BAB IV
TEORI AKAD (NADHARIYAH AL-AQD)
A. Pengertian Akad
Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian, dan permufakatan.
Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan
khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah:
“segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik
yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf,
membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan
pada kehendak dua pihak dalam melakukannya, seperti jual beli, sewa
58
1Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), cet. 4,
h2918-2919.
2 Ibid
59
3 Ibid, h. 2920. Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philoshopy of Islamic Law of
Transactions, (Malaysia: Univision Press, 1999), h. 59
4 ibid, Abdurrahman, Op. Cit, Wahbah, h. 2920.
60
Untuk lebih jelasnya, berikut ini pendapat para ulama mengenai “janji”
tersebut.
a. Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) dari kalangan mazhab Hanafi,
Syafi’i, Hambali dan salah satu pendapat dari mazhab Maliki
berpendapat bahwa janji hanya mengikat secara agama, tidak mengikat
secara hukum (legal formal) sehingga tidak dapat dituntut di pengadilan.
Ini mengingat bahwa janji merupakan akad kebajikan (tabarru’),
sedangkan akad kebajikan tidak mengikat sebagaimana dalam hibah. 6
b. Sebagian ulama, di antaranya Ibn Syubrumah (w. 144 H), Ishaq ibn
Rahawaih (w. 238 H), al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan salah satu
pendapat (qaul) mazhab Maliki, menyatakan bahwa janji adalah mengikat
secara hukum.7 Pendapat ini didasarkan pada QS. al-Shaff: 2-3; dan hadis
Nabi:
“Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia
ingkar; dan jika diberi amanat, ia khianat” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).8
c. Sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa janji mengikat secara
hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab walaupun orang yang
berjanji tidak menyebutkan sebab tersebut dalam pernyataan janjinya. 9
Loc. cit.
8Imam Muslim, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), jilid. 1, h. 51 ; lih a t pula a l -
Nawawi, Shahih Muslim bi-Syarh al-Nawawi, (Al-Qahirah: al-Mathba’ah al-Mishriyah, t.th .),
jilid. 2, h. 46.
9al-Hattab, Loc. cit.; Ibn Rusyd, al-Bayan wa al-Tahshil, (Beirut: Dar al-Gharb a l -Islami,
1988), j. 8, h. 18.
62
13Uraian tentang rukun akad didasarkan pada penjelasan Wahbah. Wahbah, Op.cit, h .
2930 dst.
64
bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh hukum dan
bahwa akad tersebut harus menimbulkan manfaat (kegunaan, mufid).
4). Maudhu’ al-‘aqd atau tujuan akad merupakan salah satu bagian penting
yang mesti ada pada setiap akad . Yang dimaksud dengan maudhu’ al-‘aqd
adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan (al-maqshad al-ashli
alladzi syuri’a al-‘aqd min ajlih). Menurut hukum Islam, yang menentukan
tujuan hukum akad adalah al-Musyarri’ (yang menetapkan syariat, yaitu
Allah). Dengan kata lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui
melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu,
semua bentuk akad yang tujuannya bertentangan dengan syara’ (hukum
Islam) adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum;
misalnya, menjual barang yang diharamkan seperti minuman keras
(khamr). Jika hal itu terjadi, dalam pandangan hukum Islam akibat
hukumnya tidak tercapai. Tegasnya, menurut hukum Islam, jual beli atas
barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan
kepemilikan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang
kepada penjual.
Tujuan dalam setiap akad berbeda-beda karena berbeda jenis atau
bentuk akadnya. Dalam akad jual beli, misalnya, akibat hukumnya adalah
pemindahan pemilikan benda dengan imbalan; dalam akad hibah, akibat
hukumnya adalah pemindahan pemilikan benda tanpa imbalan; dalam akad
sewa menyewa (ijarah), akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan
manfaat suatu benda atau jasa orang dengan imbalan; dalam akad
peminjaman (i’arah), akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan
manfaat suatu benda tanpa imbalan; demikian seterusnya.
Tujuan akad itu tercapai segera setelah akad dilakukan apabila syarat-
syarat yang diperlukan telah terpenuhi.
66
pihak yang berakad dalam akad yang bersifat mengikat satu pihak seperti
wadi’ah (penitipan).
