelanggaran dari kode etik jaksa tersebut. Adapun judul dari makalah ini adalah
“ANALISIS PELANGGARAN KODE ETIK JAKSA DALAM KASUS
PENYUAPAN JAKSA FARIZAL”.
B. Identifikasi Masalah
6
Wahyu Widodo, Pengawasan Terhadap Jaksa dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan
Pidana, Skripsi pada Program Sarjana Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, (Surakarta:
UMS, 2018), hlm. 4.
5
BAB II
7
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), hlm. 271.
8
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 120.
6
d. Ada izin khusus menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu
berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yaitu nilai-nilai kemanusiaan
berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, dan sebagainya untuk
menjalankan suatu profesi harus ada izin khusus;
e. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Kode etik berasal dari dau kata, kode dan etik. Kode yaitu tanda-tanda
atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati
untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan
atau suatu kesepakatan suatu organisasi, kode juga dapat berarti kumpulan
peraturan yang sistematis.9 Sedangkan etik atau etika atau ethcis dalam bahasa
Inggris, yang mengandung banyak pengertian. Dari segi etimologi, istilah etika
berasal dari kata Latin “ethicus” dan dalam bahasa Yunani diebut “ethos” yang
dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atas kecenderungan hati
seseorang untuk berbuat kebaikan.
Etika menyangkut kelakuan, yang mengikuti norma-norma yang baik.
pengertian ini menempatkan etika sebagai perangkat norma dalam kehidupan
manusia yang tidak berbeda dengan norma-norma kesusilaan. 10 Dengan demikian
etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial
(profesi) itu sendiri. Peranan etika dalam ruang lingkup profesi terdiri atas nilai-
nilai etika itu sendiri, etika tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang
paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa.
Kode etik profesi adalah tatanan moral yang dibuat sendiri oleh
kelompok profesi tertentu khusus bagi anggotanya. Tatanan tersebut mengikat
secara internal anggotanya. Di dalamnya ada larangan-larangan moral profesi.
Pelanggaran atasnya, akan dikenakan sanksi organisasi profesi tersebut setelah
melalui persidangan yang diadakan khusus untuk itu. Kode etik itu ditujukan
sebagai acuan kontrol moral atau semacam pengawas perilaku yang sanksinya
9
Rizal Isnanto, Buku Ajar Etika (Semarang: Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 2009),
hlm. 13.
10
Siti Marwiyah, Penegakan Kode Etik Profesi di Era Malapraktik Profesi Hukum (Madura:
UTM Press, 2015), hlm. 8.
7
a. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang
prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik
profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukuan;
b. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas
profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat
memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat
memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan
pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial);
c. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi
tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat
dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan
yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di alin instansi atau
perusahaan.
dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka diperlukan adanya kode etik
profesi jaksa. Kode etik profesi jaksa diatur dalam Peraturan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
Kode etik profesi jaksa juga sering dikenal dengan nama Tri Krama Adhyaksa.
Tri Krama Adhyaksa adalah landasan jiwa dari setiap warga Adhyaksa
dalam meraih cita-cita luhurnya, terpatri dalam trapsila yang disebut Tri Krama
Adhyaksa yang meliputi tiga krama, yaitu Satya, Adhy, dan Wicaksana. 13 Adapun
pengertiannya yaitu:
13
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
hlm. 104.
9
14
Pasal 1 angka 3 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-
014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
15
Ibid., Pasal 3
16
Ibid., Pasal 4
10
d. Larangan
1) Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:18
17
Ibid., Pasal 5
11
e. Sanksi
1) Jaksa wajib menghormati dan mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
2) Setiap pimpinan unit kerja wajib berupaya untuk memastikan agar Jaksa di
dalam lingkungannya mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
3) Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran dijatuhkan tindakan
administratif.
18
Ibid., Pasal 7
12
19
Ibid., Pasal 13.
20
Ibid., Pasal 14.
