Anda di halaman 1dari 10

Secara etimologi akad berarti ikatan, yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik

ikatan secara nyata maupun ikatan secara abstrak, dari satu atau dua sisi. [1]

Sedangkan menurut terminologi, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan
khusus.

Pengertian secara umum


Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi
bahasa. Menurut pendapat ulama Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, akad adalah segala
sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya memmbutuhkan keinginan dua orang seperti
jual-beli, sewa-menyewa,perwakilan,dan gadai.[2]

Pengertian khusus

Pengertian akad secara khusus adalah perikatan (yang ditetapknn dengan) ijab dan qabul
berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya. Contoh, ijab adalah pernyataan
seorang penjual, Saya telah menjual barang ini kepadamu atau sejenisnya. Contoh qabul:
Saya belibarangmu atau sejenisnya. Dengan demikian, ijab qabul adalah adalah suatu
perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua
orang atau lebih. Berdasarkan pengertiaan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimakdus
dengan akad adalah suatu yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan
persetujuan masing masing.[3]

PEMBENTUKAN AKAD

RUKUN AKAD

Mengenai rukun akad terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun aqad adalah ijab dan qabul. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu[4] :

1. Aqid ( orang yang beraqat ) terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, dan kadang
kala dari beberapa orang.
2. Maqud Alaih (sesuatu yang diaqadkan); maqud alaih atau mahallul aqdi adalah benda yang
menjadi objek aqad, seperti benda-benda yang dijual dalam aqad bai (jual beli) yang dihibahkan
dalam aqad hibah, yang digadai dalam akad rahn, dan lain-lain.

3. Shighat al-aqd, yaitu ijab dan qabul ucapan yang menunjukan kehendak kedua belah pihak.

UNSUR-UNSUR AKAD
Unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu[5]:

Sighat al-aqd, yaitu sesuatu yang disandarkan dari dua belah yang berakad yang
menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini
dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan. Shighat tersebut disebut
ijab dan qabul. Metode shighat atau ijab qabul dalam akad dapat diLakukan dengan
berapa cara:

1. Akad dengan lafad (ucapan); akad dengan lafad yang dipakai untuk ijab dan qabul harus jelas
pengertiannya, harus bersesuaian antara ijab dan qabul, dan shighat ijab dan qabul harus
sungguh-sungguh atau tidak diucapkan secara ragu-ragu. Karenanya, apabila shighat al- aqd
tidak menunjukkan kesungguhan akad, maka menjadi tidak sah. Atas dasar inilah para fuqaha
berpendapat bahwa berjanji menjual belum merupakan akad penjualan, dan orang yang berjanji
itu tidak dapat dipaksa menjualnya.

2. Akad dengan tulisan; dibolehkan akad dengan tuLisan, baik bagi mereka yang mampu berbicara
maupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat difahami oleh kedua
belah pihak. Sebab tulisanha sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah, tulisan bagaikan ucapan.
Ulama Syafiiyah dan Hanabilah[6] berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah sah jika
kedua belah pihak yang berakad tidak hadir, namun jika yang akad hadir, tidak diperkenankan
menggunakan tulisan, sebab tulisan tidak dibutuhkan.

3. Akad dengan perbuatan. Dalam akad terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan
perbuatan yang menunjukkan saling meridhai. Hal ini sangat umum terjadi pada zaman sekarang.
Dalam menanggapi persoalan ini, para ulama berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah[7] dan
Hanabilah[8] membolehkan akad dengan perbuatan terhadap barang-barang yang sudah sangat
diketahui secara umum oleh manusia. Jika belum diketahui secara umum, akad seperti itu
dianggap batal. Mazhab Maliki[9] membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas menunjukkan
kerelaan, baik barang ter-sebut diketahui secara umum maupun tidak, kecuali dalam pernikahan.
Ulama Syafiiyah, Syiah, dan Dzahiriyah[10] berpendapat bahwa akad dengan perbuatan tidak
dibenarkan karena tidak ada petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut. Selain itu, keridhaan
adalah sesuatu yang samar, yang tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Namun para
ulama sepakat bahwa akad dalam pernikahan hanya dibolehkan menggunakan ucapan. Begitu
pula dalam talak dan ruju diutamakan dengan tulisan dibandingkan dengan isyarat apabila tidak
mampu berbicara