Sedangkan, yang dimaksud dengan luzum (mengikat) adalah
ketidakbolehan “membatalkan” (fasakh) akad kecuali atas kerelaan kedua
belah pihak. Akad yang memiliki akibat hukum luzum (disebut akad lazim)
adalah akad yang tidak mengandung hak khiyar (hak pilih untuk meneruskan
atau tidak meneruskan akad). Akibat hukum luzum ini, menurut ulama
mazhab Hanafi dan Maliki, timbul begitu akad (ijab kabul) selesai dilakukan;
sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i dan Hambali, ia baru muncul
setelah majlis akad selesai. Dari perbedaan pendapat ini nampaknya yang
paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa akad memiliki akibat
hukum begitu selesai dilakukan. Dalam konteks sekarang adalah setelah
dilakukan penandatanganan kedua belah pihak. Karena saat itulah secara
nyata kedua belah pihak yang terlibat dalam akad menunjukkan
kesepakatannya.
1). Pemaksaan sempurna (ikhrah tam), yaitu yang berakibat pada hilangnya
jiwa, atau anggota badan, atau pukulan keras yang bisa mengakibatkan
cacat fisik pada dirinya atau kerabatnya.
2). Pemaksaan tidak sempurna (ikhrah naqish), yaitu mengakibatkan rasa
sakit yang ringan atau berupa pukulan yang ringan.
Para ulama mensyaratkan bahwa pemaksaan yang berpengaruh pada
akad adalah pemaksaan yang tidak disyari’atkan (tidak dibenarkan secara
hukum). Namun jika pemaksaan itu dikehendaki secara hukum, maka
pemaksaan itu tidak berpengaruh. Misalnya, pemaksaan hakim terhadap
seseorang yang berhutang untuk menjual kelebihan hartanya (dari
kebutuhan) untuk membayar utang. 15
b. Kesalahan mengenai obyek akad (Ghalath)
Ghalath berarti kesalahan, yakni kesalahan orang yang berakad dalam
menggambarkan obyek akad, baik kesalahan dalam menyebutkan zat (jenis)
maupun dalam menyebutkan sifatnya. Misalnya, seseorang membeli
perhiasan yang diduganya adalah emas, namun ternyata tembaga. Akad
seperti ini sama dengan akad pada sesuatu yang tidak ada obyeknya. Dengan
demikian, status hukum jual beli tersebut adalah batal, karena obyek akad
yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada.
c. Penipuan (Tadlis) atau Keidak pastian (Taghrir) pada obyek akad
Tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek
akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan
kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibat
merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut. 16 Upaya ini disebut juga
dengan taghrir (penipuan).
Tadlis ada tiga macam:
a) Tadlis perbuatan, yakni menyebutkan sifat yang tidak nyata pada obyek
akad.
b) Tadlis ucapan, seperti berbohong yang dilakukan oleh salah seorang yang
berakad untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan akad. Tadlis
kadang terjadi juga pada harga barang yang dijual, atau menipu dengan
memberi penjelasan yang menyesatkan.
c) Tadlis dengan menyembunyikan cacat pada obyek akad padahal ia sudah
mengetahui kecacatan tersebut. 17
Akad yang mengandung tipuan (tadlis) dilarang oleh hukum Islam,
tetapi tidak berpengaruh pada akad, kecuali jika disertai tipuan besar. Dalam
hal disertai tipuan besar, maka pihak yang ditipu berhak membatalkan akad,
untuk menyelamatkan dirinya dari kerugian, artinya ia sebagai pihak yang
ditipu diberi hak khiyar mem-fasakh akad jual belinya, disebabkan adanya
tipu daya yang disertai rayuan. 18
d. Ketidak seimbangan obyek akad (Ghaban) disertai tipuan (Taghrir)19
Pengertian ghaban di kalangan fuqaha adalah tidak terwujudnya
keseimbangan antara obyek akad (barang) dengan harganya, seperti
harganya lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang sesungguhnya.
Sedangkan taghrir (penipuan) adalah menyebutkan keunggulan pada barang
tetapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Ghaban ada dua macam yaitu yang sedikit (yasir) dan banyak (fahisy).
Ghaban sedikit ialah seperti seseorang membeli sebuah barang seharga Rp
1.000,- sedangkan menurut penilaian orang yang ahli harganya hanya Rp
900,-. Adapun ghaban banyak adalah penilaian orang ahli jauh lebih murah.
Misalnya seseorang membeli rumah. Menurut orang ahli sebenarnya
harganya hanya seperlima dari yang dibayar oleh pembeli.
