Anda di halaman 1dari 29

Teori tentang Hukum Kontrak Syari’ah (Akad)

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah: Fikih Mu’amalah Kontemporer

Dosen Pengampu: Fitri Faa’izah, M.H.

Disusun oleh :

Anisa Noor Aulia

NIM: 2114140292

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Jurusan Akuntansi Syari’ah

Tahun 2023
Pengertian Kontrak Syari’ah

Pengertian kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, kontrak
merupakan suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis, sehingga dapat
digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan. Dalam hukum kontrak
konvensional, secara teori ada perbedaan definisi antara perjanjian dengan perikatan. Misalnya
pada pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah memberi
sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. Sedangkan pada pasal 1313 ayat (2) KUH Perdata,
istilah perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum di mana seseorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.1

Fiqih muamalah menyatakan pengertian kontrak perjanjian masuk dalam bab pembahasan
tentang akad. Pengertian akad secara linguistik memiliki makna ‘ar-rabthu’ yang berarti
menghubungkan atau mengaitkan, mengikat antara beberapa ujung sesuatu.2

Istilah ‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan seseorang mengerjakan sesuatu
dan tidak yang ada sangkut pautnya dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tidak
memerlukan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak setuju, tidak berpengaruh kepada
janji yang dibuat okeh orang tersebut, seperti yang telah dijelaskan ayat di atas, bahwa janji tetap
mengikat orang yang membuatnya. Perkataan ‘aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih,
yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui tersebut, serta
menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama. Terjadinya perikatan
dua buah janji (‘ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang
lain disebut perikatan (‘aqad).

Secara etimologi akad antara lain berarti ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata
maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Secara khusus akad diartikan
perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada
objeknya.3 Ada pendapat yang mengatakan akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena

1
Burhanuddin S., Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta:BPFE-YOGYAKARTA, 2009), 11.
2
Dimyauddin Djuaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 47.
3
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2006), 43.
1
akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan qabul yang
menyatakan kehendak pihak lain.4

Disamping itu terdapat beberapa pengertian tentang akad dalam Undang-undang, yaitu
menurut pasal 1 poin 5 Undang-undang nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara tertanggal 7 Mei 2008 dikatakan akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jadi yang dimaksud dengan hukum kontrak syariah adalah hukum yang mengatur
perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah,
sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.5

Sumber lain menyatakan yang dimaksud dengan istilah hukum kontrak syari’ah disini
adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum di bidang
mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hokum
Islam.6

Dasar Hukum Kontrak Syari’ah

Dasar hukum kontrak syariah terdiri dari beberapa sumber hukum dan dalil hukum. Sumber
hukum agama adalah sumber hukum dalam Islam. Sumber hukum merupakan istilah para ahli usul
fikih pada abad ke 14 H. Dalam menjelaskan sumber hukum Islam, para ahli usul fikih
menggunakan istilah dalildalil syariat (al-Adillah al-Syari’yyah) atau dalil-dalil hukum (al-adillah
al-ahkam). Sumber hukum berasal dari kata mashdar al-hukm. Kata mashdar berarti asal atau
pemulaan sesuatu, sumber, tempat munculnya sesuatu dan wadah. Sehingga yang dimaksud
dengan mashadir al-ahkam adalah asal yang darinya tempat munculnya hukum.

4
“Sekilas Kontrak Syariah”, http://www.contract-syariah.com/?q=node/1, diakses tanggal 8 maret
2023.
5
Hukum Perjanjian Syariah dan pelaksanaannya”,http://mozhatiia.blogspot.com/2010/04/
hukum-perjanjian-syariah-dan.html, diakses tanggal 8 Maret 2023.
6
Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah”,
http://journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/viewFile/164/129, diakses tanggal 8 Maret 2023.
2
Para ahli fikih kontemporer membagi sumber hukum ini menjadi dua bagian, yaitu sumber hokum
yang disepakati (mashadir al-ahkam al-mutafaq alaih), yakni Al-Quran dan Sunnah; dan sumber
hukum yang tidak disepakati (mashadir al-ahkam almukhtalif alaih) yakni selain Al-Quran dan
Sunnah, yaitu Ijma, Qiyas, istihsan dan lainnya. Al-Quran dan Sunnah adalah sumber hokum
sekaligus menjadi dalil hukum. Sedangkan yang lainnya hanya berfungsi sebagai dalil hukum atau
disebut dengan ‘sumber hukum sekunder” (mashadir al-tabi’yyah lilhukmi).

Dalil hukum tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum karena fungsi dalil hanya sebagai
penyingkapan atau memunculkan hukum yang terdapat didalam sumbernya. (Al Hasan &
Maulana, 2016)

a. Sumber Hukum Islam


Sumber hukum pada kontrak/akad produk perbankan syariah adalah Al-Quran dan Sunnah.
AlQuran adalah sumber hukum pertama yang menjelaskan berbagai macam aturan
menyangkut aqidah, akhlak dan hukum. Seluruh ayat Al-Qur’an dari segi lafaznya dan
maknanya adalah qathi alwurud artinya semua lafaz dan makna Al-Qur’an datang dari
Allah swt tanpa diragukan lagi keasliannya. Sumber hukum kedua adalah Sunnah. Sunnah
bersifat dzanni al-wurud yang memiliki fungsi sebagai sumber hukum yang memperkuat
apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran, dan memperjelas atau merinci apa yang telah
digariskan dalam Al-Qur’an. Selanjutnya adalah menetapkan hukum yang belum diatur di
dalam AlQuran.
b. Dalil Hukum Islam
Dasar hukum selanjutnya adalah dalil hukum yang menjadi perbedaan ulama dalam
menyikapinya karena menjadi sumber hukum sekunder, yaitu pertama adalah Ijma, yaitu
konsensus para mujtahid dari kalangan umat Muhammad setelah beliau wafat pada suatu
masa atas suatu hukum syarak. Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’
meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah. Menurut kalangan Syiah,
Ijma adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka.
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, Ijma sudah dianggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Kedua adalah Qiyas, adalah kiat untuk

3
menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya
dengan kasus yang terdapat dalam nash disebabkan persamaan illat hukum.
Dalil hukum selanjutnya adalah Istihsan. Secara bahasa berarti menganggap sesuatu baik.
Secara umum, Istihsan adalah sebagai upaya untuk menangguhkan (tawaquf) prinsip-
prinsip umum dalam satu nash disebabkan adanya nash lain yang menghendaki demikian.
Secara khusus, Istihsan adalah berpalingnya mujtahid dari qiyas jail (jelas) kepada qiyas
khafi (tidak jelas). Dalil hukum berikutnya adalah Istishlah atau Maslahah al-Mursalah
yaitu sebuah metode penetapan hukum (dalil hukum) yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah. Metode ini lebih menekankan pada aspek
maslhlahat secara langsung. Contoh istishlah dalam praktik lembaga keuangan syariah
adalah sebagai berikut; dalam pembagian hasil usaha di antara para mitra dalam suatu
bentuk usaha kerjasama, LKS pada dasarnya boleh mendasarkan pada prinsip bagi untung
(profit sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal
dan biaya-biaya dan boleh juga didasarkan pada prinsip bagi hasil (revenue sharing), yakni
bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal. Namum, dilihat dari segi
kemashlahatan (al-ashlah) saat ini (agar kompetitif dengan bangk konvensional dan
meningkatkan jumlah pengguna jasa LKS) menurut fatwa DSN-MUI, pembagian hasil
usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing).
Istishab adalah dalil hukum yang melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada
masa lalu, hingga ada dalil yang mengubahnya. Sebagian ulama menolak istishab sebagai
hujjah syariat karena sesuatu yang diterpakan pada mas lalu harus dengan dalil
sebagaimana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sedangkan
Hanafiyah berpendapat istishab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukum yang
telah ada pada masa lalu tidak diperlakukan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya.
Sebagian ulama lain, menyatakan bahwa istishab dapat dijadikan dalil hukum secara
mutlak. Contoh berkaitan dengan kontrak/perjanjian. Apabila jenis kontrak tersebut tidak
ditemukan nashnya dalam Al-Quran dan Sunnah atau tidak ditemukan dalil syara yang
mutlak hukumnya, maka kontrak tersebut hukumnya dibolehkan berdasar kaidah bahwa
asal sesuatu itu adalah boleh. Contoh lainnya adalah tanggungan utang tetap berlangsung
atau tetap berlaku sampai adanya ketetapan yang membebaskan tanggungan tersebut.

