Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

TIPOLOGY ASWAJA AN-NAHDLIYAH


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah : Risalah Aswaja

Dosen Pengampu :
Norma Fitria, S.Hi., M.Sy.

Disusun Oleh Kelompok 4 :


1. Hakamudin (2091024004)
2. Setya Dwi Rahmawati (2091024065)
3. Sherli Israni (2091024057)
4. Siti Nur Laily (2091024013)
5. Syihan Ali Ahmad (2091024019)
6. Umi Habibatulmu’thiyyah (2091024015)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG JOMBANG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah- Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tipology Aswaja An-Nahdliyah”.

Makalah ini sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan
pertolongan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terimakasih
kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi didalam pembuatan makalah
ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tatabahasanya. Oleh karena itu,
kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah
ilmiah sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan manfaat
ataupun inspirasi pada pembaca.

Jombang, 14 Oktober 2023

Penyusun

MAKALAH RISALAH ASWAJA | i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah ............. 3
B. Prinsip-Prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah ...... 5
1. Bidang Aqidah .......................................................................................... 5
2. Bidang Tsawuf.......................................................................................... 6
3. Bidang Istimbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari’ah) .................. 7
4. Bidang Sosial Politik ................................................................................ 8
C. Karakteristik Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah ....... 12
D. Deradikalisasi Melalui Pendidikan Islam Berpaham Ahlussunnah Wal
Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah .................................................................. 13
E. Internalisasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah pada
Pendidikan Agama Islam ................................................................................... 16
F. Eksistensi Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah di Era
Globalisasi ......................................................................................................... 21
KESIMPULAN ..................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

MAKALAH RISALAH ASWAJA | ii


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ahlus Sunnah Waljama’ah (Aswaja) lahir mewarnai alur sejarah


peradaban dan pemikiran Islam yang tentunya tidak berangkat dari ruang
kosong. Aswaja adalah sebuah stereotipe yang muncul dan sengaja
dikembangkan oleh umat Islam untuk menjadi rujukan personifikasi golongan
yang akan mendapat kemulyaan disisi Allah dengan segenap kepatuhan yang.
ditujukan pada Rasulallah SAW. Lebih tepatnya Aswaja merupakan istilah
paska kenabian. la lahir paska era kenabian yang ditandai dengan tercerai-berai
komunitas Islam menjadi skisma aliran (scism) yang tidak tungal. Masing-
masing mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Nabi yang paling tepat
dibandingkan dengan lainnya. Sungguhpun istilah mi lahir pasca era kenabian,
namun, istilah tersebut selalu saja dipautkan pada sebuah tradisi dalam momen
sejarah Islam paling awal yaitu generasi Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya yang terpercaya.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan sekaligus


organisasi kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia,
mempunyai makna penting dan ikut menentukan perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri.
Sebagai organisasi berwatak keagamaan Ahlussunnah Wal Jama'ah, maka NU
menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai madzhab keagamaan yang
ada di sekitarnya. NU tidak pernah berfikir menyatukan apalagi
menghilangkan mazdhab-mazdhab keagamaan yang ada. Dan sebagai
organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-
nilai lokal. NU berakulturasi dan berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya
masyarakat lokal. Dengan demikian NU memiliki wawasan multikultural,
dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat,

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 1


tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak
hidup di Republik Indonesia tercinta ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-
Nahdliyah ?
2. Bagaimana Prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-
Nahdliyah ?
3. Bagaimana Karakteristik Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-
Nahdliyah ?
4. Bagaimana Eksistensi Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-
Nahdliyah di era globalisasi ?
5. Bagaimana Deradikalisasi Melalui Pendidikan Islam Berpaham Wal
Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah
6. Bagaimana Internalisasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-
Nahdliyah pada Pendidikan Agama Islam

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memaparkan pengertian Ahlussunnah Wal
Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah.
2. Untuk mengetahui dan memaparkan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal
Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah.
3. Untuk mengetahui dan memaparkan karakteristik Ahlussunnah Wal
Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah.
4. Untuk mengetahui dan memaparkan eksistensi Ahlussunnah Wal
Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah di era globalisasi.
5. Untuk mengetahui dan memaparkan Deradikalisasi Melalui Pendidikan
Islam Berpaham Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah.
6. Untuk mengetahui dan memaparkan Internalisasi Ahlussunnah Wal
Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah pada Pendidikan Agama Islam

