PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Firqah adalah kelompok atau golongan yang memisahkan diri atau memutuskan ikatan keumatan.
Firqah menjadi semacam sekte. Para pendukung firqah yakin bahwa hanya faham firqah merekalah
yang benar, sedangkan paham kelompok lain adalah sesat dan tidak jarang dianggap kafir sehingga harus
diberantas. Kehadiran firqah dalam kehidupan umat islam dilarang keras oleh agama islam, tetapi dalam
kenyataan sejarah gejala itu muncul, dimulai dengan lahirnya kaum khawarij pada masa khalifah Ali bin
Abi thalib (601-661).
Di era modern ini banyak bermunculan aliran dan faham yang berbeda satu sama lain. Tiap-tiap
mengklaim alirannyalah yang paling benar sementara aliran yang lain salah. Perbedaan dan perpecahan
umat islam menjadi beberapa aliran telah menjadi Sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Dalam
beberapa hadits yang banyak diriwayatkan para ahli hadits Rosulullah saw telah menjelaskan bahwa
akan terjadi perpecahn dalam ummat islam. Firman Allah SWT:
ولوشاء هللا لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم في ما أتاكم فاستبقوا الخيرات
"Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadiakn-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
Pada zaman Rosulullah saw memang tidak pernah ada perpecahan diantara sahabat. Namun sebagai
mukjizat, beliau telah mengetahui akan terjadinya perpecahan pada ummatnya setelah beliau wafat.
Rosul juga telah menjelaskan bahwa diantara golongan (firqoh) yang akan bermunculan kelak, yang
akan selamat adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran rosul
dan para sahabat ). Fakta telah menjadi saksi bahwa sekarang ini seluruh aliran yang muncul, semuanya
mengaku atau mengklaim bahwa kelompoknyalah yang pantas disebut ahlu sunnah wal jama’ah, serta
mengannggap kelompok lain bukan Ahlussunnah Wal Jama’ah (sesat ).
1.2.2 Apa saja firqah- firqah lain selain Ahlussunnah Wal Jama’ah ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mendeskripsikan pemahaman dan karakter Ahlussunnah Wal Jama’ah
Dari pengertian ketiga kata tersebut, maka yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah
kelompok (golongan) yang selalu berpegang teguh pada sunnah Rosul dan thoriqohnya Sahabat nabi
yang tercermin dari semua aspek kehidupan yang meliputi : i’tiqod diniyah, amal badaniyyah dan akhlaq
qolbiyah.
Sebenarnya istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai ajaran sudah dikenal dan ada sejak Nabi
Muhammad SAW, istilah tersebut mengandung arti ajaran islam yang murni sebagaimana yang telah
diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah SAW bersama para Sahabatnya. Namun sesudah masa Sahabat
Nabi SAW, Istilah (nama) Ahlussunnah Wal Jama’ah muncul dalam bentuk Firqoh (kelompok tertentu)
untuk membedakan dari golongan-golongan ahli bid’ah seperti Khowarij, Syi’ah, Mu’tazilah,
Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain.
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dalam bentuk Firqoh ini, muncul sekitar periode 300 Hijriyah
yang dipelopori oleh Syekh Abu Hasan al Asy’ari yang mengikuti madzab imam Syafi’i dan Syekh Abu
Mansur al Maturidi yang mengikuti madzab Imam abu Hanifah. Keduanya (Syekh Abu Hasan al Asy’ari
dan Syekh Abu Mansur al Maturidi) telah mendapat dukungan dan pengakuan dari para pengikut imam
empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal).
Dalam kitab Syarah Kawakibul Lama’ah, Syekh Abi Fadhol menjelaskan : Disaat perpecahan banyak
terjadi (banyak bermuncualn aliran-aliran sesat) terlahirlah nama Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk
mereka yang selalu konsisten menjalankan Sunnah-sunnah Nabi SAW dan para Sahabatnya dalam
aqidah, amal badaniyah dan juga akhlaq qolbiyah.
