Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS PROBLEM ETIS DALAM RANAH PROFESI SEBAGAI

ADVOKAT DENGAN PERSPEKTIF ALIRAN ETIKA UTILITARIAN

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas Tahun Ajaran


2019/2020

Disusun Oleh : Rini Irania

NPM / Kelas : 161000062

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945

menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara

hukum. Prinsip negara hukum menuntut adanya jaminan

kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before

the law). Oleh karena itu, Undang-undang Dasar juga menentukan

bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip tersebut dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat

sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab

merupakan hal yang penting disamping lembaga peradilan dan

instansi penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim.

Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang

tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium

nobile, jabatan yang mulia. Penamaan itu terjadi adalah karena

aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa, klien) yang dijalankannya untuk

mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan.

karena itu, tidak mengherankan kalau hampir di setiap bahasa di dunia kata (istilah)

itu dikenal.

Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat

harus diikuti oleh adanya tanggung jawab dari masing-masing

advokat dan organisasi profesi yang menaunginya. Sebagaimana


yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No. 18 Tahun 2003

tentang Advokat, bahwa organisasi advokat wajib menyusun kode

etik advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi

advokat sebagai profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile),

sehingga setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik

tersebut.

Dalam pembukaannya, Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan

bahwa kode etik tersebut sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan

profesi advokat, yang menjamin dan melindungi namun juga

membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan

bertanggun jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien,

pengadilan, negara, atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya

sendiri. Dan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode

etik tersebut, maka organisasi advokat membentuk suatu dewan

kehormatan yang juga berwenang untuk memeriksa dan mengadili

perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh advokat.

Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan kita, pertama ditemukan dalam
ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu merupakan
padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk
menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Lebih jauh
lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin “advocare, advocator”. Oleh

Aliran etika Utilitarian adalah suatu teori dari segi etika normative yang menyatakan bahwa
suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya
didefinisikan sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan srta
menghindari keburukan dan mendapatkan kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah identic
dengan kesenangan dan keburukan itu diidentik dengan penderitaan sebagai adil dan tidak
adil, susila dan asusuila, baik dan jahat.1

Konsep keadilan Utilitarianisme menjadikan keadilan sebagai titik tengah dimana penjatuhan
putusan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana harus adil dan setimpal. Konsep keadilan
utilitarianisme merupakan konsep keadilan dimana pihak-pihak harus merasa adil karena
tercipta keadilan tanpa adanya ketidak seimbangan di dalam proses persidangan.

Teori Utilitarianisme adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat tersebut harus
menyangkut bukan saja satu atau dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dalam perumusan terkenal berkenan dengan pemikiran utilitarianisme ntuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number.

Dalam penerapan etika dalam penegakkan hokum akan menjadikan aparatur penegak hokum
mempunyai orientasi bagaimana mereka menjalankan tugas, wewenangnya dan
kewajibannya tersebut. Dengan perkataan lain, disini etika dapat membantu aparatur penegak
hokum dalam mencari orientasi. Dengan tujuan agar penegak hokum tidak berjalan dengan
cara ikut-ikutan saja terhadap berbagai pihak yang bagaimana penegakan hokum harus
berjalan, melainkan agar aparatur penegak hokum harus bersikap dan membantu aparatur
penegak hokum lebih mampu untuk mempertanggung jawabkan tugas, wewenang dan
kewajiban sebagai aparatur penegak hokum.2

B. Rumusan Masalah
1. Korelasi antara Profesi Jaksa dengan Etika Utilitarian
2. Moralitas dan Hukum
3. Pokok ajaran etika Utilitarian
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Korelasi antara Profesi Jaksa dengan Etika Utilitarian
2. Mengetahui moralitas dan Hukum
3. Mengetahui Etika ajaran utilitarian.