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 2


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah

Aswaja versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-
Jama’ah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut.
Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-
Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah
segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan,
tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang
telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan
pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas
orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad
SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama,
amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati. Jama’ah mengandung beberapa
pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang
terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir;
golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki integritas
moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat; golongan mayoritas
kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.
Tiap golongan umat mengklaim dirinya sebagai sunni yaitu kelompok
yang akan selamat sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Hanya Syiah
kelompok yang mengaku sebagai penganut Islam di luar aswaja. Kaum
muslimin terkotak-kotak menjadi beberapa kelompok aliran. Masing-
masing mereka menuding salah kelompok lain dan mengaku dirinya
penganut aswaja yang benar. Nabi Muhammad SAW. bersabda:

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 3


ً‫ُس ْب ِعيْنَ ِملة‬
َ ‫لْي ثِ ِْنتَي ِْن َو‬ ْ َ‫ ِاَِّن بَِنِ ْْي ِاُِس َْرِائِي َْل تَفَرق‬.‫م‬.‫ قَا َل ََرُس ْْول هللاِ ص‬، ‫ع ْب ِدهللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو قَا َل‬
ٰ ‫ت َع‬ َ ‫َع ْن‬
ِ ‫اَر ِاِال ِملةً َو‬
َ ‫ِاح ْيدَة ً قَال ْْوِا َو َم ْن ِه‬
ِ‫ْي يَا ََرُس ْْو َل هللا‬ ِ ‫ُس ْب ِعيْنَ ِملةً كلُّه ْم فِ ْْي ِالِن‬ ٍ َ‫لْي ثَال‬
َ ‫ث َو‬ ْ َ‫َوت َ ْفت ََرق‬
ٰ ‫ت ِامتِ ْْي َع‬
ْ َ ‫قَا َل َما ِاَنَا َعل ْي ِه َوِا‬
‫ص َحبِ ْْي‬
Dari Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
umat Bani Israil terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan
umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
kesemuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan yang akan selamat.
Para sahabat bertanya: Siapa satu golongan yang selamat itu wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: Yaitu golongan yang mengikuti ajaranku
dan ajaran para sahabatku. (HR Imam al-Tirmizi, 2565).
Dari hadits di atas, Islam Aswaja diartikan sebagai ajaran (wahyu
Allah SWT) yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. kepada
sahabat-sahabatnya dan beliau mengamalkan kemudian para sahabat ikut
mengamalkannya.
Secara etimologi aswaja dapat diartikan tradisi dan perjalanan Nabi
SAW dan ijmak ulama. Sunnah artinya tradisi sedangkan jamaah artinya
kumpulan. Penganut ajaran ini dijamin oleh Rasulullah SAW sebagai yang
tidak akan masuk neraka.
Warga NU (Nahdliyin) telah merujuk pengertian Aswaja berdasarkan
pada pendapat ulama pesantren di antaranya KH Bisri Musthofa. Beliau
menjelaskan aswaja secara eksplisit adalah paham yang berpegang teguh
pada tradisi sebagai berikut: pertama, dalam bidang hukum Islam menganut
ajaran salah satu empat madzhab. Dalam praktik, para kiai adalah penganut
madzhab syafi’i; Kedua, dalam bidang tauhid, menganut ajaran Imam Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; Ketiga, dalam bidang
Tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim al-Junaidi.
Pendapat Kiai Bisri senada dengan pendiri NU Hadratus Syekh KH
Hasyim Asy’ari yang telah menyatakan pola pemikiran aswaja an-nahdliyah
yang mencakup satu kesatuan prinsip keagamaan Islam yaitu aspek aqidah,
syariah, dan akhlak.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 4


Kiai Bisri membedakan dirinya dari firqah golongan yang tidak
mengikuti ajaran para imam tersebut seperti Syiah, Wahabbi, dan kelompok
ideologi transnasional Islam yang mana mereka tidak hanya mengusung
Islam politik tetapi juga identik menyudutkan amaliyah dan paham
Nahdliyin dengan melabeli sebagai pelaku tahayul, bidah, kemusyrikan,
atau negara taghut. Biasanya kelompok tersebut hanya berpegang teguh
pada Al-Qur’an dan Hadits, dan berkampanye dengan kedok jargon
'Kembali pada Al-Qur’an dan Hadits'.
Pengertian aswaja an-nahdliyah dari Kiai Bisri tersebut menjadi
pedoman muktabar khususnya warga NU penganut Islam aswaja an-
nahdliyah dan kelompok lain pada umumnya. Dengan berpegang pada
ajaran aswaja an-nahdliyah bangsa ini meski tetap memahami perbedaan
sebagai sebuah keniscayaan. Umat Islam menjadikan perbedaan sebagai
rahmat dan jangan sampai kemajemukaan menjadikan bangsa bercerai
berai.

