Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILOLOGI

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filologi
Dosen Pengampu: Nofrizal, M.A.

Disusun Oleh Kelompok 1:


1. Hijrah Zahrani Putri 2131030007
2. Muhammad Fitrah 2131030041
3. Putri Wahyuni 2131030019
4. Ricky Afrian 2131030020

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Rasa syukur tiada hentinya kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya kepada kita semua. Kepada-Nya juga kita
sampaikan pujian atas keleluasaan ilmu dan pikiran hingga mampu memahami
sebagian dari ilmu-Nya. Shalawat serta salam tidak hentinya kita haturkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dari zaman jahiliyah
kezaman yang berilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nofrizal, M.A.
selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Filologi yang telah memberikan arahan serta
bimbingan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dalam
pembuatan makalah ini.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Filologi, yang
berupa penjelasan sejarah dan perkembangan filologi. Kami menyadari bahwa
penyajian makalah kami ini masih banyak kekurangan. Kami mengharap kritik dan
saran dari pembaca yang bersifat membangun. Kami berharap laporan makalah kami
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, 4 Maret 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................................2

C. Tujuan..........................................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................................3

A. Periode Yunani Kuno....................................................................................................3

B. Periode Romawi (Barat dan Timur)..............................................................................5

C. Periode Renaisans........................................................................................................7

D. Periode Arab (Islam)....................................................................................................9

E. Periode Nusantara......................................................................................................13

BAB III..................................................................................................................................18

PENUTUP.............................................................................................................................18

A. Kesimpulan................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filologi, sebagai cabang ilmu yang mempelajari bahasa dan sastra secara
mendalam, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks yang melibatkan berbagai
perubahan dan evolusi dari masa ke masa. Dari zaman kuno hingga era modern,
studi filologi telah memainkan peran penting dalam pemahaman dan pelestarian
warisan budaya manusia. Pada awalnya, filologi muncul sebagai disiplin yang
bertujuan untuk memahami dan mempertahankan teks-teks klasik dari budaya
kuno, namun seiring berjalannya waktu, bidang ini telah berkembang menjadi
studi yang lebih luas yang mencakup analisis bahasa, sastra, dan budaya secara
menyeluruh.

Sejarah dan perkembangan filologi mencakup berbagai aspek yang meliputi:

Perkembangan awal di masa klasik: Filologi memiliki akar yang kuat dalam
kebudayaan klasik Yunani dan Romawi, dimana sarjana kuno bertugas untuk
menerjemahkan, menjelaskan, dan mempertahankan teks-teks klasik dari masa
lalu.

Peran agama dan gereja: Selama Abad Pertengahan, gereja memiliki peran
dominan dalam perkembangan filologi, dengan para cendekiawan gerejawi
berperan dalam menjaga dan mempelajari teks-teks religius dan klasik.

Renaisans dan Humanisme: Masa Renaisans membawa kebangkitan minat


terhadap bahasa dan sastra klasik, yang mendorong perkembangan filologi
sebagai disiplin akademik yang terpisah.

1
Pencerahan dan Ilmu Pengetahuan Modern: Pada Abad Pencerahan, filologi
mengalami transformasi lebih lanjut dengan berkembangnya metode ilmiah dan
kritis dalam analisis teks-teks klasik.

Perkembangan Teknologi dan Metode: Di era modern, kemajuan teknologi


dan metodologi penelitian telah memberikan dampak besar pada studi filologi,
memungkinkan analisis yang lebih mendalam dan akurat terhadap teks-teks
klasik

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan tersebut maka rumusan
masalah yang dapat diambil :

a. Bagaimana perkembangan sejarah filologi dari masa Yunani kuno,


Romawi, Renaisans, Arab (Islam), serta Periode Nusantara.

C. Tujuan
a. Mengurai dan menjelaskan sejarah dan perkembangan filologi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Periode Yunani Kuno


Sejarah perkembangan filologi tumbuh dan berkembang di kawasan kerajaan
Yunani, tepatnya di kota iskandariyah yang terletak di pantai Utara benua Afrika.
Di kota iskandariyah tersebut,ilmu filologi berkembang dan meluas sampai ke
eropa daratan hingga ke bagian dunia lain. Tradisi filologi berawal di kota
iskandariyah dilakukan oleh orang orang yunani di abad ke-3 SM. Bangsa Yunani
akhirnya berhasil membaca hasil tulisan tangan orang orang yunani yang di tulis
pada abad ke-8 SM. Tulisan tangan yang berhasil di baca dengan huruf Yunani
awalnya berasal dari huruf funisia. Huruf huruf Yunani yang di tulis kebanyakan
untuk merekam kejadian dari tradisi lisan di abad abad sebelumnya. Naskah yang
bertuliskan dengan huruf Yunani ditemukan pada daun papirus. Namun pada abad
ke-8 sampai ke-3 SM, banyak naskah naskah yang di salin sehingga banyak
mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Menurut Fathurahman (2015:32),
sejak awal perkembangan filologi di Yunani pada abad ke-3 SM, filologi telah
berjasa kepada para pustakawan perpustakaan di iskandariyah (Alexandria)
seperti Aristophanes, Apollonius Rhodius, Aristarchus, Zenodotus, dan
Eratosthenes yang merupakan lima dari enam pustakawan sekaligus intelektual
Yunani yang giat dalam melakukan kajian, kritik teks, serta penerjemahan naskah
naskah koleksi di perpustakaan tertua tersebut.

