Anda di halaman 1dari 13

IJTIHAD DAN PROBLEMATIKANYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah


Ushul Fiqh
Dosen Pengampu

Busriyanti Abuya, M.Ag

Disusun oleh

KELOMPOK 7

1. Masyiva Alfi Sari 21303005


2. Muhammad Sholeh Syaifudin 21303024

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)KEDIRI

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrrahmannirrahim
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena kasih karunia-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul, “Ijtihad dan Problematikanya”.
Sebaik mungkin makalah kami buat meskipun masih banyak kekurangan di
dalamnya, dan kami juga berterima kasih pada Dosen yang mengajar mata kuliah
ushul fiqh yang telah memberikan motivasi dan kesempatan kepada kami untuk
mengerjakan makalah ini. kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi ushul fiqh ini.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalah kata-kata
yang kurang berkenan.

Kediri, 14 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW.Hingga dalam perkembangannya, ijtihad
dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan
masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu
pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum


Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan
lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.
Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok
dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat
Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan
yang semakin komplek

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari ijtihad itu ?
2. Apa saja yang menjadi dasar hukum dari ijtihad ?
3. Apa saja syart-syarat ijtihad itu?
4. Bagaimana lapangan ijtihad terjadi?
5. Apasaja macam-macam ijtihad?
6. Bagaimana tingkatan mujtahid itu?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian atau definisi dari ijtihad
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad itu
3. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat dari ijtihad itu
4. Untuk mengetahui bagaimana lapangan ijtihad terjadi
5. Untuk mengetahui macam-macam apa saja dari ijtihad
6. Untuk mengetahui tingkatan para mujtahid
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab “ ‫“ جهد‬yang berarti


“pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai
urusan”. Ringkasnya, ijtihad berarti “sungguh-sungguh” atau “bekerja
keras dan gigih untuk mendapatkan sesuatu”. Sedangkan secara teknis
menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im ijtihad berarti penggunaan penalaran
hukum secara independen untuk memberikan jawaban atas sesuatu
masalah ketika al-Qur’an dan al-Sunnah diam tidak memberi jawaban.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun para perintis
hukum pada kesimpulan dimana konsensus masyarakat atau para ulama
atas suatu masalah harus dijadikan sebagai salah satu sumber syari’ah. Dan
al-Qur’an dan Sunnah itu yang mendukung dan mendasari ijtihad sebagai
sumber syari’ah.1 Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik
etimologi maupun terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang
berbeda. Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara
terminologi adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya
untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari
hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat. Ahli ushul fiqh
menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut sehingga
definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah. 2
Imam al-Amidi menjelaskan bagaimana pengertian ijtihad, yaitu
mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang
bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari
tambahan kemampuannya itu. Hal ini juga disampaikan oleh para
mayoritas ulama ushul fiqh, menjelaskan pengertian ijtihad sebagai
1
Abdullahi Ahmedan Na’im, Dekonstruksi Syari’ah , terj.Ahmad Suaedy dan Amiruddin
Arrani (Yogyakarta : LkiS,1994),hlm.54.l

2
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia,1999),h.98
pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fikih
untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syariat.

B. Dasar Hukum Ijtihad


Ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an, Hadist dan Ijma.
1. Al-Qur'an
Di antara ayat-ayat al-Qur’anyang dijadikan dasar ijtihad oleh ahli
ushul fiqih adalah firman Allah swt dalam
a. Surat al-Nisa ayat 105, yaitu:

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu


(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara
manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan
janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang yang berkhianat.”
b. Surat An-Nisaa ayat 59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

dan firman-Nya yang lain :

“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang


mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)

Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan


kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang
mempelajari Qur‘an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum
yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa
hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua,
orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan
untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka
untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-
ulama yang harus melakukan ijtihad.

