Anda di halaman 1dari 16

ASWAJA DAN FIRQOH LAIN

PENDAHULUAN

Di era modern ini banyak bermunculan aliran dan faham yang


berbeda satu sama lain. Tiap-tiap mengklaim alirannyalah yang paling
benar sementara aliran yang lain salah. Perbedaan dan perpecahan umat
islam menjadi beberapa aliran telah menjadi Sunnatullah yang tidak
bisa dihindari. Dalam beberapa hadits yang banyak diriwayatkan para
ahli hadits Rosulullah saw telah menjelaskan bahwa akan terjadi
perpecahn dalam ummat islam. Firman Allah SWT:

‫ِق وا‬
ُ ‫اس تَ ب‬ ُ َ‫ِن لِيَ ْب لُ َو ُك ْم يِف َم ا آت‬ ٰ ً‫و لَ ْو َش اءَ اللَّ هُ جَلَ َع لَ ُك ْم أ َُّم ة‬...…
ْ َ‫اك ْم ۖ ف‬ ْ ‫َو احِ َد ًة َو لَ ك‬ َ
)48 : ‫ون (املائدة‬ ُ ‫َف ُي نَ بِّ ئُ ُك ْم مِب َ ا ُك ْن تُ ْم فِيهِ خَت ْ تَ ل‬
َ ‫ِف‬ ً ِ‫ات ۚ إِىَل اللَّ هِ َم ْر ِج عُ ُك ْم مَج‬
‫يع ا‬ ِ ‫ا خْلَ ْي َر‬

"….Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadiakn-Nya satu umat


(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah :
48)

Sabda Rosulullah saw :

‫ان بين اسرائيل تفرقت اثنتني وسبعني ملة وتفرقت اميت على ثالث وسبعني ملة كلهم ىف النار إال ملة‬
)‫ماأنا عليه وأصحايب (رواه أبو داود‬ : ‫ومن هي يا رسول اهلل ؟ قال‬ : ‫قالوا‬ .‫واحدة‬

Juga hadits Nabi saw :

‫ومن الناجية ؟‬ : ‫قالوا‬ .‫تفرقت هذه األمة على ثالث وسبعني فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى‬
‫ما أنا عليه اليوم وأصحاىب‬ : ‫قال أهل السنة واجلماعة قيل وما أهل السنة واجلماعة ؟ قال‬

Pada zaman Rosulullah saw memang tidak pernah ada perpecahan


diantara sahabat. Namun sebagai mukjizat, beliau telah mengetahui akan
terjadinya perpecahan pada ummatnya setelah beliau wafat. Rosul juga
telah menjelaskan bahwa diantara golongan (firqoh) yang akan
bermunculan kelak, yang akan selamat adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah
( Orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran rosul dan para
sahabat ). Fakta telah menjadi saksi bahwa sekarang ini seluruh aliran
yang muncul, semuanya mengaku atau mengklaim bahwa kelompoknyalah yang
pantas disebut ahlu sunnah wal jama’ah, serta mengannggap kelompok
lain bukan Ahlussunnah Wal Jama’ah (sesat ).

ASWAJA DAN FIRQOH-FIRQOH LAIN

A. Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

Pengertian Aswaja

Ahlussunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata yaitu ; Ahlun ,


As Sunah dan Al Jama’ah. Kata (Ahlun) berarti keluarga, golongan
atau pengikut. Kata (As Sunnah) berarti Sabda, perbuatan dan
ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kata (Al Jama’ah) berarti
kumpulan atau kelompok para Sahabat Nabi SAW (Jamaatus Shohabat).

Dari pengertian ketiga kata tersebut, maka yang dimaksud


Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kelompok (golongan) yang selalu
berpegang teguh pada sunnah Rosul dan thoriqohnya Sahabat nabi yang
tercermin dari semua aspek kehidupan yang meliputi : i’tiqod
diniyah, amal badaniyyah dan akhlaq qolbiyah.