1
H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral, dan keadilan, sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cet.1 (Jakarta :kencana,
2012), hal.58

2
Franz Magnis-Suseno, Op. Cit, hal.14.
D. Tinjauan Pustaka
1. Achamd Ali, Menguak Tabir Hukum (Ghalia Indonesia 2008)
2. Lorens Bagus, kamus filsafat, (Jakarta P.T Gramedia Pustaka, 2000), hal.217.
3. Darji Darmodiharjo, Op.Cit.149
4. Dasar-dasar pengertian moral, Bab. 1. Hal.1
5. Tim Mulgan, understanding utilitarianism,(Acumen : Stocksfield,2007). 10
6. Ibn Miskawih, Penerjemah : Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Cet.
Ke- Wicaksana, Semarang, 1986. Hlm.10

BAB II

A. Moralitas dan Hukum

Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Nilai
dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan
harus diaplikasikan dalam perbuatan. Moralitas diidentikan dengan perbuatan baik dan
perbuatan buruk(etika) yang mana cara mengukurannya adalah melalui nilai- nilai yang
terkandung dalam perbuatan tersebut. 
Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani
manusia. pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri
sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. kedua, menarik perhatian pada
permaslahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi
penarik perhatian manusia kepada gejala “Pembiasaan emosional”
Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian
dan pengaturan. Pentingnya system hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-
kepentingan yang telah dilindungi agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan karena
belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat kepentingan-
kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah
dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah system hukum.

K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan


moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan
daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun
hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga
sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi
yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan
akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral
yang melebihi para individu dan masyarakat. Setiap orang pasti akan selalu berusaha agar
segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan baik sehingga dapat mencapai
kesejahteraan dalam hidupnya. Kebutuhan hidup manusia selain ada kesamaan juga terdapat
banyak perbedaan bahkan bertentangan antara satu dengan yang lain. Agar dalam usaha atau
perjuangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak terjadi tabrakan antara yang satu
dengan yang lain dalam masyarakat, maka diperlukan adanya suatu aturan, norma atau kaidah
yang harus dipatuhi oleh segenap warga masyarakat. Pengetian dari norma itu sendiri adalah
ketentuan yang berisi perintah-perintah atau larangan-larangan yang harus dipatuhi warga
masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai. 
Norma merupakan suatu aturan-aturan yang berisi perintah, larangan, dan sanksi-sanksi
bagi yang melanggarnya. Pada dasarnya norma merupakan nilai, tetapi disertai dengan sanksi
yang tegas terhadap pelanggarnya. Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi
yang dimaksudkan untuk mendorong bahkan menekan perorangan, kelompok, atau
masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.
Secara umum kita dapat membedakan norma menjadi dua norma yaitu: norma khusus
dan norma umum.
1. Norma Khusus adalah aturan yang berlaku dalam kegiatan atau kehidupan khusus,
misalnya aturan olahraga, aturan pendidikan, atau aturan sekolah dan sebagainya.
2. Norma Umum adalah norma yang bersifat umum atau universal.
Didalam kehidupan masyarakat terdapat norma-norma (aturan-aturan) yang mengatur
perilaku anggota masyarakat, yaitu sebagai berikut.
3.  Norma Agama
Norma agama bersumber dari ajaran agama. Nilai-nilai yang bersumber dari ajaran gama
bersifal absolut karena berasal dari Tuhan. Agama adalah suatu keyakinan yang
kebenarannya bersifat mutlak, tidak tergantung pada cara berfikir dan cara merasa
manusia. Ajaran agama berisi perintah, larangan dan kebolehan yang disampaikan kepada
umat manusia melalui Malaikat dan Rasul-Nya. Sanksi dari norma agama berupa siksa di
akhirat kelak. Contoh dari moral agama adalah beribadah, dilarang berbohong, harus
berbakti pada orang tua, dan lain-lain.
4. Norma Kesusilaan
Adalah aturan hidup yang bersumber dari suara hati manusia tentang mana perbuatan yang
baik dan mana perbuatan tidak baik. Norma kesusilaan mendorong manusia untuk
memiliki akhlak mulia, dan sebaliknya bagi manusia yang melanggar norma kesusilaan
dapat menyeret manusia melakukan perbuatan yang nista. Sanksi terhadap norma
kesusilaan berupa rasa penyesalan diri. Contohnya adalah berlaku jujur, berbuat baik
terhadap sesama, dan lain-lain.

B. Etika, Etiket, Moral, Agama dan Hukum

Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
Ethos dan Ethikos. Ethos yang berate sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa.
Sedangkan Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.