Dengan demikian pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah ( dalam bentuk firqoh ) ini adalah nama
yang khusus diperuntukkan bagi golongan yang aqidahnya selaras dengan Asy’ariyyah dan Al
Maturidiyah. Hal ini berlaku hingga zaman sekarang ini. Hal ini senada dengan keterangan Al Alamah
Syayyid Muhammad bin Muhammad Al Hasani (Syehk Zabidi) dalam Syarahnya kitab Ihya Ulumuddin:
إذا اطلق اهل السنة والجماعة اى هذا اللفظ المراد بهم األشاعرة والمتريدية
“Jika diucapakan kata ‘Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dikehendaki adalah ‘Al as’ariyyah dan Al
Maturidiyyah”. Karena, Sepeninggalan Rosul dan para sahabatnya,disaat banyaknya aliran sesat
bermunculan, kedua kelompok inilah (‘Al as’ariyyah dan Al Maturidiyyah’) yang selalu konsisten
menjalankan sunnah-sunnah Rosul dan para Sahabat. Di samping itu kedua imam tersebut ( Syekh Abu
Hasan al Asy’ari da Syekh Abu Mansur al Maturidi ) berusaha menggali aqidah islam yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, yakni Aqidah Islam yang telah diajarkan oleh Rosulullah SAW kepada
para sahabat, lalu kemudian diwariskan kepada Tabiin, Tabiit Tabiin dan para Ulama’ Salafus Solihin.
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-
Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama
agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia
melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang
di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah
SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah
SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar
yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada
beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-
241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-
Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-
Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang
menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks qu’an
hadits) daripada aql (penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada
waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang
teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah,
Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni di bidang
teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik di bidang
fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang
dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang
empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan
qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul
Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan
antara syari’at, hakikat dan makrifat.
a. Selalu bertaubat, artinya: menyadari kesalahan dan dosa serta bertekad tidak mengulangi
perbuatan maksiat
b. Besikap zuhud terhadap dunia, artinya: tidak terpaut dengan kehidupan duniawi,
sekalipun memiliki harta yang banyak
c. Bersikap wara’, artinya: menahan atau mengendalikan diri dari segala yang tidak jelas
halal haramnya (syubhat).
d. Bersikap tawadlu’, artinya: berlaku sopan terhadap sesama manusia, apalagi terhadap
Allah SWT.
e. Menjauhi sikap-sikap yang menjadi sumber segala dosa, seperti: sombong (al kibr),
serakah (al hirsh) dan iri hati (al hasad)
f. Menjauhi perkataan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, seperti:
kebohongan (al kidzb), fitnah, pembicaraan dengan maksud jahat (al ghibah) dann adu
domba (an namimah).
g. Al Muraqabah, artinya: menyadari bahwa hidup ini selalu dalam pemantauan dan
pengawasan Allah SWT., kapan saja dan dimana saja, baik perbuatan lahir maupun
perbuatan batin.
h. Memperbanyak dzikir atau mengingat Allah, baik secara sendiri-sendiri maupun
berjama’ah.
i. Istiqamah dalam menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dari klasifikasi benda diatas, semakin meyakinkan Allah itu tidak mungkin serupa dengan
makhluk-Nya. Arah dan tempat diciptakan oleh Allah, termasuk manusia yang diciptakan Allah.
Dengan demikian berarti Allah itu ada sebelum arah dan tempat itu ada dan Allah tetap pada tanpa
arah dan tempat. Oleh karena itu, Aswaja sepakat meyakini Allah itu ada tanpa arah dan tempat.
Kelompok yang meyakini Allah ada di Arsy itu bukan Aswaja, akan tetapi kelompok Mujassimah
dan Musyabbihah.
2.1.5 Dasar Akidah Aswaja
Pokok keyakinan yang berkaitan dengan tauhid dan lainnya menurut Aswaja harus dilandasi oleh
dalil dan argumentasi yang definitif (qath’i) dari Al Quran, hadits, ijma’ ulama, dan argumentasi
akal sehat.
Al Quran
Al Quran al Karim adalah pokok dari semua argumentasi dan dalil. Allah memerintahkan
dalam Al Quran aar kaun muslimin senantiasa mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada Allah dan rasul.