Sebenarnya istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai ajaran


sudah dikenal dan ada sejak Nabi Muhammad SAW, istilah tersebut
mengandung arti ajaran islam yang murni sebagaimana yang telah
diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah SAW bersama para Sahabatnya.
Namun sesudah masa Sahabat Nabi SAW, Istilah (nama) Ahlussunnah Wal
Jama’ah muncul dalam bentuk Firqoh (kelompok tertentu) untuk
membedakan dari golongan-golongan ahli bid’ah seperti Khowarij,
Syi’ah, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain.

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dalam bentuk Firqoh ini,


muncul sekitar periode 300 Hijriyah yang dipelopori oleh Syekh Abu
Hasan al Asy’ari yang mengikuti madzab imam Syafi’i dan Syekh Abu
Mansur al Maturidi yang mengikuti madzab Imam abu Hanifah. Keduanya
(Syekh Abu Hasan al Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al Maturidi) telah
mendapat dukungan dan pengakuan dari para pengikut imam empat (Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal).

Dalam kitab Syarah Kawakibul Lama’ah, Syekh Abi Fadhol


menjelaskan : Disaat perpecahan banyak terjadi (banyak bermuncualn
aliran-aliran sesat) terlahirlah nama Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk
mereka yang selalu konsisten menjalankan Sunnah-sunnah Nabi SAW dan
para Sahabatnya dalam aqidah, amal badaniyah dan juga akhlaq
qolbiyah.

Dengan demikian pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah ( dalam


bentuk firqoh ) ini adalah nama yang khusus diperuntukkan bagi
golongan yang aqidahnya selaras dengan Asy’ariyyah dan Al
Maturidiyah. Hal ini berlaku hingga zaman sekarang ini. Hal ini
senada dengan keterangan Al Alamah Syayyid Muhammad bin Muhammad Al
Hasani (Syehk Zabidi) dalam Syarahnya kitab Ihya Ulumuddin :

‫إذا اطل ق اه ل الس نة واجلماع ة اى ه ذا اللف ظ املراد هبم األش اعرة واملرتيدية‬
“Jika diucapakan kata ‘Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dikehendaki
adalah ‘Al as’ariyyah dan Al Maturidiyyah”. Karena, Sepeninggalan
Rosul dan para sahabatnya,disaat banyaknya aliran sesat bermunculan,
kedua kelompok inilah (‘Al as’ariyyah dan Al Maturidiyyah’) yang
selalu konsisten menjalankan sunnah-sunnah Rosul dan para Sahabat.
Di samping itu kedua imam tersebut ( Syekh Abu Hasan al Asy’ari da
Syekh Abu Mansur al Maturidi ) berusaha menggali aqidah islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, yakni Aqidah Islam yang
telah diajarkan oleh Rosulullah SAW kepada para sahabat, lalu
kemudian diwariskan kepada Tabiin, Tabiit Tabiin dan para Ulama’
Salafus Solihin.

Lahirnya Aswaja

Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi


Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin,
bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H.
/ 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada
masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-
775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya
dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah
semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-
Ma’mun (198-218H/813-833M).

Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang


mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab
resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar
mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-
qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian
akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan
adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk
(diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari
segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT.
Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan
syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan
manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama
yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn
Hanbal ( 164-241H).

Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular


setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu
Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah
dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap
aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.
Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks qu’an hadits)
daripada aql (penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan
ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah
penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam
hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah,
Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran
ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni di bidang teologi
kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas
aliran ini, baik di bidang fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi
istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang
dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni,
yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan
qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode
tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-
Ghazali  dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at,
hakikat dan makrifat.
Ajaran-ajaran Aswaja

Seseorang atau golongan bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah jika :
 Dalam Aqidah mengikuti / selaras dengan teologi Al As’ari dan Al
Maturidi.
 Dalam Furu’ (Fiqh) mengikuti salah satu imam madzab 4 (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali).
 Dalam bidang Ahlaq (Tasawuf) selaras dengan ajaran Imam Al Gozali
dan al Junaidi al Bagdadi.

Di antara ajaran (akidah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :

 Meyakini Wujudnya Allah.


