Kata akad berasal dari bahasa Arab Al-‘aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian dan pemufakatan (al-ittifaq). Secara terminology fiqh, akad
didefinisikan pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek
perikatan.1
Hukum perikatan islam yang dimaksud disini adalah bagian dari hukum islam
bidang muamalah yang mengatur perilaku manusiadidalam menjalankan hubungan
ekonominya. Pengertian hukum perikatan islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir
Azhary, S.H. adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an, As-Sunnah (Al-Hadits), dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi
objek suatu transaksi.4
1
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2010) 50
2
Djuwaini Dimyauddin, Fiqh Muamalah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) 47-48
3
Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung, Pustaka Setia, 2001) 45
4
Dewi Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005) 3
pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, sedang pihak yang
lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.5
Dalam buku lain, kontrak dalam islam disebut akad atau perjanjian. Kamus
al-Mawrid, mernterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak
dan perjanjian. Sementara itu untuk memahami secara detail mengenai perbedaan
antara kontrak dan perikatan, Yusuf Musa menjelaskan bahwa kontrak itu hanya
sebatas pernyataan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan perikatan adalah
pelaksanaan dari pernyataan tersebut sehingga menimbulkan hubungan antara kedua
orang itu, yaitu tuntut dan menuntut.
2. Penjenjangan Norma
5
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001), hlm. 1.
makruh dan mubah, maupun dalam ketentuan-ketentuan hukum wadh’i
yang meliputi sebab, syarat dan halangan.
3. Sumber-sumber Hukum Islam
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijmak
4. Qiyas
5. Maslahat Mursalah
6. Istihsan
7. Istishab
8. Saddudz-dari’ah (Tindakan Preventif)
9. ‘Urf (Adat)
10. Qaul Sahabat Nabi Saw.
11. Hukum Agama Samawi Terdahulu (Sya’ru Man Qablana)
4. Mazhab-mazhab Hukum Islam
1. Mazhab Hanafi
2. Mazhab Maliki
3. Mazhab Syafi’i
4. Mazhab Hanbali
5. Mazhab-mazhab yang Telah Lenyap
C. Konsep dan Sumber Perikatan Hukum Barat
1. Konsep Perikatan
Apabila ada dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk misalya, melakukan
atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak itu mengingatkan
diri kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka
perjanjikan. Dengan kata lain, antara keduanya tercipta suatu ikatan yang timbul dari
tindakan mereka membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
2. Sumber-sumber Perikatan dalam Hukum Barat
Sumber-sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua yaitu (1) perjanjian, dan
(2) undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, “tiap-tiap
perikatan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.”
Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.6
Sumber-sumber yang melahirkan perikatan itu meliputi sebagai berikut:
a. Perjanjian
b. Undang-undang, yang dibedakan menjadi:
1) Undang-undang saja,
2) Undang-undang berkaitan dengan perbuatan orang, yang dibedakan lagi:
a) Perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad)
b) Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)7
Para fukaha apabila berbicara tentang hubungan perutangan antara dua pihak atau
lebih sering menggunakan ungkapan “terisinya dzimmah dengan suatu hak atau suatu
6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: Rajawali Pers,2010)
7
Chairuman Pasaribu & Suharawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004). hlm. 2.
kewajiban”. Dzimmah, secara harifah berarti tanggungan, sedangkan secara terminologis
berarti suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan kewajiban.
Apabila pada seseorang terdapat hak orang lain yang wajib ditunaikannya kepada orang
tersebut, maka dikatakan bahwa dzimmah-nya berisi suatu hak atau suatu kewajiban.
Artinya ada kewajiban baginya baginya yang menjadi hak orang lain dan yang harus
dilaksanakannya untuk orang lain itu. Apabila ia telah melaksanakan kewajibannya yang
menjadi hak orang lain tersebut dikatakan bahwa dzimmah-nya telah kosong atau bebas.
Atas dasar apa yang di kemukakan di atas, maka ungkapan fukaha mengenai
pengertian dzimmah seseorang dengan hak atau kewajiban itu dapat digunakan untuk
mendefinisikan perikatan dalam hukum islam.
E. Macam-macam Perikatan
Apabila dilihat dari segi kaitan dengan objeknya, maka secara garis besar setidaknya ada
empat macam perikatan yaitu :
1. Perikatan Utang (al-iltizam bi ad-Dain)
Dengan perikatan utang dimaksudkan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah
sejumlah uang atau sejumlah benda misal (misli). Kunci untuk memahami konsep
utang dalam hukum islam adalah bahwa utang itu dinysatakan sebagai suatu yang
terletak dalm dzimmah (tanggungan seseorang).
2. Perikatan Benda (al-iltizam bi al-‘Ain)
Dengan perikatan benda dimaksudkan suatu hubungan hukum obyeknya adalah
benda tertentu dipindah-milikkan, baik bendanya sendiri atau manfaatnya, atau untuk
diserahkan atau dititipkan kepada orang lain, seperti menjual tanah tertentu kepada
seseorang, atau menyewakan gedung untuk diambil manfaatnya, atau menyerahkan
atau menitipkan barang tertentu.
3. Perikatan Kerja/Melakukan Sesuatu (aliltizam bi al-‘amal)
Perikatan kerja atau melakukan sesuatu adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak untuk melakukan sesuatu.
4. Perikatan Menjamin (al-iltizam bi at-Tautsiq)
Dengan perikatan menjamin dimaksudkan suatu bentuk perikatan yang objeknya
adalah menanngung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya, pihak ketiga
mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
F. Sumber-sumber perikatan
Dengan meminjam pandangan ahli-ahli hukum barat, ahli-ahli hukum islam modern,
seperti Ahmad Mustafa az-Zarqa’, menyebut sumber-sumber perikatan (masdir al-
iltizam) dalam hukum islam meliputi lima macam, yaitu:
1. Akad (al-‘aqd)
2. Kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah)
3. Perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr)
4. Perbuatan bermanfaat (al-fi’l an-nafi’)
5. Syarak
8
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: Rajawali Pers,2010) 12-65
Daftar Pustaka