Hadits
Hadits adalah dasar hukum yang kedua dalam enetapan akidah-akidah dalam Islam. Hadits
yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya
disepakati dapat dipercaya oleh para ulama. Hadits tersebut adalah hadits muttawatir ialah
hadits yang telah mencapai peringakat tertinggi dalam keshahihannya. Dan hadits
dibawahnya yaitu hadits masyhur, namun hadits dibawah peringkat hadits masyhur tidak
dapat dijadikan argumnetasi dalam menetapkan sifat Allah. Hadits masyhur dapat dijadikan
argument dalam menetapkan akidah karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana
halnya hadits muttawatir.
Ijma’ Ulama
Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam
menetapkan akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat
Allah yang qadim(tidak ada pemulanya) adalah ijma’ ulama yang qath’i.
Akal
Akal difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran syara’, bukan sebagai
dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. Meskipun begitu, hasil penalaran
akal yang sehat tidak akan keluar dan bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh syara’.
Di kalangan kaum Muslim, yang berupaya mengkaji akidah-akidah Islam, ada tiga aliran
yang berbeda dalam menyikapi seputar hubungan syara’ dengan akal.
Pertama, aliran Mu’tazilah yang berpandangan bahwa akal didahulukan daripada syara’.
Kedua, aliran Hasyawiyah, Zhahiriyah, dan semacamnya yang hanya mengikuti dominasi
syara’, dan tidak memberikan peran terhadap akal berkaitan dengan ajaran-ajaran yang
dibawa oleh syara’. Dalam ajaran Islam tidak akan tertib dan disiplin tanpa dibarengi
dengan ijitihad.
Ketiga, aliran Aswaja yang mengambil sikap moderat (tawassuth) dan seimbang (tawazun).
Semua kewajiban agama hanya dapat diketahui melalui informasi dari syara’ sedangkan
terkait dengan keyakinan hanya dapat dicapai dengan penalaran akal. Gabungan dari
keduanya dapat mengantar pada hakikat-hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara’.
Ketika posisi akal bertentangan dengan naql maka kaedah yang harus diambil adalah
mengingat bahwa akal adalah pokok dari naql dan bukti kebenaran naql. Oleh karena itu,
mengabaikan akal ketika ketetapannya definitif, serta menolak tuntutan akal berakibat pada
runtuhnya dasar naql itu sendiri. Ketika kita membatalkan otoritas akal yang menjadi bukti
kebenaran naql, berarti kita membatalkan otoritas naql itu sendiri.
Ada lima istilah yang diambil dari Al-Qur’an maupun Al-hadits dalam menggambarkkaan
karakteristik Ahlussunnah Waljamaah, yakni
At-Tawasuth
Berarti pertengahan maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai
masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjutan ke kiri
atau ke kanan secara berlebihan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 143.
َ علَ ۡي ُك ۡم
ش ِهيدٗ ا َ سو ُل ِ َّعلَى ٱلن
َّ َاس َويَ ُكون
ُ ٱلر َ ش َهدَآ َء َ وََ َك َٰذَلِكَ َجعَ ۡل َٰنَ ُك ۡم أ ُ َّم ٗة َو
ُ ْس ٗطا ِلّت َ ُكونُوا
Artinya :” dan demikian kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas perbuatan manusia dan Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.”
Al-I’tidal
Berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga berlaku
adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar yang harus dibela. Kata I’tidal diambil dari
kata adu pada surat Al-Maidah ayat 8.
ُ ُۢ ٱّللَ َخ ِب
َير ِب َما ت َعۡ َملُون َّ ٱّللَ إِ َّن ُ ٱع ِدلُواْ ُه َو أ َ ۡق َر
َۚ َّ ْب ِللت َّ ۡق َو َٰٰۖى َوٱتَّقُوا ۡ ََۚ
Artinya : “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
At-Tasamuh
Berarti sikap toleran kepada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap
pendirian dan kepentingan pihak lain, tanpa mengorbankan penndirian dan harga diri,
bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan,
kemasyarakatan dan kebudayaan.
