Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh pada Fakultas
Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester III
Oleh :
KELOMPOK 8
NUR AFIKA
NIM. 02181144
RENI ASMITA
NIM. 02181149
BONE
2019
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puja dan puji syukur kepada Allah swt. Yang telah
melimpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada kita semua. Salawat serta salam
semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad saw. Manusia istimewa yang seluruh
perilakunya layak untuk diteladani, yang seluruh ucapannya adalah kebenaran.
Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas kelompok ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Istihsan,
yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini
disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah swt., akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Walaupun makalah ini kurang sempurna dan memerlukan perbaikan tapi juga
memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca. Penulis menyimpulkan bahwa tugas
kelompok ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis menerima saran dan
kritik, guna kesempurnaan tugas kelompok ini dan bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan ............................................................................................. 12
DAFTAR RUJUKAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun
yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam
pembahasan kriteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul
Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di
dalam makalah ini adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih
cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum pertama.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :
Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan
segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’.
Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum) namun pada diri
mujtahid terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (
umum) tersebut, dan mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum
yang lain, maka hal teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.1
1
A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
2
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya
yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan
bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
.ئ
ٌ س ِي
َ َّللا َ س ٌن َو َما َرأَ ْوا
ِ س ِيئًا َف ُه َو ِع ْندَ ه َ َّللاِ َح َ فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح
سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi
Allah adalah buruk pula”.
3
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai
sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama
sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh
Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai
sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh
sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan
istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’i.
Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang telah dijelaskan
diatas yaitu : “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”
Sabda Rasul SAW: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik
pula disisi Allah.”
Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian
umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
4
2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya
sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah”
beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu
atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata
”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut
beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa
kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah,
sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak
boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy
Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan. Adapun alasan
mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila
kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam surah an-
nisa ayat 59
5
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S Annisa ayat:59)
6
dipermasalahkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persialan tersebut harus mengikuti ketentuan yang
ada sebagaiman disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadist tersebut. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang jelas atau tidak ada ketentutanya dalam
Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan istihsan demi
kepentingan pilihan suatu pernasalahan tersebut melalui Ijtihad. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.2
E. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa minuman
burung gagakatau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk
diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya,
yaitu dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya. Sedangkan segi istihsannya
bahwa jenis burung yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang
keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia
2
Obexnurdiansyah, Fungsi Istihsan dalam Metodologi Hukum Islam Meski Al-Qur’an sudah
diturunkan, di http://www.coursehero.com/file/p6mhiil8/7-E-FUNGSI-ISTIHSAN-dalamMetodologi-
Hukum-Islam-Meski-Al-Quran-sudah-diturunkan/diakses pada tanggal 07 Desember 2019 pukul 18:33
Wita.
3
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
7
minum dengan menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang
suci. Adapun binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.4
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa
minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu
mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan
haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena
adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
2. Istihsan Istishna’i
1) Istihsan bi an-Nashsh
4
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
5
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 406
8
Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an adalah
berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat, padahal menurut
ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap
kartanya, karenanya telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan
umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara lain termaktub dalam
surah an-Nisa’ (4) : 12 :
2) Istihsan Bi al-Ijma’
6
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media
corp, 2014), an-Nisa’, (12).
7
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
8
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
9
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah
sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi)
yang dapat mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti
merupakan perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat
3) Istihsan bi al-Urf
4) Istihsan bi ad-Dharurah
9
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202
10
kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau
kolam dipandang suci setelah dikuras.10
10
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
11
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203
11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang
Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum pertama.
Adapun Fungsi Istihsan yaitu Pengkajian setiap permasalahan, apakah perkara
yang dipermasalahkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. perkara yang jelas atau tidak ada ketentutanya dalam Al Quran dan Al Hadist,
pada saat itulah maka umat Islam memerlukan istihsan demi kepentingan pilihan
suatu pernasalahan tersebut melalui Ijtihad.
Macam macam istihsan ada dua macam, yaitu pertama: Pentarjihan qiyas
khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu
dalil. Kedua: Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum)
dengan adanya suatu dalil.
12
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative
media corp, 2014), an-Nisa’, (12).
13