B. Prinsip-Prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-


Nahdliyah

Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu


dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang
prinsip dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal
Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan
meliputi Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang
sosial-politik dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bidang Aqidah
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah
Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati
setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan
Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak
memiliki sekutu.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 5


Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa
Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai
utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga
acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan
kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan
sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang
membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul
terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa


nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan
setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya
(yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal
perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal
baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan
masuk neraka

2. Bidang Tsawuf
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf
adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para
pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang
terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka
adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan
hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai
saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu
dari Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang
mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses
batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam
urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai
ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 6


tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-
tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya
sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga
sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah
adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai
pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses
sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai
pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan
Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah
sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi
tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti
mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain
seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan
soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan
budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan
untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi
secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan
urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam
batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk
mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya
masyarakat yang baik.

3. Bidang Istimbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari’ah)


Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber
hukum yaitu:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum
(istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 7


fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-
Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b. As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul
SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in.
Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen
(pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c. Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’
adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan
ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari
suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat
Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’,
4: Dan QS Al-Baqarah, 2: 143
d. Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil
ijtihad para Ulama.Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak
ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena
ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk
digunakan oleh Imam Syafi’i.

4. Bidang Sosial Politik


Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep
negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah
tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan
komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur
dirinya sendiri. Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni
umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu
kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 8


mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga
kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara
yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi
(kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi
syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)


Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil
segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan.
Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura,
42: 36-39)

b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)


Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak
ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh
sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu
ayat dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58

c. Prinsip Al-hurriyyah (Kebebasan)


Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi
warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan
kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam
Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima)
yang identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal
dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-
jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi
legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi
setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima
pokok atau prinsip tersebut yaitu:

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 9


1. Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa)
Kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin
kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara
berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam
wilayahnya.
2. Hifzhu al-Din (menjaga agama)
ewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan
setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau
melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
3. Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda)
Kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan
harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib
memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup
sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
4. Hifzhu al-Nasl
Negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas,
garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga
kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan
memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti
negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di
wilayah negaranya.
5. Hifzhual-‘Irdl
Jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan
ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh
merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya.
Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat
yang layak bagi setiap warga negara.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 10


d. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu
manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak
ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi
dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk
mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan
satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang
lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta
yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan
merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah
SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama.
Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki
jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan
menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus
mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam
wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial,
kelas ekonomi dan jabatan politik.

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam,


Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah
wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-
Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara
ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah
pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi
4 (empat) kriteria di atas.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 11


C. Karakteristik Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-
Nahdliyah

Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam
menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan
dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira
Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan
karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia
dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :

1. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara
dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai
kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan
secara berlebihan.
2. Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong
ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada
yang benar dan yang harus dibela.
3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada,
mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain
tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda
pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah
kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan
sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat
baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi,
serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 12


merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-
nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.

D. Deradikalisasi Melalui Pendidikan Islam Berpaham Ahlussunnah


Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah
Radikalisme menjadi gejala sosial yang menghantui bangsa kita saat
ini. Keberadaannya mengganggu stabilitas keamanan bangsa juga menjadi
sandungan bagi harmoni keberagaman kita sebagai bangsa yang plural. Oleh
karena itu, berbagai pendekatan penanganan terorisme dan radikalisme Islam
lainnya harus senantiasa diupayakan. Salah satunya adalah dengan program
deradikalisasi melalui pendidikan Islam berpaham Aswaja. Deradikalisasi
adalah upaya sistematis untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa
fanatisme sempit, fundamentalisme, dan radikalisme berpotensi
membangkitkan terorisme. Deradikalisasi dapat pula dipahami sebagai segala
upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan
interdisipliner, seperti agama, psikologi, hukum serta sosiologi, yang
ditujukan bagi mereka yang dipengaruhi paham radikal. Sebagai rangkaian
program yang berkelanjutan, deradikalisasi ini meliputi banyak program yang
terdiri dari reorientasi motivasi, reedukasi, resosialisasi, serta mengupayakan
kesejahteraan sosial, kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang
terlibat dengan tindak pidana terorisme (para terpidana tindak pidana
terorisme).
Dalam konteks ini, pendidikan agama Islam sebagai media penyadaran
umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola
keberagamaan berbasis moderat, inklusivisme, pluralis dan multikultural,
sehingga pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat tumbuh pemahaman
keagamaan yang toleran, inklusif dan berwawasan multikultur. Hal ini
penting sebab dengan tertanamnya kesadaran demikian, sampai batas tertentu
akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif. Ini semua perlu
dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan agama dalam
paradigma yang toleran dan inklusif.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 13


