Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MATA KULIAH ; ijtihad,ittiba`,dan taklif


DOSEN PENGAMPU : Rofi`i ahmad M.Pd
JURUSAN : Pendidikan Agama Islam

Disusun olen :

 Yolan saharul

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUL ULUM SAROLANGUN
TAHUN 2022/2023
kata Pengantar

Bismillahirrohmanirrohim.....
Segala puji bagi Allah swt tuhan sekalian alam, yang telah memberikan
nikmat ,hidayah, serta inayahnya sehingga detik ini kita masih dapat melaksanakan
rutinitas dan kewajiban kita sebagai seorang hamba, dan dengan nikmat itu jualah
alhamdulillah.
Kedua kalinya sholawat beriring salam tak lupa kita haturkan keharibaan junjungan
alam nabi besar muhammad saw, beliaulah sosok Revolusioner sejati yang telah merubah
peradaban manusia dari peradaban kejahiliahan menuju pradaban keislaman yang luar
biasa.
Kemudian tentunya semua hal yang berkaitan dengan proses penyelesaian makalah
ini dari mulai penulisan hingga akhir, kami ucapkan terima kasih banyak kepada semua
pihak yg telah terlibat, wabil khusus bapak dosen pengampu mata kuliah Ushul fiqih yang
telah memberikan masukan untuk penyempurnaan makalah ini. dan yang terakhir,
tentunya kami menyadari dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan baik dari segi sistematika penulisan maupun penjelasan materi, maka dari itu
kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca, dan harapan
kami adalah semoga makalah ini dapat menjadi refleksi pembelajaran kita dalam
memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tak ada gading yang tak retak, retaknya jadi ukiran. Tak ada lautan yang tak
berombak, ombaknya jadi hiasan. Dan tak ada manusia yang tak bersalah, salahnya
mohon dimaafkan.
Ihdinassirotol musttaqim waafwa min kum wallahul muwaffiq illa aqwami toriq
wassalamulaikum... wr, wb.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Ijtihad
1. Pengertian
2. Landasan ijtihad
3. kedudukan dan fungsi ijtihad
4. macam-macam ijtihad dan tingkatanya
B. Ittiba’
1. Pengertian
2. Jenis-jenis ittiba`
3. Kedudukan ittiba`
4. Tingkattan ittiba`
C. Taklif
1. Pengertian
2. Bentuk-bentuk taklif
3. Hal-hal yang menggugurkan taklif
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, melalui wahyu
dari Allah Swt. Islam merupakan agama yang bersifat rahmatal lil allamin maka
agama Islam merupakan agama yang memberikan petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa, peringatan bagi orang lalai. Dan rahman bagi sekalian alam. Islam
termasuk agama yang sesuai di setiap zaman dan tempat. Agama yang lurus dan
memberi petunjuk kepada akal untuk mencapai keEsaan Allah Swt dan mengetahui
Tuhan yang sebenar-benarnya. Islamlah agama yang menerangi jalan manusia
untuk menuju kebahagiaan, dan mengarahkan manusia kepada kebaikan dalam
urusan dunia maupun akhirat. Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah
manusia, artinya seluruh ajarannya sesuai dengan kemampuan manusia untuk
menjalankannya.
Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah dan memudahkan, tidak
sulit dan tidak meyulitkan. Allah Swt tidak menghendaki adanya kesukaran dan
kesempitan bagi penganut agamaNya.
Ketahuilah bahwa Allah Swt mewajibkan hambaNya melaksanakan
berbagai macam ibadah dan kewajiban, serta mengutus para rasulNya untuk