2. Hadist
Hadis Nabi saw. yang dijadikan landasan ijtihad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Baghawi dari Mu’az bin Jabal yang menerangkan
tentang dialog yang terjadi antara Nabi saw. dengan Mu’az ketika akan
diangkat sebagai qadhi di Yaman. Nabi bersabda, “Bagaimana jika
engkau diserahi urusan peradilan?. Jawab Mu’az: “Saya akan
menetapkan perkara berdasarkan nash al-Qur’an”. Nabi bertanya:
“Bagaimana jika tidak kau dapatkan di dalam al-Qur’an”. Jawab
Mu’az: “Dengan Sunnah Rasul”. Kemudian Nabi mengakhiri
pertanyaannya dengan: “Bagaimana jika di dalam Sunnah pun tidak
kau dapatkan?”. Mu’az menjawab: “Saya akan mengerahkan
kemampuan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiranku”.
Rasulullah saw. mengakhiri dialog tersebut dengan mengatakan:
“Segala puji hanya bagi Allah yang memberikan petunjuk kepada
utusan RasulNya jalan yang diridlai Rasul Allah” Hampir setiap
pembahasan mengenai ijtihad menjelaskan tentang hadis Mu’az ini. Di
mana ditampilkan bahwa Nabi Muhammad saw. memuji Mu’az yang
akan melakukan ijtihad dengan ra’yu (pikiran) jika ia tidak dapat
menemukan penjelalasan atau perkara tentang suatu hal di dalam al-
Qur’an maupun al-Sunnah, dengan kata lain ra’yu dapat dipakai
sebagai sarana penetapan hukum.3
3. Ijma'
Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas
dianjurkannya ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan
benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh
yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai
sekarang. Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad
karena sebagian besar dalil-dalil hukum syara‘ praktis adalah bersifat
dzanni yang menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga
memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat
atau yang terkuat. Demikian juga perkaraperkara yang tidak ada
nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum
syara‘nya dengan menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena
Syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba-
hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad4

3Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 79
C. Syarat- Syarat Ijtihad
Untuk menetapkan hukum Islam sebagai penguat hadis pada pembahasan
dan persoalannya, para mujtahid harus memenuhi beberapa syarat ijtihad.
Berdasarkan dari isi buku Filsafat Hukum dan Maqashid Syariah,
Muhammad Syukuri Albani Nasution dan Rahmat Hidayat Nasution
(2020: 31), berikut syarat ijtihad yang harus dipenuhi untuk
memberlakukan ketentuan hukum Islam adalah:

1. Para mujtahid (ulama yang melakukan ijtihad) haruslah menguasai


bahasa Arab dan ilmu pengetahuan lainnya
2. Mujtahid haruslah memiliki pengetahuan yang luas tentang asbabul
nuzul ayat Alquran dan hadist beserta seluk beluk dan tafsir-
tafsirnya
3. Mujtahid perlu mengetahui dan memahami kesepakan yang telah
dilakukan ulama atau mustahid sebelumnya dalam menetapkan
hukum Islam
4. Mujtahid haruslah memahami ilmu fiqih dan kaidah-kaidah dalam
agama Islam
5. Mujtahid haruslah emahami perkara yang hendak dicarikan
ketetapan hukumnya tersebut
6. Mujtahid haruslah memiliki akhlak terpuji dan memiliki niat ikhlas
dalam melakukan ijtihad

Secara umum, ijtihad harus dilakukan dengan menggunakan aqli


atau kecerdasan untuk menentukan Islam yang tidak melanggar aturan
Alquran dan hadits. Dalam ajaran ijma' itu sendiri, ijtihad dapat
dilakukan dengan dua cara: ijma dan qiyas. Yang disebut ijma adalah
keputusan hukum yang dibuat atas dasar kesepakatan masalah ulama,
dan qiyas adalah keputusan hukum yang dibuat setelah
membandingkan suatu peristiwa dengan peristiwa lain yang secara
hukum ditentukan oleh nash/syara.5

D. Lapangan Ijtihad
Tidak semua lapangan hukum Islam dapat menjadi pokok ijtihad.
Lapangan yang tidak boleh menjadi lapangan ijtihad adalah:

1. Hukum yang dibawa oleh nash dan qat’i, baik kedudukannya maupun
pengertiannya, atau di bawa oleh Hadis atau mutawatir, seperti halnya

4Edelwis Lararenjana, Mengenal Fungsi ijtihad dan Sumber Hukumnya, di kutip dari https://m.merdeka.com/jatim/mengenal-fungsi-ijtihad-sumber-

hukum-ketiga-dalam-agama-islam-kln.html pada tanggal 14 Maret 2022

5 Satria Efendi, Ushul Fiqh, 251-255; Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 1993), 115-116.
mengenai kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan bahkan mengenai
haramnya riba dan memakan harta orang. Demikian pula penentuan
bilangan-bilangan tertentu dari syara’ yang dibawa oleh hadist mutawatir
juga tidak menjadi objek ijtihad, seperti bilangan rekaat shalat, waktu-
waktu shalat, cara melakukan haji dan sebagainya.

