Anda di halaman 1dari 9

Perikatan dalam hukum islam

A. Sekilas Tentang Sejarah Akad

Kata akad berasal dari bahasa Arab Al-‘aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian dan pemufakatan (al-ittifaq). Secara terminology fiqh, akad
didefinisikan pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek
perikatan.1

Secara linguistic, akad memiliki makna “ar-rabthu” yang berarti menghubungkan


atau mengkaitkan, mengikat, mengikat antara beberapa ujung sesuatu. Dalam arti yang
2
luas, akad dapat diartikan sebagai ikatan antara beberapa pihak. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qobul. Adapun orang yang mengadakan
akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikatagorikan rukun
sebab keberadaannya sudah pasti.3

B. Pengertian, Penjenjangan Norma, Sumber dan Mazhab Hukum Islam


1. Pengertian

Hukum perikatan islam yang dimaksud disini adalah bagian dari hukum islam
bidang muamalah yang mengatur perilaku manusiadidalam menjalankan hubungan
ekonominya. Pengertian hukum perikatan islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir
Azhary, S.H. adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an, As-Sunnah (Al-Hadits), dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi
objek suatu transaksi.4

Perikatan dalam hubungannya dengan kata-kata dapat didefinisikan bahwa


perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak di mana

1
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2010) 50
2
Djuwaini Dimyauddin, Fiqh Muamalah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) 47-48
3
Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung, Pustaka Setia, 2001) 45
4
Dewi Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005) 3
pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, sedang pihak yang
lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.5

Dalam buku lain, kontrak dalam islam disebut akad atau perjanjian. Kamus
al-Mawrid, mernterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak
dan perjanjian. Sementara itu untuk memahami secara detail mengenai perbedaan
antara kontrak dan perikatan, Yusuf Musa menjelaskan bahwa kontrak itu hanya
sebatas pernyataan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan perikatan adalah
pelaksanaan dari pernyataan tersebut sehingga menimbulkan hubungan antara kedua
orang itu, yaitu tuntut dan menuntut.

2. Penjenjangan Norma

Ahli-ahli hukum islam klasik membuat penjennjangan norma-norma hukum


islam menjadi dua tingkat, yaitu (1) al-ushul (asas-asas umum), dan al-furu’
(peraturan-peraturan hukum konkrit). Al-ushul (asas-asas umum) meliputi kategori
yang luas sehingga mencakup juga norma-norma filosofis dasar yang menjadi tempat
tegaknya kedua norma diatas. Norma-norma hukum islam dapat dijenjangkan
menjadi tiga lapis yaitu :

a. Nilai-nilai dasar atau norma-norma filosofis (al-qiyam al-asasiyyah)


Norma-norma filosofis adalah nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi
ajaran islam termasuk hukumnya seperti kemaslahatan, keadilan,
persamaan, kebebasan, akidah, akhlak, persaudaraan dan seterusnya.
b. Asas-asas umum (al-ushul al-kulliyah)
Asas-asas umum ini ada yang bersifat lepas yang disebut asas-asas hukum
islam (an-nazhariyyah al-fiqhiyyah) seperti asas-asas yang berlaku pada
perjanjian, pidana, siyasah dan seterusnya.
c. Peraturan-peraturan hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah).
Peraturan hukum konkrit adalah konkretisasi dari asas umum dan terwujud
baik dalam ketentuan-ketentuan dari asas umum dan terwujud baik dalam
ketentuan-ketentuan hukum taklifi seperti halal, haram, wajib, sunnat,

5
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001), hlm. 1.
makruh dan mubah, maupun dalam ketentuan-ketentuan hukum wadh’i
yang meliputi sebab, syarat dan halangan.
3. Sumber-sumber Hukum Islam
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijmak
4. Qiyas
5. Maslahat Mursalah
6. Istihsan
7. Istishab
8. Saddudz-dari’ah (Tindakan Preventif)
9. ‘Urf (Adat)
10. Qaul Sahabat Nabi Saw.
11. Hukum Agama Samawi Terdahulu (Sya’ru Man Qablana)
4. Mazhab-mazhab Hukum Islam
1. Mazhab Hanafi
2. Mazhab Maliki
3. Mazhab Syafi’i
4. Mazhab Hanbali
5. Mazhab-mazhab yang Telah Lenyap
C. Konsep dan Sumber Perikatan Hukum Barat
1. Konsep Perikatan
Apabila ada dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk misalya, melakukan
atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak itu mengingatkan
diri kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka
perjanjikan. Dengan kata lain, antara keduanya tercipta suatu ikatan yang timbul dari
tindakan mereka membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
2. Sumber-sumber Perikatan dalam Hukum Barat
Sumber-sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua yaitu (1) perjanjian, dan
(2) undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, “tiap-tiap
perikatan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.”
Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.6
Sumber-sumber yang melahirkan perikatan itu meliputi sebagai berikut:
a. Perjanjian
b. Undang-undang, yang dibedakan menjadi:
1) Undang-undang saja,
2) Undang-undang berkaitan dengan perbuatan orang, yang dibedakan lagi:
a) Perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad)
b) Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)7

Dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata Baru) Belanda dapat


disimpulkan bahwa ada tiga sumber perikatan, yaitu: (1) tindakan-tindakan hukum
(rechtshandelingen), (2) sumber peraturan perundangan (wettelijike bronnen), dan
(3) sumber-sumber yang ditunjukan oleh undang-undang (bronnen waarnaar de wet
verwijst).

