Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH IJTIHAD

UNIVERSITAS
RADEN FATAH PALEMBANG

Disusun
Oleh:

NAMA
1.Muhammad Rifky Prasetyo
(23051310165)
2.Ilham Sandiago Mukti
(23051310155

Fakultas dakwh dan komunikasi


Jurusan komunikasi penyiaran islam
Universitas raden fatah Palembang
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran ataupun mater.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kemi berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun marasa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Palembang,5 September 2023

Penulis

i
BAB 1

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Sebenarnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu


melalui dalil – dalil agama yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan jalan istimbat
.dengan kata lain ijtihad merupakan sebuah media yang sangat besar peranannya
dalam hukum-hukum islam (Fiqih). Tanpa ijtihad, mungkin saja kontruksi hukum
islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu menjawab tantangan zaman
saat ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun


mencoba menggemukan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materi
makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Apa fungsi dari ijtihad?
4. Bagaimana lapangan ijtihad?
5. Apa saja syarat-syarat ijtihad?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3. Untuk memahami fungsi dari ijtihad.
4. Untuk mengetahui lapangan ijtihat.
5. Untuk mengetahui syarat-syarat untuk melakukan ijtihad
1
BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya. kemampuan,
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari
itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna "badzl al- wus' wa al-majhud"
(pengerahan daya dan kemampuan), atau "pengerahan segala daya dan kemampuan
dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar". (DR.Nasrun Rusli,
Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73)

Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya
maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al- Syaukani
memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : "mengerahkan segenap kemampuan
dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan menggunakan metode
istinbath". Atau dengan rumusan yang lebih sempit: "upaya seseorang ahli fikih (al-
faqih) mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu
hukum syariat yang bersifat zhanni". (DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al- Shaukani, hlm
75)

Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga
(memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara') melalui salah satu dalil
Syara', dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil Syara' dan tanpa cara-cara
tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri
semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad. (Jalaluddin Rahmat.
Dasar Hukum Islam, hlm 162)

B. DASAR HUKUM IJTIHAD


Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya:
2
1. Al-Qur'an
Firman allah dalam (QR.An-nisa:59)
Yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul- (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibamya" (QS.An- nisa:59)
Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah
dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur'an dan Hadits supaya
meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-
peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang
yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal
ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu
ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat. Dasar Hukum
Islam, him 163).

firman-Nya yang lain:

"Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan) Kami, benar- benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar beserta orang-orang yang berbuat baik".( QS. Al-'Ankabut:69)

2. Al-Hadits
Kata-kata Nabi s.a.w.: "Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah
mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya" (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum
Islam, hlm 163)
3

(HR. Riwayat Bukhari Dan Muslim)


Yang artinya:
"Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya.
Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu
pahala (pahala melakukan ijtihad) "(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu'adz binJabal, ketika
Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
Yang artinya :

"Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ihn Jahal, bahwa Rasulullah
saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muad: ke Yaman, beliau bertanya: apabila
dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz
menjawab:. Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur'an. Nabi bertanya lagi. Jika
kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur'an?, Muadz menjawab. Saya akan
memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya. Jika
kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur'an Muadz menjawab:. Saya
akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz
dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya. "(HR. Abu Dawud)
(Alhumaydy, Dasar hukum)

3. Ijmak

Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas dianjurkannya ijtihad. dan
sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah
hukum-hukum fiqh yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai
sekarang.

4
Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena sebagian besar dalil-dalil
hukum syara praktis adalah bersifat dzanni yang menerima beberapa interpretasi
pendapat sehingga memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang
kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara- perkara yang tidak ada nashnya
menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syara'nya dengan
menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena Syariat Islam harus menetapkan
semua hukum perbuatan hamba-hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain
ijtihad. (Dr. Yusuf Al Qardlawy. Ijtihad Dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan
Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, hlm 100)

C. Fungsi Ijtihad
Imam syafi'l ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika menggambarkan
kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan: "Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun
pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk
tentang hukumnya".

