Anda di halaman 1dari 11

A.

Doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah


Secara terminologis, Ahlussunnah  waljamah sebagai golongan yang mengikuti
sunnah nabi dan atsar sahabat muncul menjadi dua pengertian. Pertama, Ahlussunnah  wal
jamaah dimaknai sebagai golongan setia pada Assunnah dan Al Jamaah, yaitu Islam yang
dicontohkan Rasullulah saw. beserta para sahabatnya, terutama khulafaurrasyidin.  Dari
pengertian ini, Ahlussunnah  wal jamaah dirumuskan sebagai kelompok orang yang
senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah atau jalan para
sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog
(mutakallimîn), ahli fiqh (fuqaha), ahli hadits (muhaditsin), dan ulama tasawuf
(mutashawwifîn).
Kedua, Ahlussunnah  wal jamaah dipahami sebagai paham keagamaan yang muncul
sebagai kristalisasi ajaran setelah Imam Al Asyari dan Al Maturidi memformulasikan
aqidah Islam sesuai dengan Al Quran dan Assunnah. Karena faktor itulah gagasan
Ahlussunnah  wal jamaah dikenal sebagai penganut faham Asy’ariyah dan
Maturidiyah.1 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah  wal jamaah
merupakan istilah yang terbangun melalui nalar urf (tradisi) sebagai representasi dari
kelompok mayoritas ketika terjadi kondisi perpecahan paham merajalela dan dirasa perlu
merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identititas, sebagai upaya membedakan antara
yang haq dan bathil, antara mereka yang teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang
dengan berbagai macam bid’ah.
Secara garis besar, doktrin Ahlussunnah  waljamaah meliputi doktrin keimanan,
keislaman, dan keihsanan. trilogi keagamaan ini membentuk dimensi keagamaan yang
terbangun secara integral, meliputi syariah sebagai realitas hukum, thoriqoh sebagai jalan
menuju hakikat sebagai puncak kebenaran esensial, meliputi aspek eksoterisme (lahir) dan
aspek esoterisme (batin).2
1. Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran atas Allah, rasul, dan segala ajaran yang dibawakannya.
Doktrin keimanan Ahlussunnah  waljamaah ini termanifestasikan dalam formula yang
diajarkan Al’asyari dan Maturidi. Kedua tokoh tersebut  hampir sepakat dalam masalah
akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan
malaikat-Nya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini
hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam
masalah istitsna, takwin, dan iman dengan taqlid.3
Tingkatan tauhid dalam Ahlussunnah  waljamaah terbagi menjadi 4 tingkatan, yakni
iman bittaqlid, iman biddalil, iman bil iyyan dan iman  bil haqq. Pertama,
iman bittaqlid adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya
secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua,
iman biddalil (ilmul yaqin) ialah keyakinan terhadap aqa'id lima puluh dengan dalil dan
alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang ( ‫ )بﻮﺠﺤﻣ‬dalam mengetahui
Allah. Ketiga, iman bil iyyan (ainul yaqin) ialah keimanan yang senantiasa
hatinya  muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari
kesadaran hatinya.
Keempat, iman  bil haqq (haqqul yaqin) yaitu keimanan yang telah terlepas dari
segala yang hadîts dan tenggelam dalam fana' billah. Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan
tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalil (ilmul yaqin), dan jika keimanan ini
senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata
iman bil  iyyan (ainul yaqin) hingga puncaknya mencapai pada iman  bil haqq (haqqul
yaqin).
Dalam menanggapi perbuatan manusia, Ahlussunnah  waljamaah berada di antara
jabariyah dan qodariyah. Ahlussunnah  waljamaah meyakini bahwa makhluk memiliki
kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain
sebatas kasb   (upaya). Dalam keyakinan Ahlussunnah  waljamaah, secara dhahir manusia
adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah ajbûr (tidak
memiliki qudrah apapun).
1
Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jamaah, hal 144-145
2
Ibid, hal 147                                                
3
ibid, hal. 148