Barried (melalui Fathurahman,2015:32-33) menyatakan bahwa semua naskah


yang tersimpan di perpustakaan Iskandariah yang di bangun pada masa
pemerintahan Ptolemaios 1 Soter dan anaknya - Ptolemaios hampir semuanya
berbentuk gulungan (roll) yang terbuat dari papirus, yaitu sebuah alat tulis yang
dibuat dari pohon air (cyperus papyrus) yang tumbuh di tepi pinggiran sungai
Nil, Mesir. Untuk membaca sebuah naskah dari papirus berbentuk gulungan,

3
seseorang harus terlebih dahulu membuka gulungan dengan menahan dengan
satu tangan, yang kemudian harus di kembalikan dengan hati hati seperti
semula,agar pembaca setelahnya bisa membaca mulai dari bagian depan teks.
Tidak mudah untuk menyimpan gulungan papirus,karena membutuhkan tempat
yang luas. Gulungan tersebut berisikan rekaman tradisi lisan Yunani di abad
sebelumnya.

Pada abad ke-3 SM di kota iskandariyah terdapat pusat ilmu pengetahuan


karena di masa itu banyak orang orang yang melakukan telaah pada teks teks
lama Yunani. Para penelaah tersebut banyak yang berasal dari Yunani tepatnya di
bagian Eropa salatan dan dari sekitar laut tengah. Sebuah perpustakaan di
iskandariyah menjadi pusat studi yang awalnya merupakan sebuah kuil tempat
pemujaan dewa Dewi kemudian menjadi museum yang menyimpan banyak
gulungan papirus. Banyak sekali berisikan ilmu pengetahuan di gulungan papirus
seperti ilmu filsafat, kedokteran, perbintangan, ilmu sastra, ilmu hukum dan lain
sebagainya milik bangsa Yunani kuno. Para penelaah di sebut sebagai ahli
filologi dan yang pertama kali menggunakan sebutan ahli filologi adalah
Erastothenes. Para ahli filologi untuk memahami suatu naskah harus benar benar
memiliki ilmu yang luas untuk mengenal huruf,bahasa dan ilmu yang di kandung
nya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya, mereka kemudian
menulisnya kembali dalam huruf dan bahasa yang di gunakan saat itu
(Barried,1985:30)

Reynolds dan Wilson (melalui Barried, 1985:31) menyebutkan bahwa selain


untuk tujuan penggalian ilmu pengetahuan Yunani Kuno, kegiatan filologi juga
dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan. Untuk tujuan perdagangan tersebut,
penyalinan naskah kadang-kadang dilakukan oleh para budak belian, yang pada
waktu itu masih banyak dan mudah dikerahkan. Dengan demikian, mudah sekali
terjadi penyimpangan- penyimpangan (khususnya penyimpangan penulisan) dari

4
teks yang disalin karena para mereka tidak memiliki kesadaran terhadap
keautentikan nilai naskah lama.

Penyalinan yang dilakukan secara berulang-ulang mengakibatkan naskah


menyimpang dan semakin bertambahnya naskah naskah yang jauh dari teks
aslinya. Salien-menyalin naskah dengan tangan mudah menimbulkan bacaan
yang rusak karena ketidaksengajaan, atau bahkan karena penyalin bukan ahli
dalam ilmu yang ditulis dalam naskah itu, atau bahkan keteledoran
penyalin.Beberapa usaha yang dilakukan oleh filolog Yunani lama adalah
pertama, buku-buku yang ditulis dalam abjad kuno ditulis ulang kedalam abjad
Yunani, kedua, penyempurnaan tanda baca aksentuasi yang bersumber dari
Aristophanes. Setelah itu teks tersebut disalin kembali dengan tulisan yang
mudah dibaca dan bersih dari kesalahan, bahkan untuk penyempurnaan teks
kadang-kadang dilengkapi dengan komentar dan tafsiran atau pun penjelasan-
penjelasan. Oleh sebab itu, salah satu prinsip kritik teks yang berkembang pada
periode ini adalah menguji keautentikan sebuah teks melalui perbandingan
dengan bagian-bagian teks tertentu lain yang ditulis oleh pengarang yang sama
agar terhindarnya kesalahan-kesalahan saat proses penyalinan.

B. Periode Romawi (Barat dan Timur)


a. Romawi Barat

Kegiatan filologi di Romawi Barat berkaitan dengan penggarapan naskah-


naskah dalam bahasa Latin yang telah dimulai sejak abad ke-3 SM. Naskah-
naskah ini berupa puisi dan prosa, termasuk tulisan-tulisan dari Cicero dan Varro.
Tradisi filologi ini kemungkinan mengikuti jejak kegiatan serupa di Yunani pada
abad ke-3 SM di Alexandria. Isi dari naskah-naskah ini memiliki dampak besar
dalam dunia pendidikan di Eropa pada masa-masa berikutnya.

Bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan di Kerajaan Romawi Barat,


dan dengan Kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi juga mencakup penelitian

5
terhadap naskah-naskah keagamaan oleh para pendeta. Akibatnya, naskah-naskah
Yunani terlupakan dan kadang-kadang dianggap berbahaya karena dianggap
mengandung pemikiran yang jahiliah atau terkait dengan keyakinan non-Kristen.
Seiring dengan itu, penelitian terhadap teks-teks Yunani mundur dan pengetahuan
tentang isinya berkurang.

Pada abad ke-4, penggunaan "codex", yaitu buku dengan halaman yang
terbuat dari kulit binatang, terutama kulit domba, mulai digunakan. Codex ini
memudahkan pembacaan karena halaman-halamannya dapat dipisahkan, dan
bahan kulit lebih tahan lama daripada papirus.

b. Romawi Timur

Pada saat penelitian teks Yunani mengalami kemunduran di Romawi Barat,


pusat-pusat studi teks Yunani mulai muncul di Romawi Timur, seperti Antioch,
Athena, Iskandariyah, Beirut, Konstantinopel, dan Gaza. Setiap pusat studi
tersebut mengkhususkan diri dalam bidang tertentu, seperti Iskandariyah yang
menjadi pusat studi filsafat Aristoteles dan Beirut yang fokus pada bidang
hukum. Pusat-pusat studi ini berkembang menjadi perguruan tinggi yang
menghasilkan ahli dalam berbagai bidang seperti pemerintahan, pendidikan, dan
administrasi.

Pada periode ini, muncul kebiasaan menulis catatan tambahan atau tafsir
pada tepi halaman naskah, yang disebut scholia. Procopius dari Gaza terkenal
karena menulis naskah-naskah yang disertai scholia yang diambil dari tulisan
lain yang membahas masalah yang serupa. Karena tulisannya sebagian besar
berfokus pada ajaran Alkitab, cara penulisannya dianggap sebagai inovasi
dalam kajian Alkitab.

Ketika penelitian teks Yunani berkembang di Romawi Timur, kekurangan ahli


dalam bidang tersebut mulai dirasakan. Untuk mengatasi hal ini, naskah-naskah
penting diajarkan di perguruan tinggi dan mulai muncul kuliah-kuliah filologi di
6
berbagai perguruan tinggi sebagai upaya untuk mencetak ahli dalam bidang
filologi.

C. Periode Renaisans
Renaisanse berasal dari kata Renaotre (Yunani) yang berarti lahir kembali.
Renaisanse merupakan periode dimana didalamnya terdapat kebudayaan klasik
diambil lagi sebagai pedoman hidup. Pada masa ini orang cenderung pada
kebudayaan yunani klasik atau kepada aliran humanisme yang nantinya
membawa pengaruh baru terhadap penelitian filologi dan ilmu bahasa.
Renaisanse merupakan zaman peralihan dari zaman pertengahan ke zaman baru.
Renaisanse bermula pada gerakan dikalangan para sarjana dan seniman, akan
tetapi meningkat menjadi perubahan cara berfikir dikalangan umat beradab.
Pada dasarnya renaisanse telah lahir sejak abad ke-13 di Italia, namun baru
mencapai puncaknya pada abad ke-16 dengan mumculnya paham humanisme.
Kata humanisme berasal dari kata humaniora (yunani) atau umanista (latin) yang
awalnya berarti guru yang mengolah tata bahasa, retorika, puisi dan filsafat.
Berhubung hal yang diperlukan berasal dari teks-teks klasik, maka humanisme
diartikan sebagai aliran yang mempelajari sastra klasik untuk menggali
kandungan isinya yang meliputi keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, tata
bahasa, kesussastraan dan kesenian (Baried, dkk. 1985 : 33/34).

Pada abad ke-14 di Eropa timbul kesadaran baru terhadap hal-hal dari Yunani
dan Romawi, mereka sudah bosan dengan kungkungan filsafat agama (skolastik)
yang mematahkan kreativitas. Warisan pengetahuan lama dari Yunani dan
Romawi, mereka gali dan terapkan kembali dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa karya klasik Aristoteles, Plato dan yang lainnya mereka ungkap dari
karya-karya yang masih tersisa. Karena warisan tersebut tersimpan dalam
naskah-naskah kuno, maka dari itu kegiatan filologi menjadi bersemangat.

7
Bangkitnya kembali nilai-nilai klasik tersebut (zaman renaisanse) sering
dihubungkan dengan gerakan humanisme. Arti humanisme itu sendiri
selanjutnya berkembang menjadi suatu sistem pemikiran yang membahas
kemanusiaan dengan individu, Tuhan, dan alam. Tujuan humanisme adalah
mempertinggi budi pekerti manusia (Sudardi, 2001: 350). Perintis gerakan ini
ialah Lovato-Lovati (1241-1309), seorang hakim di Italia. Ia sangat tertarik pada
puisi-puisi klasik dan penggalian teks-teks yang sudah berabad-abad tidak
diketahui orang. Meskipun rintisan Lovati ini baru hanya sebatas pada rekan-
rekan saja. Kemudian gerakan Lovati ini diikuti oleh penyair Francesco Pretarca
(1304-1374) dan Giovani Boccacio (1313-1374). Keduanya merupakan ahli
bahasa Yunani dan Latin. Petrarca seorang penyair Italia yang melalui
keahliannya itu maka gerakan humanis tersebar, sehingga ia disebut pelopor
gerakan humanisme serta dijuluki “first modern man of letters”.