13
Hal lain yang diakui oleh Farizal yaitu penerimaan sejumlah uang dari
Suanto. Sejak di tingkat penyidikan hingga persidangan, Sutanto hanya
menjadi tahanan kota oleh Kejaksaan Tinggi Sumbar. Ia tidak diamankan di
balik jeruji besi oleh kepolisian di Padang. Rum mengatakan, kewenangan
penetapan seseorang bisa menjadi tahanan kota oleh Kejati Sumbar.
menahan Xaveriandy Sutanto. Selain itu, ia juga tidak melakukan tugas dan
kewajibannya sebagai jaksa dengan semestinya dimana ia Farizal, tidak pernah
sekalipun mengikuti sidang perkara di mana Sutanto menjadi terdakwa, padahal ia
merupakan ketua jaksa penuntut umum dalam kasus terkait distribusi gula ilegal
yang diimpor tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) itu.
Farizal juga disebut tidak informatif kepada sesama anggota tim jaksa
penuntut umum dalam kasus itu, sehingga mereka berjalan tanpa koordinasi
dengan Farizal. Selain itu, Farizal juga membantu Sutanto dalam menyusun
eksepsi atas surat dakwaan agar mendapatkan hukuman yang ringan. Perbuatan
tersebut dianggap melampaui kewenangannya sebagai jaksa penuntut umum
karena semestinya yang menyusun eksepsi adalah terdakwa bersama penasihat
hukum. Perbuatan tersebut dinilai telah melanggar tugasnya sebagaimana telah
diatur dalam:
a. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, yang berbunyi,
“Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan
Republik Indonesia, serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
melaksanakan peraturan perundang- undangan yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia.
bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum,
kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan
wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh- sungguh, saksama,
obyektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-bedakan
jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan
melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung
jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Esa, masyarakat, bangsa, dan
negara.
bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak
mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap
teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan
undang-undang kepada saya.
bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa
pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada
siapa pun juga.
16
bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas
ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapa pun juga suatu janji atau pemberian.”
d. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri,
berkata dan bertingkah laku;
Sanksi administratif yang tepat untuk dijatuhkan kepada jaksa Farizal adalah
pembebasan dari tugas-tugas jaksa, paling singkat 3 bulan dan paling lama 1
tahun. Jika setelah dikenai sanksi administratif, jaksa melakukan suatu
pelanggaran kode etik yang sama, maka berdasarkan Pasal 27 ayat (2) yang pada
intinya mengatakan, bahwa apabila seorang jaksa yang telah terbukti melakukan
suatu pelanggaran kode etik kemudian melakukan pelanggaran kode etik yang
sama, maka dapat dijatuhi sanksi administratif yang lebih berat.
18
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009.
Faruqi, Andri El. “Jaksa Penerima Sogokan Rp 440 Juta Divonis 5 Tahun
Penjara.” https://nasional.tempo.co/amp/872664/jaksa-penerima-sogokan-rp-
440-juta-divonis-5-tahun-penjara. Diakses 15 Desember 2019.
Marwiyah, Siti. Penegakan Kode Etik Profesi di Era Malapraktik Profesi Hukum.
Madura: UTM Press, 2015.
Prakoso, Abintoro. Etika Profesi Hukum Telaah Historis, Filosofis, dan Teoritis
Kode Etik Notaris, Advokat, Polisi, Jaksa dan Hakim. Surabaya: LaksBang
Justitia, 2015.
Pratama, Sandy Indra. “KPK Tahan Jaksa Farizal Tersangka Suap Perkara Gula.”
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt57e8fd1b15b30/kpk-tahan-jaksa-
farizal-tersangka-suap-perkara-gula/. Diakses 15 Desember 2019.
21
Suciawati, Adis. Sanksi Hukum Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik Profesi
Hakim. Skripsi pada Program Sarjana Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. Jakarta: 2019.
Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 1991.
Tedjosaputro, Liliana. Etika Profesi dan Profesi Hukum. Semarang: Aneka Ilmu,
2003.