menerangkan syariatNya, menyampaikan risalahNya, menjelaskan bukti-buktiNya
dan membacakan kitabNya pada manusia. Semua itu bertujuan untuk menerangkan
berbagai perkara, memperjelas yang masih samar, dan menentukan apa yang
dimaksud dari ijtihad, ittiba` dan taklif yang ditetapkanNya. Umat Muslim
diperintahkan untuk mempelajari ajarannya, melalui jalur-jalur yang disyariatkan
dalam agama, diantaranya adalah dengan ittiba, ijtihad dan taklif.
Muhammad ibn husayn ibn hasan al-jizani mengatakan bahwa ijtihad
adalah mengerahkan seegala pemikiran dan mengkaji dalil syariyyah untuk
menentukan beberapa hukum syariat. Ijtihad merupakan pengerahan segenap daya
upaya untuk menemukan hokum sesuatu secara rinci. Hal ini diupayakan oleh
ulama untuk menjawab segala persoalan yang muncul ketika dalam sumber utama
agama Islam tidak ditemukan dalil atau ketentuan hokum yang jelas. Selain itu,
ijtihad dilakukan supaya ajaran Islam salih lukulli zaman wal makan. Para ulama
telah menentukan syarat-syarat bagi mereka yang ingin berijtihad. Selain itu, para
ulama telah mensistematisasikan pola-pola ijtihad dalam penerapannya
Dikutip dari buku Fiqih dan Ushul Fiqh (2018) karya Dr. Nurhayati, M.Ag, Dr. Ali
Imran Sinaga, M.Ag. menjelaskan bahwa ittiba` adalah mengikuti. kata yang semakna
dengan ittiba` adalah iqtifa yang memiliki arti yakni menelusuru jejak, qudwah berarti suri
teladan, dan uswah artinya panutan.
Sementara itu secara istilah, ittiba adalah mengikuti pendapat seseorang, baik itu
ulama, fuqaha, dan sebagainya dengan mengetahui serta memahami dalil atau hujah suatu
perkara yang digunakan dan mengikuti mereka.
Sedangkan Taklif dalam hukum Islam adalah pembebanan suatu kewajiban
kepada seseorang, dengan pengertian menghendaki adanya perbuatan yang
terkandung di dalamnya suatu kesukaran. Bentuk kata kerja dari taklif,
yakni kallafa, dengan segala perubahannya, terdapat sebanyak tujuh kali
dalam Alquran, dengan pengertian untuk menyatakan bahwa Tuhan tidak
membebani seseorang di luar kemampuannya. Adapun dalam pengertian ilmu fikih,
taklif berarti suatu kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh hamba-hamba Tuhan
yang sudah mencapai umur balig. Dalam pengertian teologi, taklif berarti suatu
tuntutan atau kewajiban yang terletak pada makhluk-makhluk Tuhan untuk
meyakini dan berbuat sebagaimana ajaran yang telah diturunkan Tuhan.
Maka dari itu, persoalan ini masih penting untuk dikaji sebagaimana yang
akan menjadi pokok kajian tulisan ini. Untuk mempermudah kajian, tulisan ini
difokuskan pada 3 pokok kajian utama yaitu ijtihad, ittba` dan taklif.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan didalam makallah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad, ittiba` dan taklif ?
2. Bagaimana kedudukan ijtihad, ittiba` dan taklif dalam syariat islam?
3. Apa landasan yang mendasari ijtihad, ittiba` dan taklif ?
4. Dan apa saja contoh dari ijtihad, ittiba1 ddan taklif ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan peulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ijtihad, ittiba` dan taklif itu.
2. Untuk menetahui bagaimana kedudukan ijtihadd, ittiba` dan taklif dalam
syariat islam.
3. Dan untuk mengetahui apa saja contoh-contoh ijtihad, ittiba` dan taklif itu,
4. Serta apa landasan utama dari ijtihad, ittiba` dan taklif.