Filosofi pendidikan agama yang hanya membenarkan agama dan
pendapatnya sendiri, tanpa mau menerima keberadaan pendapat orang lain,
perlu dikritisi untuk selanjutnya dibenahi dan dilakukan reorientasi. Konsep
iman-kafir, muslim non-muslim, dan truth claim yang sangat berpengaruh
terhadap cara pandang masyarakat pada agama lain, semestinya di“redefinisi”
agar umat tidak lagi menganggap penganut agama lain sebagai ancaman
dan batu sandungan pada diri dan agamanya. Apalagi jika pemahaman kaku
tersebut digemborkan di Indonesia yang multikultural ini. Jika ini yang
terjadi, tanpa ragu lagi dan pasti akan merusak harmonisasi agama dan
menghilangkan sikap saling menghargai, sehingga pada gilirannya sangat
rentan konflik dan disintegrasi.
Demikian pula, guru-guru agama di sekolah, sebagai ujung tombak
pendidikan agama dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan SLTA–bahkan
perguruan tinggi–nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan dan
diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar
umat beragama. Padahal guru-guru inilah yang menjadi mediator pertama
untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi, pluralisme dan multikultural
pada siswa, yang pada tahapan selanjutnya ikut berperan aktif dalam
mentransformasikan kesadaran toleran secara lebih intens. Sejalan dengan
tanggungjawab tersebut, Abdullah menggaris bawahi lima tugas utama
pendidikan (agama) Islam, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI), dalam menghadapi keragaman agama, yaitu;

1. Mengenalkan isu-isu kontemporer yang dihadapi umat Islam,


bersamaan dengan upaya menjelaskan ajaran Islam klasik,
2. Mengarahkan tujuan utama Islam pada pemecahan permasalahan
mengenai hubungan antar manusia,
3. Mengkontekstualisasikan Islam,
4. Mengkritisi penekanan pendidikan agama hanya pada domain
kognitif,
5. Mendedikasikan Islam tidak semata-mata untuk pengembangan

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 14


moralitas individu, melainkan juga moralitas publik.
Gencarnya arus Islam radikal dan semakin banyaknya generasi muda
dan pelajarnya yang masuk ke dalam kelompok semacam ini merupakan
tantangan yang harus dijawab secara aktif-kreatif. Sebab jika dibiarkan
maka kelompok Islam radikal akan semakin intensif menebarkan
ideologinya. Mereka akan semakin bersemangat merekrut anggota baru. Jika
ini dibiarkan maka masa depan Islam Indonesia dan bahkan negara Indonesia
akan suram.

Pada kerangka inilah diperlukan berbagai pemikiran untuk merespon


menjamurnya gerakan Islam radikal. Rekonstruksi Aswaja untuk kemudian
disosialisasikan secara proaktif- sistematis kedalam kurikulum pendidikan
agama Islam merupakan salah satu langkah yang penting untuk
dipertimbangkan. Islam ala Aswaja bukan ajaran normatif yang tidak
operasional. Justru pada kondisi sekarang inilah rekonstruksi Aswaja akan
mampu menjadi bagian tidak terpisah dari perilaku hidup sehari-hari dan
menjadi penting untuk dilakukan.
Mengutip pendapat Ngainun Naim, relevansi rekonstruksi Aswaja
sebagai upaya deradikalisasi juga disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama,
Aswaja menjadi identitas teologis yang diperebutkan oleh berbagai aliran
maupun organisasi Islam. Tidak sedikit aliran atau organisasi yang
mengklaim dirinya sebagai Aswaja. Justru karena menjadi ajang perebutan
klaim inilah maka rekonstruksi menjadi penting dilakukan. Persoalannya
bukan siapa yang paling benar dan paling berhak disebut sebagai penganut
Aswaja, tetapi siapa yang dapat menjadikan nilai-nilai Aswaja sebagai basis
untuk menjalankan aktivitas sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan.
Klaim tidak banyak maknanya jika sebatas klaim tanpa diikuti dengan
aktivitas riil yang mendukung klaim tersebut.
Kedua, substansi Aswaja masih menjadi ruang perdebatan yang hingga
sekarang pun belum tuntas. Hal ini disebabkan karena memang definisi, ruang
lingkup, dan karakteristik Aswaja memang longgar. Namun demikian ada
titik pijak umum yang menandai karakteristik Aswaja. Aspek inilah yang