D. Istilah dan Konsep Perikatan Dalam Hukum Islam

Dalam hukum islam kontemporer digunakan istilah ‘iltizam” untuk menyebut


perikatan (verbintenis) dan istilah “akad” untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan
bahkan untuk menyebut kontrak (contract). Istilah terakhir, yaitu akad, merupakan istilah
tua yang sudah digunakan sejak zaman klasik sehingga sudah sangat baku. Sedangkan
istilah pertama, yaitu iltizam, merupkan istilah baru untuk menyebut perikatan secara
umum, meskipun istilah itu sendiri juga sudah tua. Semula dalam hukum islam pra
modern, istilah iltizam hanya dipakai untuk menunjukan perikatan yang timbul dari
kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai dalam arti perikatan yang
timbul dari perjanjian. Baru pada zaman modern, istilah iltizam digunakan untuk
menyebut perikatan secara keseluruhan.

Para fukaha apabila berbicara tentang hubungan perutangan antara dua pihak atau
lebih sering menggunakan ungkapan “terisinya dzimmah dengan suatu hak atau suatu

6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: Rajawali Pers,2010)
7
Chairuman Pasaribu & Suharawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004). hlm. 2.
kewajiban”. Dzimmah, secara harifah berarti tanggungan, sedangkan secara terminologis
berarti suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan kewajiban.
Apabila pada seseorang terdapat hak orang lain yang wajib ditunaikannya kepada orang
tersebut, maka dikatakan bahwa dzimmah-nya berisi suatu hak atau suatu kewajiban.
Artinya ada kewajiban baginya baginya yang menjadi hak orang lain dan yang harus
dilaksanakannya untuk orang lain itu. Apabila ia telah melaksanakan kewajibannya yang
menjadi hak orang lain tersebut dikatakan bahwa dzimmah-nya telah kosong atau bebas.

Atas dasar apa yang di kemukakan di atas, maka ungkapan fukaha mengenai
pengertian dzimmah seseorang dengan hak atau kewajiban itu dapat digunakan untuk
mendefinisikan perikatan dalam hukum islam.

E. Macam-macam Perikatan
Apabila dilihat dari segi kaitan dengan objeknya, maka secara garis besar setidaknya ada
empat macam perikatan yaitu :
1. Perikatan Utang (al-iltizam bi ad-Dain)
Dengan perikatan utang dimaksudkan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah
sejumlah uang atau sejumlah benda misal (misli). Kunci untuk memahami konsep
utang dalam hukum islam adalah bahwa utang itu dinysatakan sebagai suatu yang
terletak dalm dzimmah (tanggungan seseorang).
2. Perikatan Benda (al-iltizam bi al-‘Ain)
Dengan perikatan benda dimaksudkan suatu hubungan hukum obyeknya adalah
benda tertentu dipindah-milikkan, baik bendanya sendiri atau manfaatnya, atau untuk
diserahkan atau dititipkan kepada orang lain, seperti menjual tanah tertentu kepada
seseorang, atau menyewakan gedung untuk diambil manfaatnya, atau menyerahkan
atau menitipkan barang tertentu.
3. Perikatan Kerja/Melakukan Sesuatu (aliltizam bi al-‘amal)
Perikatan kerja atau melakukan sesuatu adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak untuk melakukan sesuatu.
4. Perikatan Menjamin (al-iltizam bi at-Tautsiq)
Dengan perikatan menjamin dimaksudkan suatu bentuk perikatan yang objeknya
adalah menanngung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya, pihak ketiga
mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
F. Sumber-sumber perikatan
Dengan meminjam pandangan ahli-ahli hukum barat, ahli-ahli hukum islam modern,
seperti Ahmad Mustafa az-Zarqa’, menyebut sumber-sumber perikatan (masdir al-
iltizam) dalam hukum islam meliputi lima macam, yaitu:
1. Akad (al-‘aqd)
2. Kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah)
3. Perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr)
4. Perbuatan bermanfaat (al-fi’l an-nafi’)
5. Syarak