BAB II
PAMBAHASAN

A. Ijtihad
1. Pengertian ijtihad
Menurut bahasa, ijtihad berarti “pengerahan segala Kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit” . Atas dasar Ini maka tidak tepat apabila kata
“ijtihad” dipergunakan Untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Sedangan Pengertian ijtihad Menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan
tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) Melalui
salah satu dalil syara’, dan tanpa cara-cara tertentu. Usaha tersebut merupakan
pemikiran dengan kemampuan Sendiri semata-mata.
Muammad Ibn Husayn Ibn Hasan al-Jizani Mengatakan bahwa ijtihad
adalah mengerahkan semua Pemikiran dalam mengkaji dalil shar’iyyah untuk
menentukan Beberapa hukum syari’at. Berdasarkan defenisi tersebut
mengandung beberapa Ketentuan, yaitu:
a. Sesungguhnya ijtihad merupakan mengerahkan pemikiran Dalam mengkaji
dallil-dalil, dan hal ini lebih umum dari Qiyas. Kalau qiyas menyamakan
far’ dengan as}l, sedangkan Ijtihad mengandung qiyas dan lain sebagainya.
b. Ijtihad dilakukan oleh faqih, yaitu orang yang mengetahui Dalil-dalil dan
cara istinbat al-hukum.
c. Ijtihad dilakukan terhadap sesuatu yang belum ada Hukumnya atau bersifat
zanni serta menghasilkan hukum Yang bersifat zanni.
2. Landasan Ijtihad
Ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an Dan Hadits. Di
antara ayat-ayat al Qur’an yang dijadikan Dasar ijtihad oleh ahli usul fiqih
adalah firman Allah swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 105, yaitu:
Artinya : ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya Kamu mengadili antara manusia
dengan apa Yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat. (QS. Al-Nisa’:105)5
Menurut Imam al-Bazdawi (ahli usul fiqih mazhab Hanafi), Imam al-
Amidi, dan Imam al-Satiby, ayat ini mengandung pengakuan terhadap
eksistensi ijtihad melalui qiyas (analogi).