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 15


seharusnya dikemukakan, bukan justru titik bedanya yang dibesar- besarkan
untuk kemudian menjadi ajang perdebatan yang tidak berujung.
Ketiga, Aswaja belum tersosialisasi dan tersusun secara sistematis
dalam berbagai bidang kehidupan. Aswaja yang dianut oleh umat Islam
Indonesia –khususnya warga Nahdlatul Ulama– sifatnya masih elitis di
kalangan kaum terdidik. Warga masyarakat umum biasanya kurang tahu dan
kurang peduli terhadap Islam ala Aswaja. Justru karena hal inilah maka
rekonstruksi Aswaja menemukan signifikansinya untuk terus disosialisasikan
secara gradual dalam iklim pendidikan Islam di negara ini.
Setidaknya ada tiga hal mendasar untuk diajarkan dalam pendidikan
Islam ala Aswaja, yakni: pengertian Aswaja, materi Aswaja dan
implementasinya. Pengertian Aswaja penting untuk dijelaskan secara runtut,
sistematis, dan sesuai dengan penalaran para siswa. Penjelasannya harus
sederhana dan diulang-ulang agar dapat dipahami dan dijadikan prinsip dan
laku religius-sosial para siswa.
Selain pengertian Aswaja, materi yang juga penting untuk diajarkan
adalah implementasi Aswaja dalam berbagai bidang kehidupan . Materi
penting karena mengejawantahkan tataran konsep ke tataran praktis. Guru
menjelaskan secara detail materi ini, yaitu implementasi Aswaja dalam
bidang akidah, syariah, akhlak, kemasyarakatan, sosial, politik, budaya, dan
berbagai bidang yang lainnya. Melalui penjelasan semacam ini diharapkan
para siswa semakin paham dan mengetahui karakteristik Islam ala Aswaja
pada level praktis.

E. Internalisasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah


pada Pendidikan Agama Islam
Sebagaimana diketahui bahwa praktik dan proses pendidikan terutama
yang berlangsung di lembaga pendidikan mempunyai peran dalam
membentuk watak dan perilaku setiap peserta didik. Karena itu, setiap proses
pembelajaran, terlebih pendidikan agama (Islam) seharusnya
mempertimbangkan perlunya menginsert civic values dalam kegiatan

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 16


pembelajaran sehingga mampu mencetak output yang mempunyai kesadaran
moderat dan multikultural sehingga menjadi penerapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang
terlibat dalam proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa
sehingga mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, yang
perlu mendapat perhatian adalah faktor kurikulum, pendidik, dan strategi
pembelajaran yang digunakan pendidik. Ini bukan berarti bahwa faktor lain
kurang penting, namun ketiga hal tersebut yang agaknya menempati prioritas.
Perumusan kurikulum pendidikan Islam yang bernafas moderat ala
paham Aswaja merupakan langkah mendesak yang harus dilakukan. Sebab,
dewasa ini eskalasi kekerasan berbasis agama kian meningkat. Keberadaan
kurikulum pendidikan Islam bermuatan nilai- nilai moderat menjadi
komponen yang penting lantaran menjadi pedoman bagi para pendidik dalam
menyampaikan materi-materi tentang ajaran Islam yang menghargai
keragaman dan perbedaan. Bertolak dari perspektif tersebut, maka dari segi
kurikulum, sejak dini peserta didik harus diajarkan dan dibiasakan tidak
hanya dengan materi pelajaran yang bersifat normatif-doktrinal-deduktif
yang tidak ada hubungannya dengan konteks budaya, namun juga materi yang
bersifat historis-empiris-induktif.
Hal ini mengindikasikan perlunya perimbangan antara materi yang
berupa teks dan konteks. Bahwa teks berisi ajaran normatif yang masih
bersifat umum, sementara konteks berupa realitas empirik-faktual yang
bersifat partikular. Persoalan seringkali muncul justruketika teks berhadapan
dengan realitas partikular yang heterogen tersebut. Karena itu, materi
pelajaran justru harus berisi realitas yang dihadapi peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari. Di samping itu, meskipun materi yang diberikan
memuat teks-teks normatif, namun ia juga harus berisikan kasus-kasus
konkrit di masyarakat sehingga anak sadar bahwa ia hidup dalam situasi nyata
yang penuh perbedaan. Dalam rangka membangun keberagamaan moderat-
inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa
dikembangkan dengan melalui paradigma Aswaja, antara lain:

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 17


1. Materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-
ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang
dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika
berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini
mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik,
yaitu 1) Materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an
akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 148). 2) Materi yang berhubungan dengan pengakuan
koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (Q.S. Al-
Mumtahanah [60]: 8-9). 3) Materi yang berhubungan dengan
keadilan dan persamaan (Q.S. An-Nisa’ [4]: 135).