Adapun mengenai perbuatan dosa, Ahlussunnah  waljamaah sangat hati-hati dalam
memvonis seseorang yang berdosa, tidak terjebak oleh ekstrimisme khawarij atau
pun Murji’ah. Jika seseorang melakukan maksiat sementara hatiya masih memegang
teguh syahadatain, ia hanya berdosa dan sesat, tidak sampai divonis kafir. Kekafiran hanya
terjadi jika seseorang menafikan wujud Allah, Muhammad sebagai rasul Allah, dan
menyangkal ketetapan syariat yang telah ditetapkan secara umum.
2. Doktrin Ke-Islaman
Doktrin keislaman yang termanifestasikan ke dalam hukum fiqih yang meliputi
hukum legal formal dengan syariat secara umum memiliki perbedaan. Menurut Sahal
Mahfudh, fiqih diartikan sebagai usaha manusiawi, yang melibatkan proses penalaran, baik
pada tataran teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasi
hukum-hukum agama. Adapun syariat dipahami secara longgar untuk merujuk agama Islam
atau hukum Tuhan sebagaimana dikandung dalam korpus-korpus wahyu tanfa melibatkan
tangan-tangan manusia.4 Pernyataan tersebut memiliki kesamaan makna dengan pernyataan
Jaih Mubarok yang menyatakan bahwa syariat merupakan peraturan yang diwahyukan
Allah kepada Nabi Muhammad untuk manusia yang mencakup ketauhidan, perbuatan, dan
akhlak.5
Fiqih sebagai hasil istinbatul hukm (penggalian hukum), maka diperlukan perangkat
tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk fiqih, yakni ushul fiqih (legal theory)
dan qawaidul fiqhiyah (legal maxims). Ushul fiqih sebagai metodologi dan prinsip dalam
memahami kandungan nash sehingga membentuk aturan-aturan hukum praktis. Adapun
kaidah-kaidah fiqih dipahami sebagai pedoman dalam pengambilan hukum secara praktis.
Baik ushul fiqih maupun kaidah fiqih, keduanya turut menentukan akhir keputusan hukum
dengan menginvestigasi latar belakang hukum tersebut.
Kaitannya dengan ijtihad manusia dalam memahami wahyu Tuhan yang
termanifesasikan ke dalam fiqih, Ahlussunnah  waljamaaah menganut kepada salah satu dari
madzhab hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.  Pada dasarnya, eksistensi madzab-madzhab
fiqih tidak secara otomatis mengikuti polarisasi umat Islam di bidang akidah. Dalam hal ini,
maka tidak tepat jika disebutkan bahwa para pengikut madzhab empat tersebut adalah sunni,
atau sebaliknya kaum sunni adalah pengikut madzhab empat adalah sunni. Pada
kenyatannya, para teolog baik dari kalangan Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah
maupun Salafiyun tersebar dalam berbagai madzhab fiqih. Dalam hal ini, hanya Syi’ah
selaku madzhab teologi mempunyai madzhab fiqih tersendiri yang berasal dari imam
mereka, yakni Ja’far Asyadiq.   Dengan demikian, dalam madzhab fiqih  sebenarnya hanya
terjadi dua kutub, yakni Syi’ah dan non Syi’ah.6
Alasan mendasar Ahlussunnah  waljamaah melakukan pemilihan kepada  empat
madzhab di atas yang dijadikan rujukan dalam berfiqih. Di samping otenstisitas konsep-
konsep yang tersusun secara rapi dan sistematis, metodologi dan epistimologi madzhab ini
relatif tawazun (berimbang) dalam mensinergikan dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-
teks keagamaan). Keempat madzab tersebut dinilai paling tawasuth (moderat) dibanding
madzab Dahiri yang cenderung tektualis dan Muktazilah  yang cenderung rasionalis.7
Dengan prinsip tersebut, Ahlussunnah  mengakui bahwa empat madhab yang
memadukan dalil antara Al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas diakui mengandung
kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Artinya, kebenaran
yang diikuti dan diyakini oleh Ahlussunnah  waljamaah hanya bersifat kemungkinan dan
bukan kemutlakan.
3. Doktrin Ihsan
Ihsan, sebagaimana yang Nabi Muhammad sampaikan ialah Ihsan adalah
seseorang  menyembah Allah seolah ia melihatNya, dan jika ia tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihat orang tersebut. Konsep ihsan ini termanifestasikan dalam
tasawuf, yakni jalan spiritual yang dilakukan bukan melalui teori-teori ilmiah melainkan
pengintegrasian antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhalli) kenistaan (akhlaq

