Anda di halaman 1dari 8

Aswaja Sebagai Manhaj al-Fikr NU

(cara pengambilan dan penetapan hukum)

Tim Penyusun :
Azizatur Rofi’ah Maulidya (5230020001)
Nur Maulidya Azizah (5230020008)
Riski Dwi Amaliyah (5230020021)
Rohma Sukma B’Tari (5230020022)
Putri Zam Zama (5230020033)
Aghis Rahmatika H (5230020035)
Rizki Tria Miftakhurrohmah (5230020052)
Dosen Pengampu :
Nanang Rokhman Saleh, S.Ag., M.Th.i.

FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN TEKNOLOGI DIGITAL


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022

1
DAFTAR ISI

BAB 1 ........................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 3
1. 1 Latar Belakang Masalah ................................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................................................................ 4
BAB 2 ........................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 5
2. 1 Pengertian Manhaj Al-Fikr............................................................................................................. 5
2. 2 Prinsio Manhaj Al-Fikr ................................................................................................................... 5
2. 3 Istinbath dan Istidlal....................................................................................................................... 6
BAB 3 ........................................................................................................................................................... 8
PENUTUP .................................................................................................................................................... 8

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Aswaja atau Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan
Nabi, Para Shahabat dan Tabi’in. Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia
yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan
oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di
dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang
akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut
pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi
dan Abu Hamid Al-Ghazali. Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994,
pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan
dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai
madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang
sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai
madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman
yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang
tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan,
lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).
Sebagai manhaj al-fikr, NU berpegang pada prinsip prinsip Tawassuth (moderat),
Tawazun (netral), Ta’adul (keseimbangan), dan Tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam
pengambilan hukum (Istinbath), yaitu memperhatikan posisi akal di samping
memperhatikan nash.
Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya
untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab
perkembangan zaman. Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama
yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan

3
tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun
relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya,
memperlakukan dan mengamalkan Islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian dari Manhaj Al-Fikr?
2. Apa saja prinsip Manhaj Al-Fikr?
3. Bagaiman Istinbath dan Istidlal dilaksanakan?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Manhaj Al-Fikr.


2. Untuk mengetahui prinsip yang terdapat dalam Manhaj Al-Fikr.
3. Untuk mengetahui Istinbath dan Istidlal dilaksanakan.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Dapat memahami pengertian dari Manhaj Al-Fikr.


2. Dapat memahami prinsip yang terdapat dalam Manhaj Al-Fikr.
3. Dapat memahami Istinbath dan Istidlal dilaksanakan.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

2. 1 Pengertian Manhaj Al-Fikr

Manhaj al Fikr (metode berfikir) adalah sebuah metode dan prinsip berfikir dalam
menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan.

2. 2 Prinsio Manhaj Al-Fikr

Terdapat 5 Prinsip / Nilai Manhaj Al-Fikr, yaitu :

1. Tawasuth (moderat)

Tawasut bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah,moderat,tidak ekstrim (baik ke kanan


maupun ke kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian.

Sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW (paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya)
tawasut merupakan nilai yang mengatur pola pikir yaitu bagaimana seharusnya kita mengarahkan
pemikiran kita, sikap tawasut berpijak kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keadilan dan
keseimbangan di tengah-tengah kehidupan bersama,bertindaklurus dan selalu bersifat membangun
serta menghindari sikap ekstrem.

2.Tasammuh (toleran)

Pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar
sendiri.nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari khususnya
dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, dengan tujuan kesadaran akan pluralisme atau
keragaman yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.