Pada zaman humanisme ini pengetahuan bahasa klasik hidup kembali


terutama bahasa Yunani. Dan sebaliknya bahasa latin memudar kembali kecuali
bahasa latin yang dianggap baik. Seperti bahasa latin yang dipaki Cicero dalam
karya-karyanya yaitu puisi atau prasa yang ditulisnya sekitar abad ke-3 SM.
Pada zaman renaisanse kegiatan filologi diaktifkan kembali setelah terabaikan
selama beberapa abad sebelumya. Hal itu dilatarbelakangi oleh adanya
kecenderungan untuk memanfaatkan kembali kebudayaan klasik sebagai
pedoman hidup manusia pada saat itu.

Gerakan humanisme dapat berkembang karena beberapa hal. Selain karena


bebas dari kungkungan filsafat agama (skolastik), dikalangan masyarakat saat itu
juga tumbuh kesaadaraan baru untuk berfikir mandiri serta menginginkan
kembali kejayaan seperti yang sudah ada pada zaman Yunani dan Romawi.

Pada tahun 1453 kekaisaran Romawi Timur runtuh oleh serangan bangsa
Turki. Banyak sarjana Romawi Timur melarikan diri ke Roma dan mereka

8
mendaptkan kedudukan yang terhormat, karena memiliki keahlian mengenai
teks-teks klasik Yunani dan Romawi dimana pada saat itu menjadi kegemaran
masyarakat. Kehadiran para pelarian itu menjadikan gerakan
renaisans/humanisme semkain maju.

Pada abad ke-15 penemuan mesin cetak oleh Gutenberg membuka


perkembangan baru dalam bidang filologi. Teks-teks yang telah disunting secara
filologi pada abad pertengahan diperbanyak kembali dengan mesin cetak,
sehingga kerusakan lebih kecil jika dibandingkan dengan tulisan tangan. Kritik
teks sudah mulai disempurnakan dengan cara membandingkan beberapa naskah
seperti yang berhasil diperoleh dari berbagai tempat (Ruhalia, 1996 : 19).

Selain itu tumbuhnya banyak perguruan tinggi pada zaman pertengahan


memengaruhi perkembangan filologi. Kegiatan filologi bertambah ramai karena
lembaga-lembaga itu memerlukan suntingan teks lama untuk bahan pelajaran,
sehingga kedudukan bahasa Yunani, Romawi dan latin menjadi sangat penting.
Khusus untuk kajian Beybel diperlukan bahasa Ibrani dan Arab.

Pada perkembangan berikutnya kegiatan filologi sejak lahir renaisans sudah


mulai diarahkan kepada kajian teks-teks non-klasik, seperti naskah Germania
dan Romania. Pada abad ke-19 ilmu bahasa atau linguistik memisahkan diri dari
filologi, sehingga pada abad ke-20 pengertian filologi di kawasan Anglo Sakon
berubah menjadi ilmu bahasa atau linguistik. Sedangkan di Eropa daratan masih
menggunakan teks klasik arti dan aslinya (Baried, 1985 : 34).

D. Periode Arab (Islam)


Pada abad pertengahan masyarakat Eropa sedang dikungkung oleh filsafat
skolastik (agama) sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karya-karya klasik yang
bertentangan dengan paham agama (kristen) dibakar karena dianggap produk
jahiliyah. Hanya kitab-kitab yang berkaitan dengan agama saja yang menjadi
topik pembicaraan para cendikiawan. Akibat paham ini, maka teks-teks Yunani

9
dan Romawi hilang dari peredaran. Dan pada masa yang bersamaan, Daulah
Islam sedang mengalami masa kejayaan. Ajaran islam yang disampaikan
Rasulullah SAW telah mendorong semangat umat islam untuk mengkaji berbagai
ilmu pengetahuan yang datang dari berbagai negeri. Para sultan islam
menempatkan para cendikiawan yang bukan islam pada posisi yang baik.

Pada abad ke-4, beberapa kota di Timur Tengah telah menjadi pusat-pusat
studi ilmu pengetahuan, seperti Gaza yang terkenal dalam bidang oratori, Beirut
dalam bidang hukum, Edessa, dan Antioch. Perguruan tinggi di kota-kota tersebut
awalnya fokus pada studi injil, tetapi juga memperhatikan naskah-naskah Yunani
yang dipusatkan di Nisbis dan Edessa. Pada abad ke-5, karena perpecahan
gerejani di Edessa, banyak ahli filologi dari kota itu pindah ke Persia, di mana
mereka diterima dengan baik oleh Kaisar Anusyirwan dan diberi posisi ilmiah di
Akademi Jundi Syapur. Akademi ini menjadi pusat penting untuk terjemahan
naskah Yunani ke dalam bahasa Syria dan kemudian bahasa Arab. Selain itu, kota
Harra di daerah Mesopotamia juga menjadi pusat studi naskah Yunani, dihuni
oleh penduduk yang dikenal sebagai bangsa Sabean dan mahir dalam bahasa
Arab. Di kota ini, tulisan-tulisan Plato, Ptolemy, dan Galen banyak dipelajari dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Syria dan bahasa Arab.

