Anda di halaman 1dari 39

57

BAB IV
TEORI AKAD (NADHARIYAH AL-AQD)

Dalam kajian Fiqh Muamalat, masalah akad menempati posisi sentral


karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk
memperoleh suatu maksud atau tujuan, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah. Tidak jarang karena kesalahan dalam
memilih akad atau kurang terpenuhinya syarat dan rukun akad, transaksi
yang dilakukan seseorang bisa dinilai tidak sah (batal).
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai akad penting dan harus
dikuasai oleh setiap orang yang masih memiliki komitmen menjalankan
segala macam transaksi bisnisnya selaras dengan tuntutan syari’ah. Berikut
akan diuraikan hal-hal yang terkait dengan akad yang meliputi pengertian
akad, perbedaan akad dan janji, rukun dan syarat akad, hal-hal yang dapat
merusak akad, macam-macam akad, pemutusan akad, dan berakhirnya akad.
Di samping itu, pada akhir pembahasan juga akan dibahas tentang khiyar
dan riba yang merupakan aspek penting yang menentukan keberlangsungan
akad juga menentukan sah atau tidaknya akan yang dilakukan.

A. Pengertian Akad
Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian, dan permufakatan.
Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan
khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah:
“segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik
yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf,
membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan
pada kehendak dua pihak dalam melakukannya, seperti jual beli, sewa
58

menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan”. 1 Sedangkan arti khusus (al-


ma’na al-khas) akad adalah:
2‫ارتباط اجياب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره ىف حمله‬
“Pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari’ah
(Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad.”
Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan dan
kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi akad. Oleh
karena itu, ijab dan qabul menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-
masing pihak secara timbal balik. Ijab adalah pernyataan pihak pertama
mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan
pihak kedua untuk menerimanya.
Pencantuman kata “sesuai dengan kehendak syariah” dalam definisi di
atas, maksudnya adalah bahwa setiap akad yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih tidak dipandang sah jika tidak sejalan dengan kehendak atau
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh al-syar’i (Allah dan
Rasulnya) misalnya akad untuk melakukan transaksi riba atau transaksi lain
yang dilarang. Apabila ijab dan qabul telah dilakukan sesuai dengan syarat-
syaratnya dan sesuai dengan kehendak syara’, maka muncullah akibat
hukum dari perjanjian tersebut. Misalnya, dalam jual beli, terjadinya
perpindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan penjual
berhak menerima harga barang yang dijualnya dari pembeli.
Sehubungan dengan pengertian akad baik yang umum maupun yang
khusus, ada istilah lain dalam kajian muamalat yang memiliki kesamaan
dengan akad, yaitu iltizam (obligation), dan tasarruf (conduct or disposition).

1Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), cet. 4,
h2918-2919.
2 Ibid
59

Iltizam (obligation) diartikan sebagai tindakan hukum yang berupa


pembentukan (insya’), pemindahan (naql), penggantian (ta’dil), dan
penghentian (inha’) hak, baik yang muncul dari satu pihak saja seperti dalam
wakaf dan pembebasan hutang, atau yang berasal dari kedua belah pihak,
seperti jual beli dan sewa menyewa. Dengan demikian iltizam mempunyai
arti yang sama dengan akad dalam pengertian umumnya (al-ma’na al-am),
tetapi berbeda dengan dalam pengertian khusus (al-ma’na al-khas) yang hanya
mencakup tindakan hukum yang kehendaknya berasal dari dua pihak. 3
Sedangkan, tasharruf (conduct or disposition) adalah "Segala sesuatu yang
bersumber dari kehendak seseorang baik berupa perkataan maupun
perbuatan, di mana syara' menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum, baik
yang menyangkut kepentingan orang tersebut maupun orang lain”. Tasharruf
yang berupa perkataan seseorang misalnya jual beli, hibah, wakaf, atau
pengakuan hak, sementara tasharruf yang berupa perbuatan antara lain
penguasaan terhadap harta bebas (ihraz al-mubahaat), mengkonsumsi
(istihlak), dan memanfaatkan (intifa’) harta.4
Atas dasar definisi di atas, istilah tasharruf lebih umum dibandingkan
dengan akad dan iltizam, karena tasharruf terdiri dari perkataan dan perbuatan
baik yang menimbulkan iltizam maupun tidak. Di sisi lain, tidak semua
tasharruf qauly (perkataan) masuk kategori akad walaupun dengan maknanya
umum, seperti dalam hal gugatan (al-da’wa) dan pengakuan (al-iqrar).

B. Perbedaan Akad dan Janji (al-Wa’ad)


Istilah janji (al-Wa’ad) sering juga dikaitkan dengan akad ketika
terjadinya sebuah transaksi. Janji biasanya diucapkan sebelum terjadinya

3 Ibid, h. 2920. Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philoshopy of Islamic Law of
Transactions, (Malaysia: Univision Press, 1999), h. 59
4 ibid, Abdurrahman, Op. Cit, Wahbah, h. 2920.
60

akad sebagai upaya pemberian harapan kepeda orang yang menerimanya


bahwa ia (orang yang berjanji) akan melakukan sesuatu yang berguna.
Bahkan, janji biasanya dilakukan sebagai pengganti dari akad untuk
menghindari akibat hukum akad yang mengikat (mulzim).
Dalam kajian fiqh muamalat, akad dibedakan dengan janji. Pada akad
terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang
terlibat dan diterima oleh pihak lainnya –yang menimbulkan akibat hukum
pada obyek akad, serta hak dan kewajiban atas masing-masing. Sedangkan
janji adalah “keinginan yang dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan
sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan, dalam rangka memberikan
keuntungan bagi pihak lain.” 5
Dengan demikian, perbedaan antara janji dan akad (kontrak) sangat
jelas. Akad adalah sikap untuk melahirkan suatu perbuatan pada saat itu
(insya’ tasharruf fi al-hal), sedangkan janji hanya merupakan suatu
penyampaian keinginan (ikhbar). Perbedaan lainnya, dan ini yang terpenting,
terletak pada konsekuensi hukum dari keduanya. akad bersifat mengikat
(mulzim) para pelakunya, wajib dilaksanakan, baik dari sisi hukum (legal
formal, qadha’an) maupun dari pandangan agama (diyanatan) ketika semua
persyaratan terpenuhi. Sementara itu, ulama sepakat bahwa menurut
pandangan agama (diyanatan), janji bersifat mengikat seseorang yang
menyampaikannya dan dinilai sebagai suatu bentuk akhlak mulia.
Sedangkan dilihat dari sisi hukum (legal formal, qadha’an), ulama berbeda
pendapat tentang wewenang hakim memaksa orang yang berjanji untuk
melaksanakan janjinya .

‘Ala’ al-Din Kharufah, ‘Aqd al-Qardh fi al-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh’iy,


5

Dirasah Muqaranah, (Bairut: Muassasah Nawfal, 1982). h. 65.


61

Untuk lebih jelasnya, berikut ini pendapat para ulama mengenai “janji”
tersebut.
a. Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) dari kalangan mazhab Hanafi,
Syafi’i, Hambali dan salah satu pendapat dari mazhab Maliki
berpendapat bahwa janji hanya mengikat secara agama, tidak mengikat
secara hukum (legal formal) sehingga tidak dapat dituntut di pengadilan.
Ini mengingat bahwa janji merupakan akad kebajikan (tabarru’),
sedangkan akad kebajikan tidak mengikat sebagaimana dalam hibah. 6
b. Sebagian ulama, di antaranya Ibn Syubrumah (w. 144 H), Ishaq ibn
Rahawaih (w. 238 H), al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan salah satu
pendapat (qaul) mazhab Maliki, menyatakan bahwa janji adalah mengikat
secara hukum.7 Pendapat ini didasarkan pada QS. al-Shaff: 2-3; dan hadis
Nabi:
“Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia
ingkar; dan jika diberi amanat, ia khianat” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).8
c. Sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa janji mengikat secara
hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab walaupun orang yang
berjanji tidak menyebutkan sebab tersebut dalam pernyataan janjinya. 9