 Meyakini bahwa Allah Maha Esa (baik dzat, sifat maupun
perbuatannya).
 Meyakini terhadap sifat-sifat Allah (sifat wajib 20, sifat
mustahil 20, sifat jaiz 1).
 Meyakini kehudusan (baru datangnya) alam semesta.
 Meyakini tentang keadilan dan hikmah Allah swt.
 Meyakini tidak ada kemiripan (keserupaan) Allah dengan apapun.
 Meyakini bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat(Surga),dengan mata
kepala secara langsung,namun tidak diketahui caranya (bila
kaifin).
 Allah tidak wajib berbuat baik pada Makluk.
 Allah adalah pencipta jagat raya ini, yang punya kehendak mutlak
untuk melakukan apa saja pada mahluknya, tanpa ada keterpaksaan.
 Meyakini kenabiyan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW.
 Meyakini bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW, untuk semua umat
(Kaffah).
 Meyakini kebenaran semua perkara yang dibawa Rosul diantaranya ;
Surga, Neraka, Wot Sirothol Mustaqim, Ars, kursi, Telaga Kausar,
Bangkit dari kubur dan lain-lain.
 Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, yang tidak
akan mungkin ada Nabi setelahnya ( La Nabiya Ba’dahu ).
 Meyakini bahwa Syareatnya Nabi Muhammad SAW akan langgeng sampai
hari kiyamat tiba.
 Meyakini bahwa orang Mu’min ketika melakukan dosa besar dan
meninggal sebelum bertaubat, maka urusannya diserahkan pada
Allah, mungkin diampuni atau akan disiksa dan dimasukkan ke
neraka, namun ia tidak kekal di neraka. Dan ia termasuk golongan
Orang Mu’min yang melakukan ma’siyat ( Mu’min Al Ashi).
 Meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah yang Qodim (dahulu
tanpa permulaan ).
 Meyakini bahwa Al Qur’an dan Al Hadist harus didahulukan ( diatas
) akal manusia dan bukan sebaliknya.
 Perbuatan manusia pada hakekatnya telah ditakdirkan Allah, akan
tetapi manusia diwajibkan melakukan ihtiyar memilih hal yang baik
sebab dirinya telah diberi fasilitas akal.
 Meyakini bahwa hari kiyamat ( hancurnya jagat raya ) pasti akan
terjadi.
 Meyakini bahwa anak kecil yang meninggal dunia sebelum usia balig
meski anak orang kafir akan masuk surga.

B. Mu’tazilah

Definisi Mu’tazilah

Secara Etimologi, Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang


dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian, kelemahan dan
keterputusan,

Secara Terminologi, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai


satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam
dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil
bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.

Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan


terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat,
karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam
khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang
khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi
dan terputus.

Golongan ini dinamakan Mu’tazilah, karena Washil itu


memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan Al-Basyri, karena perbedaan
pendapat tentang orang Islam yang mengerjakan maksiat dan dosa
besar, hingga mati ia belum juga tobat. Dalam masalah ini golongan
Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin dan tidak kafir,
tetapi Manzilah baina Manjilatain.
Lahirnya Mu’tazilah

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada


abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin
Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada
tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr
bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah
keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari
taqdir dan sifat-sifat Allah.

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin


berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para
dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar
di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka
benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada
akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka
berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As
Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala
hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan
mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.
Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih
utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk
kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah
perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan
mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing
mereka menuju jalan yang benar. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?.

Kesesatan Mu’tazilah
Di antara Kesesatan kaum Mu’tazilah :
 Mentiadakan sifat-sifat Allah yang Qodim seperti ; Sifat Ilmu,
Kudrot, Hayat dan lain-lain. Dan mereka meyakini bahwa Allah maha
mengetahui, hidup, berkuasa semata-mata dengan dzat-Nya dan bukan
dengan sifat.
 Meyakini bahwa Al Qur’an adalah mahluk yang berupa huruf dan
suara.
 Meyakini bahwa kelak di akhirat, Allah tidak bisa dilihat dengan
mata telanjang.
 Mewajibkan penta’wilan terhadap Ayat-Ayat Mustasyabihat (ayat
yang belum jelas dilalahnya).
 Meyakini bahwa segala perbuatan manusia berasal dari dirinya
sendiri (baik atau buruk). Oleh karenanya di akhirat ia wajib
mendapat pahala atau siksa akibat perbuatan tersebut.
 Allah Wajib berbuat baik terhadap mahluknya, sebab jika tidak
demikian maka berarti allah telah berbuat dholim.
 Meyakini bahwa orang yang melakukan dosa besar yang meninggal
sebelum bertaubat maka ia akan selama-lamanya(hulud) di neraka.
 Mengingkari adanya siksa kubur.
 Meyakini adanya tempat diantara Surga dan Neraka (Manzilun Bainal
Manzilataini).