Daulah Islamiyah semakin berkembang dan berhasil menaklukan kerajaan-


kerajaan besar seperti Persia dan Romawi Timur. Kedatangan pasukan islam
tidak menghentikan kajian-kajian terhadap teks-teks Yunani. Sejak zaman Dinasti
Umayyah yang berpusat di Damaskus, negeri-negeri seperti Palestina, Syiria,
Irak dan Mesir mulai mengenal teks-teks Yunani yang kemudian diterjemahkan
kedalam bahasa Syiria dan Arab. Pada umumnya mereka mengkaji tentang teks-
teks filsafat, kedokteran dan ilmu tekhnik. Mereka tidak tertarik terhadap teks-
teks satra karena sudah memiliki teks-teks sastra yang bermutu. (Subardi, 2001 :
38).

10
Pada masa Dinasti Abassiyah yang berpusat di Baghdad, kegiatan pengkajian
tersebut semakin bertambah maju. Puncak perkembangan tersebut terjadi pada
masa Khalifah Al Makmum, Khalifah Harun Al Rasyid, dan Khalifah Mansyur.
Di dalam istananya terkumpul sejumlah ilmuan dari luar, mereka mempelajari
ilmu geometri, astronomi, tekhnik, dan musik. Mereka mendapat pelayanan yang
baik, sehingga didirikanlah pusat studi yang diberi nama Bait al-Hikmah
(lembaga kebijaksanaan), yang dilengkapi dengan perpustakaan dan
obsevatorium. Di samping munculnya pengkajian terhadap naskah Yunani, juga
didirikan pusat penerjemahan yang dikelola oleh Hunain bin Ishak. Banyak
orang-orang kristen mahir terhadap tradisi Yunani dan ikut bekerja di pusat
penerjemahan tersebut seperti Qusta bin Luqa dan Hubayisi. (Baried, 1985 : 35).

Bangsa-bangsa Timur Tengah memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki


dokumen lama yang berisi nilai-nilai agung, seperti karya tulis yang dihasilkan
oleh bangsa Arab dan Persia. Sebelum datangnya islam karya tersebut berbentuk
prosa dan puisi, seperti Mu’alaqat dan Qasidah dikalangan bangsa Arab. Setelah
islam berkembang dan meluas hingga kawasan luar Arab yakni Persia pada abad
ke-10 hingga abad ke-13 sastra mistik berkembang maju, seperti karya dari Farid
al-Din yaitu Mantiq al-Tair. Selain itu juga muncul puisi-puisi Persia karya Umar
Khayyam dalam cerita seribu satu malam, yang masih dikenal sampai saat ini di
dunia Barat, juga banyak diterjemahkan kedalam bahasa Barat dan Timur.

Kedatangan bangsa Barat di kawasan Timur Tengah membuka kegiatan


filologi terhadap karya-karya tersebut sehingga isi kandungan naskah-naskah itu
dikenal di dunia Barat dan banyak yang menarik perhatian para orientalis Barat,
Akibatnya, banyaklah teks yang mereka teliti serta kemudian banyaklah naskah
yang mengalir ke pusat-pusat studi dan koleksi naskah di Eropa. Kajian filologi
terhadap naskah-naskah tersebut banyak dilakukan di pusat-pusat kebudayaan
ketimuran di kawasan Eropa dan hasil kajian itu berupa teori-teori mengenai
kebudayaan dan sastra Arab, Persi, Siria, Turki, dan lain sebagainya.
11
Pada abad ke-8 hingga abad ke-15, kekuasaan Dinasti Umayyah yang meluas
hingga Spanyol dan Andalusia membuka jalan bagi masuknya karya tulis dari
Timur Tengah ke Eropa daratan. Ilmu pengetahuan Yunani yang telah diadopsi
oleh bangsa Arab kembali disebarkan ke Eropa dengan pengaruh Islam. Banyak
karya sastra dari bangsa Arab dan Persia dikenal di Eropa pada masa kekuasaan
Dinasti Umayyah di wilayah tersebut, dan naskah-naskah ini menjadi bahan
kajian di pusat-pusat ilmu dan penelitian di Eropa. Tulisan-tulisan seperti Al
Ghazali, Ibn al-Arabi, dan Ibn Sina menjadi subjek pembelajaran dan penelitian
yang menarik. Orientalis terkenal pada periode ini termasuk Albertus Magnus,
yang mengajar filsafat Aristoteles berdasarkan karya-karya Al-Farabi, Ibn Sina,
dan Al Ghazali di Paris pada abad ke-12. Pada abad ke-13, Roger Bacon dan
Raymon Lull belajar bahasa Arab dan Persia untuk mempelajari ilmu filsafat
Yunani. Bahasa Arab, Ibrani, dan Kaldia juga diajarkan di universitas-universitas
di Roma, Bologna, Paris, dan Oxford atas perintah Paus Clement, sebagai alat
untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang terdapat dalam naskah-naskah
berbahasa tersebut. Pada abad ke-13, di pusat-pusat studi di Montpillier, terjadi
penerjemahan karya-karya Ibn Rushd dan Ibn Sina ke dalam bahasa Latin.