Pernyataan Syafi'l tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang


terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali
dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad
dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah menguji ketaatan
seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan
hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.

Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya:


1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti
Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidaktegas
pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.

2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-


Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini
penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu
dapat menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah
denga tidak terbatas jumlahnya.

5
D. LAPANGAN IJTIHAD

Tidak semua lapangan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad, melainkan hanya
beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh menjadi objek ijtihad ialah:

1. Hukum yang dibawa oleh nas qat I baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau
dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban shalat, puasa, zakat, haji. dan
sebagainya, haramnya riba dan makan harta orang. Demikian pula penentuan
bilangan-bilangan tertentu syara' yang dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak
menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan raka'at shalat, waktu waktu shalat, cara-cara
melakukan haji, dan sebagainya.

2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula diketahui dengan
pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma kan) oleh para mujtahidin dari
sesuatu masa, seperti pemberian warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya
perkawinan yang dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki bukan muslim.

Adapun lapangan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah :


1. Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi pengertiannya. dan nas
seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini ditujukan kepada segi sanad dan pen-
sahinannya, juga dari pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Lapangan yang dibawa oleh nas yang qat'I kedudukannya, tetapi dhanni
pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur'an dan Hadits juga: Obyek
ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.

3. Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi qat'I
pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek Ijtihad dalam hal ini
ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-
tiga lapangan hukum tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di
mana seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan- kemungkinan
pengertian nas.

6
4. Lapangan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma'kan dan tidak pula diketahui dari
agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad memakai qiyas. atau istihsan
atau "urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada lapangan-
lapangan lain.

Sudah barang tentu pandangan orang-orang yang berijtihad dapat berbeda-beda.


terutama dalam lapangan yang ke-empat tersebut. Oleh karena itu dalam sesuatu
persoalan bisa terdapat bermacam-macam pendapat, sesuai dengan perbedaan
tinjauan dan jalan pengambilan hukum yang dipakai. Perbedaan-perbedaan pendapat
yang kita dapati dalam lapangan hukum Islam mencerminkan bermacam- macamnya
hasil ijtihad. Keadaan ini tidak perlu melemahkan kedudukan syri'at Islam, bahkan
menunjukkan sifat flexibilitasnya dan menjadi sumber kekayaan dan kepadatan
pembicaraan-pembicaraannya.

Ringkasnya lapangan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada nas (ketentuan)
sama sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath I wurud dan dalalahnya.
Pembatasan lapangan ijtihad seperti ini sama dengan apa yang diikuti oleh sistem
hukum positif, karena selama undang-undang menyatakan dengan jelas, maka tidak
boleh ada pena wilan dan perubahan terhadap nas-nasnya dengan dalih bahwa jiwa
undang-undangnya menghendaki adanya perubahan tersebut, meskipun andaikata
hakim sendiri berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak mencerminkan rasa
keadilan, karena sumber undang-undang tersebut adalah majelis perundang-undangan
sendiri, sedang wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan
berdasarkan undang-undang tersebut, bahkanuntuk mengadili undang-undang itu
sendiri. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 174)

E. SYARAT-SYARAT BERIJTIHAD

Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan
mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan
tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak
memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad
pun setiap orang berhak melakukannya,
7
tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang
memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat
melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia
kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan. tetapi
tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep. kecuali
dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat
resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad,
jika semua orang melakukan ijtihad (maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya pun
akan membahayakan kehidupan ummat.

Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk
dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima
persyaratan itu akan dilihat di bawah ini:
Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur'an) dan sunnah. Persyaratan pertamaini
disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih
Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur'an dana sunnah merupakan syarat
mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi
seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat
hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat
itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.

Sebenarnya apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas. Merupakan syarat bagi


seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah
hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu
masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum
yang menyangkut tersebut secara mendalam.

Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al- Syaukini,


seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.la mengetip
beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah
satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus
hadits, Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal,
menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits. Akan
tetapi, hadits -hadits itu tidak wajib dihafal di luar kepala, cukupkalau ia mengetahui
letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.