Berdasarkan surat Al-Kafirun ayat 1-6
َ )قُ ۡل َٰ ٓيَأَيُّ َها ۡٱل َٰ َكف ُِرون١( ََّل أ َ ۡعبُدُ َما ت َعۡ بُدُون
ٓ َ ) ٢( ُعبِدُونَ َما ٓ أ َ ۡعبُد
َ َٰ َّل أَنت ُ ۡم
ٓ َ ) َو٣( عبَدت ُّ ۡم َ َّل أَن َ۠ا
َ َّماٞعابِد َ َٰ َّل أَنت ُ ۡم
ٓ َ ) َو٤( َعبِدُون ٓ َ َو
ُ ) َما ٓ أ َ ۡعبُد٥(ِين ِ ِي د َ ) لَ ُك ۡم دِينُ ُك ۡم َول٦
Artinya : “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku"
At-Tawazun
Berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan satu unsur atau kekurangan
unsur lain. Kata Tawazun diambil dari kata Al-Waznu atau Mizan dari surat Al-Hadid ayat
25
Hal ini sesuai dengan firman Allah sal Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang
muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang
disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati
para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in
secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti
keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.Kelompok ini juga
kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya
untuk allahdi samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal
dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka
menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai
dengan Mu’awiyah.
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan
diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang
menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya
dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan
penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh
manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah kafir.
Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya
berbalik menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu
Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka
berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya
Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
1) Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
2) Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan
Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya –
di hukum kafir;
3) Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
4) Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi
Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
5) Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
6) Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman
r.a dianggap telah menyeleweng,
7) Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase)
1) Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura
(pimpinan Khawarij pertama)
2) Urwah bin Hudair
3) Mustarid bin sa’ad
4) Hausarah al-Asadi
5) Quraib bin Maruah
6) Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
7) Abdullah bin Basyir
8) Zubair bin Ali
9) Qathari bin Fujaah
10) Abd al-Rabih
11) Abd al Karim bin ajrad
12) Zaid bin Asfar
13) Abdullah bin ibad
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya
dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah:
1. al-Muhakkimah
Pada awalnya adalah pengikut setia Ali bin Abi Thalib, Namun balik mengkafirkannya, serta
orang-rang yang terlibat dalam tahkim, Zina, membunuh Islam tanpa sebab, beserta dengan
dosa-dosa lainnya dihukumkan kafir.
2. al-Zariqah
Golongan ini dikenal sangat ekstrim, tidak menggunakan term kafir pada pelaku dosa besar, tapi
menggunakan trem musyrik. Halal membunuh golongan selainnya termasuk wanita dan
perempuan. Dilarang shalat dimesjid bila yang mengumandangkan azan bukan golongannya,
tidak membolehkan kawin mawin di luar kelompoknya, sembelihan yang bukan golongannya
diharamkan, dilarang saling mewarisi, jihad adalah fardhu ‘ain.
3. al-Najdah
Orang yang berdosa besar mendapat siksa tetapi bukan di neraka, wajib mengetahui Allah dan
apa-apa yang diwahyukan, tidak berdosa bila melakukan sesuatu tanpa diketahui, iman
diperlukan bila kemaslahatan menghendakinya
4. al-Jaridah
Sekte ini lebih lunak tidak mewajibkan hijrah tetapi hanya sebatas kebajikan, pengikutnya boleh
tinggal di luar kawasannya. Tidak mengakui Surah Yusuf karena mengandung cerita cinta.
Golongan ini memiliki subsekte al Maimumah menganut Qadariyah.
5. al-Sufriyah
Membagi dua dosa besar yaitu dosa yang ada hukumannya di dunia dan di akhirat. Pelaku dosa
pertama tidak dihukumkan kafir sementara pelaku dosa kedua dihukumkan kafir.
6. al-Ibadiyah
Sekte ini cukup moderat, dapat melakukan kawin mawin serta mewarisi antara muslim yang
lain, membunuh umat Islam tidak dihukumkan haram, kafir terbagi dua yaitu kafir ni’mah dan
kafir millah.
1) Meyakini bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir , disamakan dengan kafirnya Iblis.
2) Meyakini bahwa seluruh sahabat yang setuju Tahkim ( penyelesaian dengan juru hukum ),
dihukumi telah kafir sebab telah melakukan dosa besar. Sehingga mereka tidak mau
menerima hadist-hadist yang diriwayatkan dari sahabat tersebut.
3) Menganggap kafir Sahabat Ali ra, Usman bin Affan, Tholhah, Zubair, Aisyah, Abdullah bin
Abbas mereka telah menyetujui Tahkim.
4) Meyakini bahwa melakukan pemberontakan pada Imam ( Imam Ali Bin Abi Tholib ) yang
melanggar Sunah hukumnya Wajib.