Etika sering disebut juga dengan sebutan moral (atau moralitas). Namun, msekipun sama-
sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan
pengertian. Etika berfungsi sebagai teori tentnang perbuatan baik dan buruk. Dalam
filsafat terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.

Etiket adalah sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang dan menjadi kebaisaan dalam
sebuah masyarajat, baik berwujud kata-katamaupun suatu bentuk perbuatan nyata.
Contoh etiket adalah makan tanpa sendok, etiket makan tanpa sendok hanya berlakupada
kalangan borjuis saja, sementara dalam agama Islam tindakan ini merupakan sunnah.

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa latin, bentuk jamaknya
mmores, yang artinya adalah tata-cara atau adat istiadat. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau asusila.kata
moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa
Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara

berfikir.9

Secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah ilahi (yang
dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada
manusia); upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus (secara pribadi dan bersama)
yang ditujukan kepada ilahi. Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap
pernyataan Tuhan Allah. Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal Tuhan
Allah, maka Ia menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan
menyembah-Nya.

Hukum kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiaaan,
dimana suatu Negara atau masyarakat tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau
sebagai subjeknya. Hokum ada (baik dibuat ataupunlahir dari masyarakat) pada dasar nya
hokum bertujuan untuk mencapai kepastian hokum, yaitu untuk mengayomi masyarakat
secara adil dan damai sehingga mendtangkan kebahagiaan bagi masyarakat.

C. Moralitas Dalam Baik dan Buruk

Dalam agama terdapat aturan-aturan tentang bagaimana menjalani hidup di dunia ini baik
hubungannya dengan sesama manusia, manusia dan lingkungannya dan manusia dengan
Tuhannya. Namun, pada era sekarang ini banyak orang yang belum mengetahui
bagaimana pengertian agama yang sebenarnya.

Secara etimologis, dalam bahasa sansekerta, kata agama berasal dari kata gam yang berarti
pergi. Kemudian, dalam bahasa Indonesia diberi awalan dan akhiran “a” sehingga menjadi
kata agama yang berarti jalan. Denman demikian, kata agama berarti sebuah jalan untuk
mencapai kebahagiaan.

Istilah lain tentang agama adalah religi atau religion atau religio. Kata religi berasal dari
bahasa latinya itu religare atau religere yang mempunyai arti terikat dan hati-hati. Terikat
disini maksudnya bahwa orang yang ber-religi atau ber-religare adalah orang yang selalu
merasa dirinya terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Sedangkan hati-hati mempunyai
maksud bahwa orang yang ber-religere adalah orang yang selalu berhati-hati terhadap
sesuatu hal yang dianggap suci, contoh : masjid adalah tempat suci umat Islam.
Sementara itu moral merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan. Moral berasal dari
kata Mores yang artinya adat atau cara hidup. Secara umum, moralitas merupakan sifat
moral dari suatu perbuatan, atau pandangan baik buruk nya kita tentang suatu perbuatan.

Menurut Sonny Keraf, moral menjadi tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk
menentukan baik buruknya tindakan manusia sebagai orang dengan jabatan tertentu atau
profesi tertentu. Sehingga seseorang dapat memiliki moral bersifat baik, ataupun moral
yang bersifat buruk.

Ketika berbicara tentang moral maka tidak akan bisa lepas dari agama, karena di dalam
agama terkandung nilai-nilai moral. Keith A. Robert mengatakan bahwa pada umumnya
individu penganut agama memandang agama sangat erat hubungannya dengan ajaran
moralitas sehari-hari. Moralitas dalam agama juga dipandang sebagai sesuatu yang luhur,
tatanan dalam kehidupan sosial yang dijadikan pedoman. Bisa dibilang, agama melahirkan
moral. Sehingga seseorang yang beragama dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik
semestinya juga memiliki moral yang baik. Berikut ini adalah salah satu contoh kasus
moralitas dalam komisis kejaksaan.