4
Rukun Kontrak Syari’ah

Rukun bisa diartikan sebagai perkara yang dijadikan sebagai landasan atas wujudnya
sesuatu dan merupakan bagian inheren atas hakikat sesuatu itu. Rukun akad dapat didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua
kehendak, atau sesuatu yang bisa disamakan dengan hal itu dari tindakan, isyarat atau
korespondensi.7

Sebagaimana telah diketahui, bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh
dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing,8 maka timbul bagi kedua belah pihak
hak dan ijtihad yang diwujudkan oleh akad tersebut.

Berdasarkan analisa fiqh, ketentuan rukun dan syarat yang berlaku pada suatu perjanjian atau
perikatan tertulis (kontrak) adalah ketentuan rukun dan syarat yang berlaku pada akad. Keberadaan
rukun dan syarat akad merupakan hal prinsip yang menentukan keabsahan penyusunan kontrak
syariah. Rukun dapat diartikan juga sebagai unsur-unsur yang menentukan terbentuknya akad.
Tanpa keberadaan rukun, suatu akad tidak akan terjadi. Adapun rukun-rukun akad menurut
pendapat jumhur fuqaha terbagi menjadi:9

1) Aqidain (para pihak yang berakad)


Dipandang sebagai rukun kontrak karena merupakan salah satu dari pilar utama tegaknya
akad. Tanpa aqidain sebagai subjek hukum, suatu kontrak tidak mungkin dapat terwujud.
Pengertian subjek hukum berarti perbuatan manusia yang dituntut oleh Allah berdasarkan
ketentuan hukum syara’ dan merupakan pelaku perbuatan yang menurut syara’ dapat
menjalankan hak dan kewajiban.
Subjek hukum terdiri dari dua macam, yaitu manusia dan badan hukum. Dalam rukun akad,
kedua subjek hukum tersebut berkedudukan sebagai aqidain. namun agar aqidain dapat
mengadakan kontrak perjanjian secara sah, maka harus memiliki kecakapan (ahliyah) dan
kewenangan (wilayah) bertindak di hadapan hukum. Oleh karena itu, setiap mengadakan

7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar, 50.
8
Sohari Sahroni dan Ruf’ah abdullah, Fiqh, 50.
9
Burhanuddin M., Hukum.
5
kontrak perjanjian selalu ada dua kemungkinan yang dapat bertindak sebagai subjek
hukum, yaitu manusia dan badan hukum.
a) Manusia
Dikatakan sebagai subjek hukum karena memang fitrah perbuatan manusia terikat oleh
hukum syara’. Perbuatan seseorang dikatakan memiliki kecakapan sebagai subjek hukum
apabila memenuhi dua kriteria, yaitu:
1. Memiliki kecakapan (ahliyah). Menurut syarat kecakapan terbagi menjadi dua.
Pertama, ahliyah al-wujub merupakan kecakapan seseorang untuk menerima hukum.
Maksud menerima hukum disini adalah menerima hak dan memikul kewajiban. Dalam
menerima hukum, suatu kecakapan bersifat pasif sehingga dapat berlaku bagi semua
manusia secara keseluruhan, mulai dari kondisi dalam kandungan hingga manusia
tersebut meninggal dunia. Kedua, ahliyah al-ada merupakan kecakapan untuk
bertindak hukum secara aktif. Karena bersifat aktif, kecakapan ini berlaku hanya bagi
subjek hukum yang secara alamiah telah memiliki kemampuan bertindak hokum.
2. Adanya kewenangan (wilayah) untuk melakukan perbuatan hukum. Pengertian
kewenangan ialah kekuasaan untuk menggunakan hak dalam melakukan tasharruf.
Kewenangan merupakan kekuasaan hukum yang memungkinkan bagi pemiliknya
untuk melakukan tasharruf dengan segala kemungkinan akibat hukum yang
ditimbulkan. Kewenangan melakukan tasharruf dapat tercipta selain karena sebab
kepemilikan (milkiyah), juga karena adanya perwakilan (wakalah) untuk menjalankan
amanah.
b) Badan Hukum Syariah
Istilah badan hukum (syakhshiah i’tibariyah hukmiyah) tidak disebutkan secara khusus
dalam pandangan fiqh. Namun keberadaan badan hukum dibenarkan dalam fiqh, meskipun
istilah itu belum ada pada masa lalu. Badan hukum dikatakan sebagai subjek hukum karana
terdiri dari kumpulan orang-orang yang melakukan perbuatan hukum (tasharruf). Badan
hukum merupakan hasil analogi dari keberadaan manusia sebagai subjek hukum.

2) Mahal al-‘Aqd

6
Sebelum ijab qabul, rukun kedua yang harus dipenuhi dalam penyusunan kontrak syariah
adalah menentukan jenis objek akad (mahal al-aqd). Pengertian objek akad ialah sesuatu
yang oleh syara’ dijadikan objek dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan.
Dari pengertian yang telah dipaparkan, pada dasarnya objek akad dapat terbagi menjadi
dua, yaitu harta benda dan manfaat perbuatan itu sendiri.
Menurut para fuqaha, agar sesuatu dapat dijadikan sebagai objek akad yang merupakan
bagian rukun akad maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Sesuatu yang menjadi objek akad harus sesuai dengan prinsip syariah (masyru’).
Karenanya apabila objek akad sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, keberadaan objek
akad akan memberi kemashlahatan bagi manusia.
b) Adanya kejelasan objek akad sehingga dapat diserah terimakan. Hal ini untuk
menghindari dari perbuatan gharar (penipuan) dan ketidakjelasan objek akad yang
nantinya akan menjadi penghalang terjadinya serah terima kepemilikan.
c) Adanya syarat kepemilikan sempurna terhadap objek akad. Pada dasarnya islam
melarang transaksi teradap objek akad yang bukan menjadi kewenangannya.
Mengadakan sesuatu tanpa sepengetahuan pemiliknya dinamakan dengan akad fudhuli.