Ghaban kurang berpengaruh pada akad, karena hal itu sering terjadi
sehingga sulit menghindarinya sehingga ia tidak boleh dijadikan alasan
untuk mengurungkan akad. Biasanya masyarakat sangat toleran pada ghaban
yang sedikit. Adapun ghaban yang besar berpengaruh pada sikap ridha
orang yang mengadakan akad, sehingga melenyapkan rasa ridhanya.
Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang
apakah yang tertipu berhak mem-fasakh akad .
E. Macam-macam Akad
Dari lihat dari aspek sifat dan hukumnya, akad dibagi menjadi akad sah
(shahih) dan akad tidak sah (ghair shahih). Akad sah adalah akad yang
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah berlakunya
seluruh akibat hukum akad (baik yang bersifat khusus maupun bersifat
umum) yang ditimbulkan oleh akad itu, saat itu juga, dan mengikat bagi para
pihak yang melakukannya. Sebagai contoh, jual beli yang sah-dalam arti
telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya, setelah terjadi ijab dan kabul,
barang yang dijual menjadi milik pembeli dan harga penjualan barang
menjadi milik penjual, kecuali apabila ada syarat khiyar. Perpindahan
kepemilikan itu dipandang sudah terjadi walaupun belum dilakukan serah
terima.
71
Akad sah, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, terbagi atas akad yang
nafidz dan akad yang mauquf. Yang pertama adalah akad yang dilakukan oleh
orang yang cakap hukum (ahliyah) dan memiliki kompetensi untuk
melakukan akad terhadap obyek akad. Sedangkan yang kedua (mauquf)
adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap hukum (ahliyah) namun
tidak memiliki kompetensi untuk melakukan akad terhadap obyek akad
tersebut; misalnya menjual sebuah barang oleh orang yang bukan pemiliknya
padahal ia tidak diberi izin untuk menjualnya. Akad mauquf ini tidak
menimbulkan akibat hukum, kecuali pihak yang berkompeten mengizinkan
atau membolehkannya. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, akad mauquf
ini dipandang sebagai akad yang batal.
Akad tidak sah adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah bahwa semua akibat hukum yang
ditimbulkan dari akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak
yang berakad; misalnya menjual bangkai dan khamr, atau akad jual beli yang
dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum.
Menurut ulama mazhab Hanafi, 20 akad tidak sah terbagi menjadi dua,
yaitu akad yang batal (bathil) dan akad yang rusak (fasid). Akad yang batal
adalah akad yang mengandung cacat pada rukun atau obyeknya. Misalnya
akad yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum atau akad yang
obyeknya tidak dapat menerima hukum akad seperti barang yang
diharamkan. Dengan kata lain, akad batal adalah akad yang tidak dibenarkan
syara’ (hukum Islam) dilihat dari sudut rukun dan cara pelaksanaannya.
Akad batal dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum, walaupun
secara kenyataan pernah terjadi; dan oleh karenanya ia tidak mempunyai
akibat hukum sama sekali. Sedangkan akad fasid adalah akad yang pada
20 Ibid., h. 3087.
72
dasarnya dibenarkan hukum namun akad tersebut disertai hal-hal yang tidak
dibenarkan hukum. 21
F. Pemutusan suatu akad (Faskh)
a. Pengertian faskh
Yang dimaksud dengan pemutusan (faskh) akad di sini adalah
“melepaskan perikatan akad” atau “menghilangkan atau menghapuskan
hukum akad secara total seakan-akan akad tidak pernah terjadi.” Dengan
faskh, para pihak yang berakad kembali ke status semula sebelum akad
terjadi. Demikian pula dengan obyek akad. Barang yang dijual–sebagai
contoh faskh dalam akad jual beli—kembali menjadi milik penjual dan harga
pembayaran barang kembali menjadi milik pembeli. Pemutusan akad dapat
terjadi atas dasar kerelaan (al-taradhi) para pihak dan dapat pula terjadi
secara paksa atas dasar putusan hakim (al-Qadhai).