4. Akad dengan isyarat. Bagi orang yang mampu berbicara tidak dibenarkan akad dengan isyarat,
melainkan harus dengan menggunakan lisan, tulisan atau perbuatan. Adapun bagi mereka yang
tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika mampu menulis dan bagus, maka
dianjurkan atau lebih baik dengan tulisan.

Al Aqid (pelaku), yaitu orang yang melakukan akad. Keberadaannya adalah sangat penting
sebab tidak dapat dikata-kan akad jika tidak ada aqid. Begitu pula tidak akan terjadi ijab dan
qabul tanpa adanya aqid. Secara umum aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan
untuk melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi wakil. Ulama
Malikiyah[11] dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal, yakni sudah mumayyiz, anak
yang agak besar yang membicarakannya dan jawaban yang dilontarkan dapat dipahami, serta
berumur minimal 7 tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah akad yang dilakukan oleh anak
kecil yang belum mumawiz,orang gila dan lain-lain. Adapun ulama Syafiiyah dan Hanabilah
mensyaratkan aqid harus baligh, berakal, mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan
demikian, ulama Hanabilah membolehkan seorang anak kecil membeli barang sederhana atas
izin walinya.

AI Maqud Alaih (Mahal al- Aqad), yaitu objek akad atau benda yang dijadikan akad,
bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang
dagangan. Berupa benda bukan harta, seperti akad pernikahan; dan dapat pula dalam bentuk
suatu kemanfaatan, seperti dalam masalah upah mengupah, dan lain-lain.[12] Dalam Islam, tidak
semua barang dapat dijadikan objek akad, misalnya minuman keras. Oleh karena itu, para fuqaha
menetapkan beberapa syarat dalam objek akad berikut ini :

1. Maqud alaih (barang) harus ada ketika akad. Maka tidak sah akad seperti menjual anak
kambing yang masih dalam kandungan induknya atau membeli sesuatu yang masih dalam tanah.

2. Maqud alaih harus masyru (sesuai dengan ketentuan syara), Ulama fiqih sepakat[13] bahwa
barang yang di jadikan akad harus sesuai dengan ketentuan syara.maka tidak sah akad atas
barang yang diharamkan syara, seperti bangkai, minuman keras/khamar, dan lain-lain.

3. Maqud alaih dapat diberikan waktu akad. Tidak seperti jual beli burung yang masih di udara,
harta yang diwakafkan, dan lain-lain, maka tidak dipandang terjadi akad.

4. Maqud alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad.

5. Maqud alaih harus suci, yaitu tidak najis dan mutanajis (terkena najis), seperti anjing, bangkai,
darah, dan lainlain. Namun ulama Hanafiyah[14] tidak menetapkan syarat ini.

Syarat Akad

1. Syarat terjadinya akad

Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara
syara. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat
umum adalah syaratsyarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.

2. Syarat Pelaksanaan akad

Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan
adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang
dimilikinya sesuai dengan aturan syara. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam
ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara.
3. Syarat Kepastian Akad (luzum)

Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat,
khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalika.

Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib dalam Akad

Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau
tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.

Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus
ditepati.

Tidak sah akad yang disertai dengan syarat. Misalnya dalam akad jual beli aqid
berkata: Aku jual barang ini seratus dengan syarat dengan syarat kamu menjual
rumahmu padaku sekian, atau aku jual rumah barang ini kepadamu tunai dengan
harga sekian atau kredit dengan harga sekian, atau aku beli barang ini sekian
asalakan kamu membeli dariku sampai dengan jangka waktu tertentu sekian.

Akad yang dapat dipengaruhi Aib adalah akad akad-akad yang mengandung unsur
pertukaran seperti jual beli atau sewa.