3) Sighat Al-‘Aqd
Sighat akad merupakan hasil ijab dan qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Pertanyaan ijab dan qabul bertujuan untuk
menunjukkan terjadinya kesepakatan akad. Ijab adalah pernyataan pertama yang
disampaikan oleh salah satu pihak yang mencerminkan kehendak untuk mengadakan
perikatan. Sedangkan Qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang
mencerminkan persetujuan atau kesepakatan terhadap akad. Dengan demikian, proses ijab-
qabul merupakan pernyataan kehendak yang menunjukkan adanya suatu keridhaan antara
dua orang atau lebih sesuai dengan ketentuan syara’. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam sighat al-‘aqd ialah:10

10
Abdul Rahman, Ghufron ishan dan Sapiuddin Shidiq, Fiqh muamalat, ( Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), 53.
7
a) Shighat al-‘aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab dan qabul harus jelas
dan tidak memiliki banyak pengertian, sehingga dapat dipahami akad yang
dikehendaki.
b) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Antara yang melakukan ijab dan yang
menerima tidak boleh berbeda lafal, tanpa adanya kesesuaian antara ijab dan qabul
maka dengan sendirinya akad tidak mungkin terjadi.
c) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak
terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakuti oleh orang lain karena dalam berakad
harus saling merelakan.

Para pihak hadir dalam suatu majelis akad. Sebagian fuqaha manambahkan persyaratan
bahwa akad harus dilakukan dalam satu majlis. Tetapi perlu dipahami bahwa pengertian
majlis tidak terbatas pada ruang dan waktu, mengingat perkembangan teknologi
komunikasi memungkinkan seseorang untuk melakukan transaksi bisnis jarak jauh seperti
e-commerce.

Syarat Kontrak Syari’ah

Perjanjian sudah dikatakan dapat terwujud apabila rukun-rukun akad terpenuhi. Sedangkan
dari segi keabsahan perjanjiannya, masih tergantung apakah akad tersebut sesuai atau tidak dengan
persyaratan yang telah ditentukan berdasarkan hukum syara’. Pengertian syarat adalah sesuatu
yang karenanya baru ada hukum, dan dengan tiadanya tidak ada hukum. Dengan kata lain yang
dimaksud syariat ialah sesuatu yang dijadikan oleh syara’ sebagai syarat untuk mengadakan akad,
sehingga menentukan berlakunya hukum taklifi. Jika syariat itu belum terpenuhi, maka perbuatan
hukum dianggap belum ada.11

Para ulama fiqh menetapkan adanya beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad,
di samping setiap akad juga mempunyai syarat-syarat khusus. Setiap pembentuk akad atau ikatan
mempunyai syarat yang ditentukan syara’ dan wajib disempurnakan. Adapun syarat terjadinya
akad ada dua macam, sebagai berikut;12

11
Burhanuddin M., Hukum, 37.
12
Sohari Sahroni dan Ruf’ah abdullah, Fiqh, 54.
8
1) Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam
berbagai akad;
a) Pihak-pihak yang melakukan akad ialah dipandang mampu bertindak menurut hukum
(mukallaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya.
b) Objek akad itu diketahui oleh syara’. Objek akad ini harus memenuhi syarat:
1. Berbentuk harta,
2. Dimiliki seseorang, dan
3. Bernilai harta menurut syara’.
c) Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’.
d) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan,
di samping harus memenuhi syarat-syarat umum.
e) Akad itu bermanfaat.
f) Ijab tetap utuh sampai terjadi qabul.

2) Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian
akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut idlafi (tambahan) yang harus ada di samping
syarat-syarat yang umum. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam
akad, adalah sebagai berikut;
a) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).
b) Objek akad dapat diterima hukumnya.
c) Akad itu diizinkan oleh syara’ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya walaupun dia bukan aqaid yang memiliki barang.
d) Bukan akad yang dilarang oleh syara’.
e) Akad dapat memberikan qaidah, sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai
timbangan amanah.
f) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul.
g) Ijab dan qabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang melakukan ijab sudah
berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

9
Asas-Asas Kontrak Syari’ah

Istilah asas berasal dari bahasa arab yang berarti dasar atau landasan. Sedangkan secara
terminologi, yang dimaksud dengan asas ialah nilai-nilai dasar yang menjadi bahan pertimbangan
untuk melakukan perbuatan. Karena nilai-nilai dasar itu sangat berpengaruh terhadap perbuatan
atau perilaku manusia secara lahiriyah (akhlaq), maka nilai-nilai dasar tersebut harus mengandung
unsur-unsur kebenaran hakiki.

Rumusan asas-asas dalam hukum kontrak syariah bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Upaya
ini dimaksudkan agar asas-asas yang dijadikan sebagai dasar hukum penyusunan kontrak
mengandung kebenaran yang bersumber dari Allah. Apabila digali dari sumber syariat, keberadaan
asas-asas yang terkait dengan hukum kontrak sangatlah beragam, diantaranya; 13

1) Asas Ibadah (Asas Diniatkan Ibadah)


Dengan demikian adanya keyakinan terhadap unsur ketuhanan dalam aspek ibadah,
merupakan hal yang prinsip dalam Islam. Di samping aqidah, suatu perbuatan akan bernilai
ibadah apabila sesuai dengan hukum syara’ yang telah ditetapkan. Keberadaan asas inilah
yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum kontrak syariah dengan hukum kontrak
lainnya.
2) Asas Hurriyyah at-Ta’aqud (Asas Kebebasan Berkontrak)
Asas ini merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak. Masing-masing pihak yang
akan mencapai tujuan akad mempunyai kebebasan untuk mengadakan penyusunan kontrak
(freedom of making contract). Pengertian asas kebebasan berkontrak dalam Islam berbeda
dengan apa yang dimaksud kebebasan berkontrak dalam hukum konvensional.
Perbedaannya bahwa kebebasan berkontrak dalam Islam ialah kebebasan yang bersifat
terikat dengan hukum syara’. Maka dari itu, kebebasan berkontrak itu akan dibenarkan
selama syarat-syarat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan ketentuan prinsip-
prinsip syariah.
3) Asas al-Musawah (Asas Persamaan)

13
Burhanuddin M., Hukum, 41.
10
Muamalah merupakan ketentuan hukum yang mengatur hubungan sesama manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Di dalam al-Quran dijelaskan bahwa Allah telah melebihkan
sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki. Namun hikmah yang dapat
diambil dari adanya perbedaan tersebut ialah agar diantara mereka saling kerja sama.
dengan adanya perilaku saling membutuhkan, maka setiap manusia memiliki kesamaan
hak untuk mengadakan perikatan. Dikatakan demikian karena pada prinsipnya manusia
adalah sama.
4) Asas at-Tawwazun (Asas Kesetimbangan)
Hukum Islam tetap menekankan perlunya berpegang pada asas kesetimbangan, meskipun
secara faktual masing-masing pihak yang akan mengadakan kontrak memiliki berbagai
latar belakang yang berbeda.
Karena asas kesetimbangan dalam akad terkait dengan pembagian hak dan kewajiban.
Misalnya ada hak mendapatkan keuntungan dalam investasi, berarti harus disertai
kewajiban menanggung resiko.
5) Asas Mashlahah (Asas Kemaslahatan)
Tujuan mengadakan akad pada hakikatnya ialah untuk mencapai kemaslahatan bagi
masing-masing pihak. Pengertian maslahat dalam Islam meliputi dimensi kehidupan dunia
dan akhirat. Dan untuk mencapai kemaslahatan maka kaidah fiqh yang berlaku: “Apabila
hukum syara’ dilaksanakan, maka pastilah tercipta kemaslahatan”.
Kemaslahatan dicapai dan mencegah timbulnya kemudlaratan, dalam fiqh dijumpai adanya
hak khiyar. Maksud hak khiyar ialah hak yang memberikan opsi para pihak untuk
meneruskan atau membatalkan akad karena adanya sebab yang merusak keridlaan.
6) Asas al-Amânah (Asas Kepercayaan)
Asas amanah merupakan bentuk kepercayaan yang timbul karena adanya itikad baik dari
masing-masing pihak untuk mengadakan akad. Dalam hukum kontrak syariah, terdapat
bentuk akad yang bersifat amanah. Maksud amanah disini dapat diartikan sebagai
kepercayaan kepada pihak lain untuk menjalin kerjasama. asas kepercayaan dapat berlaku
baik dalam akad yang bersifat tijarah maupun tabarru’.
7) Asas Keadilan