2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh suatu nash dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, tetapi telah disepakati oleh para
mujtahidin dari suatu masa, seperti pemberian warisan sebesar seperenam
harta warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan antara
wanita Islam dengan lelaki non-muslim.

Adapun lapangan yang dapat menjadi objek ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Lapangan yang dibawa oleh nash yang zanni. Baik dari segi
kedudukannya maupun dari segi pengertiannya. Nash seperti ini
terdapat di dalam Hadis. Ijtihad dalam hal ini ditujukan dalam segi
sanad dan penyahihannya, juga dari pertalian pengertiannya
dengan hukum yang sedang dicari.
2. Lapangan yang dibawa oleh nash qat’I kedudukannya, tetapi zanni
pengertiannya. Nash seperti ini terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadis juga. Objek ijtihad di sini ialah dari segi pengertiannya saja.
3. Lapangan yan dibawa oleh nash yang zanni kedudukannya, tetapi
qat’i pengertiannya. Nash ini hanya terdapat dalam Hadis. Objek
ijtihad dalam hal ini ialah segi, sahihnya Hadis, dan pertaliannya
dengan Rasulullah. Dalam ketiga lapangan ini, daerah ijtihad
terbatas sekitar nash sehingga seorang mujtahid tidak dapat
melampuai kemungkinan-kemungkinan pengertian nash.
4. Lapangan yang tidak ada nashnya atau tidak diijma’kan dan tidak
pula diketahui dengan pasti. Disini orang yang berijtihad memakai
qiyas, istihsan, urf, atau jalan lain. Disinilah daerah ijtihad lebih
luas dari pada ketiga lapangan lainnya.6

Ringkasnya lapangan ijtihad terdiri dari dua, yaitu perkara yang tidak
ada nas (ketentuan) sama sekali dan perkara yang ada nas}nya, tetapi
tidak qat'i wurud dan dalalah-nya.

E. Macam- Macam Ijtihad


Di kalangan ulama terjadi beberapa masalah mengenai ijtihad.
Misalnya, Imam Syafe’i menyamakan ijtihad dengan qiyas yakni dua
nama tetapi maksudnya satu. Dan tidak mengakui ra’yu yang didasarkan
6 Ahmad Badi’, IJTIHAD: Teori dan Penerapannya, Jurnal Ijtihad, Volume 24 Nomor 2 September 2013, hal 34
pada istihsan dan masalah mursalah. Sementara ulama lain memiliki
pandangan lain yang lebih luas tentang ijtihad, menurut mereka ijtihad itu
mencakup pada ra’yu, qiyas dan akal.

Berdasarkan, Ad-Dawalibi membagi Ijtihad menjadi tiga bagian. Hal


ini sebagian sesuai dengan pendapat Asy Syatibi dalam Al Muwafaqat :

1. Ijtihad al-batani yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara


dari nash
2. Ijtihad alqiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah denganmenggunakan metode
qiyas,
3. Ijtihad al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an da yaitu ijtihn sunnah dengan mengunaka
ra’yu berdasar kaidah istishlah.

Selain itu, berdasarkan Muhammad menganggap Taqlyu Al Hakim


membagi ijtihad menjadi dua bagian:

1. Ijtihad alaqll, yaitu ijtihad',


2. Ijtihad yang didasarkan pada akal dan tidak menggunakan dalil syara.
Syari` adalah ijtihad berdasarkan syara.7

F. Tingkatan Mujtahid
Mujtahid adalah sebutan bagi mereka yang secara langsung dapat
mengidentifikasi dan mempelajari metode melalui nash-nash Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Mujtahid memiliki kemampuan dan kemampuan khusus
untuk melakukan ijtihad. Ijtihad berarti kejujuran. Sedangkan menurut
Imam Ghazaly, mendefinisikan Ijutihard sebagai, dalam istilah itu,
langkah signifikan yang diambil oleh Mujitahid untuk mempelajari
Hukum Syala. Mujtahid dikategorikan ke dalam empat tingkatan
berdasarkan tugasnya, diantaranya sebagai berikut :

1. Mujtahid Mustaqil
Mujtahid Mustaqil dapat menerbitkan aturan untuk dirinya sendiri dan
orang lain yang ingin menjalankan ijtihad. Mereka lebih fokus
mempelajari hukum.
Untuk mencapai tahap ini, Mujtahid harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Untuk golongan yang termasuk dalam tingkatan ini, Madzhab
seperti Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Gazari, Imam Hanbali.
2. Mujtahid mutlak ghairu mustaqal

