Disusun oleh
KELOMPOK 7
FAKULTAS SYARIAH
2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirrrahmannirrahim
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena kasih karunia-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul, “Ijtihad dan Problematikanya”.
Sebaik mungkin makalah kami buat meskipun masih banyak kekurangan di
dalamnya, dan kami juga berterima kasih pada Dosen yang mengajar mata kuliah
ushul fiqh yang telah memberikan motivasi dan kesempatan kepada kami untuk
mengerjakan makalah ini. kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi ushul fiqh ini.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalah kata-kata
yang kurang berkenan.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW.Hingga dalam perkembangannya, ijtihad
dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan
masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu
pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari ijtihad itu ?
2. Apa saja yang menjadi dasar hukum dari ijtihad ?
3. Apa saja syart-syarat ijtihad itu?
4. Bagaimana lapangan ijtihad terjadi?
5. Apasaja macam-macam ijtihad?
6. Bagaimana tingkatan mujtahid itu?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian atau definisi dari ijtihad
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad itu
3. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat dari ijtihad itu
4. Untuk mengetahui bagaimana lapangan ijtihad terjadi
5. Untuk mengetahui macam-macam apa saja dari ijtihad
6. Untuk mengetahui tingkatan para mujtahid
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
2
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia,1999),h.98
pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fikih
untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syariat.
2. Hadist
Hadis Nabi saw. yang dijadikan landasan ijtihad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Baghawi dari Mu’az bin Jabal yang menerangkan
tentang dialog yang terjadi antara Nabi saw. dengan Mu’az ketika akan
diangkat sebagai qadhi di Yaman. Nabi bersabda, “Bagaimana jika
engkau diserahi urusan peradilan?. Jawab Mu’az: “Saya akan
menetapkan perkara berdasarkan nash al-Qur’an”. Nabi bertanya:
“Bagaimana jika tidak kau dapatkan di dalam al-Qur’an”. Jawab
Mu’az: “Dengan Sunnah Rasul”. Kemudian Nabi mengakhiri
pertanyaannya dengan: “Bagaimana jika di dalam Sunnah pun tidak
kau dapatkan?”. Mu’az menjawab: “Saya akan mengerahkan
kemampuan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiranku”.
Rasulullah saw. mengakhiri dialog tersebut dengan mengatakan:
“Segala puji hanya bagi Allah yang memberikan petunjuk kepada
utusan RasulNya jalan yang diridlai Rasul Allah” Hampir setiap
pembahasan mengenai ijtihad menjelaskan tentang hadis Mu’az ini. Di
mana ditampilkan bahwa Nabi Muhammad saw. memuji Mu’az yang
akan melakukan ijtihad dengan ra’yu (pikiran) jika ia tidak dapat
menemukan penjelalasan atau perkara tentang suatu hal di dalam al-
Qur’an maupun al-Sunnah, dengan kata lain ra’yu dapat dipakai
sebagai sarana penetapan hukum.3
3. Ijma'
Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas
dianjurkannya ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan
benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh
yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai
sekarang. Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad
karena sebagian besar dalil-dalil hukum syara‘ praktis adalah bersifat
dzanni yang menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga
memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat
atau yang terkuat. Demikian juga perkaraperkara yang tidak ada
nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum
syara‘nya dengan menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena
Syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba-
hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad4
3Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 79
C. Syarat- Syarat Ijtihad
Untuk menetapkan hukum Islam sebagai penguat hadis pada pembahasan
dan persoalannya, para mujtahid harus memenuhi beberapa syarat ijtihad.
Berdasarkan dari isi buku Filsafat Hukum dan Maqashid Syariah,
Muhammad Syukuri Albani Nasution dan Rahmat Hidayat Nasution
(2020: 31), berikut syarat ijtihad yang harus dipenuhi untuk
memberlakukan ketentuan hukum Islam adalah:
D. Lapangan Ijtihad
Tidak semua lapangan hukum Islam dapat menjadi pokok ijtihad.
Lapangan yang tidak boleh menjadi lapangan ijtihad adalah:
1. Hukum yang dibawa oleh nash dan qat’i, baik kedudukannya maupun
pengertiannya, atau di bawa oleh Hadis atau mutawatir, seperti halnya
4Edelwis Lararenjana, Mengenal Fungsi ijtihad dan Sumber Hukumnya, di kutip dari https://m.merdeka.com/jatim/mengenal-fungsi-ijtihad-sumber-
5 Satria Efendi, Ushul Fiqh, 251-255; Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 1993), 115-116.
mengenai kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan bahkan mengenai
haramnya riba dan memakan harta orang. Demikian pula penentuan
bilangan-bilangan tertentu dari syara’ yang dibawa oleh hadist mutawatir
juga tidak menjadi objek ijtihad, seperti bilangan rekaat shalat, waktu-
waktu shalat, cara melakukan haji dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh suatu nash dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, tetapi telah disepakati oleh para
mujtahidin dari suatu masa, seperti pemberian warisan sebesar seperenam
harta warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan antara
wanita Islam dengan lelaki non-muslim.