11
Para pihak yang melakukan akad penyusunan kontrak, wajib berpegang teguh pada asas
keadilan. Pengertian asas keadilan adalah suatu asas yang menempatkan segala hak dan
kewajiban berdasarkan pada prinsip kebenaran hukum syara’. Karena dengan berbuat adil,
seseorang tidak akan berlaku zalim terhadap yang lain. Allah berfirman surat al-Maidah
ayat 8 yang menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatukaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”14
8) Asas al-Ridla (Asas Keridlaan)
Segala transaksi yang dilakukan harus berdasarkan keridlaan diantara masing-masing
pihak. Apabila dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, maka sama artinya dengan
memakan harta secara batil. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” 15
Berdasarkan ayat tersebut jelas, bahwa segala kontrak perjanjian hendaklah mendasarkan
pada asas keridlaan. Dengan demikian, tanpa adanya unsur keridlaan, maka suatu kontrak
perjanjian masuk dalam kategori batil.
9) Asas al-Kitabah (Asas Tertulis)
Kontrak merupakan perjanjian atau perikatan yang dibuat secara tertulis. Namun perlu
dipahami bahwa dalam Islam asas tertulis tidak hanya berlaku dalam hukum kontrak,
melainkan juga berlaku pada semua akad muamalah yang dilakukan tidak secara tunai
(utang). Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….”16
10) Asas ash-Shiddiq (Asas Kejujuran)

14
QS. al-Maidah (5): 8.
15
QS. an-Nisa (4): 29.
16
QS. al-Baqarah (2): 282.
12
Apabila dalam penyusunan kontrak kejujuran tidak diamalkan, maka akan merusak
keridlaan (‘uyub al-ridha). Selain itu, ketidakjujuran dalam penyusunan kontrak akan
berakibat perselisihan diantara para pihak. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
Perkataan yang benar.” 17
Rasulullah SAW bersabda: “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, telah
mengabarkan kepada kami Malik, dari ‘abdullah bin Dinar, dari ‘Abdullah bin umar
Radhiyallahu’anhuma, bahwasaannya seorang pemuda mengadu kepada Nabi SAW
sesungguhnya dia melakukan penipuan dalam jual beli. Maka Rasul bersabda: Jika kamu
menjual barang dagangan, maka katakanlah tidak ada penipuan.” (HR. Muslim)18
Berdasarkan kutipan ayat al-Quran dan al-Hadits tersebut, diketahui bahwa dalam hukum
kontrak syariah sangat menekankan adanya prinsip kejujuran yang hakiki. Karena hanya
dengan prinsip kejujuran itulah, keridlaan dari para pihak yang berkontrak dapat terwujud.
11) Asas Itikad Baik
Mengadakan kontrak perjanjian harus dilaksanakan berdasarkan itikad baik. Asas itikad
baik muncul dari pribadi seseorang sebagaimana apa yang telah diniatkannya. Dalam
pandangan Islam, niat merupakan prinsip mendasar terkait dengan unsur kepercayaan
(aqidah) sebelum melakukan suatu amal perbuatan. Dalil syariah yang menjadi dasar
hukum berlakunya asas itikad adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan; “Telah
menceritakan kepada kami al-Hâmidî ‘Abdullah bin az-Zubair berkata, Telah
menceritakan kepada kami Sufyan berkata Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Sa’id al-Anshari berkata Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim ay-
Taimiy bahwa sesungguhnya Dia mendengar’Alqamah bin Waqash al-laitsi berkata saya
telah mendengar ‘Umar bin Khathab r.a. di atas mimbar berkata, saya telah mendengar
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya.
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang
hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena

17
QS. al-Ahzab (33): 70.
18
Al-Imam Abi al-Husaini Muslim, Shahih Muslim, Jil.2 (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1998), 13.
13
seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang
diniatkannya tersebut” (HR. Bukhari)19

Akibat dan Batalnya Akad

Akibat hukum dalam perjanjian hukum Islam dibedakan menjadi dua bagian, yakni:

a. akibat hukum pokok dari perjanjian yang biasa disebut dengan hukum akad, dan
b. akibat hukum tambahan dari perjanjian yang biasa disebut hak-hak akad. Hukum akad yang
dimaksud ialah terwujudnya tujuan akad yang menjadi kehendak bersama untuk
diwujudkan oleh para pihak melalui perjanjian. Sedangkan akibat hukum tambahan ialah
dengan timbulnya hak-hak dan kewajiban pada masing masing pihak dalam rangka
mendukung dan memperkuat akibat hukum pokok, seperti hak meminta penyerahan barang
oleh pembeli kepada penjual. 20

Terciptanya kerelaan serta kecakapan para pihak dalam melakukan akad merupakan salah satu
yang sangat menentukan sah atau tidaknya suatu akad. Terpenuhinya semua rukun, syarat dan asas
akad, berimplikasi langsung pada timbulnya akibat hukum baik kewajiban maupun hak-hak para
pihak. Akad yang telah memenuhi rukun dan syarat akad, dinyatakan sebagai akad yang sahih
akan mengikat para pihak yang melakukan akad. Tindakan para pihak dalam melakukan akad baik
atas namanya sendiri atau mewakili orang lain berimplikasi pada timbulnya hak dan kewajiban
sebagaimana berikut:

a. Para pihak yang melakukan suatu akad dengan kecakapan sempurna dengan atas nama
sendiri, maka akibat hukum dari akad yang dilakukan mengikat kedua belah pihak dan
dalam batas tertentu juga mengikat pada hal-hal berikut yaitu:
1) Pengoper hak, baik umum maupun hak khusus seperti ahli warisnya, penerima wasiat,
dan pembeli.