D. Sejarah Aliran Etika Yang Dipilih


Utilitariansime merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah
yang berguna, berfaedah, menguntungkan sebanyak mungkin orang, utilitarianisme,
sebaagi teori dikemukakan oleh David Hume (1711-1776) dan disurumuskan secara
definitive oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan Jhon Stuart Mill (1806-1873). 3Bentham
berpendapat bahwa ada suatu prinsip moral yang utama, yakni „prinsip utilitas‟. Prinsip
utlitias dapat diartikan sebagai property disetiap objek yang dapat menghasilkan
keuntungan, kemanfaatan, kenikmatan, kebahagiaan atau yang mencegah
terjadinyakerusakan, kesakitanm, kejahatan atau ketidak bahagiaan.

Secara garis besar, system etika yang berlaku di dunia terbagi menjadi 2 (dua) kelompok

besar yaiutu system teologis (terarah pada tujuan) atau al-„amal bi „itibar natajih.4

3
Muslim Nurdin, et.al, Moral Islam dan Kognisi Islam, Cet. Ke -1, cv. Alabeta, Bandung,

1993, hlm.205

4
Ahmad Amin, kitab al-akhlaq.21
Baik tidaknya perbuatan diukur dengan berdasarkan konsekuensinya. Karena itu, system-
sistem ini disebut juga sistemkonsekuensialitis. System ini berorientasi pada tujuan
perbuatan. Salah satu aliran etika yang yang termasuk ke dalam system ini adalah
utilitarianisme. Dalam utilitarianisme, tujua pebuatan moral adalah memaksimalkan
kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.5

E. Tokoh dari Sejarah Aliran Etika Yang Dipilih

Pada abad Ke 18, Eropa dan Amerika Menyaksikan suatu gerakan umum yang terarah
pada pengakuan yang lebih besar pada hak-hak asasi manusia dan kesetaraan sosial
(sosial equality), nilai individual, batas kemampuan manusia dan hak dan kebutuhan pada
pendidikan. Selama periode ini yang lebih dikenal Enlightenment, para penguasa dan
cendekiawan memiliki pendirian yang sama bahwa rasio manusia, rasionalitas memegan
gperan kunci bagi masa depan kerangka pengembangan ilmu pengetahuan dan perubahan
sosial (sosial change) periode ini juga disebut “the age of reason”. Salah seorang
penggeraknya adalah ahli hokum dan filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832) dan
Jhon.
Sebagai prinsip pedoman bagi kebijakan publik, Bentham mengambil sebuah pepatah
yang telah dikemukakan sejak awal abad 18 oleh seorang filsuf Skotlandia-Irlandia
bernama Francis Hutcheson. Pepatahnya: "Tindakan yang terbaik adalah yang
memberikan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang". Bentham
mengembangkan pepatah ini menjadi sebuah filsafat moral, yang menyatakan bahwa
benar salahnya suatu tindakan harus dinilai berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang
diakibatkannya.

Konsekunsi yang baik adalah konsekuensi yang memberikan kenikmatan kepada


seseorang. Di lain pihak, konsekuensi yang buruk adalah konsekuensi yang memberikan
penderitaan kepada seseorang. Dengan demikian, dalam situasi apapun pedoman tindakan
yang benar adalah arah memaksimumkan kenikmatan dibandingkan penderitaan. Atau
dengan kata lain, meminimumkan penderitaan dibandingkan kenikmatan.

5
K. Bertens, Etika, Hal.250
Filsafat ini kemudian dikenal sebagai utilitarianisme. Dinamakan demikian karena
menilai setiap tindakan berdasarkan utilitasnya, yakni keberagamannya dalam
membawakan konsekuensi-konsekuensi. Para pendukung filsafat ini menerapakan
prinsip-prinsip tersebut dalam bidang moralitas individu, kebijakan politik, hukum, dan
sosial. Filsafat ini sangat terlihat dalam memengaruhi pemerintahan Inggris. The greatest
good of the greatest number yang artinya, kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar.
Prinsip ini sudah menjadi ungkapan keseharian yang sudah sangat akrab di telinga setiap
orang Inggris.

F. Pokok Ajaran Dari Aliran Etika Yang Dipilih

Beberapa ajaran pokok aliran moral Utilitarianisme yaitu :

1. Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan kebahagiaan


(kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang.