5) Memperbolehkan wujudnya Nabi meskipun akhirnya ia menjadi kafir di tengah-tengah masa
kenabian.
6) Menafikan Hukum Ranjam bagi pelaku Zina Muhshon.
2.2.2 Syi’ah
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعةSyī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini
adalah Syī`ī شيعي.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة عليartinya "pengikut
Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu
Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung"
(ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu
juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat
utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum
muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami
beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan
sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Sejarah munculnya syi’ah ini bermula dari terjadinya pertentangan antara Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, yang berujung pada terjadinya perang siffin.
Dalam perang ini, Ali hampir meraih kemenangan, namun tiba – tiba pasukan Muawiyah
mengacungkan tumbak yang pada ujungnya dikaitkan mushaf Al – Qur’an sebagai tanda
meminta perdamaian. Akhirnya perdamaian (arbitrase) atau terkenal dengan sebutan majelis
tahkim pun digelar disebuah daerah bernama Daumatul Jandal. Dalam majelis tahkim ini
kubu Muawiyah diwakili oleh Amir bin Ash, seorang politikus ulung yang cerdas dan penuh
akal muslihat, sementara kubu Ali diwakili oleh Abu Musa al – Asy’ari, tokoh bersahaja
yang terkenal akan kejujurannya. Mula – mula Amru bin Ash mengatakan bahwa Mu’awiyah
bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Thalib harus meletakkan jabatan. Barulah setelah itu kaum
muslimin memilih khalifah yang baru. Oleh karena itu, Amru bin Ash meminta kepada Abu
Musa al – Asy’ari mengumumkan pengunduran diri khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu,
Amru bin Ash menyatakan Mu’awiyah bin Abu Sufyan sebagia khalifah untuk mengisi
kekosongan jabatan itu. Melihat kecurangan itu, pihak Ali bin Abi Thalib sangat marah.
Mereka meminta Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan perang kembali. Akan tetapi, Ali bin
Abi Thalib menolaknya karena ia telah berjanji untuk menerima hasil perundingan.
Akibatnya, orang – orang itu memisahkan diri dari kelompok Ali bin Abi Thalib. Mereka ini
kemudian disebut khawarij, artinya orang yang keluar. Sedangkan orang – orang yang tetap
mendukung Ali dinamakan Syi’ah , artinya pengikut.
Sekte ini mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Utsman bin
Affan. Imam dari golongan ini adalah Ali Zainal Abidin, dan Zaid bin Ali Zainal
Abidin. Sekte Zaidiyah ini tidak dihukumi sesat oleh para ulama’, karena mereka
hanya bagian dari jam’iyatun min jam’iyatil muslimin (sekelompok kecil bagian dari
kelompok besar kaum muslimin). Perbedaan yang ada hanya pada masalah furu’iyah
belaka, yang tidak berpengaruh pada status keimanan.
b. Imamiyah
Sekte ini adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw, telah
menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin atau imam menggantikan Nabi
Muhammad saw. Mereka tidak mengakui kepimpinan Abu Bakar, Umar, dan
Usman. Sekte ini akhirnya juga pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang
terbesar adalah Isna Asyariyah atau Syi’ah Dua belas, golongan Ismailiyah atau
Sab’iyah adalah golongan terbesar kedua dan Gulat merupakan golongan yang
menyimpang. Mereka menganggap bahwa sebenarnya malaikat Jibril salah alamat
dalam menyampaikan wahyu, seharusnya wahyu diberikan kepada Ali bin Abi
Thalib bukan nabi Muhammad saw. Bahkan lebih jauh lagi mereka berpendapat
bahwa Ali mempunyai sifat ketuhanan, karena Tuhan menitis dalam dirinya, kilat
yang menyambar adalah senyum Ali dan geledek yang menggelegar adalah batuk
Ali. Paham gulat ini dikembangkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang yahudi Yaman
yang masuk islam.
Para pengikut ali yang disebut syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad
bin Al aswad dan Ammar bin Yasir.
2.2.3 Murji’ah
2.2.4 Qadariyah
2.2.4.1 Pengertian dan latar belakang aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan
atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama
yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan
manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di
pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini
banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering
juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya
yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan
tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi
karena qada dan qadar Allah SWT.
