Anda di halaman 1dari 16

ISTIHSAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh pada Fakultas
Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester III

Oleh :

KELOMPOK 8

NUR AFIKA
NIM. 02181144

RENI ASMITA
NIM. 02181149

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BONE

2019

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puja dan puji syukur kepada Allah swt. Yang telah
melimpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada kita semua. Salawat serta salam
semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad saw. Manusia istimewa yang seluruh
perilakunya layak untuk diteladani, yang seluruh ucapannya adalah kebenaran.
Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas kelompok ini tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Istihsan,
yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini
disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah swt., akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Walaupun makalah ini kurang sempurna dan memerlukan perbaikan tapi juga
memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca. Penulis menyimpulkan bahwa tugas
kelompok ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis menerima saran dan
kritik, guna kesempurnaan tugas kelompok ini dan bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.

Bone, 07 Desember 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan ............................................................................... 2


B. Dasar Hukum Istihsan .......................................................................... 2
C. Kedudukan Istihsan sebagai Sumber Hukum Islam ............................ 4
D. Fungsi Istihsan ..................................................................................... 6
E. Macam-Macam Istihsan ....................................................................... 7

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ............................................................................................. 12

DAFTAR RUJUKAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun
yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam
pembahasan kriteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul
Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di
dalam makalah ini adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih
cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum pertama.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah didalam makalah ini adalah:


1. Apa definisi Istihsan?
2. Bagaimana dasar hukum Istihsan ?
3. Bagaimana Kedudukan Istihsan ?
4. Apa fungsi Istihsan ?
5. Apa sajakah macam-macam Istihsan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan

Isitihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu,


sedangkan menurut istilah ulam ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya seorang
mujtahid dari tuntunan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi
(samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), kerana
terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.

Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :

Pertama : Aspek nyata ( Zhahir) yang menghendaki suatu hukum tertentu.


Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.

Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan
segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’.
Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum) namun pada diri
mujtahid terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (
umum) tersebut, dan mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum
yang lain, maka hal teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.1

B. Dasar Hukum Istihsan

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an


dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

1
A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131

2
 
 
  
   
  
 
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya
yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
  
   
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan
bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:

.‫ئ‬
ٌ ‫س ِي‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫س ٌن َو َما َرأَ ْوا‬
ِ ‫س ِيئًا َف ُه َو ِع ْندَ ه‬ َ ‫َّللاِ َح‬ َ ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح‬
‫سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi
Allah adalah buruk pula”.

3
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.

C. Kedudukan Istihsan sebagai Sumber Hukum Islam

Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai
sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama
sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh
Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai
sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh
sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan
istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’i.

Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:

1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang


beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik
sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah
Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah
sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain:

 Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang telah dijelaskan
diatas yaitu : “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”

 Sabda Rasul SAW: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik
pula disisi Allah.”
 Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian
umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.

4
2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya
sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah”
beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu
atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata
”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut
beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa
kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah,
sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak
boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy
Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan. Adapun alasan
mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:

 Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan


RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang
berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya
berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq
dan Talazzuz)

Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila
kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam surah an-
nisa ayat 59

 
  
 
    
   
   
  
   
   

5
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S Annisa ayat:59)

 Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan


Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata
kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak
memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun
ayat tentang Zihar beserta kafaratnya dan contoh lainnya. Atas dasar inilah,
kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.
 Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap
berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya
yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di
ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus.
 Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias
dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya
qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias.

D. Fungsi Istihsan (dalam Metodologi Hukum Islam)


Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua permasalahan dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran
maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan yang mencolok dengan keadaan pada
saat turunya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru
akan muncul terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi
persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa
waktu tertentu maka permasalahan tersebut dikaji apakah perkara yang

6
dipermasalahkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persialan tersebut harus mengikuti ketentuan yang
ada sebagaiman disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadist tersebut. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang jelas atau tidak ada ketentutanya dalam
Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan istihsan demi
kepentingan pilihan suatu pernasalahan tersebut melalui Ijtihad. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.2
E. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi

Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan ketentuan


hukum yang didasarkan kepada qiyas jali ( nyata ) kepada ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas khafi ( yang tersembunyi ), karena adanya alasan yang
kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksud
disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut
dengan istihsan qiyasi3. Contoh dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman
kita kepada pengertian Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.

Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa minuman
burung gagakatau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk
diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya,
yaitu dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya. Sedangkan segi istihsannya
bahwa jenis burung yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang
keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia

2
Obexnurdiansyah, Fungsi Istihsan dalam Metodologi Hukum Islam Meski Al-Qur’an sudah
diturunkan, di http://www.coursehero.com/file/p6mhiil8/7-E-FUNGSI-ISTIHSAN-dalamMetodologi-
Hukum-Islam-Meski-Al-Quran-sudah-diturunkan/diakses pada tanggal 07 Desember 2019 pukul 18:33
Wita.
3
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198

7
minum dengan menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang
suci. Adapun binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.4

Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa
minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu
mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan
haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena
adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.

Contoh lainnya Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam


proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat
orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk
didiagnosa penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut
kaidah istishan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya.5

2. Istihsan Istishna’i

Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan


hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum
tertentu yang bersifat khusus, istihsan dalam bentuk yang kedua ini disebut
dengan istihsan istishna’I. istihsan bentuk yang kedua ini terbagi menjadi
beberapa macam yaitu sebagai berikut :

1) Istihsan bi an-Nashsh

Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang


umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh
yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an maupun Sunnah.

4
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
5
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 406

8
Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an adalah
berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat, padahal menurut
ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap
kartanya, karenanya telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan
umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara lain termaktub dalam
surah an-Nisa’ (4) : 12 :

Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar


utangnya….6

Contoh istihsan bi an-Nash yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya


puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut
ketenutan umum, makan dan minum membatalkan puasa, nyatanya
ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits 7:

Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa


yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah
sedang memberi makan dan minum kepadanya”.

2) Istihsan Bi al-Ijma’

Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan penggunaan


dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang
berbeda dari tuntunan qiyas 8 . Sebagai contoh, ketetapan ijma’ tentang
sahnya akad istishna’ ( perburuhann/pesanan). Menurut qiyas, semestinya
akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika akad itu
dilangsungkan.

6
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media
corp, 2014), an-Nisa’, (12).
7
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
8
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409

9
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah
sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi)
yang dapat mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti
merupakan perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat

3) Istihsan bi al-Urf

Istihsan bi al-Urf adalah pengecualian hukum dari prinsip syari’ah


yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya ialah, menurut
ketentuan umum mentapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu
secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh,
adalah terlarang. Sebab, transaksi upah-mengupah harus berdasarkan
kejelasan pada obyek upah yang dibayar. Akan tetapi melalui istihsan,
transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi
menjaga jangan timbul kesulitan masyarkat dan terpeliharanya kebutuhan
mereka terhadap transaksi tersebut.9

4) Istihsan bi ad-Dharurah

Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh


adanya keadaan yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang
mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Seperti contoh
menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis
dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin
mensucikan sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya. Sebab ketika air
sedang dikuras mata air akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan
bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya
(timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan
mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap najis. Akan tetapi, demi

9
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202

10
kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau
kolam dipandang suci setelah dikuras.10

5) Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah

Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan ketentuan


hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan
memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslhatan.
Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang ditujukkan untuk
keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah pengampuan, baik
karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut ketentuan
umum, tindakan hukum terhadap harta orang yang dibawah pengampuan
tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya.
Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah.
Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukkan untuk
kebaikan,maka hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa
hukum berlakunya wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu tidak
menganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu,
ketentuan umum yang berlaku dalam harta orang yang dibawah
pengampunan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.11

10
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
11
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203

11
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang
Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum pertama.
Adapun Fungsi Istihsan yaitu Pengkajian setiap permasalahan, apakah perkara
yang dipermasalahkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. perkara yang jelas atau tidak ada ketentutanya dalam Al Quran dan Al Hadist,
pada saat itulah maka umat Islam memerlukan istihsan demi kepentingan pilihan
suatu pernasalahan tersebut melalui Ijtihad.
Macam macam istihsan ada dua macam, yaitu pertama: Pentarjihan qiyas
khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu
dalil. Kedua: Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum)
dengan adanya suatu dalil.

12
DAFTAR RUJUKAN

Obexnurdiansyah, Fungsi Istihsan dalam Metodologi Hukum Islam Meski Al-Qur’an


sudah diturunkan, di http://www.coursehero.com/file/p6mhiil8/7-E-
FUNGSI-ISTIHSAN-dalamMetodologi-Hukum-Islam-Meski-Al-Quran-
sudah-diturunkan/diakses pada tanggal 07 Desember 2019 pukul 18:33 Wita.

Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4, Jakarta : Amzah 2016

Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994

M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Jakarta : PT. Firdaus Pustaka

Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative
media corp, 2014), an-Nisa’, (12).

13

Anda mungkin juga menyukai