2. Tindakan secara moral dapat dibenerkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan
daripada kejahatan, dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi
kondisi yang sama.

3. Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan
keburukan akibatnya.

4. Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam perkara
etis, kriteria itu harus ditetapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari
putusan- putusan etis.

G. Kritik Pokok Sejarah Aliran Etika Yang Dipilih

Utilitarianisme ini banyak di kritik. Salah satu kritikannya adalah utiliariansime Tindakan
dengan mudah dapat dipakai untuk membenarkan tindakan yang melanggar hokum
dengan alasan bahwa akibatnya membawa keuntungan bagi lebih banyak orang daripada
akibat buruknya. Utilitarianisme peraturan merupakan versi baru dari utiliariansime
tindakan (klasik). Maximnya sendiri berbunyi ,” bertindaklah sedemikian rupa seturut
dengan aturan- aturan yang paling baik dalam masyarakat.” Versi baru ini menilai suatu
tindakan individu itu baik atau salah menurut ketentuan apakah bias diterima atau tidak
oleh aturan –aturan yang lebih baik (menghasilkan kesejahteraan yang lebih besar dari
pada kerugoannya) dalam maysarakat. Oleh karena, tindakan individu tidak lagi
ditimbang secara prinsip utilis tetapi aturanlah yang ditimbangkan dengan prinsip utilis.6

BAB III

ANALISIS

Menurut Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang Advokat yang

dimaksud Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,

baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan syarat-syarat yang telah

diatur dalam Pasal 3 UU Advokat.

Secara normatif, Undang-undang Advokat juga menegaskan bahwa

peran advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan

penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun, meskipun sama-sama sebagai

penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Dalam

konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan

legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Penegak hukum yang terdiri dari hakim, jaksa, dan polisi

memiliki kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Dalam hal ini hakim sebagai penegak hukum

yang menjalankan kekuasaan yudikatif mewakili kepentingan negara dan jaksa serta polisi

6
Alexander Ivan, Jurnal Utilis, kegunaan, utilitarianisme Tindakan, Utiliarianisme Peraturan, Ham
yang menjalankan kekuasaan eksekutif mewakili kepentingan pemerintah. Bagaimana

dengan Advokat?

Advokat dalam hal ini tidak termasuk dalam lingkup ketiga kekuasaan tersebut

(eksekutif, legislative, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran

dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak

terpengaruh oleh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili kepentingan

klien dan membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya

berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik

ditentukan adanya ketentuan advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut

keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan

dan menjanjikan kemenangan kepada klien.

Profesi Advokat yang bebas mempunyai arti bahwa dalam menjalankan profesinya

membela masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum tidak

mendapatkan tekanan darimana pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan

dilindungi oleh UU yaitu UU no.18 tahun 2003 tentang Advokat agar jelas status dan

kedudukannya dalam masyarakat, sehingga bisa berfungsi secara maksimal.

Peran Advokat tersebut tidak akan pernah lepas dari masalah penegakan hukum di

Indonesia. Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat,

tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan. Dalam masyarakat sederhana, pola

penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula.

Namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi

dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu

kompleks dan sangat birokratis. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin

kompleks dan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya yang
memegang peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang

menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola

operasionalisasi proses penegakan hukum.

Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang mempunyai daya laku

lebih kuat dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai produk

kekuasaan ternyata tidak sesuai dengan hukum yang nyata hidup dalam

masyarakat. Berdasar fenomena tersebut, maka peran advokat dalam

menegakkan hukum akan berwujud, yaitu:

1. Mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap kasus atau perkara.
2. Mendorong penerapan hukum tidak bertentangan dengan tuntutan kesusilaan, ketertiban
umum dan rasa keadilan individual dan sosial.
3. Mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara, bukan
sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam menerapkan hukum.
Karena itu salah satu asas penting dalam pembelaan, apabila berkeyakinan seorang klien
bersalah, maka advokat sebagai penegak hukum akan menyodorkan asas “clemency” atau
sekedar memohon keadilan.
Selain peran diatas, Advokat juga memiliki peran dalam pengawasan penegakan hukum,

penjaga kekuasaan kehakiman dan sebagai pekerja sosial. peran tersebut akan di jabarkan

sebagai berikut:

1. Peran Advokat sebagai pengawas penegakan hukum

Fungsi pengawasan penegakan hukum terutama dijalankan oleh perhimpunan advokat.