Faskh adakalanya wajib dan adakalanya ja’iz (boleh). Faskh wajib
dilakukan dalam rangka menghormati ketentuan syari’ah; misalnya faskh
terhadap akad yang fasid. Dalam hal ini faskh dilakukan guna menghilangkan
penyebab ke-fasid-an akad, menghormati ketentuan-ketentuan syari’ah,
melindungi kepentingan (mashlahah) umum maupun khusus, menghilangkan
dharar (bahaya atau kerugian), dan menghindarkan perselisihan akibat
pelanggaran terhadap syarat-syarat yang ditetapkan syari’ah. Sedangkan
faskh yang ja’iz adalah faskh yang dilakukan atas dasar keinginan pihak-pihak
yang berakad; misalnya faskh disebabkan adanya hak khiyar dan faskh yang
didasarkan atas kerelaan dan kesepakatan seperti iqalah. 22
b. Syarat dan Sebab faskh
Sebuah akad boleh di faskh apabila terpenuhi syarat-syarat berikut.
1) Akad yang akan difaskh harus bersifat mengikat kedua belah pihak, yaitu
akad yang berbentuk pertukaran (mu’awadhah).
2) Pihak yang berakad melanggar atau tidak dapat memenuhi syarat yang
ditetapkan dalam akad. Jika salah satu pihak melanggar syarat atau
ketentuan akad yang telah disepakati atau tidak dapat memenuhi
kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan akad, seperti barang yang
disewakan mengalami kerusakan dan pembeli tidak mampu membayar
harga barang yang dibeli, pihak yang lain boleh meminta agar akad
difaskh.
3) Dalam akad tidak terpenuhi unsur kerelaan. Jika salah satu pihak tidak
rela dengan cacat yang terdapat pada obyek akad atau kerelaannya untuk
melakukan akad tidak terpenuhi secara maksimal, misalnya disebabkan
terjadi ghalath (kekeliruan), ikrah (pemaksaan) dan tadlis (penipuan), ia
memiliki hak untuk meminta agar akad difaskh, baik atas dasar kerelaan
pihak yang lain maupun melalui putusan hakim.
c. Akibat hukum faskh
Pemutusan akad menimbulkan akibat hukum sebagai berikut.
1) Akad menjadi berakhir. Sebelum faskh terjadi, akad dan semua akibat
hukumnya berlaku sebagaimana mestinya. Kepemilikan barang yang
dijual–dalam akad jual beli misalnya—beralih menjadi milik pembeli.
Setelah akad difaskh, status akad dan semua akibat hukumnya menjadi
sirna, hilang, seolah-olah akad tidak pernah terjadi dan para pihak
kembali ke kondisi semula sebelum akad dilakukan serta mereka wajib
mengembalikan apa yang telah diterimanya. Jika pengembalian tersebut
tidak mungkin dapat dilakukan, para pihak boleh menetapkan untuk
mengembalikan hal lain sebagai pengganti (ta’widh).
74
2) Faskh menimbulkan akibat hukum yang berlaku surut dan yang berlaku
ke depan. Yang pertama terjadi dalam faskh terhadap akad yang bersifat
fauriyah, yakni akad pertukaran di mana obyek akad yang dipertukarkan
sudah diserah-terimakan pada saat akad terjadi; misalnya akad jual beli.
Dengan demikian, faskh terhadap akad jual beli menimbulkan akibat
hukum bahwa barang yang dijual wajib dikembalikan kepada penjual
dan harga barang wajib dikembalikan kepada pembeli. Akan tetapi, jika
sebelum faskh barang yang dijual (dibeli) sudah dijual lagi oleh pembeli,
akad pertama tersebut tidak boleh difaskh.
Sedangkan akibat hukum yang kedua, yakni yang berlaku ke depan,
terjadi dalam faskh terhadap akad yang bersifat mustamirrah, yakni akad
di mana obyek akad tidak dapat diterima pada saat akad atau
pelaksanaan kewajiban akadnya memerlukan waktu; seperti akad sewa
(ijarah) dan syirkah (kerja sama). Misalnya akad sewa rumah untuk masa
satu tahun; dan pada bulan keenam, kontak difaskhkan. Jika hal ini
terjadi, akibat hukum faskh hanya berlaku untuk enam bulan berikutnya;
tidak berlaku untuk masa enam bulan yang sudah berlalu. 23
23 Ibid.
24 Ibid., h. 3132-3136; lihat pula Muhammad Yusuf Musa, Op. Cit., h. 486-497.
25Akad mauquf adalah akad yang keabsahannya bergantung pada pihak lain; misalnya
Razi menjual sebuah motor milik Ahmad (tanda izin Ahmad) padahal Razi bukan wakil da n
bukan pula wali Ahmad. Keabsahan jual beli ini bergantung pada keizinan Ah mad; jika ia
mengizinkan, jual beli menjadi sah dalam arti bisa dilaksanakan, dan jika tidak mengizinkan,
jual beli harus dihentikan.