19
Abi ‘Abdillah Muhammad isma’il al-Bukhâri, Shahih Bukhâri, Jil.1 (Bairût: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1998), 5.
20
Terwujudnya tujuan merupakan akibat Hukum pokok akad, seperti pemindahan hak kepemilikan dari si penjual
kepada si pembeli pada akad jual beli, lihat macam-macam tujuan akad pada pembahaan sebelumnya. Lihat M. Anwar
Ibrahim, hlm 49. dan Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah, (Studi Tentang Teori Akad dalam Figh Muamalah),
Jakarta: Rajawali Pers, 2007, him, 292. Hal serupa dapat juga dilihat dalam KHU Perdata juga disebutkan secara tegas
bahwa terwujudnya perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu. KUH Perdata pasal 1234.
14
2) Kreditur, akibat hukum dari perjanjian yang dibuat oleh seorang debitur pada kreditur
berupa berkurangnya atau bertambahnya jumlah jaminan hutang debitur pada kreditur.
Hal ini sesuai dengan asas dari hukum perikatan yang menerangkan bahwa semua
kekayaan debitur menjadi tanggungan terhadap hutang- hutangnya. Inilah yang dalam
hukum Islam dijelaskan bahwa hutang seseorang tidak dapat diwariskan, tetapi hutang
tersebut dibebankan terhadap harta si berhutang. 21
3) Pihak ketiga yang terlibat dan mendapat janji dalam akad tersebut. meskipun pada
asasnya suatu perjanjian hanya menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang
membuatnya dan tidak menimbulkan akibat hukum bagi pihak lain yang tidak terlibat
dalam perjanjian. Meskipun demikian ada sebagian pakar yang beranggapan bahwa
janji melibatkan pihak ketiga dalam sebuah perjanjian dapat dilakukan, dengan asas
bahwa janji tersebut tidak menimbulkan kewajiban bagi pihak ketiga. Jika pihak ketiga
menolak maka pihak pembuat janji harus bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan.
Sedangkan jika para pihak mewakili atau untuk dan atas nama orang lain, maka akibat
hukumnya kembali kepada orang yang diwakilinya karena wakil hanya sebagai
penghubung yang tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan perjanjian.
b. Akibat hukum akad yang dilakukan wakil, ada saatnya seorang wakil membuat perjanjian
atas nama dan untuk asli (orang yang diwakili). Akibat hukum pokok maupun tambahan
kembali kepada asli, karena dalam hal ini wakil hanya sebagai penghubung yang tidak
memikul tanggung jawab seperti pada akad-akad pelepasan dan riil. Tetapi terbuka
kemungkinan seorang wakil membuat perjanjian atas nama dirinya untuk asli (orang yang
diwakili). Sebaliknya jika para pihak menyandarkan akad kepada dirinya sendiri meskipun
bertujuan untuk mewakili orang lain, maka hukum pokok tetap kembali kepada orang yang
diwakili. Sedangkan untuk hak-hak akad terdapat perbedaan dikalangan ulama meskipun

21
Asas hukum perikatan dalam KUH Perdata sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1131 bahwa "segala kebendaan si
berhutang, baik yang begerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan". KUH Perdata Pasal 1131. Mengenai hal ini, dalam
hukum Islam dapat dilihat pada al Qur'an (6:164) yang menjelaskan bahwa "tidaklah seseorang melakukan sesuatu
melainkan dialah yang yang memikul beban konsekuensinya". Sistem kewarisan Islam mendahulukan membayar
hutang dari harta waris orang yang meninggal, dibandingkan dengan membagi harta wari pada ahli waris. Empat imam
mazhab bersepakat dalam hal ini. Muhammad Jawad Al Mughniyah, Figh ala al Madzahib al Khamsah, ter. Maskur
A.B dkk. Jakarta: Lentera, 1999, hlm 539.
15
sebagian besar ulama beranggapan bahwa hak-hak terlaksananya akad kembali pada wakil
dan wakil juga lah yang menuntut pelaksanaan akad oleh pihak 18 ketiga."

c. Para pihak berakad dengan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh ayah yang
mewakili anaknya, kakek yang mewakili cucunya dan wali (yang diangkat ayah atau
kakeknya) untuk mewakili anak dibawah umur. Selebihnya, tidak dibenarkan para pihak
untuk berakat dengan diri sendiri karena pada asasnya Hukum Islam melarang seseorang
berakad dengan dirinya sendiri, baik dengan menjadi wakil dari satu pihak dan dalam
waktu yang sama menjadi pihak asli, atau menjadi wakil dari dua pihak berbeda sekaligus.
Pelarangan ini disebabkan dalam setiap akad harus ada kedua belah pihak agar tidak terjadi
pertentangan disaat ia menjadi debitur dan kreditur pada waktu yang bersamaan." Larangan
serupa berlaku pula pada KUH Perdata: 19 Indonesia pada pasal 1315 yang menjelaskan
bahwa tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau minta ditetapkannya
suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.

Terminasi akad yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini, merupakan suatu tindakan untuk
mengakhiri suatu perjanjian yang telah tercipta sebelum dilaksanakan atau belum selesai
dilaksanakan. Dalam istilah fiqh sering disebut dengan fasakh (pemutusan), ini berbeda dengan
pengertian berakhirnya akad yang merupakan kondisi selesainya suatu perjanjian.

Pemutusan akad dapat terjadi pada 4 hal sebagai berikut:

1. Pemutusan terhadap akad fasid.


2. Pemutusan terhadap akad yang tidak mengikat baik dikarenakan adanya hak khiar maupun
karena sifat akad tersebut yang tidak mengikat.
3. Pemutusan terhadap akad dengan persetujuan kedua belah pihak.
4. Pemutusan terhadap akad disebabkan oleh salahsatu pihak tidak melaksanakan perjanjian
karena tidak mungkin melakanakannya maupun karena akad tersebut mutahil untuk
dilaksanakan. Pemutusan yang disebabkan akad fasid, merupakan hal yang menjadi
kewajaran karena akad tersebut tidak memenuhi rukun dan syaratnya, sehingga
mengakibatkan kerugian disatu pihak atau bahkan dikeduabelah pihak. Sedangkan
16
pemutusan dikarenakan adanya hak khiar maupun karena sifat akad tersebut yang tidak
mengikat, maka kedua belah pihak mempunyai hak untuk membatalkannya. Untuk
pemutusan akad yang mengikat kedua belah pihak (akad tersebut telah memenuhi rukan
dan syarat), maka pemutusan tidak bisa dilakukan secara sepihak. Hal ini didasarkan bahwa
pembuatan akad dilakukan dengan kesepakatan para pihak yang ditunjukan dengan ijab
dan qabul, tentunya logis jika pemutusan akad tersebut harus juga melalui persetujuan para
pihak yang membuat. Tindakan yang dilakukan para pihak berdasarkan kesepakatan
bersama untuk mengakhiri suatu akad, yang dalam hukum Islam dikenal dengan al Iqalah.
dengan ini, dapat menghapus akibat hukum pada akad yang diputus, dan mengembalikan
para pihak pada kondisi semula sebelum melakukan kesepakatan. 22

Sedangkan untuk tuntutan pemutusan akad oleh salah satu pihak, dikarenakan pihak yang lain
tidak menunaikan kewajibannya, membuat pihak yang dirugikan dapat menuntut mitra
janjinya dengan dasar cidera janji dan dapat menuntut ganti rugi (daman) tetapi tidak dapat
dilakukan fasakh. Akad-akad yang dapat terjadi dalam kondisi ini seperti akad jual beli, gadai
dan akad perdamaian. Untuk akad sewa menyewa, keadaan untuk dapat mem fasakh lebih
fleksibel, dimana akad sewa menyewa dapat difaskh oleh yang menyewakan (disewa) apa bila
pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya membayar sewa. Hal ini sangat berbeda dengan
akad jual beli yang tidak dapat di faskh satu pihak, apabila pihak lain tidak dapat memenuhi
kewajibannya tetapi bisa dilakukan paksaan untuk menjalankan kewajibannya oleh pihak
pengadilan."23

Tidak dapat difasakhnya akad jual beli jika salah satu pihak tidak dapat memenuhi
kewajibannya seperti dijelaskan di atas, berbeda dengan apa yang tedapat dalam KUH Perdata
yang mengizinkan salah satu pihak untuk menuntut pihak tergugat (pihak yang tidak dapat