2. Materi fikih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah


(pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-
konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman Nabi,
sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Akan tetapi
pemahaman fikih siyasah bukan diartikan bahwa sistem di masa
sekarang harus sama persis seperti sistem di era tersebut. Urgensi
dari mempelajari fikih siyasah ialah mempelajari tata nilai atau
moral etik yang bisa diterapkan di era sekarang ini. Bukan terjebak
pada angan utopis untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah
yang sudah tidak lagi relevan dengan tantangan zaman saat ini.
Moral etik yang bisa kita ambil dari sejarah masa lalu misalnya,
bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat
Madinah yang multietnis, multikultur, dan multiagama. Keadaan
masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan
masyarakat Indonesia, yang juga multietnis, multikultur, dan
multiagama. Materi mengenai pemerintahan juga sebisa mungkin
ditautkan dengan mencintai tanah air ialah bagian dari
memperjuangkan agama Islam itu sendiri. Sehingga antara
Indonesia sebagai anah air dan Islam sebagai pedoman hidup tidak
lagi dipertentangkan. Menjaga keutuhan bangsa dan negara dengan

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 18


segenap perbedaan primordial di dalamnya menjadi tugas bersama
segenap anak bangsa.
3. Materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada perilaku baik-
buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta
lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan.
Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada akhlak, bila
suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam al-
Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Luth,
disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Lebih jauh, dalam setiap
menjalankan dakwah, akhlak pun harus dikedepankan. Amar
ma’ruf juga harus dengan akhlak, nahi munkar pun harus bil ma’ruf
dengan menjunjung akhlak yangmulia.
4. Materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis
dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan
Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari
sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi
Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan
atas nilai pluralisme dan toleransi. Secara jelas pengakuan dan
perlindungan terhadap “liyan” juga diteladankan oleh Nabi
Muhammad melalui piagam Madinah. Orang-orang Yahudi atau
Nashrani yang tidak memusuhi ummat Muslim maka ia terlindungi.
Dalam konteks keIndonesiaan, setiap rakyat memiliki hak dan
kewajiban setara. Oleh karena itu Pancasila sebagai kalimatun
sawa’ atau (common platform) yang menyatukan keragaman etnis,
ras, budaya dan agama harus dijadikan pondasi dalam pengamalan
hidup sehari-hari. Ummat Islam di Indonesia harus siap hidup
berdampingan dan menjaga perdamaian bersama warga Indonesia
lainnya. Terlepas dari apapun suku, etnis maupun agamanya.
Sebab semuanya setara sebagai warga Indoesia, maka dalam
merawat dan memajukan Indonesia haruslah dengan cara
bersama-sama dan menjunjung asas musyawarah mufakat dalam

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 19


mengatasi berbagai persoalan bangsa.
5. Penanaman nilai-nilai karakter Aswaja. Nilai- nilai karakter
Aswaja adalah sikap tawassuṭ , tawāzun, ta’adul , dan tasāmuḥ.
Nilai-nilai utama ini kemudian diintegrasikan dengan pendidikan
karakter bangsa. Perangkat penanaman nilai-nilai karakter Aswaja
tersebut juga harus disediakan dan direncanakan secara matang dan
tepat sasaran sesuai kebutuhan. Sementara menurut Ngainun Naim
mengutip Hamiddin, aspek yang tidak kalah penting adalah
optimalisasi kaidah al muḥāfaẓah ‘alā ’l-qadīm al-ṣāliḥ wa’l-
akhdhu bi’l-jadīd al-aṣlāḥ. Artinya bahwa nilai-nilai lama yang
baik dijadikan pedoman atau landasan untuk
mengimplementasikan nilai-nilai karakter Aswaja dalam konteks
kekinian. Keteladanan, kontinuitas dan penanaman nilai-nilai
karakter selalu direkonstruksi untuk menemukan model-model
penanaman nilai-nilai karakter Aswaja yang aplikatif, humanis dan
kontekstual. Berdasarkan kaidah tersebut Islam lebih bisa leluasa
bersinergi dengan budaya mana pun asal tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Islam tidak datang untuk menolak dan anti terhadap
lokalitas budaya, malahan Islam bisa mewarnai dan merekontruksi
sebuah kebudayaan dengan arif dan bijak tanpa harus alergi
terhadap lokalitas budaya tertentu.
6. Pembiasaan amaliyah Aswaja. Hal ini dilakukan demi
membiasakan para siswa menjalankan ibadah sebagaimana
amaliah Aswaja. Sebab pembelajaran yang efektif ialah
pembelajaran yang tidak hanya sekedar teori melainkan harus
sampai pada tataran aplikasi. Misalnya, pada waktu yang telah
dijadwalkan, para siswa dibimbingan guru untuk menjalankan
berbagai amaliah Aswaja seperti istighāthah, dibā-an, mengadakan
peringatan pada hari-hari besar Islam, ziarah kubur, dan juga
tahlilan. Semua ibadah ini dilakukan secara terprogram. Semua
siswa diwajibkan untuk mengikuti kegiatan pembiasaan tersebut.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 20