4
Ulasan A. Baso terhadap fiqih sebagaimana dikutip dari KH Sahal mahfudh. NU Studies, hal. 39
5
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, hal.3
6
Ahmad Muhibin Zuhri, op.cit, hal 53
7
Nur sayyid, op.cit, hal.149
mazdmunah), mengenakan (tahalli) akhlak yang mulia, sehingga Allah terasa hadir (tajalli)
dalam setiap gerak-gerik manusia.8
            Ahlussunnah  waljamaah merujuk doktrin keihsanan ini kepada tasawuf
akhlaki dan amali, juga berada mengambil jalan tengan antara tasawuf batiniyah dan
tasawuf falsafi. Tasawuf batiniyah memberikan perhatian berlebihan kepada aspek batiniah
sehingga menegasikan tuntutan kemanusiaan yang berporos pada penalaran rasio. Adapun
tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah memasuki wilayah ontologi yang sangat
dipengaruhi masalah rasio sehingga aspek yang dibicarakan adalah emanasi, inkarnasi,
ittihad, dan wihdatul wujud.9
B. Doktrin dalam bidang syariah
1. Pengertian Umum Syari’ah
Syari’ah berasal dari bahasa Arab dan merupakan derivikasi dari kata “Syara’a,
Yasyra’u, Syar’an-Syari’atan” yang berarti “Undang-undang”.10 Sementara dalam kamus
bahasa Indonesia berarti “Hukum; Kewajiban”.11 Ada pula yang mengartikan Syari’ah
sebagai “jalan yang lurus”, “sumber air yang mengalir yang bisa dipakai untuk minum”.12
Berarti, Syari’ah adalah ketetapan, undang-undang/peraturan (regulasi), hukum
dan atau kewajiban yang diberlakukan kepada seluruh manusia yang berada dalam ruang
lingkup lingkarannya (red: Islam). Sementara orang yang abai dan mengingkari peraturan
yang ada (ditetapkan), maka ada resiko dan konsekuensi yang akan didera (kausalitas).
Sebaliknya, bagi orang-orang yang menaati hukum tersebut, akan
mendapat reward (pahala).
2. Mashadirul Hukm Fil Islam
a)      Al-Qur’an dan Hadist
Tak ada seorangpun (muslim/muslimah) di dunia ini yang dengan sengaja
menafikan eksistensi al-Qur’an dan Hadist sebagai hukum Islam. Keduanya (al-Qur’an
dan Hadist) telah menjadi prioritas dan sarana umat dalam menjembatani hidup. Dengan
keduanya pulalah umat muslim dapat berinteraksi serta berinterelasi tanpa ada yang
merasa rugi, sebab mereka menyakini sepenuh hati dan telah mendapat hasil
implementasi dari ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kedua sumber tersebut.
“ Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Alah, dan patuhlah kamu
kepada Rasul serta Ulil-Amri diantara kamu sekalian. Kemudian jika berselisih paham
tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu benar-benar
beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. Al-Nisa’[4]: 59)”.13 Inilah satu dari sekian dalil yang membesarkan hati
orang-orang muslim, tak ada keraguan di dalamnya.
b)      Ijma’ dan Qiyas
Setelah al-Qur’an dan Hadist, ada juga Ijma’ dan Qiyas. Keduanya adalah
petunjuk yang dimudahkan bagi manusia dalam menetapkan persoalan ketika tidak ada
dalil yang secara spesifik (dalam al-Qur’an maupun Hadist) bersesuaian dengan beragam
problem yang ada.
Dari sini, dapat diketahui bahwa sumber hukum Aswaja tidak hanya sebatas pada
al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi juga konsensus ulama (ijma’) dan analogi hukum (qiyas)
yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara
langsung dalam al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber hukum ulama.14
3. Prinsif Penetapan Hukum Dalam Islam Menurut Faham Aswaja
“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka akan melihat
perselisihan yang banyak. Berpeganglah kamu sekalian dengan sunnahku dan sunnah
para Khulafa’ Rasidin setelahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-
erat dengan gigi geraham. (HR. Abu Daud, al-Turmudzi, dan Hakim)”.15