Pengawasan ini mencakup dua hal yaitu:

Internal, secara internal peran himpunan advokat harus dapat menjadi sarana efektif
mengawasi tingkah laku advokat dalam profesi penegakan hukum atau penerapan hukum.
Harus ada cara- cara yang efektif untuk mengendalikan advokat yang tidak mengindahkan
etika profesi dan aturan-aturan untuk menjalankan tugas advokat secara baik dan benar.
Eksternal, secara eksternal baik himpunan advokat maupun advokat secara individual harus
menjadi pengawas agar peradilan dapat berjalan secara benar dan tepat. Bukan justru
sebaliknya, advokat menjadi bagian dari upaya menghalangi suatu proses peradilan.

2. Peran Advokat sebagai penjaga Kekuasaan Kehakiman

Perlindungan atau jaminan kehakiman yang merdeka tidak boleh hanya


diartikan sebagai bebas dari pengaruh atau tekanan dari kekuasaan
Negara atau pemerintahan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka harus
juga diartikan sebagai lepas dari pengaruh atau tekanan publik, baik yang
terorganisasi dalam infra struktur maupun yang insidental. Tekanan itu
dapat dalam bentuk melancarkan tekanan nyata, membentuk pendapat
umum yang tidak benar, ancaman dan pengrusakan prasarana dan
sarana peradilan. Tekanan tersebut dapat pula bersifat individual dalam
bentuk menyuap penegak hukum agar berpihak. Advokat sebagai
penegak hukum, terutama yang terlibat dalam penyelenggaraan
kehakiman semestinya ikut menjaga agar kekuasaan kehakiman yang
merdeka dapat berjalan sebagaimana mestinya.

3. Peran Advokat sebagai pekerja sosial

Pekerja sosial dalam hal ini adalah pekerja sosial di bidang hukum.

Sebagaimana diketahui, betapa banyak rakyat yang menghadapi

persoalan hukum, tetapi tidak berdaya. Mereka bukan saja tidak berdaya

secara ekonomis tetapi mungkin juga tidak berdaya menghadapi

kekuasaan. Berdasar hal tersebut, maka persoalan- persoalan hukum

yang yang dihadapi rakyat kecil dan lemah yang memerlukan bantuan,

termasuk dari para advokat. UU Advokat pasal 21 dalam hal ini

memaparkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara

cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Dari Berbagai

peran advokat tersebut memberikan pemahaman bahwa advokat adalah

seorang ahli hukum yang memberikan jasa atau bantuan hukum kepada
kliennya. Bantuan hukum tersebut bisa berupa nasehat hukum,

pembelaan atau mewakili (mendampingi) kliennya dalam beracara dan

menyelesaikan perkara yang diajukan ke pengadilan.

Hak dan Kewajiban Advokat

Hak dan Kewajiban serta larangan Bagi Advokat Telah Diatur dalam

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, sebagai berikut:

Pasal 14
“Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang
pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan”.

Pasal 15
“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada
kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 16
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Pasal 17
“Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi,
data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak
lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk
pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.
Pasal 18

1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang


membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin,
agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan
budaya.
2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela
perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 19

1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau


diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang.
2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien,
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap
penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap
penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

Kewenagan Advokat dari Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan

yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Sedangkan hakim, jaksa, dan

polisi ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini kedudukan,

fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga keseimbangan diantara

kepentingan negara dan masyarakat. Ada dua fungsi Advokat terhadap keadilan yang perlu

mendapat perhatian. Yaitu pertama kepentingan, mewakili klien untuk menegakkan keadilan,

dan peran advokat penting bagi klien yang diwakilinya. Kedua, membantu klien, seseorang

Advokat mempertahankan legitimasi sistem peradilan dan fungsi Advokat. Selain kedua

fungsi Advokat tersebut yang tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana Advokat dapat

memberikan pencerahan di bidang hukum di masyarakat. Pencerahan tersebut bisa dilakukan

dengan cara memberikan penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-

undangan, konsultasi hukum kepada masyarakat baik melalui media cetak, elektronik

maupun secara langsung. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan Advokat sangat

dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum, untuk

menunjang eksistensi Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem

penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat.

Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-

wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan

juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan

profesinya. Dalam praktik seringkali keberadaan Advokat dalam menjalankan profesinya

seringkali dinigasikan (diabaikan) oleh aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan

kedudukan advokat “tidak sejajar” dengan aparat penegak hukum yang lain.
Dari kondisi itu tampak urgensi adanya kewenangan advokat didalam menjalankan

fungsi dan tugasnya dalam sistem penegak hukum. Kewenangan advokat tersebut diberikan

untuk mendukung terlaksananya penegakan hukum secara baik.


BAB IV

KESIMPULAN

Penyelenggaraan pemerintahan negara sebagai suatu proses atas eksistensi sebuah negara
tidak dapat dipisahkan dengan suatu proses penyelenggaraan penegakan hukum.
Penyelenggaraan pemerintahan akan berhasil dengan baik apabila dilaksanakan melalui
proses penegakan hukum yang baik pula.
Penyelenggaraan pemerintahan negara dan penegakan hukum selain diperlukan sistem dan
hukum yang baik mutlak diperlukan penyelenggara negara dan penyelenggara penegak
hukum yang baik yaitu aparatur yang mempunyai landasan profesional dan integritas
kepribadian yang baik.
Agar terlaksananya penyelenggaraan penegakan hukum yang baik, para penegak hukum
perlu meningkatkan profesionalisme, etos kerja dan dedikasi. Para penegak hukum harus
mengikuti doktrin supremacy of moral, artinya dituntut tidak hanya menjadi profesional
dalam bidangnya melainkan juga manusia yang bekerja dengan sepenuh hatinya. Secara
kelembagaan juga diperlukan suatu penerapan etika profesi sehingga satu sama lain dapat
menunjang terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum yang
berkesejahteraan dan berkeadilan.
Penegakan hukum terutama yang terkait dengan pelaksanaan sistem peradilan pidana sering
dijumpai permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan, sehingga dalam rangka
penegakan hukum di bidang peradilan pidana perlu diterapkan secara konsisten suatu sistem
peradilan pidana terpadu dan pelaksanaan koordinasi antar penegak hukum.
Kebaikan pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum, tidak semata-mata dalam
menangani perkara; namun juga diperlukan adanya pengawasan lebih intensif di segala lini
penanganan perkara. Di sini, yang perlu dan paling utama adalah aparat penegak hukum itu
sendiri. Kecakapan, moral baik, mental kuat, serta dedikasi pengabdian penuh rasa tanggung
jawab; inilah yang akan menjamin kesempurnaan dan kebaikan undang-undang.
Teori Utilitarianisme adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat tersebut harus
menyangkut bukan saja satu atau dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dalam perumusan terkenal berkenan dengan pemikiran utilitarianisme ntuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number.
Filsafat hukum memang telah berkembang menjadi suatu grand theory bagi pengembangan
ilmu hukum positif dan teori hukum. Filsafat hukum tidak lagi menjadi dominasi para filsuf
melainkan juga mulai dihasilkan oleh para teoretisi dan praktisi hukum yang berpengaruh.
Oleh karenanya, filsafat hukum juga akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan
pengadilan/ hakim sebagai konsekuensi dari semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap
perubahan nilai-nilai hokum dan keadilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Achamd Ali, Menguak Tabir Hukum (Ghalia Indonesia 2008)


Lorens Bagus, kamus filsafat, (Jakarta P.T Gramedia Pustaka, 2000), hal.217.
Darji Darmodiharjo, Op.Cit.149
Dasar-dasar pengertian moral, Bab. 1. Hal.1
Tim Mulgan, understanding utilitarianism,(Acumen : Stocksfield,2007). 10
Ibn Miskawih, Penerjemah : Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Cet. Ke-
Wicaksana, Semarang, 1986. Hlm.10

Anda mungkin juga menyukai