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip
ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika
semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab
logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas
kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-
Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.
Dengan demikian paham qadariyah memilki dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah
beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau kelaur dari islam
2. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga)
atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal
perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
3. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah
tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan
dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup,
mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu
ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Iman itu pengertian dan pengakuan, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2.2.5 Jabariyah
2.2.5.1 Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al – Munjid,
dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang artinya memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Dengan kata lain manusia manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut Fatalism, yaitu paham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan. Menurut as –
Syahrastani , Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah.
Mereka banyak tergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sifat
fatlism. Berikut ini benih – benih munculnya faham Jabariyah.
1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan. Nabi melarang mereka memperdebatkan masalah tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2. Khalfiah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata : “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar
ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan.
Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman. Pertama, hukuman potong tangan
karena mencuri, kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar
(ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Ada pahala dan siksa sebagai
balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qada dan qadar itu merupakan paksaan ,
batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada
celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang – orang yang baik.
4. Pada pemerintahan Daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-Jabbar semakin mencuat
ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya memberka reaksi yang keras kepada
penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah.
2.2.5.2 Ajaran – ajaran Aliran Jabariyah
Paham Jabariyah dapat diketahui melalui ciri – cirinya , diantaranya sebagai berikut.
b) Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatan, baik atau
buruk, Allah semata yang menentukannya.
e) Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya
karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
f) Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan mahluk ciptaan – Nya
Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia
bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan itu bukanlah
terjadi atas kehendaknya sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang
menghendaki demikian.
Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :
Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang
dilakukan Jaham yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dengan hati. Dalam hal ini
pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
4) Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah Maha Suci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu
pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di Akhirat kelak.
Ja’ad bin Dirham
Al-Sa’ad adalah seorang maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di
dalam lingkungan orang kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia
dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah
tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian
al-Sa’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. Doktrin pokok
Sa’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm.
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad al-Najjar (w. 230 H). para
pengikutnya disebut al-Najjariyah atau al-Husainiyah. Diantara pendapat-
pandapatnya adalah :
b. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, akan tetapi Tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
o al-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr, pendapatnya tentang perbuatan
manusia sama dengan Husain al-Najjar. Manusia mempunyai bagian dalam
mewujudkan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya.Secara tegas, dia menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak
hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia
turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2.2.6 Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya
nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak
sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan
selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama
dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan
mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan
abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap
netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan
perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik
tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya kedua Mu’tazilah diatas tidaklah sama dan tidak
ada hubungannya karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua muncul
karena didorong oleh persoalan aqidah.
Dalam perkembangannya, Mu’tazilah pimpinan Washil bin Atha’ lah yang menjadi salah satu
aliran teologi dalam islam.
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini
untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
2.2.7 Asy’ariyah
2.2.7.1 Sejarah Berdiri dan Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-
Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa
Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada
namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal
dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi,
seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam
dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah
seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah.
Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-
Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab
yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa
kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada
sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan
Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri
selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu
terjadi pada tahun 300 H.
Menurutnya, perbuatan manusia diciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu
sendiri.
e. Keadilan Tuhan.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat di akhir hidupnya tidaklah
kafir dan tetap mukmin.
Di antara ulama- ulama besar yang mengikuti paham Abu Hasan al – Asy’ari adalah
Imam al Baqilani, Qusyairi, Abu Ishaq as – Syairazi, Abul Wafa’ al – Hanbali, Abu
Muhammad al – Juwaini, Hujjatul Islam al – Ghazali, Qadhi Abu Bakr al – Arabi,
Imam Nawawi, Ibnu Hajar Haitami, Ibnu Hajar al – Asqalani, Imam Suyuthi dan lain –
lain.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang
beraliran Ahlussunnah wal jamaah ialah Imam al-Ghazali. Tampaknya paham teologi
cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
a) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadīm yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
b) Al-Quran bersifat qadīm dan tidak diciptakan.
c) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan.
d) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
2.2.8 Al – Maturidiyah
2.2.8.1 Pengertian Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama
aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi.
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-
Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran
Maturidiyah digolongkan dalam aliran Ahlussunnah wal Jamaah yang bercorak rasional.