Pada abad ke-17, khususnya di Cambridge dan Oxford, teks klasik Arab dan
Persi mendapat pengakuan yang baik. Perguruan tinggi tersebut membuka
perkuliahan bahasa Arab dengan pengajar-pengajar terkenal seperti Thomas
Adams, Archbishop Laud, Edward Pococke, dan Abraham Wheelock. Karya
sastra Arab dan Persi seperti Seribu Satu Malam, syair-syair sufi, dan cerita-cerita
dari Persi dan Turki banyak dipelajari di Inggris. Terjemahan syair-syair Umar
Khayyam ke dalam bahasa-bahasa Eropa juga dilakukan pada periode ini.

Pada akhir abad ke-18, di Paris didirikan pusat studi kebudayaan Timur
Tengah yang dipimpin oleh Silvester de Sacy dengan nama Ecole des Langues
Orientales Vivantes. Di tempat ini, naskah-naskah dari Timur Tengah dipelajari
oleh ahli-ahli Eropa, dan beberapa orientalis Eropa terkemuka lahir dari sana.
12
Mereka menghasilkan karya-karya berkualitas mengenai karya tulis penulis
Timur Tengah. Sejumlah orientalis terkenal seperti Etienne Quatrernere dan De
Slane juga dilahirkan dari Ecole des Langues Orientalis Vivantes, yang dianggap
sebagai pusat utama bagi studi orientalis di Eropa pada masa itu.

E. Periode Nusantara
Nusantara (Nusa Pulau) dan (Tara-Antara) yang terletak diantara dua benua
Asia dan benua Australia.kata Nusantara pertama kali di ucapkan patih
amangkubhumi Gajah Mada, bahwa Patih Gajah Mada mempuyai atau bercita-
cita untuk menyatukan pulau- pulau atau daerah-daerah yang tersebar di berbagai
pulau-pulau dan terdiri dari banyak kerajaan itu dapat dipersatukan di bawah satu
pemerintahan yaitu dibawah naungan pemerintahan kerajaan Majapahit. Selain
itu, nama nusantra sebelumnya sudah di gunakan di suatu daerah di Kalimat
Timur, tepatnya di daerah Kutai Karta Negara (sekarang). Dimana daerah
tersebut di masa pemerintahan presiden Jokowi Dodo di tempatkan sebagai
pemindahan ibu kota baru negara atau IKN.

1. Naskah Nusantara dan Para Pedagang Barat

Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara mulai timbul pada abad


16 yang di lakukan oleh pedagang bangsa Barat. Mereka menilai naskah-naskah
itu sebagai barang dagangan yang mendatangkan untung besar, seperti yang
mereka kenal di benua Eropa dan di sekitar Laut Tengah, serta daerah-daerah lain
yang pernah ramai dengan perdagangan naskah kuno atau naskah lama. Para
pedagang itu mengumpulkan naskah-naskah itu dari perorangann atau dari
tempat-tempat yang memiliki koleksi, seperti pesantren atau kuil-kuil, kemudian
membawanya ke Eropa, menjualnya kepada perorangan atau kepada lembaga-
embaga yang telah memiliki koleksi naskah-naskah lama. Seterusnya naskah-
naskah itu selalu berpindah tangan karena dijual atau dihadiahkan. Seorang yang
dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Pieter

13
Willemsz. Van Elbinck yang pernah tinggal di Aceh pada tahun 1604. Kumpulan
naskah Elbinck, antara lain, dijual kepada Thomas Erpenius, seorang orientalis
kenamaan dari Leiden. Erpenius sendiri tidak berminat mengkaji; naskah-naskah
Nusantara karena keahliannya adalah mengenai kebudayaan Timur Tengah. Pada
tahun 1632, koleksi naskah Nusantara Erpenius di letakkan ke perpustakaan
Universitas Oxford. Nama lain yang dikenal menerima naskah-naskah Nusantara
dari para pedagang adalah Edward Picocke, pemilik naskah Hikayat Sri Rama
tertua; serta William Laud, uskup (wali gereja) besar dari Canterbury, yang
menghadiahkan koleksi naskah Nusantara kepada perpustakaan Bodeian di
Oxford.