22
"Iqalah berdasarkan pada Hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibn Hibban, Ibn Majah dan Hakim.
Pemutusan akad sah degan memenuhi beberapa syarat yaitu: a igalah terjadi atas akad yang dapat di faskh, b. adanya
persetujuan kedua belah pihak, c. objek akad masih utuh dan berada disalah satu pihak, c. tidak boleh menambah harga
dari harga pokok (karena iqalah adalah pembatalan). Pembatalan akad oleh kedua belah pihak berimplikasi pada ahli
waris. wakil serta fudhuli (pelaku tana kewenangan) dengan ketentuan bahwa akibat hukum yang baru berlaku setelah
mendapat ratifikasi oleh yang berhak. Lihat Samsul Anwar, hlm. 343.
23
Mempertahankan perjanjian berpedoman pada kaidah."" artinya, mengamalkan suatu kalimat lebih utama dari
mengabaikannya. (H.A Djazuli, hlm.104). Sedangkan berdasarkan KUH Perdata Pasal 1267 pihak yang tidak dapat
menjalankan. kewajibannya diwajibkan untuk mengberikan ganti rugi selain putusnya per janjian tersebut atau
memenuhi kewajibannya.
17
memenuhi kewajiban) untuk menjalankan kewajibannya atau membatalkan perjanjian jual beli
serta meminta ganti kerugian yang ditimbulkan. Terutama jika pihak tergugat tidak dapat
memenuhi kewajibannya baik perjanjian jual beli tersebut dilangsungkan secara tunai atau
dilakukan pada waktu tertentu melalui pengadilan.24

Perbedaan yang timbul dalam pemutusan (fasakh) yang dilakukan satu pihak atas kelalayan
pihak lain, antara antara hukum Islam dan KUH Perdata lebih disebabkan asas perjanjian yang
digunakan. Dalam hukum Islam kaidah keberlangsungan akad, yang telah dibuat kedua belah
pihak lebih diutamakan dalam mengambil keputusan suatu perjanjian sehingga pihak yang
tidak melaksanakan kewajiban diwajibkan melaksanakannya agar tidak menimbulkan
kerugian pihak lain. Sedangkan pada KUH Perdata, lebih mendahulukan kepentingan kedua
belah pihak untuk tidak mengalami kerugian atas tindakan pihak lain.

Putusnya akad disebabkan oleh mustahilnya akad untuk dilakukan karena musnah atau
hilangnya objek perjanjian yang disebabkan oleh sebab luar. Seperti keadaan memaksa yang
tidak dapat diantisipasi, dan bukan diakibatkan kelalayan para pihak. Mengakibatkan akad
tersebut terfaskh demi hukum dan para pihak dikembalikan kepada keadaan awal sebelum
terjadinya akad." Dalam hal ini 31 antara hukum Islam dan KUH Perdata memberikan
ketetapan yang sama bahwa perjanjian putus demi hukum dan para pihak dikembalikan
statusnya seperti semula sebagaimana belum terjadinya perjanjian.

Ingkar Janji dalam Akad dan Sanksinya

Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahannya:25

1. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya;


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; atau
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

24
Lihat pada pasal 1480 tetang kewajiban kewajiban si penjual, pasal 1517 tentang kewajiban si pembeli dan pasal
1266-1267.
25
Pasal 36 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
18
Pihak dalam akad melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan, bahwa pihak
dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 26

Sanksi bagi pelaku ingkar janji, yaitu sebagai berikut:27

1. Pembayaran ganti rugi;


2. Pembatalan akad;
3. Peralihan risiko;
4. Denda; dan/atau
5. Pembayaran biaya perkara.

Sanksi pembayaran ganti rugi dapat dijatuhkan apabila:28

1. Pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar
janji;
2. Sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampauinya;

Kontrak Baku/ Standarisasi Akad

Di dalam bisnis tertentu, misalnya perdagangan dan perbankan, terdapat kecenderungan


untuk menggunakan apa yang dinamakan kontrak baku, berupa kontrak yang sebelumnya oleh
pihak tertentu (perusahaan) telah menentukan secara sepihak sebagai isinya dengan maksud untuk
digunakan secara berulang-ulang dengan berbagai pihak atau konsumen perusahaan tersebut.
Dalam kontrak standar tersebut, sebagian besar isinya sudah ditetapkan oleh pihak perusahaan
yang tidak membuka kemungkinan untuk dinegosiasikan lagi, dan sebagian lagi sengaja
dikosongkan untuk memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak konsumen, yang baru diisi
setelah diperoleh kesepakatan.

26
Pasal 37 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
27
Pasal 38 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
28
Pasal 39 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

19
Perjanjian baku dibuat karena tidak memerlukan waktu yang lama untuk melakukan
negosiasi. Jadi kontak baku muncul dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan praktis. Kontrak
baku telah digunakan secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari delapan puluh tahun
lamanya. Adanya kontrak baku karena dunia bisnis memang membutuhkannya. Oleh karena itu,
kontrak baku diterima masyarakat.29

Dalam rangka memastikan kesesuaian standar syariah minimum oleh bank yang
melakukan kegiatan perbankan syariah, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan yang bertujuan
untuk menstandarisasi akad-akad bank syariah yang umum digunakan di Indonesia.

Akad-akad yang telah distandarisasi pada tahun 2005 adalah:

1. Tabungan Mudharabah;
2. Deposito Mudharabah;
3. Pembiayaan Mudharabah;
4. Pembiayaan Musyarakah;
5. Pembiayaan Murabahah;

Sementara itu, akad-akad yang distandarisasi pada tahun 2006 adalah:

1. Pembayaran Ijarah;
2. Pembayaran Ijarah Muntahiya bi Tamlik;
3. Pembiayaan salam dan salam pararel; dan
4. Pembiayaan Istishna' dan Istishna' pararel.

Akad-akad yang distandarisasi itu menjadi petunjuk bagi bank syariah di Indonesia sebagai
landasan operasinya. Hal ini juga berguna sebagai dasar pembuatan regulasi yag hati-hati bagi
bank syariah yang berfugsi menjadi instrumen pengaturan untuk menjamin kepatuhan operasional
perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip dasarnya.30

Pro dan Kontra Kontrak Baku

29
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006,
cet ke-3), hal. 204-205.
30
Ascarya, Akad & Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal.228.
20
Kontrak baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda, yaitu
“standard contract” atau “standard voorwaarden”.31 Kontrak baku ini dalam transaksi bisnis terjadi
bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi
dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian
yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hamper
tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas
syarat-syarat yang disodorkan. Pernyataan ini diperkuat oleh pakar hukum, Sutan Remy Sjahdeini,
yang menyatakan bahwa kontrak baku ialah kontrak yang hampir seluruh klausul klausulnya sudah
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang
32
untukmerundingkan atau meminta perubahan. Selaras pula dengan pernyataan Munir Fuady
bahwa kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam
kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya
para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa
perubahan dalam klausulaklausulanya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah
klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak
baku sangat berat sebelah.

Melihat realita yang ada saat ini, makin maraknya kontrak baku dipergunakan menurut Mariam
Darus Badrulzaman dilatarbelakangi oleh keadaan social ekonomi, yaitu dengan penggunaan
kontrak baku maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan
waktu. Hal ini terkait dengan sifat massal dan kolektif dari kontrak baku.33 Adapun contoh-contoh
kontrak baku yang sering dilakukan dalam praktek adalah sebagai berikut: 34

1) Kontrak (Polis) Asuransi,


2) Kontrak di Bidang Perbankan,
3) Kontrak Sewa Guna Usaha,

31
Badrulzaman, 1994: 46
32
Sjahdeini, 1993, hal: 66.
33
Badrulzaman, 1994, hal :46.
34
Fuady, 2006, hal : 77
21
4) Kontrak Jual Beli Rumah/Apartemen dari Perusahaan Real Estate,
5) Kontrak Sewa-Menyewa Gedung Perkantoran,
6) Kontrak Pembuatan Credit Card,
7) Kontrak Pengiriman Barang (Darat, Laut, dan Udara),
8) Dan Lain-lain.