Strategi pembiasaan ini secara teoritis memiliki signifikansi dalam
membangun karakter para siswa. Pembiasaan merupakan cara yang
cukup efektif dalam menanamkan nilai-nilai dan moralitas ke
dalam jiwa siswa. Nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya ini akan
termanifestasi dalam alam kehidupannya semenjak ia remaja
hingga melangkah ke usia dewasa. Pembiasaan ibadah yang rutin
merupakan strategi yang penting untuk terus
ditumbuhkembangkan. Para siswa akan memiliki kebiasaan ibadah
secara baik. Perilaku mereka akan sesuai dengan norma dan tata
nilai moral sebagaimana yang dijarakan agama. Pembelajaran
agama Islam dengan metode seperti ini, yakni melalui pembiasaan
ibadah, memberikan pengaruh nyata. Mereka tidak mudah
terombang-ambing oleh paham dan amaliah golongan lain saat
berinteraksi dengan kelompok-kelompok tersebut, termasuk Islam
radikal. Diharapkan nantinya mereka tetap memiliki penduan
dalam menentukan sikap.
Setelah aspek kurikulum, sosok pendidik yang berparadigma dan
beramaliah Islam ala Aswaja juga perlu ditekankan dalam proses
pembelajaran agama Islam di sekolah. Sebab, sebaik apa pun materi yang
telah diprogramkan dalam kurikulum, jika tidak dipahami, disampaikan dan
diteladankan oleh pendidik yang kompeten dan bertanggung jawab, maka
tidak akan terealisasi secara optimal. Untuk itu penyiapan tenaga
kependidikan, dalam hal ini guru pendidikan agama Islam yang mempunyai
paradigma dan beramaliah Islam ala Aswaja harus dilakukan.

F. Eksistensi Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) An-Nahdliyah


di Era Globalisasi
Dalam menapaki kehidupan modern kader Ahlusssunnah Wal Jamaah
Nahdliyah di masa depan harus selalu tanggap mampu menguasai tiga bidang
di atas sekaligus. Ahli di bidang aqîdah, fiqh, dan tasawuf yang membawa
perubahan dan kemajuan besar bagi peradaban dunia. Tidak hanya itu, kader

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 21


Ahlusssunnah Wal Jamaah juga harus menguasai tafsir, hadis, dan pemikiran
para pemikir Islam dalam semua bidang, karena Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi, khulafâ’ al-râsyidîn, dan
golongan mayoritas umat (al-sawâdu al-a’dham). Mengikuti jejak pemikiran
dan perjuangan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, KH.
Ahmad Shidiq, KH. Ali Ma’shum, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Musthofa
Bisyri, dan KH. Sa’id Aqil Siradj adalah langkah terbaik untuk
mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah secara dinamis dan produktif.
Semangat membaca dari berbagai sumber pengetahuan, baik Barat maupun
Timur, mengapresiasi pemikiran dan budaya lokal, menulis buku dan kitab,
berjuang mencerdaskan umat dan menyejahterakan rakyat, dan aktif
melakukan kaderisasi adalah kunci sukses dalam mengembangkan
Ahlusssunnah Wal Jamaah. Kader Ahlusssunnah Wal Jamaah juga harus
mampu menepis tuduhan sepihak yang dilontarkan kelompok lain yang
mengatakan bahwa banyak praktek budaya yang dilakukan warga NU
termasuk bid’ah tersesat yang ancamannya adalah masuk neraka.
Agar semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa
dan ruang sekaligus menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas sosial
keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Aswaja harus diposisikan sebagai
metode berpikir dan bertindak yang berarti menjadi alat (tools)
untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan
sosial. Sebagai alat, maka sikap proaktif untuk mencari penyelesaian menjadi
lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil.
Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam
kerangka lintas-komparatif, namun tidak sampai harus menjadi belenggu
pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi kreativitas. Perubahan
kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum
dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama
yang menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau terapan (Qonuniyah)
yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric dan Waqi’iyah
(kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 22