Dilihat dari metode berpikir aliran Maturidiyah, berpegang pada keputusan akal pikiran
dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu
bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran al-Quran yaitu
kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan ayat-ayat dalam penafsiran al-
Quran.
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada al-Quran dan akal, akal
banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya
Allah Swt tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang
tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai
Allah Swt. Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah Swt, karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Allah Swt mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk
berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan.
Dalam hal ini al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat
Allah Swt sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah Swt mencipta daya
(kasb/berusaha) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan
demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah Swt dan ikhtiar
manusia.
3. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan.
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah Swt memiliki kehendak dalam sesuatu
yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Swt berbuat
sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenang wenang
(absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah
dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4. Sifat Tuhan.
Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, kalam, dan sebagainya. Sifat-sifat
Tuhan itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain az-zat
wa la hiya ghairuhu).
5. Melihat Tuhan.
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan
ِ َّ ن. َاظ َرة ٌ َربِّ َها إِلَ َٰى
dalam. QS. al Qiyamah: 22-23 : ٌاض َرة ٌ يَ ْو َمئِ ٍذ ُو ُجوه ِ " نWajah-wajah (orang-
orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat."
6. Kalam Tuhan.
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara
dengan kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat qadīm bagi Allah Swt, sedangkan kalam
yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Kalam nafsi tidak dapat kita
ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah Swt bersifat dengannya, kecuali dengan
suatu perantara.
7. Perbuatan Tuhan.
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendak-Nya sendiri. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar
kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia
diberikan kebebasan oleh Allah Swt dalam kemampuan dan perbuatannya, hukuman
atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya.
8. Pengutusan Rasul.
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu
yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada
di luar kemampuan akalnya.
9. Pelaku Dosa Besar.
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
10. Iman.
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah berpendapat bahwa iman adalah taṣdiq bi
al-qalb (membenarkan dalam hati), bukan semata iqrar bi al-lisan (diucapkan dengan
lisan).
2.2.8.3 Sekte Aliran Al - Maturidiyah.
1. Sekte Samarkand.
Golongan ini dalah pengikut al-Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham
Mu’tazilah.
2. Sekte Bukhara.
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Dia
merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Sekte Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi di dalam aliran al-
Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat - pendapat al-
Asy’ary
2.2.9 Wahabiyyah
2.2.9.1 Sejarah Aliran Wahabi
Wahabi adalah sebuah aliran pemikiran yang muncul pada awal abad ke-7 H.
Yang dicetuskanoleh Ahmad bin Taimiyah. Ia lahir pada tahun 661 HQ, 5 tahun setelah
kejatuhan pemerintahan khilafah Abbasiyah di Baqdad. Pemikiran kontroversialnya
yang ia lontarkan pertama kali padatahun 698, pada masa mudanya dalam risalahnya
yang bernama (Aqidahhamwiyah), sebagai jawaban atas pertanyaan masyarakat Hamat
(Suriah) dalam menafsirkan ayat (Ar-rahmanala al-Arsy istawaa) artinya: “Tuhan yang
Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy” dimana ia mengatakan bahwa; Allah
Swt bersemayam di ataskursi di langit dan bersandar padanya.
Risalah tersebut dicetak dan disebarkan di Damaskus dan sekitarnya, yang
menyebabkan para ulama Ahlusunnah dengan suara bulat melakukan kritikan dan
kecaman terhadap pemikirannya,akan tetapi dengan berlalunya waktu, Ibn Taimiyah
dengan pemikiran kontroversialnya malah semakin berani. Dengan itulah, pada akhirnya
di tahun 705 pengadilan menjatuhkan hukuman pengasingan ke Mesir. Kemudian pada
tahun 712 Ia kembali lagi ke Syam. Di Syam IbnTaimiyah kembali bergerilya
melakukan penyebaran paham-paham sial.Akhirnya pada tahun 721 dia dimasukkan
kedalam penjara dan pada tahun 728 meninggal di dalamnya.