Berpijak dari contoh-contoh kontrak baku tersebut, di mana salah satunya adalah kontrak di
bidang perbankan maka tidak terlepas dari hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah, baik
nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debiturnon deposan. Terhadap nasabah
debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai
kreditur (pemberi dana) dan pihak debitur (peminjam dana), yang kemudian populer disebut
dengan perjanjian kredit. Dalam perjanjian kredit, setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati
antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit)
secara tertulis. Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan
sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan namun demikian ada hal-hal yang tetap harus
dipedomani yaitu, bahwa perjanjian tersebut tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga
perjanjian sekurangkurangnya harus memperhatikan: keabsahan dan persyaratan secara hukum,
sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu tata cara
pembayaran kembali kreditserta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit.

Terkait dengan makin maraknya kontrak baku dipergunakan dalam transaksi bisnis, maka
makin ramai pula pro dan kontra yang timbul diantara para pakar hukum. Bagi pihak yang kontra,
beberapa pakar hukum menolak kehadiran perjanjian baku, karena dinilai kedudukan pengusaha
di dalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere
wetgever), perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangcontract), dan negara-negara
common law system menerapkan doktrin unconscionability dimana memberikan wewenang
kepada perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati
nurani. Yaitu perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan, karena dalam perjanjian baku hanya
salah satu pihak yang membuat isi perjanjian, sedangkan pihak yang lain hanya dapat menerima
atau menolak isi perjanjian. Sebaliknya, beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian
baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena:

22
1. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan
kepercayaan (fictie van wil en vertrouven) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para
pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;
2. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang
ditandatangani;
3. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan (gebruk) yang
berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.

Contoh Kontrak Baku dan Analisisnya

Setiap transaksi yang dilakukan oleh bank syariah diwujudkan dalam bentuk tertulis, yaitu
akad. Akad yang dibuat antara bank syariah dengan nasabah dituangkan dalam bentuk akad baku,
sebagaimana halnya dilakukan oleh bank konvensional. Kontrak baku dalam dunia bisnis dalam
praktiknya tidak hanya dilakukan dalam transaksi konvensional tetapi juga banyak dilakukan
dalam transaksi yang berlandaskan pada prinsip syariah oleh lembaga keuangan bank ataupun
lembaga non-bank. Hal ini menunjukkan bahwa keberlakuan kontrak baku memang sudah menjadi
suatu keniscayaan bisnis yang mana dapat diterima keberadaannya oleh masyarakat dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Penggunaan kontrak baku sebagai wujud efisiensi bisnis oleh para
pelaku usaha terutama pihak yang memiliki posisi dominan dalam melakukan transaksi ternyata
juga dipakai untuk memperoleh keuntungan atau benefits dengan cara mencantumkan klausula
eksemsi yang mana memberatkan salah satu pihak.

Tidak terkecuali di dalam praktik dari perbankan syariah, pembiayaan murabahah


dituangkan dalam bentuk suatu akad baku, bahwa nasabah penerima fasilitas pembiayaan tidak
diberikan kesempatan untuk bernegosiasi tentang klasula yang ada dalam akad pembiayaan
murabahah. Salah satu skim fiqh yang mana paling popular digunakan oleh perbankan syariah
adalah skim jual-beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullulah
SAW dan juga para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang
seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Dalam definisinya disebut adanya
keuntungan yang disepakati, karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu

23
pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan
pada biaya tersebut. Berdasarkan dari penjabaran uraian di atas maka yang akan dikaji adalah akad
baku pada pembiayaan murabahah.

Akad Murabahah dari Bank Syariah X

Pertama, Pokok Perjanjian: Bank berjanji dan mengikat diri untuk menjual barang yang
dipesan oleh nasabah dan menyerahkannya kepada nasabah, dan nasabah dengan ini berjanji dan
mengikat diri untuk membeli dan menerima barang serta membayar harganya kepada bank.

Kedua, Barang: yang dipesan oleh pihak nasabah dengan spesifikasi sebagaimana
diuraikan dalam suatu lampiran dan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Akad yang
diadakan oleh bank untuk dijual kepada nasabah.

Ketiga, Harga: 1. Jual-beli akan dilakukan dengan Harga Jual bank terdiri dari Harga Beli
Bank dan juga Keuntungan Bank; 2. Harga jual bank telah disepakati pada saat itu dan oleh karena
itu tidak dapat berubah karena sebab apapun termasuk bila terjadi perubahan kondisi moneter; 3.
Harga jual bank tidak termasuk biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pembuatan akad ini,
seperti biaya notaris, meterai dan lain-lain sejenisnya, yang mana oleh para pihak telah disepakati
dibebankan sepenuhnya kepada nasabah.

Keempat, Penyerahan Barang: 1. Berdasarkan syarat-syarat pembelian antara bank dan


pemasok, maka atas persetujuan dan juga sepengetahuan bank, penyerahan barang akan dilakukan
langsung oleh pemasok kepada nasabah; 2. Apabila pelaksanaan teknis pembelian barang oleh
bank dari pemasok dilakukan oleh nasabah untuk dan atas nama bank berdasarkan kuasa dari bank,
maka kuasa harus dibuat secara tertulis sesuai dengan ketentuan Pasal 1795 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata; 3. Pemberian kuasa tidak mengakibatkan nasabah dapat menuntut bank untuk
membatalkan akad ini atau menuntut ganti rugi jika nasabah mengetahui barang itu bukan milik
bank sebagaimana dimaksud Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kelima, Agunan: 1. Untuk dapat lebih menjamin pembayaran kembali utang murabahah
dengan tertib dan secara sebagaimana mestinya oleh nasabah pada bank, maka nasabah dan/atau
penjamin menjaminkan barang kepada bank berupa Pengikatan barang jaminan tersebut sebagai
agunan akan dibuat dalam suatu akta/akad tersendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2.
24
Apabila menurut pendapat bank nilai dari agunan tidak lagi cukup untuk menjamin utang
murabahah nasabah pada bank, maka atas permintaan pertama dari bank, nasabah wajib
menambah agunan lainnya yang disetujui bank.

Keenam, Denda: 1. Dalam hal nasabah terlambat untuk membayar kewajiban dari jadual
angsuran yang telah ditetapkan, maka bank akan membebankan dan nasabah setuju akan
membayar denda (taʼzir) atas dasar keterlambatan tersebut; 2. Dana dari denda atas keterlambatan
yang diterima oleh bank akan diperuntukkan sebagai dana sosial.

Akad Murabahah dari Bank Syariah Y

Pertama, Pembiayaan dan Penggunaannya: Bank berjanji dan dengan ini akan mengikatkan
diri untuk menyediakan fasilitas pembiayaan kepada nasabah yang akan digunakan untuk membeli
barang, dan nasabah berjanji serta dengan ini akan mengikatkan diri untuk menerima pembiayaan
tersebut dari dan karenanya telah berutang pada bank sejumlah sebagai berikut, Harga Beli/Jumlah
Utang Pokok Rp....... + Margin Keuntungan Rp....... Jumlah atau Besarnya Utang Rp........

Kedua, Jangka Waktu dan juga Cara Pembayaran: Nasabah berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk membayar kembali jumlah seluruh utangnya pada bank dalam jangka
waktu sekian bulan terhitung dari tanggal akad ini ditandatangani, dengan cara mengangsur pada
tiap-tiap bulan sesuai dengan jadwal angsuran yang ditetapkan dalam Surat Sanggup untuk
Membayar, dan lunas pada saat jatuh tempo.

