Akad/perjanjian
Dosen pengampu:
Disusun oleh
Akad / Perjanjian
Islam merupakan ajaran Allah yang bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara
material maupun spritual, selalu berhubungan dan bertransaksi antara satu dan yang lain.
Dalam berhubungan dengan orang lain inilah antara yang satu dan yang lain sering terjadi
interaksi. Muamalat adalah urusan sesama manusia. Apabila ada sekelompok manusia di suatu
tempat, haruslah mereka saling berinteraksi satu sama lain, berjual beli, sewa
- menyewa, pinjam
- meminjam, utang
- piutang, baik konsisten
maupun tidak konsisten, bai k komit maupun tidak komit, baik secara sederhana
maupun berlebihan.
Perkataan mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang
mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan
suatu janjiyang berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah
janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian
disebut perikatan.
Pengertian Akad
Pengertian Akad dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah janji perjanjian, kontrak. 3Kata
akad berasal dari bahasa Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan
(pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan”. Pencantuman ka ta-kata yang
“sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih tidak dianggapsah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya,
kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan
orang lain. Adapun pencantuman kata - kata “berpengaruh pada objek perikatan”maksudnya
adalah terjadinya perpinda han pemilikan dari satu pihak ( yang melakukan ijab) kepada pihak
yang lain (yang menyatakan kabul). Menurut Kompi lasi Hukum Ekonomi Syariah, yang
dimaksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih
Sebagian ulama fiqh mendefinisikan sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua
keinginan yang ada kecocokan, sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak
dinam akan akad tapi dinamakan janji. Dengan landasan ini At -Thusi membedakan antara akad
dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyaki nkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi
kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang.
dalam Al -Qur’an.7Dijelaskan dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 76:
“(Bukan demikian), Sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka
Artinya :Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda;
“Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka
tidak, tidak berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut, seperti yang dijelaskan
dalam surat Ali Imran ayat 76 bahwa janji tetap mengikat orang yang membuatny
Rukun- rukun akad
Rukun akad itu adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau
yang menempati tempat keduanya baik berupa perbuatan, isyarat, atau tulisan.
Suatu perjanjian dalam hukum islamsah apabila memenuhi rukun dan syarat - syarat.Syarat
terkadang terdiri dari beberapa orang.Se cara umum, aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki
kemampuan untuk melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi
wakil.
2. Ma’qud ‘alaih, ialah benda - benda yang diakadkan, seperti benda- benda yang dijual dalam akad jual-
beli.
Ada empat syarat yang harus dipenuhi agar benda bisa dijadikan objek akad:
b. Barang yang dijadikan objek akad harus sesuai dengan ketentuan syara’.
c. Barang yang dijadikan objek akad harus bisa diserahkan pada waktu akad.
d. Barang yang dijadikan objek akad harus jelas diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tidak
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun
kabulialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya
ijab.Ijab dan qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela timbal
balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua belah pihak yang bersangkutan, dan
berbeda lafal, misalnya seseorang berkata: “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”,
tetapi yang mengucapkan kabul berkata: “ Aku terima benda ini sebagai pemberian”.
c. Menggambarkankesungguhan ke mauan dari pihak -pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa,
untuk menjadikan suatu akad dalam zatnya sah menurut syara’.Apabila syarat tidak terwjud
a) Syarat umum,
Syarat- syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut:
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak
cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berad a di bawah pengampuan, dan karena
boros.
3) Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya,
walaupun dia bukan ‘aqid yang memilki barang.
4) Janganlah akad itu akad yang dil arang oeh syara’, seperti jua beli mulasamah (saling merasakan).
5) Akad dapat memberikan faedah.
6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang yang berijab
b) Syarat khusus, yaitu syarat yang dipenuhi dalam sebagian akad, bukan dalam akad lainnya.