Di samping itu, seseorang mujtahid-menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib


mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal
(periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits
sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga
ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha'if (lemah). Sekalipun
demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui yang
demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat
periwayat hadits) dan ta'dil (keadilan periwayat hadits).

Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang


bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai
dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad.

Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan


tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi
orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum. maka ia wajib mengetahui
ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu
kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini pada
mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.

9
Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari
al-Qur'an dan sunnah secara baik dan benar Dalam hal ini menurut al-Syaukani seorang
mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab- secara sempurna. sehingga ia
mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an dan
sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib
(yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang
memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan
itu diperlukan beberapa cabang ilmu. yaitu: nahwu,saraf, ma'ani dan bayan. Akan tetapi,
menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar
kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku
yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu tersebut
diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah
menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al- Qur'an dan hadits
adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari
dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian,
sementara ulama antara lain'Abd al-Wahhab Khallaf menempatkan pengetahuan
tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat
melakukan ijtihad.

Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih
penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang
dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban
suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur'an dan
sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu
dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga
versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad:

Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah


satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur'an dan sunnah.

10

Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad,
tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya. Ketiga, yang
menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul fikih
sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul
fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya.
Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan
hukum dari sumber-sumbernya. Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan hukum,
tidak mungkin hukum akan ditemukan.
Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan mansukh penting
agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat
dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul
fikih klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah
disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka
hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan
bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al
-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat- syarat ijtihad itu
secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan
dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-
persyaratan tersebut.
Persyaratan persyaratan ijtihad sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting
untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad
hukum itu menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah Bagi al-Syaukani,
mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan persyaratan ijtihad telah mendapat
semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-
tengah masyarakat. Kendati demikian menurutnya wewenang itu hanya diberikan
kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al- Qur'an dan sunnah, bukan dilakukan
atas kehendak hawa nafsu.
12

Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih
yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah
memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih
yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan
melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang
diketahuinya secara luas dan mendalam. (DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-
Shaukani, him 87)

13
BAB III
PENUTUP

Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat
menyimpulkan:
1. Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna "badzl al-wus' wa al-majhud"
(pengerahan daya dan kemampuan), atau "pengerahan segala daya dan kemampuan
dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.

2. Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada
upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani
memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : "upaya seseorang ahli fikih (al- faqih)
mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum
syariat yang bersifat zhanni. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam
ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara')
melalui salah satu dalil Syara', dan dengan cara-cara
tertentu.
3. Dasar hukum ijtihad:
Firman Allah surat An-nisa':59 dan 105. Al-Hasyr: 2, Al-'Ankabut:69.Banyak juga hadits-
hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan tentangdasar-dasar ijtihadIjmak
4. Fungsi ijtihad:
Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah
seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalahMenguji kebenaran hadits yang
tidak sampai ke tingkat hadits mutawattir.
5. Lapangan ijtihad secara umum terbagi menjadi dua :
Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali Perkara yang ada nasnya, tetapi
tidak qath'l wurud dan dalalahnya.
6. Syarat-syarat seseorang dapat berijtihad menurut Al-Syaukani antara lain:
Mengetahui al-Kitab (al-Qur'an) dan sunnah
14
Mengetahui ijmak Mengetahui bahasa Arab

Mengetahui ilmu usul fikih

Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan)


15

DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. 1999. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu:
Jakarta
Al Qardlawy, Yusuf. 1987. jihad Dalam Syariat Islam. Beberapa Pandangan

Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang: Jakarta

Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih, PT Bulan Bintang : Jakarta

Jalaluddin Rahmat.Sumber Hukum Islam

http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad

http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-ijtihad.html

16

DAFTAR ISI

Halaman depan
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad 2
B. Dasar Hukum Ijtihad 2
C. Fungsi Ijtihad 5
D. Lapangan Ijtihad 6
E. Syarat-syarat Berijtihad 7
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA 16

ii

Anda mungkin juga menyukai