6 Ibn ‘Abidin, al-‘Uqud al-Durriyyah fi Tanqih al-Fatawa al-Hamidiyyah, (Beirut: Da r a l -


Ma’rifah, t.th), cet. 2; jilid 2, h. 321; al-Hattab, Tahrir al-Kalam fi Masa’il al-Iltizam, (Beirut: Da r
al-Gharb al-Islami, 1984), cet. 1, h.154; al-Nawawi, Rawdhah al-Thalibin wa ‘Umdah al -Muf tin,
(Beirut: al-Maktab al-Islami, 1405 H), cet. 2, jilid. 5, h. 390; al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina’ ‘an
Matn al-Iqna’, (Riyadh: Mathba’ah al-Nashr al-Haditsah, t.th.), jilid. 3, h. 363; al-Mardawi, al -
Inshaf, (Kairo: Mathba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1956), cet. 1, jilid. 5, h. 190.
7Ibn Hazm, al-Muhalla, (Kairo: Dar al-Ittihad al-‘Arabi, 1968), jilid. 8, h. 28 ; a l -Ha ttab,

Loc. cit.
8Imam Muslim, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), jilid. 1, h. 51 ; lih a t pula a l -

Nawawi, Shahih Muslim bi-Syarh al-Nawawi, (Al-Qahirah: al-Mathba’ah al-Mishriyah, t.th .),
jilid. 2, h. 46.
9al-Hattab, Loc. cit.; Ibn Rusyd, al-Bayan wa al-Tahshil, (Beirut: Dar al-Gharb a l -Islami,

1988), j. 8, h. 18.
62

d. Sebagian ulama mazhab Maliki yang terkenal (masyhur) menyatakan


bahwa janji mengikat secara hukum apabila janji itu dikaitkan dengan
suatu sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji. 10
Dari penjelasan tersebut nampak jelas bahwa menurut mayoritas ulama,
janji mengikat menurut agama, tidak mengikat secara hukum. Sedangkan
menurut mazhab Maliki yang memiliki empat pendapat, pendapat yang
terkuat adalah pendapat yang keempat, yaitu mengikat secara hukum, sama
dengan akad, jika janji itu dikaitkan dengan suatu sebab dan sebab tersebut
diungkapkan dalam pernyataan janji. 11 Pendapat ini dipandang kuat oleh
sebagian besar ulama kontemporer dan oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami
sebagaimana ditetapkan dalam muktamar V yang diselenggarakan di
Kuwait, tanggal 10-15 Desember 1988. 12

C. Rukun dan Syarat Akad


Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad
adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika
salah satu rukun tidak ada, menurut hukum Islam akad dipandang tidak
pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap
rukun, tetapi bukan merupakan esensi. Salah satu contoh syarat dalam akad
jual beli adalah “kemampuan menyerahkan barang yang dijual”.
Kemampuan menyerahkan ini harus ada dalam setiap akad jual beli, namun
ia tidak termasuk dalam pembentukan akad .
1. Rukun dan Syarat akad

10 Ibid.; al-Hattab, Loc. cit.


11 Ahmad Ibrahim, Al-‘Uqud wa al-Syuruth wa al Khiyarat, dalam Majallah al-Qanun wa
al-Iqtishad, tahun IV, vol. 6, h.646.
12 Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, 1988, vol. 5, jilid 2, h. 1599.
63

Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembentuk perangkat


akad (alat al-‘aqd) di mana perangkat-perangkat inilah yang nantinya menjadi
unsur-unsur pembentuk akad. 13
Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: a. shighat (
pernyataan ijab dan qabul), b. ‘aqidan (dua pihak yang melakukan akad ),
dan c. ma’qud ‘alaih (obyek akad ). Menurut mazhab Hanafi, rukun akad
hanya terdiri atas ijab dan kabul (shighat). Sedangkan hal lain yang oleh
jumhur dipandang sebagai rukun, bagi mazhab Hanafi hanya dipandang
sebagai lawazim al-‘aqd (hal-hal yang mesti ada dalam setiap pembentukan
akad ) dan terkadang disebut juga dengan muqawwimat al-‘aqd (pilar-pilar
akad ). Selain itu, ulama mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi pada
lazawin al-‘aqd, yaitu maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).
Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut mayoritas ulama:
1). Shighat (formulasi) ijab dan kabul dapat diwujudkan dengan ucapan lisan,
tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis,
sarana komunikasi moderen, bahkan dengan perbuatan (bukan ucapan,
tulisan, maupun isyarat) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak
untuk melakukan suatu akad-yang umumnya dikenal dengan al-mu’athah .
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan kabul
dipandang sah yaitu:
a). Ijab dan kabul harus secara jelas menunjukkan maksud kedua belah
pihak,
b). Antara ijab dan kabul harus selaras, dan
c). Antara ijab dan kabul harus muttashil (nyambung, connect), yakni
dilakukan dalam satu majlis ‘aqd (tempat kontak).

13Uraian tentang rukun akad didasarkan pada penjelasan Wahbah. Wahbah, Op.cit, h .
2930 dst.
64

Satu majlis akad adalah kondisi-bukan fisik-di mana kedua belah


pihak yang berakad terfokus perhatiannya untuk melakukan akad .
2). Pelaku akad disyaratkan harus orang mukallaf (‘aqil-baligh, berakal sehat
dan dewasa atau cakap hukum). Mengenai batasan umur pelaku untuk
keabsahan akad diserahkan kepada ‘urf atau peraturan perundang-
undangan yang dapat menjamin kemaslahatan para pihak.
3). Sesuatu yang menjadi obyek akad harus memenuhi 4 (empat) syarat:
a). Ia harus sudah ada secara konkret ketika akad dilangsungkan; atau
diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam akad-akad
tertentu seperti dalam akad salam, ishtishna’, ijarah dan mudharabah.
b). Ia harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah
dijadikan obyek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal
dimanfaatkan (mutaqawwam).
c) Ia harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti
harus dapat diserahkan seketika.
d) Ia harus jelas (dapat ditentukan, mu’ayyan) dan diketahui oleh kedua
belah pihak. Ketidakjelasan obyek akad-selain ada larangan Nabi
untuk menjadikannya sebagai obyek akad-mudah menimbulkan
persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan.
Mengenai penentuan kejelasan suatu obyek akad ini, adat kebiasaan
(‘urf) mempunyai peranan penting.
Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad: salam,
istishna’, ijarah, dan musaqah. Artinya, keempat macam akad ini tetap
dinyatakan sah walaupun obyek akad belum ada ketika terjadi akad.
Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan
sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat, ‘aqid,
dan ma’qud ‘alih, telah dikemukakan. Syarat penting lainnya adalah
65

bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh hukum dan
bahwa akad tersebut harus menimbulkan manfaat (kegunaan, mufid).
4). Maudhu’ al-‘aqd atau tujuan akad merupakan salah satu bagian penting
yang mesti ada pada setiap akad . Yang dimaksud dengan maudhu’ al-‘aqd
adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan (al-maqshad al-ashli
alladzi syuri’a al-‘aqd min ajlih). Menurut hukum Islam, yang menentukan
tujuan hukum akad adalah al-Musyarri’ (yang menetapkan syariat, yaitu
Allah). Dengan kata lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui
melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu,
semua bentuk akad yang tujuannya bertentangan dengan syara’ (hukum
Islam) adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum;
misalnya, menjual barang yang diharamkan seperti minuman keras
(khamr). Jika hal itu terjadi, dalam pandangan hukum Islam akibat
hukumnya tidak tercapai. Tegasnya, menurut hukum Islam, jual beli atas
barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan
kepemilikan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang
kepada penjual.
Tujuan dalam setiap akad berbeda-beda karena berbeda jenis atau
bentuk akadnya. Dalam akad jual beli, misalnya, akibat hukumnya adalah
pemindahan pemilikan benda dengan imbalan; dalam akad hibah, akibat
hukumnya adalah pemindahan pemilikan benda tanpa imbalan; dalam akad
sewa menyewa (ijarah), akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan
manfaat suatu benda atau jasa orang dengan imbalan; dalam akad
peminjaman (i’arah), akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan
manfaat suatu benda tanpa imbalan; demikian seterusnya.
Tujuan akad itu tercapai segera setelah akad dilakukan apabila syarat-
syarat yang diperlukan telah terpenuhi.
66