(eklektif). Menurut Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan
dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal:
1. Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-
teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru;
2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab
qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);
3. Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok
(ushul) dan mana yang cabang (furu’);
4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;
5. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam
masalah-masalah sosial dan budaya.
Menurut KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-
orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus
diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan
sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr (pendekatan berpikir
tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi
tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi
situasi politik ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah
Waljamaah sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh tuntutan
realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan
persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki
manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir
Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah
Nahdliyah antara lain :
1. Fikrah Tawassuthiyah (polapikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama
senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam
menyikapi berbagai persoalan.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 23


2. Fikrah Tasamuhiyah (polapikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama
dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain
walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama
selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al
ishlah ila ma huwa al ashlah).
4. Fikrah Tathawwuriyah (polapikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama
senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai
persoalan.
5. Fikrah Manhajiyah (polapikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama
senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada
manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan Nahdlatul ‘Ulama
nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat moderat, toleran,
dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir
Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis, ortodok, ataupun konservativ, hal ini
bisa kita lihat pada perkembangan intelektual di lingkungan Nahdlatul
‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang menunjukkan
kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam
bertindak sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti
Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di Semarang (1979), demikian pula
Martin Van Bruinessen (1994).
Jika aswaja dipahami dengan benar dan menjadi acuan bertindak dalam
kehidupan maka akan mampu memfilter pengaruh globalisasi dan masuknya
budaya luar yang dapat memicu munculnya sikap adopsi budaya yang negatif
seperti tidak toleran terhadap perbedaan, kekerasan, dan berbagai macam
bentuk sikap negatif lainnya yang kesemuanya dapat menodai karakter
kelompok Islama aswaja yang dikenal memiliki sikap kearifan, moderat,
menghargai budaya lokal, menghargai perbedaan dan anti kekerasan.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 24


KESIMPULAN

Definisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang dirumuskan para ulama klassik


memiliki potensi untuk didiskusikan ulang, sehingga beberapa ulama berpengaruh
di NU mencoba menafsirkan kembali doktrin aswaja. Hal yang paling disoroti yaitu
tentang pelabelan aswaja sebagai madzhab, menurut Said Aqil, jika aswaja NU
difahami sebagai sebuah madzhab, maka konsep tersebut akan mempersempit
makna ke arah institusional. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menjawab
perkembangan zaman harus dimaknai sebagai manhaj al fikr sehingga bersifat
dinamis sekaligus sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan namun tetap selektif
dan protektif dalam merespon perkembangan tersebut.

Para Kyai yang mencoba menafsirkan kembali aswaja mempunyai tujuan


yang sama, yaitu mensejahterakan umat dan membawa mereka ke arah kemajuan.
Para kyai ini mencoba memformulasikan pemikiran pemikiran mereka dengan
realitas, sehingga apa yang mereka hasilkan bersifat visioner, kontemporer dan
sangat memihak kepada masyarakt kecil.

Usaha Reinterpretasi ini lebih mengarah kepada penafsiran ulang dan


redefinisi terhadap konsep aswaja yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 25


DAFTAR PUSTAKA

Alarna, Badrun, (2000), cet. 1, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja,
Yogyakarta : Tiara Wacana
Al-Asy’ari, Abi al-Hasan Ali ibn Ismail, (t.th). al-Ibanah An Ushul al-Diyanah,
Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Asmani, Jamal Makmur, (2014), Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam
http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/
Hasyim, Yusuf, (2014), Aswaja Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhaji
dalam,_http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/aswaja-
annahdliyah-dari-madzhabi-menuju-manhaji/

LIM, FKI (2010), cet. 2, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran


Ahlussunnah wal Jama’ah, Kediri: Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin
PP. Lirboyo
Madjid, Nurcholis, (2000), cet. 4, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta:
Paramadina.
Misrawi, Zuhairi, (2010), cet. 1, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi,
Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas
Nasir, Sahilun A. (2010), cet. 1 Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran,
dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press

MAKALAH RISALAH ASWAJA | 26

Anda mungkin juga menyukai