Setiap pembayaran oleh nasabah pada bank lebih dahulu digunakan untuk akhirnya melunasi biaya
administrasi dan biaya lainnya berdasarkan akad ini dan sisanya barulah dihitung sebagai
pembayaran angsuran/pelunasan atas harga pokok barang dan Margin Keuntungan bank. Dalam
hal jatuh tempo pembayaran kembali pembiayaan jatuh bertepatan dengan bukan pada hari kerja
bank, maka nasabah berjanji dan dengan ini telah mengikatkan diri untuk melakukan pembayaran
pada hari pertama bank itu bekerja kembali.

Dalam hal terjadi kelambatan pembayaran oleh nasabah kepada bank, maka nasabah berjanji dan
dengan ini mengikatkan diri untuk membayar biaya administrasi pada bank untuk tiap hari
kelambatan, terhitung sejak saat kewajiban pembayaran tersebut jatuh tempo sampai dengan
tanggal dilaksanakannya pembayaran kembali.
25
Ketiga, Jaminan. Untuk menjamin akan tertibnya pembayaran kembali atau pelunasan
pembiayaan dan Margin Keuntungan tepat pada waktu yang telah disepakati keduabelah pihak
berdasarkan akad ini, maka nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk kemudian
menyerahkan jaminan dan juga membuat pengikatan jaminan kepada bank sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
akad ini.

Akad Murabahah dari Bank Syariah Z

Pertama, Harga Jual Al-Murabahah dan juga dari Penggunaannya: 1. Nasabah dengan ini
berjanji dan mengikatkan diri kepada bank untuk membayar harga jual barang atau hutang
murabahah, yang terdiri dari Harga Beli + Keuntungan Maksimum = Jumlah atau Harga Jual
Maksimum; 2. Setiap realisasi jual-beli al-murabahah secara bertahap maupun sekaligus,
dipergunakan khusus untuk pembelian.

Kedua, Jual-Beli dan Hutang Murabahah. Dengan tetap memperhatikan dan menaati
ketentuan tentang jual-beli barang secara murabahah, bank berjanji dan dengan ini mengikatkan
diri untuk melaksanakan jual-beli barang dengan pihak nasabah dengan cara piutang murabahah,
setelah pihak nasabah memenuhi seluruh prasyarat sebagai berikut: 1. Nasabah telah menyerahkan
kepada bank seluruh dokumen nasabah, termasuk dan tidak terbatas pada dokumen-dokumen
jaminan yang berkaitan dengan akad ini; 2. nasabah telah menandatangani akad ini serta akad
pengikatan jaminannya serta menyerahkan bukti-bukti tentang kepemilikan atau hak lain atas
barang jaminannya; 3. Nasabah telah membuat dan juga menandatangani tanda bukti penerimaan
uang, dan meyerahkannya kepada bank; Terhadap pelaksanaan jual beli secara murabahah,
nasabah wajib menyerahkan aksep atau Surat Sanggup membayar kepada bank.

Ketiga, Jangka Waktu dan juga Cara Pembayaran. Nasabah berjanji dan dengan ini akan
mengikatkan diri untuk membayar kembali jumlah keseluruhan kewajibannya pada bank dalam
jangka waktu yang terhitung dari tanggal sekian sampai dengan tanggal sekian dengan cara
mengangsur pada tiap-tiap bulan sesuai dengan jadwal angsuran yang telah ditetapkan dalam Surat
Sanggup Membayar, yang merupakan bagian yang mana tidak terpisahkan dari akad ini: 1. Dalam
hal terjadi keterlambatan pembayaran oleh nasabah kepada bank, maka nasabah berjanji dan

26
dengan ini mengikatkan diri untuk membayar biaya administrasi sebesar kerugian yang dialami
oleh bank dengan perhitungan sejak saat kewajiban pembayaran tersebut telah jatuh tempo sampai
dengan tanggal dilaksanakannya suatu pembayaran kembali; 2. Setiap pembayaran oleh nasabah
kepada bank lebih dahulu digunakan untuk melunasi biaya administrasi dan biaya lainnya
berdasarkan akad ini dan sisanya baru dihitung sebagai pembayaran angsuran/pelunasan atas harga
jual bank sebagai penjual; 3. Dalam hal jatuh tempo pembayaran kembali pembiayaan jatuh
bertepatan dengan bukan pada hari kerja bank, maka nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan
diri untuk melakukan pembayaran 1 (satu) hari sebelum hari yang bukan merupakan hari kerja
tersebut.

Keempat, Jaminan. Untuk menjamin tertibnya pembayaran kembali atau pelunasan


pembiayaan dan margin keuntungan tepat pada waktu yang telah disepakati kedua belah pihak
berdasarkan akad ini, maka nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menyerahkan
jaminan dan juga membuat pengikatan jaminan kepada bank sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akad ini.

Dari ketiga contoh dari akad baku pembiayaan murabahah di atas maka hal yang harus ada
dalam akad murabahah, yaitu adanya klausul mengenai harga jual barang yang terdiri dari harga
beli barang dan margin keuntungan yang akan diperoleh bank syariah. klausul ini merupakan
karakteristik dari akad murabahah yang berdasarkan prinsip jual-beli, bahwa pembeli atau nasabah
harus mengetahui berapa harga beli barang dan keuntungan yang akan diperoleh bank syariah.
Adanya jaminan pada pembiayaan murabahah diperbolehkan sebagaimana di dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional disebutkan bahwa Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya. Bank dapat untuk meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat
dipegang. Pada umumnya jaminan yang diberikan oleh nasabah adalah benda yang menjadi objek
dari pembiayaan murabahah. Bila jika dikaji menurut hukum jaminan adalah diperbolehkan
mengingat bahwa pembiayaan murabahah adalah didasarkan pada akad jual-beli maka objek atas
pembiayaan murabahah menjadi milik dari nasabah sehingga nasabah mempunyai kewenangan
dalam menjaminkan benda tersebut.

Dalam perjanjian baku itu kadangkala terdapat klausul eksemsi atau juga exemtion clause, dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah exoneratie clausule dalam akad. Dimaksud dengan klausula
27
eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggungjawab
dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggungjawab tersebut
mestinya dapat dibebankan kepadanya.35 Demikian juga dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini
bahwa dalam perjanjian baku seringkali dimuat klausul-klausul yang sangat menekan nasabah, hal
demikian bertentangan dengan asas kepatutan atau asas keadilan. Termasuk klausul-klausul yang
berat sebelah adalah klausul eksemsi. Perjanjian yang berat sebelah yang mau menang sendiri di
pihak bank, di masa lalu banyak dinyatakan oleh pengadilan sebagai perjanjian yang bertentangan
dengan asas kepatutan dan akhirnya dinyatakan sebagai klausul yang tidak sah dan batal demi
hukum.36 Adanya klausula eksemsi dalam akad bank syariah yangs jelas bertentangan dengan
syariah disamping melanggar Pasal 18 ayat 1 UUPK huruf a, klausula eksemsi atau klausula yang
menyatakan bahwa pengalihan tanggungjawab pelaku usaha yang mengakibatkan klausula akad
tersebut akibatnya batal demi hukum.

35
Munir Fuady, 2007, hal: 98
36
Sutan Remy Sjadeini, 1999, hal:139
28

Anda mungkin juga menyukai