Tujuan akad sebagaimana dikemukakan di atas-selain disebut dengan


istilah maudhu’ al-‘aqd-- disebut juga dengan “akibat hukum khusus akad” (al-
hukm al-ashliy li-al-‘aqd atau atsar al-‘aqd al-khash, disingkat al-atsar al-khash).
Di samping itu, menurut hukum Islam, terdapat pula “akibat hukum
umum akad” (atsar al-‘aqd al-‘amm, disingkat al-atsar al-‘amm) pada setiap
jenis dan bentuk akad. 14 Artinya, pada setiap akad yang sah terdapat akibat
hukum yang bersifat umum dan sama, walaupun bentuk atau jenis akadnya
berbeda-beda. Akibat hukum umum tersebut adalah nafadz dan ilzam wa
luzum.
Nafadz adalah berlakunya akibat hukum khusus akad dan semua
perikatan (iltizamat) yang ditimbulkannya begitu akad selesai dilakukan.
Nafadz dalam akad jual beli, misalnya, adalah berpindahnya kepemilikan
barang yang dijual (kepada pembeli) dan pembayaran harganya (kepada
penjual) begitu akad selesai dilakukan, serta timbulnya kewajiban
melaksanakan perikatan atas para pihak, yaitu menyerahkan barang yang
dijual dan menerima pembayaran (bagi penjual) serta menerima barang dan
menyerahkan pembayaran harga barang (bagi pembeli).
Lawan atau kebalikan nafadz adalah tawaqquf (bergantung). Akad yang
nafadz disebut akad yang nafidz dan akad yang tidak nafadz disebut akad
mauquf.
Ilzam dalam pengertian umum adalah mewajibkan pelaksanaan
(pemenuhan) perikatan yang lahir dari akad; sedangkan menurut pengertian
fiqh (hukum Islam) adalah menimbulkan perikatan tertentu secara timbal
balik atas pihak-pihak yang berakad dalam akad yang bersifat mengikat dua
pihak seperti jual beli atau menimbulkan perikatan tertentu atas salah satu

14 Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit., h. 3084-3085.


67

pihak yang berakad dalam akad yang bersifat mengikat satu pihak seperti
wadi’ah (penitipan).
Sedangkan, yang dimaksud dengan luzum (mengikat) adalah
ketidakbolehan “membatalkan” (fasakh) akad kecuali atas kerelaan kedua
belah pihak. Akad yang memiliki akibat hukum luzum (disebut akad lazim)
adalah akad yang tidak mengandung hak khiyar (hak pilih untuk meneruskan
atau tidak meneruskan akad). Akibat hukum luzum ini, menurut ulama
mazhab Hanafi dan Maliki, timbul begitu akad (ijab kabul) selesai dilakukan;
sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i dan Hambali, ia baru muncul
setelah majlis akad selesai. Dari perbedaan pendapat ini nampaknya yang
paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa akad memiliki akibat
hukum begitu selesai dilakukan. Dalam konteks sekarang adalah setelah
dilakukan penandatanganan kedua belah pihak. Karena saat itulah secara
nyata kedua belah pihak yang terlibat dalam akad menunjukkan
kesepakatannya.

D. Hal-hal yang dapat merusak akad


Akad dipandang tidak sah atau sekurang-kurangnya dapat dibatalkan
apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. Keterpaksaan/ Duress (al-Ikrah)
Salah satu asas akad menurut hukum Islam adalah kerelaan (al-ridha)
dari para pihak yang melakukan akad. Implementasi asas ini diwujudkan
dalam bentuk ijab-kabul yang merupakan unsur terpenting dalam akad. Jika
sebuah akad dilakukan tanpa adanya kerelaan, berarti akad tersebut dibuat
dengan secara terpaksa.
Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, para ulama membag ikrah
menjadi dua macam, yaitu:
68

1). Pemaksaan sempurna (ikhrah tam), yaitu yang berakibat pada hilangnya
jiwa, atau anggota badan, atau pukulan keras yang bisa mengakibatkan
cacat fisik pada dirinya atau kerabatnya.
2). Pemaksaan tidak sempurna (ikhrah naqish), yaitu mengakibatkan rasa
sakit yang ringan atau berupa pukulan yang ringan.
Para ulama mensyaratkan bahwa pemaksaan yang berpengaruh pada
akad adalah pemaksaan yang tidak disyari’atkan (tidak dibenarkan secara
hukum). Namun jika pemaksaan itu dikehendaki secara hukum, maka
pemaksaan itu tidak berpengaruh. Misalnya, pemaksaan hakim terhadap
seseorang yang berhutang untuk menjual kelebihan hartanya (dari
kebutuhan) untuk membayar utang. 15
b. Kesalahan mengenai obyek akad (Ghalath)
Ghalath berarti kesalahan, yakni kesalahan orang yang berakad dalam
menggambarkan obyek akad, baik kesalahan dalam menyebutkan zat (jenis)
maupun dalam menyebutkan sifatnya. Misalnya, seseorang membeli
perhiasan yang diduganya adalah emas, namun ternyata tembaga. Akad
seperti ini sama dengan akad pada sesuatu yang tidak ada obyeknya. Dengan
demikian, status hukum jual beli tersebut adalah batal, karena obyek akad
yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada.
c. Penipuan (Tadlis) atau Keidak pastian (Taghrir) pada obyek akad
Tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek
akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan
kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibat

15 Penjelasan tentang ikrah didasarkan pada uraian Mushthafa Ahmad al Zarqa, Al Fi qh


al Islami fi Tsaubihi al Jadid, h. 366-374.
69

merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut. 16 Upaya ini disebut juga
dengan taghrir (penipuan).
Tadlis ada tiga macam:
a) Tadlis perbuatan, yakni menyebutkan sifat yang tidak nyata pada obyek
akad.
b) Tadlis ucapan, seperti berbohong yang dilakukan oleh salah seorang yang
berakad untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan akad. Tadlis
kadang terjadi juga pada harga barang yang dijual, atau menipu dengan
memberi penjelasan yang menyesatkan.
c) Tadlis dengan menyembunyikan cacat pada obyek akad padahal ia sudah
mengetahui kecacatan tersebut. 17
Akad yang mengandung tipuan (tadlis) dilarang oleh hukum Islam,
tetapi tidak berpengaruh pada akad, kecuali jika disertai tipuan besar. Dalam
hal disertai tipuan besar, maka pihak yang ditipu berhak membatalkan akad,
untuk menyelamatkan dirinya dari kerugian, artinya ia sebagai pihak yang
ditipu diberi hak khiyar mem-fasakh akad jual belinya, disebabkan adanya
tipu daya yang disertai rayuan. 18
d. Ketidak seimbangan obyek akad (Ghaban) disertai tipuan (Taghrir)19
Pengertian ghaban di kalangan fuqaha adalah tidak terwujudnya
keseimbangan antara obyek akad (barang) dengan harganya, seperti
harganya lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang sesungguhnya.
Sedangkan taghrir (penipuan) adalah menyebutkan keunggulan pada barang
tetapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

16Abdul Hamid Mahmud al-Ba’ly, al-Istitsmar wa al-Riqabah al-Syar’iyyah fi al-Bunuk wa

al-Mu’assasah al-Maliyyah al-Islamiyyah, (al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1991), h 30.


17Ibid.

18Al-Zuhaily, Op. cit., h. 3069-3072.


19Pembahasan tentang ini didasarkan pada Ibid., h. 3072-3075; Mus hthafa Ah mad a l

Zarqa, Op.cit., , h. 375-377.


70

Ghaban ada dua macam yaitu yang sedikit (yasir) dan banyak (fahisy).
Ghaban sedikit ialah seperti seseorang membeli sebuah barang seharga Rp
1.000,- sedangkan menurut penilaian orang yang ahli harganya hanya Rp
900,-. Adapun ghaban banyak adalah penilaian orang ahli jauh lebih murah.
Misalnya seseorang membeli rumah. Menurut orang ahli sebenarnya
harganya hanya seperlima dari yang dibayar oleh pembeli.
Ghaban kurang berpengaruh pada akad, karena hal itu sering terjadi
sehingga sulit menghindarinya sehingga ia tidak boleh dijadikan alasan
untuk mengurungkan akad. Biasanya masyarakat sangat toleran pada ghaban
yang sedikit. Adapun ghaban yang besar berpengaruh pada sikap ridha
orang yang mengadakan akad, sehingga melenyapkan rasa ridhanya.
Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang
apakah yang tertipu berhak mem-fasakh akad .