Kemudian dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah berfirman:

Terjemahnya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.
Al-Nisa’: 59)

Menurut Ali Hasballah (ahli usul fiqih dari Mesir), kalimat “kembali
kepada Allah dan Rasul” dalam ayat tersebut merujuk kepada al-Qur’an dan
Hadits dalam membahas persoalan-persoalan yang kadangkala sulit dipahami.
Penerapan kaidah umum yang diinduksi dari nas secara analogi atau upaya
untuk mencapai tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Adapun dasar
ijtihad dalam sunah adalah sebagaimana sabda Rasulullah:

Yang Artinya:“Sesungguhnya Rasulullah saw. pada saat mengutusnya (Muadz


bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata kepadanya: bagaimana kamu
melakukan ketika kamu hendak memutus perkara? Muadz menjawab: aku
memutus dengan apa yang terdapat dalam Kitab Allah, lalu Rasul
bertanya: kalau tidak terdapat dalam kitab Allah? Muadz menjawab:
maka dengan memakai sunnah Rasulullah, lalu Rasul bertanya: ketika
tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah? Muadz menjawab: aku
berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku. Lalu
Rasulullah menepuk dadaku dan bersabda: segala puji bagi Allah yang
telah menyepakati utusan pada apa yang telah dirid}ai Allah terhadap
Rasul-Nya.

3. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad


Faqih dan fuqaha melakukan ijtihad apabila dalam suatu peristiwa yang
terjadi tidak ada dasar hukum atau petunjuk nas-nas Al-Qur’an. Manusia
secara kodrati terdiri atas jasmani dan rohani. Rohani itu berfungsi untuk
memahami apa yang dilihat oleh manusia, apa yang dialami oleh akal pikiran
yang sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dalam
jagat raya ini. Sekalipun tidak ada petunjuk dari agama, manusia dapat
menggunakan akalnya untuk memperoleh kebahagiaan hidupnya.
Untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum syara’, itu ijtihad
merupakan kebutuhan utama. Kita mengetahui akal manusia berbeda dengan
makhluk lain dan perbedaan yang paling menonjol antara manusia dengan
makhluk lain adalah akal.
4. Macam-macam Ijtihad dan Tingkatanya
Secara garis besarnya ijtihad dibagi atas dua bagian, yaitu Ijtihad Fardi dan
Ijtihad Jama’i.
a. Ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa
orang yang tak ada keterangan bahwa mujtahid lain menyetujuinya dalam
suatu perkara. Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh
Rasulullah kepada Muaz ketika Rasul mengutusnya untuk menjadi qat’i di
Yaman.
b. Ijtihad Jama>’i, adalah suatu ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati
oleh semua mujtahidin.ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh Hadis\ Ali
ketika menanyakan kepada Rasul tentang urusan yang tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-Qur’a>n dan As-Sunnah. Ketika itu nabi SAW
Bersabda:
Artinya: “kumpulkanlah untuk menghadapi masalah itu orang-orang yang
berilmu dari orang-orang mukmin dan jadikanlah hal ini masalah
yang dimusyawarahkan di antara kamu dan janganlah kamu
memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang. (HR. Ibnu
Abdul Barr).
Untuk menentukan tingkatan ijtihad, perlu diketahui jenis mujtahid, yang dapat
dibagi dalam berikut ini :
a. Mujtahid Mutlak (Mujtahid Fi al-syar’i>) yaitu orang-orang yang
melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari Quran dan
Hadis Serta seringkali mendirikan madzhab sendiri, seperti halnya
para sahabat dan para ima>m yang empat, Syafi’i>, Hamba>li>,
H}anafi>, dan Ma>liki>.
b. Mujtahid madzhab (Mujtahid fi al-madzhab atau fatwa mujtahid),
yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu madzhab dan tidak
membentuk suatu madzhab tersendiri, yang dalam beberapa hal
berbeda pendapat dengan ima>mnya, misalnya Ima>m Syafi’i
tidak mengikuti pendapat gurunya Ima>m Malik, dalam beberapa
masalah.
c. Mujtahid fi al-Masa>il atau ijtihad parsial (dalam cabangcabang
tertentu) ialah orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa
masalah saja. Jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka
tidak mengikuti satu madzhab.
B. ITTIBA`
1. Pengertian
Secara bahasa, ittiba artinya mengikuti. Sedangkan secara istilah, ittiba
adalah sikap mengikuti pendapat seseorang ulama, fuqaha', dan sejenisnya
dengan mengetahui dan memahami dalil atau hujah suatu perkara yang
digunakan oleh mereka.
Ittiba juga diartikan sebagai upaya mengikuti semua yang diperintahkan
dan dibenarkan Rasulullah SAW serta menjauhi segala yang dilarang Allah
dan Rasul-Nya. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang ittiba
dalam Islam lengkap dengan kedudukan dan tahapan mencapainya.
Prinsip dasar menempuh perjalanan menuju Allah adalah dengan berittiba.
Rahasia memuliakan ittiba ini dapat dimulai dengan mengubah kehendak nafsu
menjadi kehendak Allah. Islam mewajibkan umatnya untuk berittiba, baik
kepada Allah SWT maupun Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah Surat Ali Imran ayat 32 berikut:

َ‫قُلْ اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل ۚ فَا ِ ْن ت ََولَّوْ ا فَا ِ َّن هّٰللا َ اَل ي ُِحبُّ ْال ٰكفِ ِر ْين‬
Arrtinya: “Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu
berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.
(QS, ali imran.32).

Mengutip buku Fiqh dan Ushul Fiqh oleh Dr. Nurhayati,dkk., posisi ittiba


kepada Allah dan Rasul-Nya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
Islam. Ittiba dapat menjadi syarat diterimanya amal, bukti kebenaran cinta
seseorang kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menjadi sifat utama orang-
orang yang shalih.

2. Jenis-Jenis Ittiba
a. Ittiba kepada Allah dan Rasul-Nya
Sebagaimana Firman Allah SWT berikut ini:
Artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik ba- gimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat,
dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzaab [33]: 21)
Kemudian, QS.al-Hasyr ayat 7 yang memiliki arti sebagai berikut
ini:
Artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia.
Dan apa yang di- larangnya bagimu, maka tinggalkanlah,
dan bertakwalah kepada Allah. Se sungguhnya Allah amat
keras hukumannya.” (QS. al Hasyr [59]: 7)
b. Ittiba kepada selain Allah dan RasulNy
Dalam persoalan ini terjadi ikhtilaf ulama:
 Pendapat yang tidak membolehkan seperti Imam Ahmad bin
Hanbal menyatakan bahwa ittiba itu hanya dibolehkan
kepada Allah SWT, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh
kepada yang lain.
 Pendapat yang membolehkan berittiba kepada para ulama
karena dikategorikan sebagai waritsatul anbiyaa (ulama
adalah pewaris para Nabi).
3. Kedudukan Ittiba’ dalam Islam
Posisi ittiba' kepada Rasulullah SAW mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dalam Islam dan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam.
a. Ittiba' kepada Rasulullah SAW adalah salah satu syarat diterima amal.
b. Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya.
c. Ittiba' adalah sifat yang utama ulama, fuqaha' dan orang-orang yang shalih.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi' tidak memenuhi
syarat-syarat tertentu untuk berittiba. Jika seseorang tidak sanggup
memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya
kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar
mengetahui Islam.
Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum Muslimin sekalipun
dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan karena adanya
pengertian. Sebab suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan
keyakinan akan menimbulkan kekhusyukan dan keikhlasan.
4. Tingkatan ittiba`
Mengutip buku Terapi Ruhani untuk Semua oleh Habib Ali al-jufri,
dijelaskan beberapa tingkatan untuk mencapai ittiba. Pertama, ittiba dimulai
dengan meninggalkan semua larangan Allah dan mengerjakan semua perintah-
Nya. Kedua, menjaga hal-hal sunnah dan meninggalkan hal-hal makruh. Ketiga,
menerapkan adab dan niat mengikuti sunnah Rasulullah dalam hal-hal mubah.
Untuk mencapai tingkatan ini, seorang Muslim harus gigih memerangi
hawa nafsunya. Ini dilakukan agar seseorang dapat mengikuti Allah dan Rasul-
Nya dengan rasa nikmat serta nyaman di hati.
Orang yang ingin meniti jalan ini, harus menjauhi sifat tercela dan
mendekati sifat terpuji. Ia harus mulai melangkahkan kakinya menuju Allah.
Meskipun banyak rintangan menerpa, ia hendaknya tidak goyah pada tekadnya.
C. TAKLIF
1. Pengertian Taklif
Taklif berasal dari kata kallafa yukallifu, taklifan. Pengertian taklif secara
bahasa adalah pembebanan atau beban, sedangkan taklif secara istilah adalah
pembebanan suatu kewajiban kepada seseorang dengan pengertian
menghendaki adanya suatu perbuatan yang terkandung didalamnya suatu
kesukaran. Menurut kitab Mu‟jam al-Wasit kata taklif didefinisikan dengan
perintah dan pembebanan suatu kewajiban dalam batas kemampuan seseorang
yang melaksanakan kewajiban tersebut.
Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, taklif adalah seperangkat perintah
dan larangan yang berfungsi untuk mencegah manusia melakukan
tindakantindakan yang merusak sistem kehidupan sosial manusia, serta untuk
menyampaikan kepada manusia agar mencapai tujuan hidupnya.
Taklif dalam pengertian ilmu fiqh, berarti suatu kewajiban yang wajib
dilaksanakan oleh hamba-hamba Allah yang sudah mencapai umur baligh.
Menurut pengertian theology, taklif berarti suatu tuntunan atau kewajiban yang
terletak pada makhluk-makhluk Allah untuk meyakini dan berbuat
sebagaimana ajaran yang telah diturunkan Allah. Sebagian ulama memberikan
pengertian taklif sebagai suatu tuntutan atau kewajiban dari keyakinan bahwa
amal itu merupakan salah satu hukum syariat.
2. Bentuk-Bentuk Taklif
Menurut Abu Hasan Ali al-Mawardi taklif yang ditetapkan ada tiga bentuk.
Taklif yang beragam bentuknya ini ditujukan untuk memudahkan dan
meringankan manusia dalam menerima dan melaksanakannya.
a. Kewajiban I‟tiqadi, merupakan taklif pertama bagi orang yang berakal.
b. Perintah, terbagi menjadi tiga jenis, yaitu; a) perintah jasmani, perintah
mali, c) perintah jasmani dan mali.
c. Larangan, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: a) Larangan yang bertujuan
untuk keselamatan jiwa, tubuh dan akal. b) Larangan yang bertujuan untuk