75
1. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam
akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang
telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi
milik penjual. Dalam akad rahn (gadai) dan kafalah (pertanggungan), akad
dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar. Demikian juga,
akad berakhir disebabkan intiha’ muddah al-`aqd (berakhir masa akad). Jika
masa kontrak sudah berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah
habis dan akad menjadi berakhir/selesai dengan sendirinya.
2. Fasakh. Sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam
akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang
menyebabkan akad dapat atau bahkan harus difasakh:
a. Disebabkan akad dipandang fasad, misalnya menjual sesuatu yang
tidak jelas spesifikasinya atau menjual sesuatu dengan dibatasi
waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasad, dan karenanya harus
(wajib) difasakh, baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh
hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak
dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual barang yang
dibelinya. Dalam kasus terakhir ini pembeli wajib mengembalikan
nilai (qimah) barang yang dijualnya itu dengan nilai pada saat ia
menerima barang, dan bukan mengembalikan harga yang disepakati.
b. Disebabkan adanya khiyar.26 Pihak yang memiliki hak khiyar, baik
khiyar syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah maupun lainya dibolehkan
untuk melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya. Fasakh boleh
dilakukan tanpa memerlukan pihak lain; kecuali dalam khiyar ‘aib
(khiyar disebabkan terdapat kerusakan pada obyek akad) setelah
Khiyar adalah kondisi di mana para pihak yang berakad memiliki hak untuk
26
27Khiyar al-naqd adalah salah satu bentuk khiyar dalam akad jual beli di m a na da lam
akad itu dua pihak sepakat menetapkan bahwa “jika pihak pembeli tidak membayar h a rga
pada masa tertentu, akad jual beli dinyatakan tidak pernah ada (tidak berlaku)”; atau da la m
77
b. Akad rahn dan kafalah. Kedua akad ini adalah bentuk akad yang
hanya mengikat satu pihak yaitu pihak kreditur (da’in, pemegang
gadai) dan makful lah (penerima manfaat kafalah).
Jika pemberi gadai meninggal, akad menjadi berakhir dan barang
gadaian dijual (oleh washiy, pengampu) untuk membayar utangnya
apabila ahli waris masih di bawah umur. Akan tetapi, jika ahli
warisnya orang dewasa, mereka bisa membayarkan utang pewaris
pemberi gadai guna menyelamatkan barang gadaian.
Dalam akad kafalah (kafalah bi al-dain), akad tidak berakhir
disebabkan kematian debitur (madin). Akad baru berakhir dengan
pembayaran utang kepada kreditur (da’in) atau pembebasan utang
(ibra’). Jika kafil (pemberi garansi) meninggal dunia, utang yang
digaransinya dibayar dari harta peninggalannya.
5. Tidak ada persetujuan (`adam al-ijazah). Akad mauquf berakhir apabila
pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan
terhadap pelaksanaan akad.
hal penjual telah meneriman pembayaran harga ditetapkan bahwa “jika da lam masa tiga hari
penjual mengembalikan harga, akad jual beli dinyatakan tidak pernah ada (tidak berlaku)”.
78
“dari amr bin suaib dari ayahnya dari kakeknya RA bahwasanya Nabi SAW
bersabda: penjual dan pembeli ada hak khiyar sehingga mereka berpisah, kecuali pada
jual beli yang telah ditetapkan ada khiyar sekian waktu, dan tidak halal yang
seseorang meninggalkan yang lainnya karena takut minta dibatalkan”.(H.R.
Bukhari, Muslim. Dawud, dan Turmudzi)
“dari ibnu umar RA, ia berkata: seorang laki-laki mengadu, maka Rasulullah SAW
bersabda:” apabila engkau berjual beli, katakanlah jangan ada tipuan.”(HR. Bukhari
Muslim)
28 Muhammad Yusuf Musa, al-Fiqh al-Islami Madkhal li-Dirasatihi, Nidzam al -Mu’ amal at
79
b. Macam-macam Khiyar
Pada dasarnya, kontrak menurut hukum Islam bersifat mengikat
(lazim) dan tidak mengandung khiyar. Akan tetapi, mengingat bahwa dalam
setiap kontrak yang dilakukan dipersyaratkan adanya kerelaan (ridha) para
pihak, maka syari’at Islam menetapkan hak khiyar yang fungsi utamanya
adalah untuk menjamin syarat kerelaan itu telah terpenuhi. 29
Hak khiyar boleh bersumber dari kedua belah pihak yang berkontrak
seperti khiyar syarth dan khiyar ta'yin, dan boleh pula bersumber dari syara',
seperti khiyar 'aib, khiyar ru'yah, dan khiyar majlis. Berikut dikemukakan
pengertian masing-masing yang dimakud. 30
a. Khiyar Majlis
Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih bagi kedua belah
pihak yang berkontrak untuk meneruskan atau tidak meneruskan kontrak
selama keduanya masih dalam majelis akad dan belum berpisah. Khiyar ini
hanya berlaku dalam kontrak yang bersifat mengikat kedua belah pihak
seperti jual beli dan sewa menyewa.