E. Macam-macam Akad
Dari lihat dari aspek sifat dan hukumnya, akad dibagi menjadi akad sah
(shahih) dan akad tidak sah (ghair shahih). Akad sah adalah akad yang
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah berlakunya
seluruh akibat hukum akad (baik yang bersifat khusus maupun bersifat
umum) yang ditimbulkan oleh akad itu, saat itu juga, dan mengikat bagi para
pihak yang melakukannya. Sebagai contoh, jual beli yang sah-dalam arti
telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya, setelah terjadi ijab dan kabul,
barang yang dijual menjadi milik pembeli dan harga penjualan barang
menjadi milik penjual, kecuali apabila ada syarat khiyar. Perpindahan
kepemilikan itu dipandang sudah terjadi walaupun belum dilakukan serah
terima.
71

Akad sah, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, terbagi atas akad yang
nafidz dan akad yang mauquf. Yang pertama adalah akad yang dilakukan oleh
orang yang cakap hukum (ahliyah) dan memiliki kompetensi untuk
melakukan akad terhadap obyek akad. Sedangkan yang kedua (mauquf)
adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap hukum (ahliyah) namun
tidak memiliki kompetensi untuk melakukan akad terhadap obyek akad
tersebut; misalnya menjual sebuah barang oleh orang yang bukan pemiliknya
padahal ia tidak diberi izin untuk menjualnya. Akad mauquf ini tidak
menimbulkan akibat hukum, kecuali pihak yang berkompeten mengizinkan
atau membolehkannya. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, akad mauquf
ini dipandang sebagai akad yang batal.
Akad tidak sah adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah bahwa semua akibat hukum yang
ditimbulkan dari akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak
yang berakad; misalnya menjual bangkai dan khamr, atau akad jual beli yang
dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum.
Menurut ulama mazhab Hanafi, 20 akad tidak sah terbagi menjadi dua,
yaitu akad yang batal (bathil) dan akad yang rusak (fasid). Akad yang batal
adalah akad yang mengandung cacat pada rukun atau obyeknya. Misalnya
akad yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum atau akad yang
obyeknya tidak dapat menerima hukum akad seperti barang yang
diharamkan. Dengan kata lain, akad batal adalah akad yang tidak dibenarkan
syara’ (hukum Islam) dilihat dari sudut rukun dan cara pelaksanaannya.
Akad batal dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum, walaupun
secara kenyataan pernah terjadi; dan oleh karenanya ia tidak mempunyai
akibat hukum sama sekali. Sedangkan akad fasid adalah akad yang pada

20 Ibid., h. 3087.
72

dasarnya dibenarkan hukum namun akad tersebut disertai hal-hal yang tidak
dibenarkan hukum. 21
F. Pemutusan suatu akad (Faskh)
a. Pengertian faskh
Yang dimaksud dengan pemutusan (faskh) akad di sini adalah
“melepaskan perikatan akad” atau “menghilangkan atau menghapuskan
hukum akad secara total seakan-akan akad tidak pernah terjadi.” Dengan
faskh, para pihak yang berakad kembali ke status semula sebelum akad
terjadi. Demikian pula dengan obyek akad. Barang yang dijual–sebagai
contoh faskh dalam akad jual beli—kembali menjadi milik penjual dan harga
pembayaran barang kembali menjadi milik pembeli. Pemutusan akad dapat
terjadi atas dasar kerelaan (al-taradhi) para pihak dan dapat pula terjadi
secara paksa atas dasar putusan hakim (al-Qadhai).
Faskh adakalanya wajib dan adakalanya ja’iz (boleh). Faskh wajib
dilakukan dalam rangka menghormati ketentuan syari’ah; misalnya faskh
terhadap akad yang fasid. Dalam hal ini faskh dilakukan guna menghilangkan
penyebab ke-fasid-an akad, menghormati ketentuan-ketentuan syari’ah,
melindungi kepentingan (mashlahah) umum maupun khusus, menghilangkan
dharar (bahaya atau kerugian), dan menghindarkan perselisihan akibat
pelanggaran terhadap syarat-syarat yang ditetapkan syari’ah. Sedangkan
faskh yang ja’iz adalah faskh yang dilakukan atas dasar keinginan pihak-pihak
yang berakad; misalnya faskh disebabkan adanya hak khiyar dan faskh yang
didasarkan atas kerelaan dan kesepakatan seperti iqalah. 22
b. Syarat dan Sebab faskh
Sebuah akad boleh di faskh apabila terpenuhi syarat-syarat berikut.

21 Al-Zuhaily, Op. cit., h. 3086-3095.


22 Uraian tentang fasakh didasarkan pada Wahbah al-Zukhaili, Op. Cit. h. 3214-3216.
73

1) Akad yang akan difaskh harus bersifat mengikat kedua belah pihak, yaitu
akad yang berbentuk pertukaran (mu’awadhah).
2) Pihak yang berakad melanggar atau tidak dapat memenuhi syarat yang
ditetapkan dalam akad. Jika salah satu pihak melanggar syarat atau
ketentuan akad yang telah disepakati atau tidak dapat memenuhi
kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan akad, seperti barang yang
disewakan mengalami kerusakan dan pembeli tidak mampu membayar
harga barang yang dibeli, pihak yang lain boleh meminta agar akad
difaskh.
3) Dalam akad tidak terpenuhi unsur kerelaan. Jika salah satu pihak tidak
rela dengan cacat yang terdapat pada obyek akad atau kerelaannya untuk
melakukan akad tidak terpenuhi secara maksimal, misalnya disebabkan
terjadi ghalath (kekeliruan), ikrah (pemaksaan) dan tadlis (penipuan), ia
memiliki hak untuk meminta agar akad difaskh, baik atas dasar kerelaan
pihak yang lain maupun melalui putusan hakim.
c. Akibat hukum faskh
Pemutusan akad menimbulkan akibat hukum sebagai berikut.
1) Akad menjadi berakhir. Sebelum faskh terjadi, akad dan semua akibat
hukumnya berlaku sebagaimana mestinya. Kepemilikan barang yang
dijual–dalam akad jual beli misalnya—beralih menjadi milik pembeli.
Setelah akad difaskh, status akad dan semua akibat hukumnya menjadi
sirna, hilang, seolah-olah akad tidak pernah terjadi dan para pihak
kembali ke kondisi semula sebelum akad dilakukan serta mereka wajib
mengembalikan apa yang telah diterimanya. Jika pengembalian tersebut
tidak mungkin dapat dilakukan, para pihak boleh menetapkan untuk
mengembalikan hal lain sebagai pengganti (ta’widh).
74

2) Faskh menimbulkan akibat hukum yang berlaku surut dan yang berlaku
ke depan. Yang pertama terjadi dalam faskh terhadap akad yang bersifat
fauriyah, yakni akad pertukaran di mana obyek akad yang dipertukarkan
sudah diserah-terimakan pada saat akad terjadi; misalnya akad jual beli.
Dengan demikian, faskh terhadap akad jual beli menimbulkan akibat
hukum bahwa barang yang dijual wajib dikembalikan kepada penjual
dan harga barang wajib dikembalikan kepada pembeli. Akan tetapi, jika
sebelum faskh barang yang dijual (dibeli) sudah dijual lagi oleh pembeli,
akad pertama tersebut tidak boleh difaskh.
Sedangkan akibat hukum yang kedua, yakni yang berlaku ke depan,
terjadi dalam faskh terhadap akad yang bersifat mustamirrah, yakni akad
di mana obyek akad tidak dapat diterima pada saat akad atau
pelaksanaan kewajiban akadnya memerlukan waktu; seperti akad sewa
(ijarah) dan syirkah (kerja sama). Misalnya akad sewa rumah untuk masa
satu tahun; dan pada bulan keenam, kontak difaskhkan. Jika hal ini
terjadi, akibat hukum faskh hanya berlaku untuk enam bulan berikutnya;
tidak berlaku untuk masa enam bulan yang sudah berlalu. 23

G. Berakhirnya Akad (Intiha’ al-‘aqd)


Menurut hukum Islam,24 akad berakhir disebabkan terpenuhinya tujuan
akad (tahqiq gharadh al-`aqd), fasakh, infisakh, kematian, dan ketidak-izinan
(`adal al-ijazah) dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad mauquf.25

23 Ibid.
24 Ibid., h. 3132-3136; lihat pula Muhammad Yusuf Musa, Op. Cit., h. 486-497.
25Akad mauquf adalah akad yang keabsahannya bergantung pada pihak lain; misalnya