Contohnya seperti syarat saksi dalam akad nikah, syarat penyerahan barang dalam akad
-akad kebendaan (hibah, gadai, dan lain -lain).
b. Syarat sah
Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibat - akibat hukum dari suatu
akad.Apabila syarat tersebut tidak adamaka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis.
c. Syarat nafadz (kelangsungan akad)
Untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat:
a. Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik
barang yang menjadi objek akad, atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada
kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan), maka akad tidak bisa dilangsungkan ,
( lazim -nya) suatu akad, seperti jual beli, disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar(pilihan),
yang memungkinkan di fasakhnya akad oleh salah satu pihak.Apabila di dalam akad tersebut
terdapat khiyar, maka akad tersebut tidak mengikat (lazim)bagi orang yang memiliki
hakkhiyartersebut. Dalam kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya
Menurut ulama Maz hab az- Zahiri semua syarat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
yang berakad, apabila tidak sesuai dengan al -Qur’an dan Sunnah Rasulullah adalah batal.
Sedangkan menurut jumhur ulama fikih, selain Mazhab az -Zahiri, pada dasarnya pihak -pihak
yangberakad itu mempunyai kebebasan untuk menentukan syarat -syarat tersendiri dalam
suatu akad. Kebebasan menentukan syarat -syarat dalam akad tersebut, ada yang bersifat
mutlak, tanpa batas selama tidak ada larangan di dalam al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapasegi. Jika
dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi dua, yaitu:
a. Akad Sahih
Ialah akad yang telah memenuhi rukun- rukun dan syarat- syaratnya.Hukum dari akad ini adalah
berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak - pihak
memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b. Akad mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia
tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini,seperti akad yang
syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak ber hakdan tidak mengikat pihak -
pihak yang berakad. Hanafiyah membagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu
akad yang batil dan fasid. Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah
satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’.Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas.
Adapun akad fasid menurut mereka merupakan suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan,
akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang
(ketauhidan). Dengan demikian, manusia memiliki tanggungjawab akan hal ini. Tanggung jawab
dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Ketika seora ng manusia hendak bermuamalah
( membeli dan menjual, menyimpan dan meminjam, atau menginvestasikan uang ), ia selalu
melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuatperjanjian, baik dari segi o bjek
penyelesaian bila terjadi sengketa.Adanya unsur pemaksaan dan pemasungan kebebasan bagi
para pihak yang melakukan perjanjian, maka legalitas perjanjian yang dilakukan bisa dianggap
asas personalitas, dan asas itikad baik. Dan dalam hukum adat mengenal asas ternag, tunai,
dan rill. Begitupun dalam kontek hukum Islam juga mengenal asas-asas hukum perjanjian.
1) Alhurriyah (kebebasan). Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam.
Asas kebebasan berkontrak didalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan syariah Islam, dalam
2) Al-musawah (persamaan atau kesetaraan). Asas ini mengandung pengertian bahwa pihak-
pihak mempunyai kedudukan yang sama, sehingga dalam menentukan term and condition dari
suatu akad/perjanjian setiap pihak mempunyai kesetaraan atau kedudukan yang seimbang;
3) Al-‘adalah (keadilan). Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian menuntut para pihak
untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua
kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang,
4) Ar-ridha (kerelaan). Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas
berdasarkan kerelaan masing-masing pihak, harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari
5) Ash-shidiq (kebenaran dan kejujuran). Bahwa didalam Islam setiap orang dilarang melakukan
kebohongan dan penipuan, kerena dengan adanya penipuan sangat berpengaruh dalam
6) Alkitabah (tertulis). Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan
demi kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa.