Jadi, apabila suatu kontrak telah dilaksanakan dan dipenuhi semua
rukun syaratnya, serta kedua belah pihak sudah saling rela dan sepakat untuk
tidak menggunakan hak khiyar, maka kontrak telah sah dan tidak ada lagi
peluang di tempat itu untuk “membatalkan” kontrak. Menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah 31, esensi yang penting adalah selesai atau tidaknya
akad jual beli bukan persoalan telah terpisahnya orang dari tempat akad.
b. Khiyar Ta'yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta'yin adalah hak pilih bagi pembeli
dalam menentukan barang yang menjadi obyek kontrak. Khiyar at-ta'yin
berlaku apabila obyek kontrak hanya satu dari sekian banyak barang yang
berbeda kualitas dan harganya dan satu pihak –pembeli misalnya—diberi hak
menentukan mana yang akan dipilihnya. 32 Dengan kata lain, khiyar at-ta'yin
dibolehkan apabila identitas barang yang menjadi obyek kontrak belum jelas.
Oleh sebab itu, khiyar at-ta'yin berfungsi untuk menghindarkan agar kontrak
tidak terjadi terhadap sesuatu yang tidak jelas (majhul).33
Ulama Hanafiyah yang membolehkan khiyar at-ta'yin, mengemuka kan
tiga syarat untuk sahnya khiyar ini, yaitu: 1). pilihan dilakukan terhadap
barang sejenis yang berbeda kualitas 2). barang itu berbeda harganya, dan 3).
tenggang waktu untuk khiyar al-ta'yin itu harus ditentukan. 34 Khiyar at-ta’yin,
menurut ulama Hanafiyah hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik yang berupa benda dan mengikat bagi kedua belah
pihak, seperti jual beli.
c. Khiyar Syarth
Yang dimaksud dengan khiyar syarth adalah hak pilih yang ditetapkan
bagi salah satu pihak yang berakad, keduanya atau bagi orang lain untuk
meneruskan atau “membatalkan” kontrak, selama masih dalam selang waktu
yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari
engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau
membatalkan akad selama satu minggu.”
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar syarath ini dibo-
lehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak para pihak dari unsur
penipuan yang mungkin terjadi. Khiyar syarth, menurut mereka, hanya berlaku
dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti jual beli,
sewa menyewa, perserikatan dagang, dan ar-rahn (jaminan utang). Untuk
transaksi yang sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak, seperti hibah,
pinjam meminjam, perwakilan (al-wakalah), dan wasiat, khiyar seperti ini tidak
berlaku. Demikian juga halnya dalam akad jual beli pesanan (bai' as-salam) dan
ash-sharf (jual beli mata uang), khiyar asy-syarath tidak berlaku, sekalipun
kedua akad itu bersifat mengikat kedua belah pihak yang berakad, karena
dalam jual beli pesanan, disyaratkan pihak pembeli menyerahkan seluruh
harga barang ketika akad disetujui, dan dalam akad ash-sharf disyaratkan
nilai tukar uang yang dijualbelikan harus diserahkan dan dapat diseraht-
erimakan setelah persetujuan dicapai dalam akad. Khiyar asy-syarth ini
menentukan bahwa baik barang maupun nilai atau harga barang baru dapat
dikuasai secara hukum, setelah masa waktu khiyar yang disepakati itu
selesai.35
Masa waktu dalam khiyar asy-syarth, menurut mayoritas ahli hukum
Islam harus jelas. Apabila jangka waktu khiyar tidak jelas atau bersifat
selamanya, maka khiyar tidak sah. Menurut ulama Malikiyah, jangka waktu
dalam khiyar asy-syarth boleh bersifat mutlak, tanpa ditentukan waktunya.