Razi menjual sebuah motor milik Ahmad (tanda izin Ahmad) padahal Razi bukan wakil da n
bukan pula wali Ahmad. Keabsahan jual beli ini bergantung pada keizinan Ah mad; jika ia
mengizinkan, jual beli menjadi sah dalam arti bisa dilaksanakan, dan jika tidak mengizinkan,
jual beli harus dihentikan.
75

1. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam
akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang
telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi
milik penjual. Dalam akad rahn (gadai) dan kafalah (pertanggungan), akad
dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar. Demikian juga,
akad berakhir disebabkan intiha’ muddah al-`aqd (berakhir masa akad). Jika
masa kontrak sudah berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah
habis dan akad menjadi berakhir/selesai dengan sendirinya.
2. Fasakh. Sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam
akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang
menyebabkan akad dapat atau bahkan harus difasakh:
a. Disebabkan akad dipandang fasad, misalnya menjual sesuatu yang
tidak jelas spesifikasinya atau menjual sesuatu dengan dibatasi
waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasad, dan karenanya harus
(wajib) difasakh, baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh
hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak
dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual barang yang
dibelinya. Dalam kasus terakhir ini pembeli wajib mengembalikan
nilai (qimah) barang yang dijualnya itu dengan nilai pada saat ia
menerima barang, dan bukan mengembalikan harga yang disepakati.
b. Disebabkan adanya khiyar.26 Pihak yang memiliki hak khiyar, baik
khiyar syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah maupun lainya dibolehkan
untuk melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya. Fasakh boleh
dilakukan tanpa memerlukan pihak lain; kecuali dalam khiyar ‘aib
(khiyar disebabkan terdapat kerusakan pada obyek akad) setelah

Khiyar adalah kondisi di mana para pihak yang berakad memiliki hak untuk
26

memilih antara melanjutkan atau tidak melanjutkan akad.


76

obyek akad diterima. Menurut Hanafiah, fasakh hanya boleh


dilakukan atas dasar kerelaan pihak lain atau putusan hakim.
c. Disebabkan iqalah. Iqalah adalah fasakh terhadap akad berdasarkan
kerelaan kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan
ingin mencabut kembali akad yang telah dilakukannya. Iqalah
dianjurkan oleh Nabi saw. (lihat HR Baihaqi dari Abu Hurairah).
d. Disebabkan `adam al-tanfidz, yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh
akad tidak dipenuhi oleh para pihak atau salah satu pihak
bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh. Misalnya dalam
akad yang mengandung khiyar naqd (khiyar pembayaran). 27
3. Infisakh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi
hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila isi akad tidak mungkin
dapat dilaksanakan (istihalah al-tanfidz) disebabkan afat samawiyah (force
majeure). Dalam akad jual beli–misalnya—barang yang dijual rusak di
tangan penjual sebelum diserahkan kepada pembeli. Dengan demikian,
akad jual beli dinyatakan putus dengan sendirinya (infisakh), karena
pelaksanaan akad yang dalam hal ini menyerahkan barang mustahil
dapat dilakukan.
4. Kematian
Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak
yang berakad. Berikut contoh-contoh akad dimaksud.
a. Akad sewa menyewa (ijarah). Menurut Hanafiah, akad ijarah berakhir
disebabkan kematian salah satu pihak, namun tidak berakhir menurut
mazhab yang lain.

27Khiyar al-naqd adalah salah satu bentuk khiyar dalam akad jual beli di m a na da lam
akad itu dua pihak sepakat menetapkan bahwa “jika pihak pembeli tidak membayar h a rga
pada masa tertentu, akad jual beli dinyatakan tidak pernah ada (tidak berlaku)”; atau da la m
77

b. Akad rahn dan kafalah. Kedua akad ini adalah bentuk akad yang
hanya mengikat satu pihak yaitu pihak kreditur (da’in, pemegang
gadai) dan makful lah (penerima manfaat kafalah).
Jika pemberi gadai meninggal, akad menjadi berakhir dan barang
gadaian dijual (oleh washiy, pengampu) untuk membayar utangnya
apabila ahli waris masih di bawah umur. Akan tetapi, jika ahli
warisnya orang dewasa, mereka bisa membayarkan utang pewaris
pemberi gadai guna menyelamatkan barang gadaian.
Dalam akad kafalah (kafalah bi al-dain), akad tidak berakhir
disebabkan kematian debitur (madin). Akad baru berakhir dengan
pembayaran utang kepada kreditur (da’in) atau pembebasan utang
(ibra’). Jika kafil (pemberi garansi) meninggal dunia, utang yang
digaransinya dibayar dari harta peninggalannya.
5. Tidak ada persetujuan (`adam al-ijazah). Akad mauquf berakhir apabila
pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan
terhadap pelaksanaan akad.

H. Khiyar dan Riba


1. Khiyar
a. Pengertian dan Dasar Hukum
Kata al-khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan seseorang terhadap
sesuatu yang dipandangnya baik. Secara terminologis para ahli hukum Islam
mendefinisikan al-khiyar dengan “Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah

hal penjual telah meneriman pembayaran harga ditetapkan bahwa “jika da lam masa tiga hari
penjual mengembalikan harga, akad jual beli dinyatakan tidak pernah ada (tidak berlaku)”.
78

pihak yang melaksanakan kontrak untuk meneruskankan atau tidak meneruskankan


kontrak dengan mekanisme tertentu.” 28
Menurut ulama fiqih, khiyar adalah disyariatkan atau dibolehkan
karena suatu keperluan yang mendesak dalam dalam mempertimbangkan
kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Hak khiyar
ditetapkan syariat Islam bagi orang yang melakukan transaksi perdata agar
tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan. Berikut ini beberapa
hadis saw yang mendukung keabsahan khiyar:
“Dari umar RA dari Rasulullah SAW beliau bersabda: apabila dua orang berjua l
beli, maka tiap-tiap orang dari mereka masih ada hak khiyar selama mereka tidak
berpisah dan mereka masih bersama-sama, atau selama salah seorang dari mereka
menentukan khiyar kepada yang lainnya. Apabila seseorang diantara mereka
menentukan khiyar kepada yang lainnya, lalu mereka berjual beli atas ketetapan
tersebut, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka berpisah sesudah jual beli, dan
seseorang diantara mereka tidak meninggalkan barang yang dijual belikan itu, maka
jadilah jual beli itu”.( HR. Bukhari Muslim)

“dari amr bin suaib dari ayahnya dari kakeknya RA bahwasanya Nabi SAW
bersabda: penjual dan pembeli ada hak khiyar sehingga mereka berpisah, kecuali pada
jual beli yang telah ditetapkan ada khiyar sekian waktu, dan tidak halal yang
seseorang meninggalkan yang lainnya karena takut minta dibatalkan”.(H.R.
Bukhari, Muslim. Dawud, dan Turmudzi)

“dari ibnu umar RA, ia berkata: seorang laki-laki mengadu, maka Rasulullah SAW
bersabda:” apabila engkau berjual beli, katakanlah jangan ada tipuan.”(HR. Bukhari
Muslim)

28 Muhammad Yusuf Musa, al-Fiqh al-Islami Madkhal li-Dirasatihi, Nidzam al -Mu’ amal at
79

b. Macam-macam Khiyar
Pada dasarnya, kontrak menurut hukum Islam bersifat mengikat
(lazim) dan tidak mengandung khiyar. Akan tetapi, mengingat bahwa dalam
setiap kontrak yang dilakukan dipersyaratkan adanya kerelaan (ridha) para
pihak, maka syari’at Islam menetapkan hak khiyar yang fungsi utamanya
adalah untuk menjamin syarat kerelaan itu telah terpenuhi. 29
Hak khiyar boleh bersumber dari kedua belah pihak yang berkontrak
seperti khiyar syarth dan khiyar ta'yin, dan boleh pula bersumber dari syara',
seperti khiyar 'aib, khiyar ru'yah, dan khiyar majlis. Berikut dikemukakan
pengertian masing-masing yang dimakud. 30
a. Khiyar Majlis
Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih bagi kedua belah
pihak yang berkontrak untuk meneruskan atau tidak meneruskan kontrak
selama keduanya masih dalam majelis akad dan belum berpisah. Khiyar ini
hanya berlaku dalam kontrak yang bersifat mengikat kedua belah pihak
seperti jual beli dan sewa menyewa.
Jadi, apabila suatu kontrak telah dilaksanakan dan dipenuhi semua
rukun syaratnya, serta kedua belah pihak sudah saling rela dan sepakat untuk
tidak menggunakan hak khiyar, maka kontrak telah sah dan tidak ada lagi
peluang di tempat itu untuk “membatalkan” kontrak. Menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah 31, esensi yang penting adalah selesai atau tidaknya
akad jual beli bukan persoalan telah terpisahnya orang dari tempat akad.

b. Khiyar Ta'yin

fih, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1954), cet. 1, h. 458.