Adapun nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya,Muhammad bin
Abdul Wahab (lahir di desa Uyainah,sebuah kecil 70 km sebelah barat daya kota Riyadh
Saudi Arabia tahun 1115 H / 1703 M. Ajaran ini merupakan turunan dari pemikiran Ibn
Taimiyah dan IbnuQayyim al-Jauziah.Mulanya Muhammad bin Abdul Wahabhidup di
lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab bin
Sulaiman adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Muhammad bin
Abdul wahab memang dikenal orang yang haus ilmu. Ia berguru pada Syeikh Abdullah
bin Ibrahim an-N ajdy, Syeikh Efendiad Daghastany, Ismail al-Ajlawy, syeikh Abdul
lathief al-‘Afalaqy dan Syeikh Muhammad al-‘afalaqy. Di antaramereka yang paling
lama menjadi guru adalah Muhammad hayat Sindhi danSyeikh Abdullah al-Najdy.Tidak
puas dengan itu ia pergi ke syiria untuk belajar sambil berdagang. Disana ia menemukan
buku-buku karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang sangat ia idolakan. Akhirnya ia
semakin jauh terpengaruh terhadap dua aliran reformisitu. Tak lama kemudian ia pergi
ke Basrah dan berguru pada Syeikh Muhammad al-majmuu’iyah. Di kota ini ia
menghabiskan mencari ilmu selama empat tahun, sebelum akhirnya ia ditolak
masyarakat karena pandangannya dirasa meresahkan dan bertentangan dengan
pandangan umum yang berlaku di masyarakat setempat.
Sepulang dari Basrah pada 1736, Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menyelesaikan
sebuah karya yang kelak dijadikan rujukan utama oleh para pengikutnya, yaitu kitab al-
Tauhid.
2.2.9.2 Ajaran Aliran Wahabi
Menurut penuturan almaghfurlah KH.Sirojuddin Abbas tentang ajaran-ajaran wahabi
antara lain adalah:
1. Seluruh rakyat dilarang merokok, karna merokok adalah pekerjaan syeitan
6. Tidak boleh mempelajari sifat wajib dan mustahil bagi Allah SWT,sebagaimana dalam
kitab kifayatul awam dan sebagainya
7. Kubah-kubah diatas kuburan para sahabat Nabi yang berada di ma’al (makkah) di baqi
dan Uhud di madinah diruntuhkan,namaun kubah hijau yang disebut kubbatul khadra’
makam Nabi Muhammad tidak diruntuhkan, karena terlalu banyak protes dari kaum
muslim dunia
8. Kubah besar di atas tanah tempat dimana Nabi Muhammad SAW dilahirkan juga
diruntuhkan, bahkan dijadikan tempat unta. Namun atas desakan umat islam seluruh
dunia, akhirnya tempat kelahiran nabi di bangun gedung perpustakaan
9. Perayaan maulid nabi di bulan Rabi’ul awal dilarang karena termasuk bid’ah
10. Perayaan isra’ mi’raj dilarang keras
11. Pergi untuk ziarah ke makam nabi dilarang, Yang dibolehkan hanya melakukan shalat di
masjid Nabawi di Madinah, Berdoa menghadap makam nabi juga dilarang
12. Ada usaha hendak memindahkan batu makam nabi Ibrahim di depan ka’bah dan telaga
zamzam ke belakang kira-kira 20 mater, Bahkan sempat penggalian sudah dilakukan
13. Amalan-amalan thariqat dilarang keras, seperti thariqat Naqsabandi, Qadiri,Shathari
14. Membaca zikir tahlil bersama-sama sesudah shalat, dilarang
15. Imam tidak membaca “bismillah” pada permulaan fatihah dan juga tidak membaca do’a
qunut dalam sembahyang subuh, namun shalat tarawihnya 20 rakaat
16. Dilarang ziarah kemakam atau kuburan para Wali Allah
17. Membaca manaqib seorang yang berjasa dibidang spiritual menegakkan kebenaran
akhlak dan tauhid kepada Allah. Seperti manaqib Syaikh Qadir al-Jailani, dilarang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai
system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran
islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak
sampai keluar dari din al-islam. Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari
perorangan atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas
organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya.
Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja tidak
hanya NU. Bisa saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak
sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi
keyakinannya sesuai dengan konsep ASWAJA.
Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-
shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya
mencari kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui
kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah
wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan
menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
KELOMPOK 3
(ITSNU) PASURUAN