Disusun Oleh:
3 PBA A
PURWOKERTO
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pokok-Pokok Pemikiran Kalam Jabariyah dan Qodariyah" ini tepat pada
waktunya.
Makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis sendiri. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang
penulis peroleh dari buku panduan maupun jurnal ilmiah yang berkaitan dengan materi
pembelajaran. Serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan materi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memang masih jauh dari kata sempurna, untuk
itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang dimaksudkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
Manna Khalil al-Qaththan, ‘Studi Ilmu-Ilmu Alqur’an, Diterjemahkan Dari "Mabahits Fi Ulum Al-
Qur’an’, Jakarta: Litera AntarNusa, 2004, hal 86.
1
3. Untuk mengetahui tokoh Jabariyah dan pemikirannya
4. Untuk mengetahui tokoh Qodariyah dan pemikirannya
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Jabariyah
Seacara bahasa jabariyah berasal dari kata bahasa arab jabara yang berarti
memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata
jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam istilah bahasa inggris paham Jabariyah disebut fatalism atau
predestination2 Dalam kamus Jhon M. Echols, pengertian fatalism adalah
kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya, sedangkan predestination adalah
takdir.3
Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandar kansemua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah
manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).4 Sehingga makna
secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo dan Qadar
Tuhan. Dalam konteks pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa
manusia makhluk yang terpaksa di hadapan Tuhan. Jabariyah menafikan perbuatan
dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepadaAllah Swt.
Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya,
Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan
bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan
Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia
tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
2
Harun Nasution, ‘Teologi Islam’,( Jakarta: UI-Press, 1986): 33.
3
Jhon M.Echols, ‘Kamus Inggris Indonesia’, (Jakarta: Gramedia, 2006): 234-443.
4
Rosihan Anwar, ‘Ilmu Kalam’, (Bandung: Pustaka Setia,2006): 64.
3
2. Pengertian Qadariyah
Secara Bahasa kata Qadariyah berasal dari kata, qadara, yaqduru, qadrun,
artinya memutuskan, menentukan. Atau dari kata qadara, yaqdiru, qudratan artinya
memiliki kekuatan dan kekuasaan.5 Jadi asal kata Qadariyah mempunyai dua
pengertian. Pertama berarti menentukan. Dari kata inilah diambil kata “taqdir”,
sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah. Sedangkan yang kedua berarti kekuatan dan
kekuasaan. Yang kedua inilah yang identik dengan paham Qadariyah yang
menyatakan bahwa manusia itu memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menentukan
nasibnya sendiri. Dalam istilah Inggris faham ini dikenal dengan nama free will dan
free act.
Sedangkan menurut istilah yang dipakai oleh ahli teologi Qadariyah
merupakan manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbiatannya. Atau manusia mempunyai kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya.
Latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak ada penjelelasan yang sarih.
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah.6 Paham Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam ditonjolkan pertama kali
oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn
Safwan dari Khurasan. Jahm Ibn Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah
dalam kalangan Murji’ah. Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah.
Jahm yang terdapat dalam aliran jabariyah sama dengan Jahm yang mendirikan
golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-
Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan
itu Jahm dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati di tahun 131 H.
Sepeninggalnya, faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah
Jahamiyah (ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah.7
5
Hans Wahr, ‘A Dictonary of Modern Written Arabic , Mu’jam Al-Lugah Al-Arabiyah Al-
Mua’shirah’. Cet III (Bairut: Libanon: Librarie: du liban, 1980): 745
6
Enseklopedi Islam Tim, ‘Jabariyah’. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997): 239
7
K. Ali, ‘Sejarah Islam Tarikh Pramodern’.
4
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di
kalangan Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari
golongan Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini
adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul
sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab
yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara
hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat
sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput
yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta
keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat
arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai
dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam.
Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian
disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam,
Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan
Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam
gerakan melawan Bani Umayah. Sebenarnya faham al-Jabar sudah muncul jauh
sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah
berikut ini:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk mendebatkan
persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat
ayat Tuhan mengenai takdir.8
b. Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan
mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan
aku mencuri” mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap
orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan
8
Aziz Dahlan, ‘Sejarah Pemikiran Perkembangan Dalam Islam'(Jakarta: Beunneubi Cipta 1987): 27-
29.
5
dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan.
Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan.9
c. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya
dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju
perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala
sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan
qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu
merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji
dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Pada pemerintahan daulah Bani Umayyah, pandangan tentang Jabariyah
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya
memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham
jabariyah.
e. Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan
bahwa kemunculannya diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu
pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab
Yacobit.
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan faham ini timbul dalam sejarah
perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli Teologi Islam,
faham Qadariah kelihatannya ditimbulkan oleh pertama kali yaitu seorang yang
bernama Ma‟bad al-Juhani. Menurut Ibnu Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya
Ghaylan al-Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di
Irak. Dan menurut al-Zahabi, Ma‟bad adalah seorang tabi’in yang baik. Tetapi ia
memasuki lapangan politik dan memihak kepada Abdu ar-Rahman Ibnu al-Asy‟as,
Gubernur Sajistan dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah dalam pertempuran
dengan al-Hajjaj. Ma‟bad mati terbunuh pada tahun 80-an H. Sementara sahabatnya
Ghaylan terus menyiarkan faham Qadariahnya di Damaskus, walaupun mendapat
tantangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar wafat, Ghaylan
meneruskan kegiatan lamanya, sehingga akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin
9
Ali Musthafa Al-Ghurabi, ‘Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah’1958: 15.
6
Abdul Malik (724-743 M). Sebelum dijatuhkan hukuman mati diadakan perdebatan
antara Ghaylan dan al-Audha’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
7
karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba
setara dalam keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam
hati tidak dalam perbuatan.
2) Ja’ad bin Dirham. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang kristen yang
senang membicarakan tentang teologi. Ia adalah seorang maulana dari
bani Hakam dan tinggal di Damaskus. Ia dibunuh pancung oleh
Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah El-Qasri. Dokrin pokok
Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang
menjelaskan sebagai berikut:
1. Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu
yang baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk,
seperti
berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
8
manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang,
manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak
sematamata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Mengenai ru’yat
Tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat
diakhirat melalui indera keenam.
Diceritakan bahwa ketika kegiatan Ghilan dihentikan oleh Khalifah Umar ibn
Abdul Aziz, maka terhentilah peredaran paham tersebut. Tetapi setelah khalifah itu
wafat, maka Ghilan al-Dimasyqy kembali lagi melanjutkan usahanya menyiarkan
paham tersebut untuk waktu yang cukup lama sampai ia dihukum bunuh oleh
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang memerintah pada tahun 105-125 H.
10
Aziz Dahlan.
9
oleh Tuhan. Qudrat pada Tuhan adalah bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah
swt, tunggal, tidak berbilang, dan berhubungan dengan segala yang dijadikan objek
kekuatan, serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan zat. Sedangkan qudrat
manusia adalah bersifat sementara, berproses, bertambah, berkurang bahkan bisa
hilang.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
B. Kritik dan Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Dahlan, ‘Sejarah Pemikiran Perkembangan Dalam Islam’ Jakarta: Beunneubi Cipta
1987, 27-29
Hans Wahr, ‘A Dictonary of Modern Written Arabic , Mu’jam Al-Lugah Al-Arabiyah Al-
Mua’shirah’ Cet III Bairut: Libanon: Librarie: duliban, 1980, 745
Tim, Enseklopedi Islam, ‘Jabariyah’ Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997, 239
13