29Ibid.

30Ibnu 'Abidin, op.cit., Jilid IV, h. 48.


80

Yang dimaksud dengan khiyar ta'yin adalah hak pilih bagi pembeli
dalam menentukan barang yang menjadi obyek kontrak. Khiyar at-ta'yin
berlaku apabila obyek kontrak hanya satu dari sekian banyak barang yang
berbeda kualitas dan harganya dan satu pihak –pembeli misalnya—diberi hak
menentukan mana yang akan dipilihnya. 32 Dengan kata lain, khiyar at-ta'yin
dibolehkan apabila identitas barang yang menjadi obyek kontrak belum jelas.
Oleh sebab itu, khiyar at-ta'yin berfungsi untuk menghindarkan agar kontrak
tidak terjadi terhadap sesuatu yang tidak jelas (majhul).33
Ulama Hanafiyah yang membolehkan khiyar at-ta'yin, mengemuka kan
tiga syarat untuk sahnya khiyar ini, yaitu: 1). pilihan dilakukan terhadap
barang sejenis yang berbeda kualitas 2). barang itu berbeda harganya, dan 3).
tenggang waktu untuk khiyar al-ta'yin itu harus ditentukan. 34 Khiyar at-ta’yin,
menurut ulama Hanafiyah hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik yang berupa benda dan mengikat bagi kedua belah
pihak, seperti jual beli.

c. Khiyar Syarth
Yang dimaksud dengan khiyar syarth adalah hak pilih yang ditetapkan
bagi salah satu pihak yang berakad, keduanya atau bagi orang lain untuk
meneruskan atau “membatalkan” kontrak, selama masih dalam selang waktu
yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari
engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau
membatalkan akad selama satu minggu.”

Wahbah az-Zuhaili, op.cit., h. 520


31

Ali Haidar, ad-Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah, (Beirut : Da r a l -


32

Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid I, h. 326-329.


33 Wahbah az-Zuhaili, op.cit., Jilid IV, h. 525.

34Ali Haidar, op.cit., h. 256-260


81

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar syarath ini dibo-
lehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak para pihak dari unsur
penipuan yang mungkin terjadi. Khiyar syarth, menurut mereka, hanya berlaku
dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti jual beli,
sewa menyewa, perserikatan dagang, dan ar-rahn (jaminan utang). Untuk
transaksi yang sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak, seperti hibah,
pinjam meminjam, perwakilan (al-wakalah), dan wasiat, khiyar seperti ini tidak
berlaku. Demikian juga halnya dalam akad jual beli pesanan (bai' as-salam) dan
ash-sharf (jual beli mata uang), khiyar asy-syarath tidak berlaku, sekalipun
kedua akad itu bersifat mengikat kedua belah pihak yang berakad, karena
dalam jual beli pesanan, disyaratkan pihak pembeli menyerahkan seluruh
harga barang ketika akad disetujui, dan dalam akad ash-sharf disyaratkan
nilai tukar uang yang dijualbelikan harus diserahkan dan dapat diseraht-
erimakan setelah persetujuan dicapai dalam akad. Khiyar asy-syarth ini
menentukan bahwa baik barang maupun nilai atau harga barang baru dapat
dikuasai secara hukum, setelah masa waktu khiyar yang disepakati itu
selesai.35
Masa waktu dalam khiyar asy-syarth, menurut mayoritas ahli hukum
Islam harus jelas. Apabila jangka waktu khiyar tidak jelas atau bersifat
selamanya, maka khiyar tidak sah. Menurut ulama Malikiyah, jangka waktu
dalam khiyar asy-syarth boleh bersifat mutlak, tanpa ditentukan waktunya.
Dalam kasus seperti ini, menurut mereka, hakim berhak menentukan jangka
waktu secara pasti atau diserahkan kepada kebiasaan setempat (‘urf).36
Apabila kedua belah pihak menyatakan jangka waktu secara pasti maka

35 Lihat Ibnu 'Abidin, loc.cit.; Asy-Syirazi, Op.cit., Jilid I, h. 259; dan Ibnu Qudamah, al -
Mughni, Jilid III, h. 589
36 As-Syarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid XII, h. 40; Ibnu Rusyd,

Op.Cit., Jilid II, h. 207.


82

kepastian waktunya diserahkan kepada kebiasaan setempat (‘Urf), atau


ditentukan langsung oleh hakim. Dengan demikian dalam hal ini adalah
waktunya diserahkan kepada kehendak dari para pihak yang melakukan
transaksi.
Dengan adanya kejelasan waktu tersebut dapat ditentukan masa yang
dibolehkan untuk “pembatalan” (faskh) suatu kontrak, artinya jika telah
melewati waktu yang ditentukan, kontrak tidak boleh dibatalkan. Pembatalan
juga harus diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tidak ada yang
dirugikan.

d. Khiyar 'Aib
Yang dimaksud dengan khiyar 'aib yaitu hak untuk “membatalkan” atau
melangsungkan kontrak bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila
terdapat suatu cacat pada obyek kontrak, dan cacat itu tidak diketahui
pemiliknya ketika kontrak berlangsung. Misalnya, seseorang membeli telur
ayam satu kilo gram, kemudian satu butir di antaranya sudah busuk atau
ketika telur dipecahkan sudah menjadi anak ayam. Hal ini sebelumnya tidak
diketahui baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini,
menurut para pakar fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar hukum
khiyar 'aib ini, antaranya adalah sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim me n j u a l
barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang terdapat 'aib/cacat. (HR Ibn
Majah dari 'Uqbah ibn 'Amir).
83

Khiyaral 'aib ini, menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak


dikehuinya cacat pada barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh ahli
waris pemilik hak khiyar.37
Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak obyek
jual beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang. Tetapi,
menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah seluruh cacat yang menyebabkan
nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan daripadanya.

e. Khiyar Ru'yah
Yang dimaksud dengan khiyar ar-ru'yah adalah hak pilih bagi salah
satu pihak berkontrak –pembeli misalnya-- untuk menyatakan bahwa
kontrak yang dilakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika
kontrak berlangsung-- berlaku atau tidak berlaku (tidak diteruskan).
Mayoritas ahli hukum Islam, yang terdiri atas ulama Hanafiyah, 38
Malikiyah39 Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru'yah
disyari'atkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang
mengatakan: Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak
khiyar apabila telah melihat barang itu. (HR ad-Daruqutni dui Abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan obyek
yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad atau karena
sulit dilihat seperti makanan kaleng. Khiyar ru'yah, menurut mereka, mulai
berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan dia beli.

37 Lihat Imam al-Kasani, op.cit.,h 273; Ibnu Qudamah,loc.cit.; asy-Syarbaini a l-Kh atib,
op.cit., h. 49; dan Mustafa Ahmad az-Zarqa', Op. Cit., h. 374.
38Ibid.