Klasifikasi Perjanjian
Layaknya hukum perjanjian KUHPerdata yang mempunyai berbagai macam klasifikasi maka
dalam hukum islampun demikian. Adapun klasifikasi hukum perjanjian Islam adalah akad dilihat
dari segi keabsahannya (terdiri dari akad shahih, akad tidak shahih), akad dilihat dari sifat
mengikatnya (terdiri dari akad yang mengikat secara pasti, dan akad yang mengikat secara
tidak pasti), akad dilihat dari bentuknya (terdiri dari akad tidak tertulis, akad tertulis), akad dalam
sektor ekonomi (dibedakan menjadi dua macam, yaitu akad tabarru antara lain al-qard, ar-rahn,
hiwalah, wakalah, hibah, hadiah, waqaf, dan sadaqah; .akad mu‘awadah antara lain akad yang
berdasarkan prinsip jual beli (al-bay Al-Murabahah dengan mark up, akad salam dan akad
isthisna), akad yang berdasarkan prinsip bagi hasil (Al-mudharabah dan Almusyarakah), akad
yang berdasarkan prinsip sewa menyewa (ijarah wa isthisna).
Berakhirnya Perjanjian.
Dalam konteks hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak akan berakhir jika
dipenuhi tiga hal berikut :
a) Berakhirnya masa berlaku akad, biasanya dalam sebuah perjanjian telah di tentukan asat
kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis
b) Dibatalkan oleh pihak yang berakad, hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang
melanggar ketentuan perjanjian (persyaratan), atau salah satu pihak mengetahui jika dalam
pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan bisa menyangkut
objek perjanjian (eror in objecto), maupun eror mengenai orangnya (eror in persona);
c) Salah satu pihak yang berakad meniggal dunia, hal ini berlaku untuk berbuat sesuatu, yang
membutuhkan adanya kompetensi khas, sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal
memberikan sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku
bagi ahli warisnya.
Penutup
Dalam ajaran islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan syarat dari suatu
akad. Rukun adalah sesuatu yang mutlak untuk dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan
tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk hal, peristiwa dan tindakan
tersebut. Rukun akad yang utama adalah ijab qabul, syarat yang harus ada dalam rukun bisa
menyangkut subjek dan objek dari suatu perjanjian. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi
agar ijab dan qabul mempunyai akibat hukum adalah: 1) Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh
orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai umur yang tamzis yang menyadari dan
mengetahui isi perkataan yang diucapkan hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan
keinginan hatinya. Dengan lata lain dilakukan oleh orang yang cakap melakukan tindakan hukum.
Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek yang merupakan objek perjanjian. 2) Ijab dan
qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis apabila dua belah pihak sama-sama
hadir. Menurut jumhur ulama dan juga merujuk pada teori Az-Zuhaily tentang unsur
keabsahan akad harus ada rukun akad meliputi: shighat alaqad (pernyataan untuk mengikatkan diri/
pernyataan kehendak para pihak), Al-ma‘qud alaih/mahal all-‘aqad (objek akad), Al-
adanya kesesuaian dengan asas perjanjian Islam, yaitu tentang kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, dan asas mengikat. Secara konseptual, hukum perjanjian Islam berbeda
signifikan dengan hukum Perdata Barat (Kontinental). Namun demikian hal ini bukan lantas
dipertentangkan, tetapi lebih pada upaya saling mengisi dan melihat titik temu keduanya. Soal
perbedaan, hal ini lebih disebabkan karena ketidaksamaan filosofi hukum dan pengambilan
sumber hukumnya. Dalam hukum perjanjian Islam, ulama menggali hukum dari al-Qur’an dan
hadis serta ijtihad. Selain itu, mengenai keabsahan perjanjian, dalam perspektif hukum
perjanjian Islam, sebuah akad dianggap sah jika tidak bertentangan dengan dalil syara’.
Sesungguhnya akad perjanjian dalam transaksi kartu kredit syariah seperti pada penjelasan di
muka sah secara syar’i. Namun demikian, dalam penggunaannya harus terus dikawal dan
dicermati, supaya tidak terjadi hilah al-hukm belaka. Sementara itu, dalam Hukum Perdata,
perjanjian diangap sah jika tidak bertentangan dengan undang-undang. Demikian halnya, dalam
hukum perjanjian Islam secara tegas dinyatakan tidak boleh ada unsur riba, gharar, dan maysir.
Daftar pustaka
Indonesia, Yogyakarta : Citra Media, 2008. Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah: Studi
tentang Teori Akad dalam Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.