7 Moh Zuhri, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: PT. Dina Utama, 1994), h. 78
Pada tingkatan ini, seorang mujtahid tidak menciptakan kaidahnya
sendiri. Mereka berpedoman pada hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh para imam madzhab. Mereka tidak dikategorikan taqlid kepada
imamnya, melainkan lebih mengikuti jalan yang ditempuh para imam.
Tokoh yang berada di tingkatan mujtahid mutlak ghairu mustaqal di
antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3. Mujtahid takhrij
Pada tingkat ini, Mujtahid sangat terikat dengan imamnya. Anda diberi
kebebasan untuk menentukan alasan berdasarkan dalil Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Namun, ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh
menyimpang dari aturan yang diterapkan oleh imam. Orang-orang di
pesawat Mujtahid Takhrij adalah Hasanbin Ziyad dan Ibn Qayyim.
4. Mujtahid Tarji
Dengan kata lain, Mujtahid belum mencapai tingkatan Mujtahid
Takahrij. Imam Nawawi, dalam Majum ini, menetapkan bahwa
Mujtahid Tarji adalah seorang faqih (memahami aturan Islam) dalam
hal ilmu pengetahuan. Anda tahu frasa tentang bagaimana lebih
mengingat aturan Imam, bagaimana menentukan hukum dan
bagaimana mengetahui frasa yang lebih kuat yang digunakan untuk
referensi. Mujtahid Tarjih diyakini memiliki pemahaman yang lebih
luas daripada Takahrij.8

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut
sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang

8 H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2007), h. 118.
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Didalam ijtihad ada tiga sumber hukum yakni Al-Quran, Hadis dan Ijma.
Didalam Alquran dijelaskan dalam firman Allah Surah An-Nisaa ayat 105,
Surag An-Nisa ayat 59 dan Al-Hasyr ayat 2.

Berdasarkan dari isi buku Filsafat Hukum dan Maqashid Syariah,


Muhammad Syukuri Albani Nasution dan Rahmat Hidayat Nasution (2020: 31),
syarat ijtihad yang harus dipenuhi adalah para harusmenguasai bahasa Arab dan
ilmu pengetahuan, harusl memiliki pengetahuan yang luas tentang asbabul nuzul
ayat Alquran dan hadist beserta tafsirnya, mengetahui dan memahami kesepakan
yang telah dilakukan ulama atau mustahid sebelumnya dalam menetapkan
hukum Islam, memahami ilmu fiqih dan kaidah-kaidah dalam agama Islam,
memahami perkara yang hendak dicarikan ketetapan hukumnya tersebut serta
memiliki akhlak terpuji dan memiliki niat ikhlas dalam melakukan ijtihad.
Dalam lapangan ijtihad terdiri dari dua, yaitu perkara yang tidak ada nas
(ketentuan) sama sekali dan perkara yang ada nashnya, tetapi tidak qat'i wurud
dan dalalah-nya. Macam ijtihad berdasarkan Ad-Dawalibi ada tiga yakni Ijtihad
al-batani, Ijtihad alqiyasi, dan Ijtihad al-istishlah. Ada empat tingkatan mujtahid
diantaranya, Mujtahid Mustaqil, Mujtahid mutlak ghairu mustaqal, Mujtahid
tarkhij, dan Tarji.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi Ahmedan Na’im, Dekonstruksi Syari’ah , terj.Ahmad Suaedy dan


Amiruddin Arrani (Yogyakarta : LkiS,1994),hlm.54.l

Rahmat Syafe’i,1999. Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Setia, h.98


Edelwis Lararenjana, 2022. Mengenal Fungsi ijtihad dan Sumber Hukumnya, di
kutip dari https://m.merdeka.com/jatim/mengenal-fungsi-ijtihad-sumber-
hukum-ketiga-dalam-agama-islam-kln.html

Satria Efendi, 1993. Ushul Fiqh, 251-255; Dede Rosyada, Hukum Islam dan
Pranata Sosial Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 115-116.

Ahmad Badi’, 2013.IJTIHAD: Teori dan Penerapannya, Jurnal Ijtihad, Volume 24


Nomor 2, hal 34

Moh Zuhri, 1994. Ilmu Ushul Fiqh,Semarang: PT. Dina Utama, h. 78

H. Mohammad Daud Ali, 2007. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum di Indonesia, Jakarta: raja Grafindo Persada, h. 118.

Anda mungkin juga menyukai