Pedagang-pedagang Barat mulai tertarik untuk menyelidiki naskah-naskah


Nusantara pada abad ke-16 karena melihatnya sebagai barang dagangan yang
menguntungkan, mirip dengan perdagangan naskah kuno di Eropa dan sekitar
Laut Tengah. Mereka mengumpulkan naskah-naskah tersebut dari individu atau
tempat-tempat seperti pesantren atau kuil, lalu membawanya ke Eropa untuk
dijual kepada kolektor naskah. Naskah-naskah ini sering berpindah tangan
melalui penjualan atau pemberian. Salah satu pedagang terkenal yang terlibat
dalam perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Pieter Willemsz. Van Elbinck
yang tinggal di Aceh pada tahun 1604. Koleksinya kemudian dibeli oleh Thomas
Erpenius dari Leiden. Meskipun Erpenius sendiri tidak tertarik untuk
mempelajari naskah-naskah Nusantara karena fokusnya adalah kebudayaan
Timur Tengah, koleksinya kemudian menjadi bagian dari perpustakaan
Universitas Oxford pada tahun 1632. Pedagang lain yang terlibat dalam
perdagangan naskah termasuk Edward Picocke, pemilik naskah Hikayat Sri
Rama tertua, dan William Laud, uskup besar Canterbury, yang menyumbangkan
koleksi naskah Nusantara kepada perpustakaan Bodleian di Oxford.

Frederik de Houtman, saudara dan teman perjalanan Cornelis de Houtman,


menunjukkan minatnya pada budaya Nusantara dengan menulis buku berjudul
14
"Spraeck ende Woordboeck, inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen" pada
tahun 1603. Buku ini sangat populer di Eropa dan diterjemahkan ke beberapa
bahasa. Pada zaman VOC, belajar bahasa Nusantara umumnya terbatas pada
bahasa Melayu karena sudah cukup untuk berkomunikasi dengan berbagai
bangsa di kawasan tersebut. Peran pedagang sebagai pengamat bahasa, diikuti
oleh misionaris yang dikirim oleh VOC ke Nusantara, membantu dalam
memahami bahasa melalui pembacaan naskah.

2. Para penginjil melakukan penelitian terhadap naskah-naskah Nusantara.

Beberapa penginjil terkenal tertarik pada naskah-naskah Melayu. Dr.


Melchior Leijdecker, misalnya, mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
Melayu tinggi pada tahun 1691, namun terjemahannya belum selesai dan
kemudian dilanjutkan oleh penginjil lain, Petrus van den Vorm. Selain itu,
Francois Valentijn dan G.H. Werndly juga merupakan penginjil yang ahli dalam
bahasa Melayu dan meneliti naskah-naskah tersebut.

Lembaga Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG) memiliki peran penting


dalam ilmu bahasa di wilayah tersebut. Mereka mengirimkan penginjil ke
berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Kalimantan, Sumatra, Bugis,
Makasar, Sunda, dan Nias. Para penginjil ini tidak hanya menyebarkan ajaran
agama, tetapi juga melakukan penelitian dan penulisan ilmiah tentang budaya
setempat. Salah satunya adalah A. Hardeland, H.N. van der Tuuk, BF. Matthes,
G.J. Grashuis, D. Koorders, S. Coolsma, dan L.E. Denninger.

Meskipun tidak melakukan telaah filologi secara mendalam, mereka terlibat


dalam menerjemahkan naskah-naskah dan mempelajari sastra lisan dari berbagai
suku di Indonesia. Ini termasuk studi tentang sastra lisan di daerah Toraja oleh N.
Adriani dan Kruijt.

3. Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara

15
Kehadiran penginjil yang dilengkapi dengan pengetahuan linguistik dari
NBG memicu penelitian yang lebih intensif terhadap naskah-naskah dari
berbagai daerah di Nusantara. Awalnya, penelitian tersebut bertujuan untuk
memahami bahasa naskah guna keperluan penyiaran dan penerjemahan Alkitab.
Namun, seiring waktu, minat para peneliti berkembang untuk mengkaji isi
naskah tersebut dan melakukan penyuntingan agar dapat diakses oleh masyarakat
luas.

Selain penginjil, tenaga pendidik dari Belanda juga memberikan pelajaran


bahasa Nusantara kepada calon pegawai sipil yang akan dikirim ke Indonesia.
Mereka diajarkan ilmu bahasa, geografi, dan budaya setempat. Pelajaran ini
awalnya diberikan di Akademi Militer Kerajaan (KMA) di Breda pada tahun
1836 dan Delft pada tahun 1842, sebelum akhirnya dipindahkan ke Fakultas
Sastra Universitas Leiden. Tokoh seperti Taco Roorda memiliki dedikasi dalam
penerjemahan Alkitab, pendidikan kepangrehprajaan, dan ilmu pengetahuan.

Selain peneliti Belanda, ada juga peneliti dan ahli filologi dari Inggris, seperti
John Leyden, J. Logan, W. Marsden, Thomas Stamford Raffles, J.Crawfurd, RJ.
Wilkinson, R.O.Winstedt, dan Shellabear, serta dari Jerman seperti Hans
Overbeck. Mereka melakukan penelitian dan penyuntingan naskah untuk tujuan
analisis dan pemahaman.

Penyuntingan naskah-naskah Nusantara dilakukan dengan berbagai metode,


mulai dari intuitif, diplomatik, hingga metode kritik teks. Pada abad ke-20,
banyak naskah yang disunting dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Belanda, atau Jerman. Metode kritik teks memberikan hasil yang lebih mantap
dibandingkan dengan metode sebelumnya.