mewujudkan hubungan sosial yang baik, c) Larangan yang bertujuan untuk
menjaga nasab, seperti larangan berzina dan menikah dengan mahram.
3. Hal-Hal yang Menggugurkan Taklif
Seseorang yang masuk dalam kategori baligh dan sudah dewasa berkewajiban
melaksanakan taklif yang ditetapkan Allah Swt. Ketika menjalankan perintah Allah
Swt, terkadang seseorang menghadapi beberapa halangan, baik yang berasal dari
perbuatan manusia sendiri, atau pun yang bukan berasal dari manusia.
Beberapa pengahalang yang dapat menggugurkan taklif yaitu:
a. Meninggal dunia
Orang yang sudah meninggal dunia tidak berkewajiban untuk
melaksanakan taklifNya. Seluruh taklifnya terhapuskan, kecuali yang masih
memiliki hutang, keluarganya berkewajiban untuk menyelesaikan masalah
utang piutangnya.
b. Hilangnya akal
Hilangnya akal seperti gila, pingsan, tidur dan mabuk. Segala perbuatan
dan perkataan orang gila tidak akan ada pengaruhnya. Kedudukannya sama
dengan anak-anak yang belum mumayyiz. Gila adakalanya sementara
bahkan selamanya. Dalam soal ibadah, ia dipandang sah ketika sehat atau
waras, tetapi hukum yang berlaku kepadanya tidak sama. Ia tidak wajib
mengganti shalat atau puasanya, jika gilanya berlaku sepanjang waktu
shalat dan puasa.
Tidur, pingsan dan mabuk termasuk dalam kategori hilangnya akal
sementara. Segala aktivitas yang dilakukan ketika tidur, pingsan dan mabuk
dianggap tidak sah. Namun dalam soal ibadah, tidur dan mabuk tidak dapat
menghapuskan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya, hanya saja
taklifnya ditunda sampai ia bangun dan sadar.
c. Haid dan Nifas
Hal yang dialami perempuan ini dapat menghilangkan kewajiban
shalat dan puasa. Adapun puasa diwajibkan menggantinya sedangkan
shalat tidak diwajibkan mengganti karena hal itu memberatkan bagi
perempuan.
d. Sakit dan Safar
Rukhsah berlaku bagi orang yang dalam keadaan sakit atau sedang
melakukan perjalan jauh. Mereka boleh mengqas}ar shalat, shalat dengan
posisi duduk hingga tiduran, berbuka puasa sebelum waktunya, bersuci
dengan cara tayamum, dan lain sebagainya.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Islam mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang bersifat abadi dan universal,
yang harus dipercayai dan diamalkan oleh setiap muslim, di mana dia berada dan
kapan dia hidup. Setelah wafatnya nabi Muhammad dan daerah Islam bertambah
luas serta persoalan sosial keagamaan semakin komplek, maka penggalian hukum
(istinbat al-hukm) merupakan sebuah kebutuhan. Di sinilah awalnya ijtihad
dilakukan untuk menyelesaikan persoalan umat.
Ittiba adalah mengikuti dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia atau KBBI, ittiba ini diserap menjadi itibak yang berperan
sebagai kata kerja dan berarti sebagai mengikuti atau contoh.
Apabila dirunut secara bahasa, kata ittiba’ ini dapat juga diartikan
sebagai iqtifa’ atau menelusuri jejak, qudwah atau bersuri teladan, dan uswah atau
berpanutan. Atas dasar itulah, kata ittiba adalah ‘menerima perkataan atau ucapan
orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan dari perkataan tersebut, baik dari
dalil Al-Quran maupun hadits Nabi.’
Taklif dalam hukum Islam adalah pembebanan suatu kewajiban kepada
seseorang, dengan pengertian menghendaki adanya perbuatan yang terkandung di
dalamnya suatu kesukaran. Bentuk kata kerja dari taklif, yakni kallafa, dengan
segala perubahannya, terdapat sebanyak tujuh kali dalam Alquran, dengan
pengertian untuk menyatakan bahwa Tuhan tidak membebani seseorang di luar
kemampuannya.
Adapun dalam pengertian ilmu fikih, taklif berarti suatu kewajiban yang wajib
dilaksanakan oleh hamba-hamba Tuhan yang sudah mencapai umur balig. Dalam
pengertian teologi, taklif berarti suatu tuntutan atau kewajiban yang terletak pada
makhluk-makhluk Tuhan untuk meyakini dan berbuat sebagaimana ajaran yang
telah diturunkan Tuhan.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di
Indonesia. Jakarta: raja Grafindo Persada, 2007.
al-Ans}a>ri, Ah}mad bin Muh}ammad Umar, Atha>r ikhtila>fa>ti al-fuqa>ha > fi> al
Syari>’ah, cet. 1. Riya>d:} Maktabah al-Rushd,1996.
Burhanudin, Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Hanafi, A., Pengantar dan sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII
Press, 2001.
Watt, William Montgomery, Butir-butir Hikmah Sejarah Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Asqalani (al), Ibnu H{ajar. Fathul Bari: Syarah Shahih Bukhari, ter. Gazirah Abdi
Ummah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Ba>qi, M. Fuad Abdul. Mu‟jam Mufahras Li Al-fa>z} Al-Qura>n. Beirut: Da>r al-Fikr,
1981.
Departemen Agama RI. “Islam”. Ensiklopedi Islam di Indonesia. jilid 2, ed. Harun
Nasution, dkk. et. al. Jakarta: CV Anda Utama, 1993.
Farmawi (al), Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟i „Dan Cara Penerapnnya‟. ter.
Rosihon Anwar. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002.
Ghofur, Waryono Abdul. Menyingkap Rahasia Alquran: Merayakan Tafsir Kontekstual.
Yogyakarta: Elsaq Press, 2009.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: PT Citra Serumpun Padi, 2006.
Hasyim, Ahmad Umar. Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi
Saw. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.

Anda mungkin juga menyukai