3. Tawazu (seimbang)

Tawazun adalah seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli (dalil
yang bersumber dari akal pikiran rasional)dan dalil Naqli (bersumber dari Alquran dan
hadis)dalam mengambil keputusan, kaum Aswaja An-Nadliyah selalu mendasarkan pada
musyawarah sehingga dapat mencapai kemaslahatan. Keseimbangan di sini yaitu bentuk

5
hubungan yang tidak berat sebelah kepada pihak tertentu,namun dari masing-masing pihak mampu
menempatkan dirinya sesuai fungsi tanpa mengganggu pihak lain

4. Ta'addul (adil)

Ta'addul adalah keadilan,yang merupakan pola integral dari tawassuth,tasamuh dan


tawazun. keadilan inilah yang merupakan ajaran universal Aswaja setiap pemikiran sikap dan
relasi harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemanahan keadilan yang dimaksud disini yaitu
keadilan sosial (nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan
politik,ekonomi,budaya,pendidikan dan sebagainya)

2. 3 Istinbath dan Istidlal

Istinbath berasal dari kata “nabth” yang berarti: “air yang mula-mula memancar keluar
dari sumur yang digali” dengan demikian menurut bahasa, arti istinbath ialah mengeluarkan
sesuatu dari persembunyiannya. Setelah dipakai sebagai istilah dalah studi hukum Islam, arti
istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Maka istilah ini hampir sama
dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Karena itu,
pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Sedangkan Disamping dalil yang telah disepakati itu masih ada dalil yang belum disepakati yakti
disebut dengan istidlal, oleh karenanya masalah ini disebut dengan mencari dalil di luar nash (al-
Qur’an, al-Hadis) dan al-ijma’ serta al-qiyas. Atau dengan kata lain istidlal itu adalah sesuatu yang
dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’, sedangkan sesuatu itu tadi bukan ketentuan
hukum al-Qur’an dan al-Hadis, ijma’ dan qiyas.[

Istinbath dan istidlal merupakan cara untuk menentukan hukum yang bersumber dari sumber
hukum Islam. Istinbath berarti memunculkan hukum dari sumber-sumber hukum Islam.
Sedangkan istidlal berarti mencari dalil yang tidak ada pada sumber-sumber hukum Islam. Jadi
apabila terdapat permasalahan yang hukumnya belum tercantum dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’,
maupun qiyas, untuk menentukan hukumnya perlu dilakukan istidlal (menemukan dalil hukum).

6
Syarat-Syarat Istinbath

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath adalah sebagai
berikut:

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan masalah hukum.
2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan
masalah hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma, agar dalam
menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan ijma’.
4. Memilki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk
istinbath hukum.
5. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilakn kesimpulan yang benar tentang hukum,
dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan al-Sunnah tersusun dalam
bahasa Arab.

Contoh Istinbath Dan Istidlal Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Contohnya adalah seperti pembelian perhiasan emas dengan tidak tunai atau kredit dengan sistem
pembayaran dicicil. Yang sesungguhnya cara tersebut termasuk dalam riba karena ada
penambahan harga di dalamnya. Namun karena kebutuhan masyarakat yang merasa diuntungkan
dengan cara pembelian tersebut tanpa merasa dirugikan sama sekali, maka diambillah hukum dari
pembelian emas secara dicicil tersebut diperbolehkan. Metode istinbath yang digunakan DSN-
MUI dalam menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara tidak tunai tersebut adalah
berdasarkan al-Qurân, hadis Nabi Saw, kaidah ushul, kaidah fiqh

7
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan

Manhaj al Fikr (metode berfikir) adalah sebuah metode dan prinsip berfikir dalam
menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan. Terdapat lima
nilai dalam aswaja yang menjadi landasan kita dalam berpikir, yakni Tawasuth (moderat),
Tasamuh (toleran), Tawazu (seimbang), Ta’addul (adil). Nilai nilai tersebut kita gunakan untuk
menjadi landasan kita berpikir dalam menentukan hukum (Istinbath dan istidlal). Istinbath dan
istidlal merupakan cara untuk menentukan hukum yang bersumber dari sumber hukum Islam.
Istinbath berarti memunculkan hukum dari sumber-sumber hukum Islam. Sedangkan istidlal
berarti mencari dalil yang tidak ada pada sumber-sumber hukum Islam. Jadi apabila terdapat
permasalahan yang hukumnya belum tercantum dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun qiyas,
untuk menentukan hukumnya perlu dilakukan istidlal (menemukan dalil hukum).

Anda mungkin juga menyukai