39Ibnu Rusyd, op.cit., Jilid II, h. 154; Ibnu Qudamah, op.cit., Jilid II, h. 580;
84

Jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar -


ru'yah, yaitu:40
1) Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
2) Obyek akad itu berupa materi, seperti tanah, rumah, dan kendaraan.
3) Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan, seperti jual
beli dan sewa menyewa.
Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, menurut jumhur ulama,
maka khiyar ar-ru'yah tidak berlaku. Apabila akad itu dibatalkan berdasarkan
khiyar ar-ru'yah, menurut jumhur ulama, pembatalan harus memenuhi syarat-
syarat berikut:
1). Hak khiyar masih berlaku bagi pembeli,
2). Pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual, seperti pembatalan
hanya dilakukan pada sebagian obyek yang dijualbelikan, dan
3). Pembatalan itu diketahui pihak penjual.
Menurut jumhur ulama, khiyar ar-ru'yah akan berakhir apabila: 41
(a) Pembeli menunjukkan kerelaannya melangsungkan jual beli, baik melalui
pemyataan atau tindakan.
(b) Obyek yang dijualbelikan hilang atau terjadi tambahan cacat, baik oleh
kedua belah pihak yang berakad, orang lain, maupun oleh sebab alam.
(c) Terjadinya penambahan materi obyek setelah dikuasasi pembeli, seperti
di tanah yang dibeli itu telah dibangun rumah.
(d) Orang yang memiliki hak khiyar meninggal dunia, baik sebelum melihat
obyek yang dibeli maupun sesudah dilihat, tetapi belum ada pernyataan
kepastian membeli daripadanya. Menurut ulama Hanafiyah dan
Hanabilah, khiyar ru'yah tidak boleh diwariskan kepada ahli waris, tapi

40 Lihat as-Sarakhsi, op.cit., Jilid XIII, h. 72 dan seterusnya


41 Imam al-Kasani, Op.Cit., h. 295 dan seterusnya.
85

menurut ulama Malikiyah boleh diwariskan, dan karenanya, hak khiyar


belum langsung gugur dengan wafatnya pemilik hak itu, tetapi diserahkan
kepada ahli warisnya, apakah akan dilanjutkan jual beli itu setelah melihat
obyek yang diperjualbelikan, atau akan dibatalkan.
2. Riba
a. Pengertian dan Dasar hukum
Secara etimologi, riba berarti ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh)42,
meski ada perbedaan dalam kata tersebut tetapi memiliki makna yang sama
yaitu adanya suatu kelebihan atau penambahan pada suatu tertentu.
Menurut Imam Hambali riba adalah tambahan pada sesuatu yang
dikhususkan. Abu Hanifah mendefinisikan, melebihkan harta dalam suatu
transaksi dengan tanpa pengganti atau imbalan.43
Maksudnya, tambahan terhadap barang atau uang yang timbul dari
suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan oleh berhutang kepada
pihak berpiutang pada saat jatuh tempo. Menurut definisi ini, apabila terjadi
pertukaran barang yang digolongkan ke dalam ribawi ukurannya harus sama,
baik dari segi berat atau pun ukurannya. Jadi apabila seseorang menukar
satu gram emas dengan orang lain maka ia harus menerima satu gram pula.
Kalau terjadi kelebihan, maka hal tersebut adalah riba. Demikian juga dalam
berkontrak, jika para pihak sudah sepakat menukarkan barangnya dengan
barang lain atau uang maka harus diserahkan secara tunai pada waktu yang
sama, tidak boleh menunda penyerahannya baik salah satu maupun
keduanya. Di samping itu ukuran harta yang dipertukarkan harus diketahui
jumlahnya, saat terjadinya kontrak.

Abu al Fathi, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al Sadir, 1989), Jilid VII, h. 345.
42

Wahbah al Zuhaili, Al fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 20 0 2 ), Jilid


43

V, h. 3698
86

Riba telah berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum


datangnya Islam, sehinga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa
awal Islam melakukan muamalah dengan cara itu. Para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba ini hukumnya haram. 44
Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-
hadis Rasulullah saw. Di dalam al-Qur'an, menurut para Mufassir
mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah secara
bertahap, yaitu:
Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif.
Pernyataan ini disampaikan Allah dalam surat al-Rum, 30:39 yang
berbunyi:“Dan suatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba,
menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyah (ayat-ayat yang di
turunkan pada periode Mekah). Akan tetapi, para ulama sepakat menyatakan
bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang riba yang diharamkan.
Tahap kedua, Allah telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui
kecaman terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini
disampaikan-Nya dalam surat al-Nisa', 4: 161 yang berbunyi: Dan disebabkan
mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih
Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang
bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh
Allah dalam surat Ali Imran, 3: 130 yang berbunyi: Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda ....

44Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar 'ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), Jilid
87

Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda
bukan merupakan syarat dari terjadinya riba tetapi merupakan
sifat/karakteristik (‫ )حال‬dari praktek membungakan uang saat itu. Dalam hal

ini, Ath-Thabari menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afan dapat terjadi juga


atas permintaan perpanjangan waktu saat utang jatuh tempo dan salah satu
pihak yang berutang akan memberi kelebihan ataupun pemberi piutang itu
sendiri meminta kelebihan atas piutangnya. 45 Dengan demikian besar,
berlipat ganda atau kecil sekalipun bunga tetap merupakan riba. Demikian
pula ayat ini juga perlu dipahami secara komprehensif dengan ayat 278 -279
dari surat al Baqarah.
Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala
bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-
Baqarah, 2: 275, 276, 278. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli
sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan
memusnahkan riba, dan dalam ayat 278 yang artinya : “Hai orang-orang yang
beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang -orang
yang beriman.”
Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk meninggalkan
segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini,
menurut para pakar fiqh, terjadi pada akhir abad ke delapan atau awal abad
kesembilan Hijriah.
Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah
saw. di antaranya adalah sabda Rasulullah saw. dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, di antaranya adalah
memakan riba. Dalam riwayat 'Abdullah ibn Mas'ud dikatakan: Rasulullah

IV, h. 165.
88

saw melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi
dalam masalah riba, dan para penulisnya. (HR Abu Daud, dan hadis yang sama
juga diriwayatkan Muslim dan Jabir ibn 'Abdillah).
Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Qur’an
maupun sunnah. tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaski bisnis.
Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kedzaliman
pada salah satu pihak.

b. Macam-macam Riba
Mayoritas ulama membagi riba menjadi dua; riba fadhl dan riba nasiah.
a. Riba Fadhl
Riba fadl merupakan riba yang berlaku dalam jual beli yang
didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan: Kelebihan pada salah satu barang
sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara'. 46
Yang dimaksudkan dengan ukuran syara' di sini adalah timbangan
atau takaran tertentu. Maka riba fadl merupakan pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Ketentuan tentang
barang ribawi di dasarkan pada hadis Nabi saw.: “(Memperjualbelikan)
emas dengan emas, perak dengan pe rak, gandum den g an g a n d u m , a n g g u r
dengan anggur. Kurma dengan kurma, garam dengan garam (haruslah)
sama, seimbang, dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda
maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh berlebih) asal dengan tunai. (HR
Muslim dari 'Ubadah ibn ash-Shamit).

45Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari, Jaami’u al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al
Qur’an, Jilid IV, Cet. 2., (Mesir: Musthafa al Babi al Halabi, 1954), h. 90.
46Imam al Kasani, al Bada’i’u ash shana’i’u, (Beirut: Dar al Fikr, tt.), Jilid V, h. 183.
89

b. Riba Nasi’ah
Ulama Madzhab Hanafi mendefinisikan riba Nasi’ah adalah:
"Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang di tangguhkan, memberikan
kelebihan pada benda di banding utang pada benda yang di takar atau di tim bang
yang berbeda jenis atau selain dengan di takar dan di timbang yang sama jenis nya".
Yang dimaksudkan dengan menangguhkan di sini adalah apabila
terjadi jual beli pada barang ribawi dengan barang ribawi yang sama atau
berlainan dan masa pembayarannya ditangguhkan. Dalam jual beli barter,
sejenis maupun tidak sejenis, riba an-nasi'ah pun dapat terjadi, yaitu
dengan cara membeli barang sejenis dengan kelebihan salah satunya, yang
pembayarannya tunda. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang
diiringi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk
riba an-nasi'ah. 47 Pendapat ulama tentang keharaman riba jenis ini
didasarkan kepada sabda Rasulullah saw. yang artinya:
(Memperjualbelikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
deng an gandum, anggur dengan anggur. Kurma dengan kurma, garam
dengan garam (haruslah) sama, seimbang, dan t u n a i . A p a bi l a j e n i s y a n g
diperjualbelikan berbeda maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh
berlebih) asal dengan tunai. (HR Muslim dari 'Ubadah ibn ash-Shamit).
Dua jenis pertama (emas dan perak), diperjualbelikan dengan cara
timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan
dengan cara ditakar (al-kail). Selanjutnya dalam riwayat lain Rasulullah
bersabda: Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas, kecuali jika seimbang
(sama beratnya) dan jangan kamu melebihkan yang satu dari yang lainnya dan
jangan pula kamu jual sesuatu yang ada dengan yang belum ada. (HR al-Bukhari
dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri).