Adapun lapangan yang dapat menjadi objek ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Lapangan yang dibawa oleh nash yang zanni. Baik dari segi
kedudukannya maupun dari segi pengertiannya. Nash seperti ini
terdapat di dalam Hadis. Ijtihad dalam hal ini ditujukan dalam segi
sanad dan penyahihannya, juga dari pertalian pengertiannya
dengan hukum yang sedang dicari.
2. Lapangan yang dibawa oleh nash qat’I kedudukannya, tetapi zanni
pengertiannya. Nash seperti ini terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadis juga. Objek ijtihad di sini ialah dari segi pengertiannya saja.
3. Lapangan yan dibawa oleh nash yang zanni kedudukannya, tetapi
qat’i pengertiannya. Nash ini hanya terdapat dalam Hadis. Objek
ijtihad dalam hal ini ialah segi, sahihnya Hadis, dan pertaliannya
dengan Rasulullah. Dalam ketiga lapangan ini, daerah ijtihad
terbatas sekitar nash sehingga seorang mujtahid tidak dapat
melampuai kemungkinan-kemungkinan pengertian nash.
4. Lapangan yang tidak ada nashnya atau tidak diijma’kan dan tidak
pula diketahui dengan pasti. Disini orang yang berijtihad memakai
qiyas, istihsan, urf, atau jalan lain. Disinilah daerah ijtihad lebih
luas dari pada ketiga lapangan lainnya.6
Ringkasnya lapangan ijtihad terdiri dari dua, yaitu perkara yang tidak
ada nas (ketentuan) sama sekali dan perkara yang ada nas}nya, tetapi
tidak qat'i wurud dan dalalah-nya.
F. Tingkatan Mujtahid
Mujtahid adalah sebutan bagi mereka yang secara langsung dapat
mengidentifikasi dan mempelajari metode melalui nash-nash Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Mujtahid memiliki kemampuan dan kemampuan khusus
untuk melakukan ijtihad. Ijtihad berarti kejujuran. Sedangkan menurut
Imam Ghazaly, mendefinisikan Ijutihard sebagai, dalam istilah itu,
langkah signifikan yang diambil oleh Mujitahid untuk mempelajari
Hukum Syala. Mujtahid dikategorikan ke dalam empat tingkatan
berdasarkan tugasnya, diantaranya sebagai berikut :
1. Mujtahid Mustaqil
Mujtahid Mustaqil dapat menerbitkan aturan untuk dirinya sendiri dan
orang lain yang ingin menjalankan ijtihad. Mereka lebih fokus
mempelajari hukum.
Untuk mencapai tahap ini, Mujtahid harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Untuk golongan yang termasuk dalam tingkatan ini, Madzhab
seperti Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Gazari, Imam Hanbali.
2. Mujtahid mutlak ghairu mustaqal
7 Moh Zuhri, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: PT. Dina Utama, 1994), h. 78
Pada tingkatan ini, seorang mujtahid tidak menciptakan kaidahnya
sendiri. Mereka berpedoman pada hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh para imam madzhab. Mereka tidak dikategorikan taqlid kepada
imamnya, melainkan lebih mengikuti jalan yang ditempuh para imam.
Tokoh yang berada di tingkatan mujtahid mutlak ghairu mustaqal di
antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3. Mujtahid takhrij
Pada tingkat ini, Mujtahid sangat terikat dengan imamnya. Anda diberi
kebebasan untuk menentukan alasan berdasarkan dalil Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Namun, ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh
menyimpang dari aturan yang diterapkan oleh imam. Orang-orang di
pesawat Mujtahid Takhrij adalah Hasanbin Ziyad dan Ibn Qayyim.
4. Mujtahid Tarji
Dengan kata lain, Mujtahid belum mencapai tingkatan Mujtahid
Takahrij. Imam Nawawi, dalam Majum ini, menetapkan bahwa
Mujtahid Tarji adalah seorang faqih (memahami aturan Islam) dalam
hal ilmu pengetahuan. Anda tahu frasa tentang bagaimana lebih
mengingat aturan Imam, bagaimana menentukan hukum dan
bagaimana mengetahui frasa yang lebih kuat yang digunakan untuk
referensi. Mujtahid Tarjih diyakini memiliki pemahaman yang lebih
luas daripada Takahrij.8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut
sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
8 H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2007), h. 118.
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Didalam ijtihad ada tiga sumber hukum yakni Al-Quran, Hadis dan Ijma.
Didalam Alquran dijelaskan dalam firman Allah Surah An-Nisaa ayat 105,
Surag An-Nisa ayat 59 dan Al-Hasyr ayat 2.
DAFTAR PUSTAKA
Satria Efendi, 1993. Ushul Fiqh, 251-255; Dede Rosyada, Hukum Islam dan
Pranata Sosial Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 115-116.
H. Mohammad Daud Ali, 2007. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum di Indonesia, Jakarta: raja Grafindo Persada, h. 118.