4
Ulasan A. Baso terhadap fiqih sebagaimana dikutip dari KH Sahal mahfudh. NU Studies, hal. 39
5
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, hal.3
6
Ahmad Muhibin Zuhri, op.cit, hal 53
7
Nur sayyid, op.cit, hal.149
mazdmunah), mengenakan (tahalli) akhlak yang mulia, sehingga Allah terasa hadir (tajalli)
dalam setiap gerak-gerik manusia.8
Ahlussunnah waljamaah merujuk doktrin keihsanan ini kepada tasawuf
akhlaki dan amali, juga berada mengambil jalan tengan antara tasawuf batiniyah dan
tasawuf falsafi. Tasawuf batiniyah memberikan perhatian berlebihan kepada aspek batiniah
sehingga menegasikan tuntutan kemanusiaan yang berporos pada penalaran rasio. Adapun
tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah memasuki wilayah ontologi yang sangat
dipengaruhi masalah rasio sehingga aspek yang dibicarakan adalah emanasi, inkarnasi,
ittihad, dan wihdatul wujud.9
B. Doktrin dalam bidang syariah
1. Pengertian Umum Syari’ah
Syari’ah berasal dari bahasa Arab dan merupakan derivikasi dari kata “Syara’a,
Yasyra’u, Syar’an-Syari’atan” yang berarti “Undang-undang”.10 Sementara dalam kamus
bahasa Indonesia berarti “Hukum; Kewajiban”.11 Ada pula yang mengartikan Syari’ah
sebagai “jalan yang lurus”, “sumber air yang mengalir yang bisa dipakai untuk minum”.12
Berarti, Syari’ah adalah ketetapan, undang-undang/peraturan (regulasi), hukum
dan atau kewajiban yang diberlakukan kepada seluruh manusia yang berada dalam ruang
lingkup lingkarannya (red: Islam). Sementara orang yang abai dan mengingkari peraturan
yang ada (ditetapkan), maka ada resiko dan konsekuensi yang akan didera (kausalitas).
Sebaliknya, bagi orang-orang yang menaati hukum tersebut, akan
mendapat reward (pahala).
2. Mashadirul Hukm Fil Islam
a) Al-Qur’an dan Hadist
Tak ada seorangpun (muslim/muslimah) di dunia ini yang dengan sengaja
menafikan eksistensi al-Qur’an dan Hadist sebagai hukum Islam. Keduanya (al-Qur’an
dan Hadist) telah menjadi prioritas dan sarana umat dalam menjembatani hidup. Dengan
keduanya pulalah umat muslim dapat berinteraksi serta berinterelasi tanpa ada yang
merasa rugi, sebab mereka menyakini sepenuh hati dan telah mendapat hasil
implementasi dari ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kedua sumber tersebut.
“ Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Alah, dan patuhlah kamu
kepada Rasul serta Ulil-Amri diantara kamu sekalian. Kemudian jika berselisih paham
tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu benar-benar
beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. Al-Nisa’[4]: 59)”.13 Inilah satu dari sekian dalil yang membesarkan hati
orang-orang muslim, tak ada keraguan di dalamnya.
b) Ijma’ dan Qiyas
Setelah al-Qur’an dan Hadist, ada juga Ijma’ dan Qiyas. Keduanya adalah
petunjuk yang dimudahkan bagi manusia dalam menetapkan persoalan ketika tidak ada
dalil yang secara spesifik (dalam al-Qur’an maupun Hadist) bersesuaian dengan beragam
problem yang ada.
Dari sini, dapat diketahui bahwa sumber hukum Aswaja tidak hanya sebatas pada
al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi juga konsensus ulama (ijma’) dan analogi hukum (qiyas)
yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara
langsung dalam al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber hukum ulama.14
3. Prinsif Penetapan Hukum Dalam Islam Menurut Faham Aswaja
“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka akan melihat
perselisihan yang banyak. Berpeganglah kamu sekalian dengan sunnahku dan sunnah
para Khulafa’ Rasidin setelahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-
erat dengan gigi geraham. (HR. Abu Daud, al-Turmudzi, dan Hakim)”.15
8
Ibid, hal 150
9
Ahmad M Zuhri, op.cit, hal 57
10
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hal. 243.