G. Dzimmah dalam Hukum Perikatan Islam


Dalam hukum islam dikenal pembedaan hak menjadi ‘ain dan dain. Dasar
pembedaan hak menjadi ‘ain dan dain tersebut adalah ada atau tidak adanya keterkaitan
dzimmah seseorang, sehingga dikatakan bahwa dain (utang) adalah suatu yang terletak di
dalam dzimmah dan hak karena itu terkait dengan dzimmah. Sedangkan ‘ain tidak terkait
dengan dzimmah dan hak dalam hubungan ini terkait langsung kepada bendanya.
Para ahli hukum islam menyatakan bahwa dzimmah adalah suatu wadah yang
diandaikan adanya oleh hukum syariah pada orang (person) dan yang menampung hak-
hak serta kewajiban-kewajiban. Dzimmah sangat terkait dengan kecakapan hukum,
khususnya kecakapan menerima hukum (kecakapan hukum pasif),namun keduanya
berbeda. Kecakapan menerima hukum adalah kelayakan untuk menerima hak dan
kewajiban, sedangkan dzimmah adalah dasar yang menerima landasan bagi kelayakan itu.
Apakah dasar yang memberikan landasan bagi kelayakan itu? Para ahli hukum
islam pra modern mencari jawabannya dalam suatu kerangka pikir teologis-metafisik.
Mereka menyatakan bahwa dasar tersebut adalah janji kosmik manusia kepada Tuhan
bahwa ia sanggup memikul amanah yang diberikan Tuhan kepadanya dan untuk itu ia
bertanggung jawab. Bila disederhanakan dan dikonkritkan lagi dasar kelayakan tersebut
adalah kenyataan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki kapasitas
moral sehingga ia menjadi makhluk yang bertanggung jawab. Bahkan seorang ahli
hukum islam klasik dari mazhab Hanafi, al-Bazdawi (w. 4821089) lebih
menyederhanakan lagi dengan menyatakan bahwa dasar kelayakan manusia menjadi
subjek hukum itu adalah kemanusiaannya sendiri. Ia menegaskan “Dengan dzimmah
dimaksudkan tidak lain adalah diri manusia itu sendiri.
Dzimmah pada orang mewujud selama ia hidup dan berakhir dengan
kematiannya. Hanya saja para ahli hukum islam berbeda pendapat tentang berakhirnya
dzimmah dengan kematian. Ahli-ahli hukum Hanafi berpendapat bahwa dzimmah karena
kematian seseorang tidak musnah sama sekali, tetapi tidak pula bertahan utuh, melaikan
melemah dan rusak. Dzimmah tersebut menguat apabila si mati meninggalkan harta
kekayaan atau penanggung bagi utang-utangnya. Akan tetapi tidak meninggalkan harta
kekayaan apa-apa, maka dzimmah-nya musnah dan karena itu gugur pula semua utangnya
karena utang terletak dalam dzimmah.
Ahli-ahli hukum Maliki berpandapat bahwa dzimmah musnah dengan kematian
sesorang. Oleh karena itu, kalau ia meninggalkan utang, maka utangnya terkait kepada
harta peninggalannya, dan apabila ia tidak meninggalkan harta gugurlah utang tersebut.
Menurut ahli-ahli hukum Syafi’I, dzimmah tetap berlangsung utuh sestelah
meninggalnya seseorang sampai utang-utangnya dibayar. Alasannya selain dari bebrapa
hadis Nabi Saw bahwa apa bila misalnya seseorang semasa hidupnya menjual suatu
benda, kemudian tiba-tiba meninggal dan ternyata barang yang dijualnya mengandung
cacat yang mengharuskan barang itu dikembalikan. Namun dalam madzhab ini, meskipun
dzimmah si mati tetap langsung dan kewajibannya tetap melekat pada dzimmah itu, hal
ini tidak menghalangi perpindahan hak milik atas harta peninggalannya kepada ahli
warisnya.
Adapaun mazhab Hambali, sebagian ahli hukumnya sejalan dengan pandangan
ahli-ahli hukum Maliki dan sebagian lain sejalan dengan pendapat fukaha Syafi’iah.
H. ‘Ain dan Dain dalam Hukum Perikatan Islam
Ada hak-hak yang tidak terkait dengan dzimmah, melainkan terkait langsung dengan
benda tertentu, dan ini dinamakan dalam hukum islam sebagai ‘ain (benda). Jadi, ‘ain
adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung dengan benda tertentu, bukan benda
lain.
Dipihak lain terdapat pula hak-hak yang tidak dikaitkan langsung kepada benda atau
sesuatu tertentu, melainkan kepada sejumlah uang atau benda missal (yang ada
persamaannya) yang berada dalam tanggung jawab pihak debitur. Hak seperti ini dakam
hukum islam disebut dain (utang).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dilihat dari keterkaitan atau tidak adanya
keterkaitan dengan dzimmah, hak-hak dapat dibedakan menjadi dain bila terkait dengan
dzimmah,dan ‘ain apabila tidak terkait dengan dzimmah melainkan terkait langsung
kepada bendanya yang sudah tertentu. Jadi dapat ditegaskan bahwa dain adalah suatu hak
yang objeknya sejumlah uang atau benda misil (yang memiliki persamaan) dan terkait
kepada dzimmah debitur. Sedangkan ‘ain adalah hak yang objeknya adalah benda yang
sudah ditentukan, bukan benda lainnya. Serta tidak terkait dengan dzimmah.8

8
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: Rajawali Pers,2010) 12-65
Daftar Pustaka

Abdul, Rahman, Ghazaly, Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2010


Djuwaini, Dimyauddin, Fiqh Muamalah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010
Rachmat, Syafe’I, Fiqh Muamalah. Bandung, Pustaka Setia, 2001
Dewi, Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005
Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2001
Syamsul, Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Chairuman, Pasaribu & Suharawardi, K. Lubis. Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004
Syamsul, Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Anda mungkin juga menyukai