47Ibid.
90

Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau


tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian. Adapun yang dimaksud dengan barang ribawi perlu dijelaskan
‘illat atau sebab pelarangannya. Wahbah al Zuhaili, menjelaskan bahwa
barang ribawi berupa emas dan perak karena keduanya merupakan alat
tukar (uang), sedangkan barang seperti beras, gandum, dan jagung dan lain -
lain adalah merupakan bahan makanan pokok. 48
Sementara itu, Menurut ulama madzhab syafi’i riba dibagi menjadi tiga
jenis yaitu riba fadhl, riba nasi’ah, dan riba yad. Pengertian untuk dua jenis
riba yang pertama, riba fadhl dan riba nasi’ah, madzhab ini tidak berbeda
dengan jumhur ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan riba yad adalah
jual beli dengan mengahirkan penyerahan yakni kedua orang yang berakad
berpisah sebelum timbang terima. Bagi jumhur ulama riba yadd masuk
kategri riba nasiah karena terdapat penangguhan penyerahan barang.
Sementara bagi ulama madzhab Syafii meskipun ada kesamaan dalam hal
penagguhan tetapi antara keduanya berbeda, riba yad mengahirkan
penguasaan barang. Sedangkan riba nasi’ah mengahirkan hak. Di samping
itu, pada riba nasi’ah, sejak terjadinya akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran akan di akhirkan, tidak demikian dengan riba yad.
Seiring dengan perkembangan bisnis, para ulama kontemporer
membagi riba menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli.
kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba
nasi’ah.
a. Riba Qardh , yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Misalnya

48 Wahbah az Zuhaili, Op Cit., Jilid 1V, Cet III (revisi), h. 676-686.


91

b. Riba Jahiliyyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si


peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang
ditetapkan. Misalnya hutang nasabah pengguna kartu kredit yang
terlambat pembayaran.
c. Riba Fadhl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.
d. Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.
Riba dalam Nasi,ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian. 49

c. Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank


Dalam literatur ulama fikih klasik tidak di jumpai pembahasan yang
mengkaitkan antara riba dan bunga bank, sebab lembaga perbankan seperti
yang berkembang sekarang tidak di jumpai di zaman mereka, bahasan bunga
bank apakah termasuk riba atau bukan, baru di temukan dalam berbagai
literatur fikih kontemporer.
Pada garis besarnya para ulama kontemporer terbagi menjadi tiga
kelompok dalam merespon hukum bunga bank, yaitu:
Pertama, kelompok yang mengharamkan bunga bank didukung. Yang
termasuk kelompok ini antara lain Muhamd Abu Zahrah Abul A’la al-
Maududi, Muhamad abdul Al-Arabi dan Muhamd Nejatullah Shediqi.

49Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, (JakartaL BI-
Tazkia, 1999), h. 63-64
92

Menurut mereka bunga bank adalah identik dengan riba dan haram
hukumnya. Adapun alasan yang mereka ajukan antara lain:
a. Bunga bank merupakan bentuk penindasan golongan mampu (aghniya)
terhadap kaum dhuafa (lemah ekonomi).
b. Bunga bank akan menciptakan ketidakseimbangan kekayaan. Hal ini
bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan
kehendak Allah yang menghendaki penyebaran pendapatan kekayaan
secara adil.
c. Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur yaitu para
penanam modal dapat menerima setumpukkan kekayaan dari bunganya,
sehingga mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya,
cara hidup ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang
terssebut.
d. Alasan terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank
bertentangan dengan prinsip ajaran Allah yang terdapat dalam al-
Quran dan ajaran Rasul-Nya
Kedua, kelompok yang menganggap subhat (samar). Di antara pakar
hukum Islam yang berpendapat demikian adalah Musthafa Ahmad al-Zarqa.
Dalam bukunya yang berjudul ia berpendapat bahwa:
a. Sistem perbankan yang berlaku hingga saat ini dapat diterima sebagai
suatu penyimpangan yang bersifat sementara, dengan kata lain bahwa
sistem perbankan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, maka
umat Isalam dibolehkan bermualah atas dasar pertimbangan darurat,
tetapi umat Islam harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.
b. Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba di kalangan Arab
Jahiliyyah saja, yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari
orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang-
93

piutang yang bersifat konsumtif, bukan utang-piutang yang bersifat


produktif.
c. Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan negara yang
akan menghilangkan unsur-unsur eksploitasi, karena sekalipun bank
negara mengambil bunga sebagai keuntungan, tetapi penggunaannya
bukan untuk orang-orang tertentu, melainkan akan menjadi kekayaan
negara yang akan digunakan untuk kepentingan umum.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan Ulama Muhammadiyah
dalam mu’tamar Tarjih di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan
bahwa bungan yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya dan sebaiknya adalah termasuk masalah Musytabihat. Yang
dimaksud dengan masalah Musytabihat adalah perkara yang belum
ditermukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandungg
unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram,
tetapi ditinjau dari segi lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan
keharamannya. Yakni pada satu sisi bunga masih termasuk riba, sebab
merupakan tambahan dari pinjaman pokok, meskipun tidak terlalu besar,
tetapi disisi lain bahwa bunga yang relatif kecil itu bukan merupakan
keuntungan perorangan, malainkan keuntungan yang penggunaannya
untuk kepentingan umum. Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi
penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangan riba yang unsur
utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang
miskin, meskipun bunga bank dianggap Musytabihat tidak berarti umat
Islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi SAW.
Memerintahkan umat Islam hati-hati terhadap perkara Syubhat dengan cara
menjauhinya.
94

Menyimak pendapat Musthafa Ahmad al-Zarqa dan ulama


Muhammadiyah di atas, kiranya dapat dipahami bahwa umat Islam
dibolehkan bermuamalah dengan bank negara, karena bunga juga kecil dan
penggunaan keuntungan dari bank tersebut adalah untuk kepentingan
umum, yang menjadi permasalahan ialah bagaimana dengan bank swasta,
apakah boleh bermuamalah dengannya atau tidak. Bila Musthafa Ahmad al-
Zarqa dan ulama Muhammadiyah menekankan segi darurat dan suku bunga
yang relatif kecil. Maka bermuamalah dengan bank swasta dibolehkan,
karena keadaan darurat dan bank swasta bunganya relatif sama dengan bank
negara, tetapi apabila yang ditekankan segi penggunaannya, umat Islam
tidak boleh bermuamalah dengan bank swasta, sebab keuntungan dari bunga
bank negara digunakan untuk kepentingan umum, sedangkan penggunaa
keuntungan dari bank swasta adalah hanya orang-orang tertentu saja, yaitu
para penanam modal (saham) dan para pekerjanya.
Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menghalalkan
pengambilan atau pembayaran bunga di bank konvensional, baik bank
negara maupun bank swasta, pendapat ini dipelopori oleh A. Hassan.
adapun alasan yang digunakan adalah firman Allah SWT.
‫اي أيها الذين آمنوا ال أتكلوا الراب أضعافا مضاعفة‬

“Jangalah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (Ali-Imran: 130)


Jadi yang termasuk riba menurut A. Hasan adalah bunga yang
berlipat ganda, bila bunga hanya dua prosen dari modal pinjaman itu, itu
tidak berlipat ganda, maka tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama
Islam.
Tentu saja perbedaan pendapat ulama di atas, umumnya terjadi pada
saat perkembangan bank syari’ah belum sepesat saat ini. Bahkan khusus
untuk konteks Indonesia, pendapat ulama Indonesia di atas di sampaikan
95

ketika di negara ini belum ada satupun bank yang beroperasi dengan sistem
syari’ah. Oleh karena itu, kesimpulan tidak mengharamkan bunga bank baik
secara muthlak atau dalam kategori musytabihat merupakan sesuatu yang
wajar dalam konteks upaya memberikan solusi cerdas kepada umat dalam
melakukan transaksi dengan perbankan konvensional. Namun demikian,
Untuk saat ini pendapat di atas dinilai kurang relevan mengingat perbankan
syari’ah telah berkembangan pesat dan sangat mudah dijangkau oleh
masyarakat luas khususnya yang tinggal di daerah perkotaan. Oleh karena
itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui komisi fatwanya pada tanggal
14-16 Desember 2003 melakukan pertemuan (ijtima) ulama seindonesia yang
kemudian menghasilkan keputusan bahwa sistem perbungaan (interest)
adalah haram hukumnya. Walaupun demikian fatwa tersebut tetap saja
memberikan pengecualian untuk daerah yang belum terjangkau bank
syari’ah, bertransaksi dengan bank konvensional tetap diperbolrhkan dengan
alasan kondisi darurat (al-dharuratu tubihu al-mahdhurat).

Anda mungkin juga menyukai