11
Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Alfabetis,(Bandung: Mizan, 2009), hal. 566.
12
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Mizan, 2010), hal. 1.
13
Abdul Halim, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, (Jakarta: LP3S, 2014), hal. 28.
14
Muhammad Baharun, Ahlussunnah Di tengah-tengah Firqah, (Jatim: sidogiri, 2006 ), hal. 1-5.
15
Abdul Halim, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, (Jakarta: LP3S, 2014), hal. 28)
Tidak setengah-setengah Rasulullah dalam mengayomi umatnya. Beliau
kemukakan segala bentuk keterangan mengenai selisih paham serta segala bentuk
persoalan yang ditanyakan (langsung/tidak) umatnya pada saat itu, dan bahkan sesuatu
yang memungkinkan terjadi di kemudian hari. Al-qur’an menjadi rujukan pertama
Rasulullah dalam memerankan aksi bagi tanggungjawabnya sebagai khalifah fil ardh.
Aswaja adalah sekelompok orang yang tetap fitrah, teguh prisif dalam
menetapkan hukum yang tetap berlandaskan atas empat asas, yaitu: al-Qur’an, al-Hadist,
Ijmak dan Qiyas. Sebagaimana dalam (sebagian) contoh “Tentang Kepemimpinan dan
Demokrasi”, ada kategori ketetapan yang dijadikan pijakan oleh Aswaja, yang
diantaranya adalah: hukum mengangkat pemimpin, keadilan dan kejujuran, hukum
demokrasi, hukum loyalitas rakyat, hukum oposisi yang loyal,16 dan lain-lain.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Albaqarah: 143).
2. Tawazun
Tawazun adalah sikap berimbang dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan
hukum atau kebijakan. Proses harmonisasi dan integralisasi antara dalil nash dengan
pertimbangan-pertimbangan rasio menyebabkan posisinya seimbang dalam melakukan
putusan/ kebijakan. Ia tidak terpolarisasi kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan
ekstrim kiri (liberalisme). Dalam hal sosial-politik pun, sikap tawazun diwujudkan
dengan pertimbangan secara komprehensif dan holistik, baik ekonnomi-politik,
geopolitik, sosio-kultur, dan hal-hal lainnya. Posisinya menanggapi kekuasaan, tentu saja
ia tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak suatu rezim, tetapi lebih melihat
prasyarat yang dipenuhi kekuasaan tersebut sudah dipandang memenuhi kaidah-
normativitas atau kah tidak. Hal ini termaktub dalam surat Alhadid ayat 25
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Alma'idah: 9).
4. Tasamuh
18
Nur sayyid, op.cit, hal 160
Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran,
keyakinan, social kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Keragaman
merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Ia merupakan entitas yang hadir sebagai
ajang untuk bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah
peraudaraan yang utuh. Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis
dalam berkeyakinan karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa dicampur
dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran keyakinan agama
yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam mengelaborasi
perbedaan menjadi sebuah rahmat. Kaitannya dengan budaya, secara substansial budaya
ialah hasil dari akal budi manusia yang memiliki nilai luhur dan merupakan arkeologi
kesejarahan yang patut dihargai sebagai suatu kebijaksanaan. Dalam pandangan
Ahlussunnah waljamaah, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan
dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan
nilai-nilai keislaman.
Dari sikap tasamuh inilah, Ahlussunnah wal jamaah merumuskan konsep
persaudaraan (ukhuwwah) universal. Hal ini meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan
keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah
basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk
menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari
firman Allah SWT:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Alhujurat; 13).
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)