Dalam kasus seperti ini, menurut mereka, hakim berhak menentukan jangka
waktu secara pasti atau diserahkan kepada kebiasaan setempat (‘urf).36
Apabila kedua belah pihak menyatakan jangka waktu secara pasti maka
35 Lihat Ibnu 'Abidin, loc.cit.; Asy-Syirazi, Op.cit., Jilid I, h. 259; dan Ibnu Qudamah, al -
Mughni, Jilid III, h. 589
36 As-Syarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid XII, h. 40; Ibnu Rusyd,
d. Khiyar 'Aib
Yang dimaksud dengan khiyar 'aib yaitu hak untuk “membatalkan” atau
melangsungkan kontrak bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila
terdapat suatu cacat pada obyek kontrak, dan cacat itu tidak diketahui
pemiliknya ketika kontrak berlangsung. Misalnya, seseorang membeli telur
ayam satu kilo gram, kemudian satu butir di antaranya sudah busuk atau
ketika telur dipecahkan sudah menjadi anak ayam. Hal ini sebelumnya tidak
diketahui baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini,
menurut para pakar fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar hukum
khiyar 'aib ini, antaranya adalah sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim me n j u a l
barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang terdapat 'aib/cacat. (HR Ibn
Majah dari 'Uqbah ibn 'Amir).
83
e. Khiyar Ru'yah
Yang dimaksud dengan khiyar ar-ru'yah adalah hak pilih bagi salah
satu pihak berkontrak –pembeli misalnya-- untuk menyatakan bahwa
kontrak yang dilakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika
kontrak berlangsung-- berlaku atau tidak berlaku (tidak diteruskan).
Mayoritas ahli hukum Islam, yang terdiri atas ulama Hanafiyah, 38
Malikiyah39 Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru'yah
disyari'atkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang
mengatakan: Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak
khiyar apabila telah melihat barang itu. (HR ad-Daruqutni dui Abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan obyek
yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad atau karena
sulit dilihat seperti makanan kaleng. Khiyar ru'yah, menurut mereka, mulai
berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan dia beli.
37 Lihat Imam al-Kasani, op.cit.,h 273; Ibnu Qudamah,loc.cit.; asy-Syarbaini a l-Kh atib,
op.cit., h. 49; dan Mustafa Ahmad az-Zarqa', Op. Cit., h. 374.
38Ibid.
39Ibnu Rusyd, op.cit., Jilid II, h. 154; Ibnu Qudamah, op.cit., Jilid II, h. 580;
84
Abu al Fathi, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al Sadir, 1989), Jilid VII, h. 345.
42
V, h. 3698
86
44Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar 'ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), Jilid
87
Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda
bukan merupakan syarat dari terjadinya riba tetapi merupakan
sifat/karakteristik ( )حالdari praktek membungakan uang saat itu. Dalam hal
IV, h. 165.
88
saw melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi
dalam masalah riba, dan para penulisnya. (HR Abu Daud, dan hadis yang sama
juga diriwayatkan Muslim dan Jabir ibn 'Abdillah).
Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Qur’an
maupun sunnah. tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaski bisnis.
Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kedzaliman
pada salah satu pihak.
b. Macam-macam Riba
Mayoritas ulama membagi riba menjadi dua; riba fadhl dan riba nasiah.
a. Riba Fadhl
Riba fadl merupakan riba yang berlaku dalam jual beli yang
didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan: Kelebihan pada salah satu barang
sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara'. 46
Yang dimaksudkan dengan ukuran syara' di sini adalah timbangan
atau takaran tertentu. Maka riba fadl merupakan pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Ketentuan tentang
barang ribawi di dasarkan pada hadis Nabi saw.: “(Memperjualbelikan)
emas dengan emas, perak dengan pe rak, gandum den g an g a n d u m , a n g g u r
dengan anggur. Kurma dengan kurma, garam dengan garam (haruslah)
sama, seimbang, dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda
maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh berlebih) asal dengan tunai. (HR
Muslim dari 'Ubadah ibn ash-Shamit).
45Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari, Jaami’u al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al
Qur’an, Jilid IV, Cet. 2., (Mesir: Musthafa al Babi al Halabi, 1954), h. 90.
46Imam al Kasani, al Bada’i’u ash shana’i’u, (Beirut: Dar al Fikr, tt.), Jilid V, h. 183.