Cacat yang karenanya barang dagangan bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa
mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus ada sebelum jual beli
menurut kesepakatan ulama. Turunnya harga karena perbedaan harga pasar, tidak
termasuk cacat dalam jual beli.

akad yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan
sedekah, tak ada sedikitpun pengaruh aib di dalamnya.
Akad tidak akan rusak/ batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad
pernikahan.

Nikah tidak dikembalikan (ditolak) lantaran adanya setiap cacat yang karenanya jual
beli dikembalikan, menurut ijma kaum musllimin, selain cacat seperti gila,kusta,
baros, terputus dzakarnya, imptoten, fataq (cacat kelamin wanita berupa terbukanya
vagina sampai lubang kencing atau Ada juga yang mengatakan sampai lubang anus
(cloaca). Kebalikan dari fatq adalah rataq, yaitu tertutupnya vagina oleh daging
tumbuh), qarn (tertutupnya vagina oleh tulang), dan adalah, tidak ada ketetapan
khiyar tanpa diketahui adanya khilaf diantara ahlul ilmi. Dan disyaratkan bagi
penetapa khiyar bagi suami tidak mengetahuinya pada saat akad dan tidak rela dengan
cacat itu setelah akad. Apabila ia tahu cacat itu setelah akad atau sesudahnya tetapi
rela, maka ia tidak mempunyai hak khiyar. Dan tidak ada khilaf bahwa tidak adanya
keselamatan suami dari cacat, tidak membatalkan nikah, tapi hak khiyar tetap bagi si
perempuan, bukan bagi para walinya.

Dalam hal pernikahan Jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan
akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti. [15]
BAB III

KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan

bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara

beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara dan memiliki implikasi hukum

tertentu.terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun

maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad. Adapun

mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai

perspektif, baik dari segi ketentuan syariahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-
lain. Semua mengandung unsur yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua

belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan

kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak

yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-

hari

DAFTAR PUSTAKA

Ad- Dasuki, Syah Al-Kabir Li Ad Dardir wa Hasiyyatuh, juz III.

Alaud Din Al-Kasyani, BadaI Ash-ShanaI fi Tartib SyaraI, Syirkah Almathbuah, Mesir

Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar Syarh Tanwir Al-Abhshar, Al Munirah, Mesir

Ibnu Rusyd., Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al- Muqtashid, Beirut, Dar Al-Fikr.

Ibnu Rusyd., Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al- Muqtashid


Ibn Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdab.

Muhammad Asy-Syarbini, Mugni ALMuhtaj

Taimiyyah, Nazhariyah Al-Aqdi

Wahbah Al-Juhailli, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, juz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr,1989

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, CV Pustaka Setia, 2001, Bandung

Http://Google.com, 27-10-2010, 07.00 pm

[1] Wahbah Al-Juhailli, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, juz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr,1989, hal.80.

[2]Lihat, Ibnu Taimiyyah, Nazhariyah Al-Aqdi,hlm.1-21,78

[3] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar Ala Dar Al-Mukhtar, juz II, hlm.355

[4] Ad- Dasuki, Syah Al-Kabir Li Ad Dardir wa Hasiyyatuh, juz III, hlm 2

[5] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah,

[6] Ibn Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdab, juz I. hlm. 257

[7]Al-Kasani, op. cit., juz V, hlm. 134

[8] Ghayah AlMuntaha, juz II hlm. 5

[9] Ibnu Rusyd., Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al- Muqtashid, juz II. Hlm. 161

[10] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni ALMuhtaj, jjuz III hlm. 139

[11] Ibn Abidin, Op. Cit., hlm. Juz IV. Hlm. 5

[12] Ibn Abidin, Op. Cit., juz II, hlm. 448

[13] Al-Kasani, Op.Cit., juz V, hlm. 140


[14] Al-Kasani, Op.Cit., juz IV, hlm. 142

[15] Http://Google.com, 27-10-2010, 07.00 pm

Anda mungkin juga menyukai