Selain penyuntingan naskah, banyak juga dilakukan penelitian terhadap isi


naskah dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, sejarah, dan sastra. Ini
membuka kemungkinan untuk menyusun sejarah kesusastraan Nusantara atau

16
kesastraan daerah. Terbitnya naskah dan suntingan-suntingan naskah juga
mendorong penyusunan kamus bahasa-bahasa Nusantara.

Kegiatan filologi terhadap naskah-naskah Nusantara tidak hanya bermanfaat


bagi disiplin ilmu sastra, tetapi juga bagi disiplin ilmu humaniora dan ilmu sosial,
karena membuka wawasan tentang kebudayaan bangsa dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Filologi tumbuh di Iskandariyah, Yunani pada abad ke-3 SM, penting untuk
memahami teks lama Yunani. Ahli filologi seperti Aristophanes dan Apollonius
Rhodius membantu kritik teks, penerjemahan, dan studi naskah di perpustakaan
Iskandariyah. Perpustakaan tersebut menyimpan gulungan papirus dengan berbagai
ilmu pengetahuan. Filologi digunakan tidak hanya untuk tujuan ilmiah, tetapi juga
perdagangan. Namun, penyalinan naskah oleh budak belian sering menyebabkan
penyimpangan dari teks asli, memerlukan perbaikan teks dan prinsip kritik teks
adalah membandingkan dengan teks lain untuk memastikan keautentikan.

Di Romawi Barat, kegiatan filologi dimulai sejak abad ke-3 SM dengan


penggarapan naskah-naskah dalam bahasa Latin, termasuk karya-karya Cicero dan
Varro. Tradisi ini mirip dengan yang ada di Yunani pada abad ke-3 SM di Alexandria.
Bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan di Kerajaan Romawi Barat, dan
dengan masuknya agama Kristen di Eropa, filologi juga melibatkan penelitian
terhadap naskah-naskah keagamaan. Hal ini mengakibatkan penelitian terhadap teks-
teks Yunani mundur, dan pengetahuan tentangnya berkurang. Pada abad ke-4,
penggunaan buku codex mulai populer, mempermudah pembacaan dan meningkatkan
ketahanan naskah.

Ketika penelitian teks Yunani menurun di Romawi Barat, pusat-pusat studi teks
Yunani muncul di Romawi Timur. Mereka spesialis dalam bidang tertentu dan
berkembang menjadi perguruan tinggi. Catatan tambahan pada naskah, disebut
scholia, memberikan kontribusi penting dalam kajian Alkitab. Kuliah filologi mulai
muncul untuk mencetak ahli dalam bidang tersebut.

18
Renaisanse adalah periode di mana kebudayaan klasik Yunani dan Romawi
dihidupkan kembali. Humanisme, yang dipelopori oleh tokoh seperti Petrarch dan
Boccaccio, mempelajari sastra klasik untuk memahami berbagai ilmu. Penemuan
mesin cetak oleh Gutenberg membantu memperbanyak teks-teks klasik dengan lebih
efisien. Kegiatan filologi dipengaruhi oleh tumbuhnya perguruan tinggi dan
berkembang menjadi ilmu bahasa atau linguistik pada abad ke-19.

Pada Abad Pertengahan, Eropa didominasi oleh filsafat skolastik berbasis agama
Kristen, menyebabkan karya-karya klasik yang bertentangan dengan agama dibakar.
Sementara itu, Daulah Islam sedang berkembang dan mengalami masa kejayaan.
Kota-kota di Timur Tengah menjadi pusat studi ilmu pengetahuan dan banyak naskah
Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Syria. Di Eropa, karya sastra Arab
dan Persia menjadi subjek penelitian di universitas-universitas terkenal seperti Oxford
dan Cambridge. Pada abad ke-18, Paris menjadi pusat studi kebudayaan Timur
Tengah, di mana naskah-naskah Timur Tengah dipelajari oleh orientalis Eropa
terkemuka.

Pada abad ke-16, pedagang Barat mulai tertarik pada naskah-naskah Nusantara
karena mereka bisa dijual dengan untung besar di Eropa. Mereka mengumpulkan
naskah-naskah tersebut dari berbagai tempat di Nusantara dan membawanya ke
Eropa. Para penginjil juga tertarik dan mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Melayu. Kemudian, ahli bahasa dan peneliti Belanda, Inggris, dan Jerman
mulai mempelajari dan menyunting naskah-naskah ini untuk dipelajari lebih lanjut.
Kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi studi sastra, tapi juga membuka wawasan
tentang budaya dan nilai-nilai di Nusantara.

19
DAFTAR PUSTAKA
Baried, dkk. Barorah, 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Syarifah, Eva W. Tsaqofah, 2002. Sejarah Perkembangan Filologi

Amanan, "Nusantara Dari Satu Kawasan Sampai Nama Ibu Kota Negara", vol. 4,
Ensiklopedia Of Journal, 1 April 2022, hal. 47.)

Anda mungkin juga menyukai