C. Khowarij

Definisi dan Sejarah Kemunculan Khowarij

Imam Syahrostani mendefinsikan khowarij sebagai, ”Semua


kelompok masyarakat yang keluar daripada ketaatan kepada
kepemimpinan (imam) yang sah dan yang sudah disepakati oleh
mayoritas umat Islam, baik pada masa kepemimpinan sahabat
khulafaurrosyidin, tabi’in (pengikut sahabat), atau masa
kepemimpinan umat Islam di setiap zaman.” (Syahrostani, Kitab Al
Milal wan Nihal, 1/129).

Imam Ibnu Hazm menambahkan, “Setiap orang yang mendukung


pikiran-pikiran mereka atau memiliki pikiran dan ideooogi seperti
mereka juga disebut khowarij, kapanpun ia berada.” Jelas, khowarij
tidak terbatas pada masa atau episode tertentu, tapi bisa jadi
sepanjang sejarah anak Adam.

Mengenai awal kemunculan khowarij para pakar sejarah Islam


berbeda pendapat, ada yang mengatakan, khowarij telah ada sejak
zaman rasulullah saw yaitu si Dzul Khuwaisiroh yang tidak setuju
terhadap pembagian ghonimah oleh rasulullah saw. Pendapat ini
dikemukakan oleh Ibnul Jauziy dan Ibnu Hazm. Sebagian berpendapat,
ia muncul pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan, sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Abil ‘Izz. Tetapi pendapat yang
rojih adalah yang mengatakan kemunculan Khowarij pertama kali
setelah peristiwa tahkim (dialog damai) sebagai upaya mencari jalan
damai dalam mengakhiri peperangan Shiffin antara pihak Ali bin Abi
Tholib ra --sebagai kholifah yang sah-- dengan pihak Mu’awwiyah ra.

Syaikh Muhammad Al Qursyi menyimpulkan pendapat para ulama


mengenai sejarah khowarij, beliau berkata, “Dari sisi ide dan bibit
pemikiran Khowarij telah muncul sejak zaman Nabi saw, yaitu pada
kasus Dzul Khuwaishiroh. Jadi saat itu masih terbatas pada gejala
pemikiran, belum berbentuk sebuah organisasi dan pergerakan.
Khowarij menjelma menjadi organisasi pergerakan yang terpimpin baru
muncul setelah peristiwa tahkim antara Ali dan
Mu’awwiyah.” (Khowarij Aqidatan wat Tarikh, h. 2)

Kesesatan Khowarij

Di antara Kesesatan kelompok Khowarij :

 Meyakini bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, disamakan dengan


kafirnya Iblis.
 Meyakini bahwa seluruh sahabat yang setuju Tahkim (penyelesaian
dengan juru hukum), dihukumi telah kafir sebab telah melakukan
dosa besar. Sehingga mereka tidak mau menerima hadist-hadist yang
diriwayatkan dari sahabat tersebut.
 Menganggap kafir Sahabat Ali ra, Usman bin Affan,Tholhah, Zubair,
Aisyah, Abdullah bin Abbas mereka telah menyetujui Tahkim.
 Meyakini bahwa melakukan pemberontakan pada Imam (Imam Ali Bin
Abi Tholib) yang melanggar Sunah hukumnya Wajib.
 Memperbolehkan wujudnya Nabi meskipun akhirnya ia menjadi kafir
di tengah-tengah masa kenabian.
 Menafikan Hukum Ranjam bagi pelaku Zina Muhshon.

D. Murji’ah

Asal-Usul Kemunculan Murji’ah

Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang


bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a
mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada
pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.
Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau
mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh
karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan
seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing, ke hari kiamat kelak.

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul


kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja dan
arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin
persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik
dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik
sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir
bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini
merupakan musuh berat Khawarij.

Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan


antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan
Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah
menjadi dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang
akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka
memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an dalam
pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu,
mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan
pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar
lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka
kepada orang tua serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini
ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir,
sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan
mengampuni atau tidak.

Doktrin-Doktrin Murji’ah

Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt


merincinya sebagai berikut:

1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah


memutuskannya diakhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat
Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
3. Pemberian harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Mazhab) para
skeptis dan empirin dari kalangan Helenis.

Sementara itu Abu ‘a’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok


ajaran Murji’ah, yaitu:

1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal
dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman.
Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun
meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman
dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun
gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia
cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dam keadaan
akidah tauhid.

E. Syiah

Definisi Syiah

Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab ‫ش يعة‬ Syī`ah.


Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī ‫شيعي‬.

"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah


`Ali ‫ش يعة علي‬ artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-
Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW
bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang
beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).

Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan


pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang
berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat
bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat
utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal
beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran.
Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan
sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Keyakinan Syiah

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam


Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam,
guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta
penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi


Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul
Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang
berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung
oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan


perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam
penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya.
Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi
dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak
dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah


mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi)
sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah
berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok


agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki
Lima Ushuluddin:

a. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.


b. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
c. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para
nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
d. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa
memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
e. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan
I’tikad Syiah tentang kenabian ialah :
a. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
c. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun.
Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
d. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari
keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
e. Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.

F. Jabariyah

Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti


‘keterpaksaan’, artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat
berikhtiar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah fatalism atau predestination  (segalanya ditentukan oleh
Tuhan).
Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan
sesuatu bagi manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusia
telah ditentukan semula oleh Tuhan.

Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan


penyebar aliran ini : Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq,
dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini
disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya
paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.

Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak


yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq).
Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal
sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah
diterima oleh orang lain.

Pokok- pokok paham Jabariyah

Paham Jabariyah bertolak belakang dangan paham Qadariyah.


Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih.
Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya
adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap
mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang
dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah
sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.

Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang
bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim,
sedangkan yang moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar,
Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah
antara Jabariyah dan Qadariyah.

Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang


digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama
sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut
didasarkan pada beberapa ayat dalam al Qur’an, seperti QS. Al Anfal
yang terjemahnya : “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri
kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”

Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah,


tidak ada kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan
kemajuan masyarakat, sehingga tetap terbelakang.

G. Qodariyah

Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-


ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah.
Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan
tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam
perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi
karena qada dan qadar Allah swt.

Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani dan Ghailan al


Dimasyqi, kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang
qadar.

Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri,


sebagaimana Washil bin Atha’; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad
termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan
semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak
orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya
menjadi maula  (pembantu) Usman bin Affan.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani
terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat
dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman
al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al
Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik
(105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-
sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus
menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan
pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus
sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720M).
Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya
hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M).

Ditinjau dari segi politik, keberadaan Qadariyah merupakan


tantangan bagi dinasti Bani Umayyah sebab dengan paham yang
diseberluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham
Qadariyah bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan bertanggung
jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah
yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda
dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah.

Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan


terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu
mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap
berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham
Mu’tazilah.

Pokok-pokok Paham Qadariyah

Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya,


ia melakukan perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan
itu adalah perbuatan baik maupun perbuatan buruk.

Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala tingkah lakunya,


berdasarkan kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang menentukan
nasibnya, bukan Tuhan yang menentukan, pandangan tersebut didasarkan
pada beberapa ayat al Qur’an, antara lain QS. Al Ra’d ayat 11:

Artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu bangsa,
sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka”

Paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah
putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

KESIMPULAN

Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi


Rasulullah sesuai system berfikir yang akan berkembang di masa yang
akan datang dalam memahami ajaran islam. Tapi semua kelompok itu masih
dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar dari din al-
islam. Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan
atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas
organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya.

Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah


tapi aswaja tidak hanya NU. Bisa saja orang mengaku NU tapi dalam
pemahamannya tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi
bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya
sesuai dengan konsep ASWAJA.

Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada


pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan system hidup
Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan
menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan
keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana
yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim
dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.

Anda mungkin juga menyukai