89
b. Riba Nasi’ah
Ulama Madzhab Hanafi mendefinisikan riba Nasi’ah adalah:
"Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang di tangguhkan, memberikan
kelebihan pada benda di banding utang pada benda yang di takar atau di tim bang
yang berbeda jenis atau selain dengan di takar dan di timbang yang sama jenis nya".
Yang dimaksudkan dengan menangguhkan di sini adalah apabila
terjadi jual beli pada barang ribawi dengan barang ribawi yang sama atau
berlainan dan masa pembayarannya ditangguhkan. Dalam jual beli barter,
sejenis maupun tidak sejenis, riba an-nasi'ah pun dapat terjadi, yaitu
dengan cara membeli barang sejenis dengan kelebihan salah satunya, yang
pembayarannya tunda. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang
diiringi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk
riba an-nasi'ah. 47 Pendapat ulama tentang keharaman riba jenis ini
didasarkan kepada sabda Rasulullah saw. yang artinya:
(Memperjualbelikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
deng an gandum, anggur dengan anggur. Kurma dengan kurma, garam
dengan garam (haruslah) sama, seimbang, dan t u n a i . A p a bi l a j e n i s y a n g
diperjualbelikan berbeda maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh
berlebih) asal dengan tunai. (HR Muslim dari 'Ubadah ibn ash-Shamit).
Dua jenis pertama (emas dan perak), diperjualbelikan dengan cara
timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan
dengan cara ditakar (al-kail). Selanjutnya dalam riwayat lain Rasulullah
bersabda: Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas, kecuali jika seimbang
(sama beratnya) dan jangan kamu melebihkan yang satu dari yang lainnya dan
jangan pula kamu jual sesuatu yang ada dengan yang belum ada. (HR al-Bukhari
dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri).
47Ibid.
90
49Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, (JakartaL BI-
Tazkia, 1999), h. 63-64
92
Menurut mereka bunga bank adalah identik dengan riba dan haram
hukumnya. Adapun alasan yang mereka ajukan antara lain:
a. Bunga bank merupakan bentuk penindasan golongan mampu (aghniya)
terhadap kaum dhuafa (lemah ekonomi).
b. Bunga bank akan menciptakan ketidakseimbangan kekayaan. Hal ini
bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan
kehendak Allah yang menghendaki penyebaran pendapatan kekayaan
secara adil.
c. Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur yaitu para
penanam modal dapat menerima setumpukkan kekayaan dari bunganya,
sehingga mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya,
cara hidup ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang
terssebut.
d. Alasan terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank
bertentangan dengan prinsip ajaran Allah yang terdapat dalam al-
Quran dan ajaran Rasul-Nya
Kedua, kelompok yang menganggap subhat (samar). Di antara pakar
hukum Islam yang berpendapat demikian adalah Musthafa Ahmad al-Zarqa.
Dalam bukunya yang berjudul ia berpendapat bahwa:
a. Sistem perbankan yang berlaku hingga saat ini dapat diterima sebagai
suatu penyimpangan yang bersifat sementara, dengan kata lain bahwa
sistem perbankan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, maka
umat Isalam dibolehkan bermualah atas dasar pertimbangan darurat,
tetapi umat Islam harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.
b. Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba di kalangan Arab
Jahiliyyah saja, yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari
orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang-
93
ketika di negara ini belum ada satupun bank yang beroperasi dengan sistem
syari’ah. Oleh karena itu, kesimpulan tidak mengharamkan bunga bank baik
secara muthlak atau dalam kategori musytabihat merupakan sesuatu yang
wajar dalam konteks upaya memberikan solusi cerdas kepada umat dalam
melakukan transaksi dengan perbankan konvensional. Namun demikian,
Untuk saat ini pendapat di atas dinilai kurang relevan mengingat perbankan
syari’ah telah berkembangan pesat dan sangat mudah dijangkau oleh
masyarakat luas khususnya yang tinggal di daerah perkotaan. Oleh karena
itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui komisi fatwanya pada tanggal
14-16 Desember 2003 melakukan pertemuan (ijtima) ulama seindonesia yang
kemudian menghasilkan keputusan bahwa sistem perbungaan (interest)
adalah haram hukumnya. Walaupun demikian fatwa tersebut tetap saja
memberikan pengecualian untuk daerah yang belum terjangkau bank
syari’ah, bertransaksi dengan bank konvensional tetap diperbolrhkan dengan
alasan kondisi darurat (al-dharuratu tubihu al-mahdhurat).