8
Ibid, hal 150
9
Ahmad M Zuhri, op.cit, hal 57
10
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hal. 243.
11
Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Alfabetis,(Bandung: Mizan, 2009), hal. 566.
12
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Mizan, 2010), hal. 1.
13
Abdul Halim, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, (Jakarta: LP3S, 2014), hal. 28.
14
Muhammad Baharun, Ahlussunnah Di tengah-tengah Firqah, (Jatim: sidogiri, 2006 ), hal. 1-5.
15
Abdul Halim, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, (Jakarta: LP3S, 2014), hal. 28)
Tidak setengah-setengah Rasulullah dalam mengayomi umatnya. Beliau
kemukakan segala bentuk keterangan mengenai selisih paham serta segala bentuk
persoalan yang ditanyakan (langsung/tidak) umatnya pada saat itu, dan bahkan sesuatu
yang memungkinkan terjadi di kemudian hari. Al-qur’an menjadi rujukan pertama
Rasulullah dalam memerankan aksi bagi tanggungjawabnya sebagai khalifah fil ardh.
Aswaja adalah sekelompok orang yang tetap fitrah, teguh prisif dalam
menetapkan hukum yang tetap berlandaskan atas empat asas, yaitu: al-Qur’an, al-Hadist,
Ijmak dan Qiyas. Sebagaimana dalam (sebagian) contoh “Tentang Kepemimpinan dan
Demokrasi”, ada kategori ketetapan yang dijadikan pijakan oleh Aswaja, yang
diantaranya adalah: hukum mengangkat pemimpin, keadilan dan kejujuran, hukum
demokrasi, hukum loyalitas rakyat, hukum oposisi yang loyal,16 dan lain-lain.

4. Konsep Madzhab dalam Aswaja kaitannya dengan Ittiba’ dan Taqlid


Ahlussunnah Waljama’ah memiliki paham serupa dengan namanya, yaitu orang-
orang yang selalu berkelompok, bersama-sama, beriringan dan berada dalam satu tujuan
yang konsisten. Di dalam segala aspek ibadah, Ahlussunnah Waljama’ah tidak lepas dari
ketetapan dan ketentuan yang telah disepakati bersama sebelumnya. Ini mengindikasikan
bahwa sangat tidak beralasan jika ada diantara sekelompok oknom ada yang menyatakan
dirinya sebagai kelompok Aswaja, namun tidak ada indikasi dari sifat-sikapnya yang
membenarkan.
Di kemudian hari, dirumuskan paham Ahlussunnah Waljama’ah secara aqidah
(teologi) mengikuti gagasan Al-As’ari dan (atau) Al-Maturidi, dan secara fiqih
(yurisprudensi) mengikuti madzhab yang empat: Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i.
Semua yang berlindung di bawah payung besar ini disebut suni, atau pengikut
paham Ahlussunnah Waljama’ah; sedangkan di luarnya tidak bisa
dikatakan  Ahlussunnah Walj ama’ah. Mereka sendiri tidak mengaku sebagai
pengikut Ahlussunnah Wal jama’ah.17
C. Urgensitas Ilmu Fiqih
Unsur utama yang menjadi pilar ajaran Islam adalah fiqih. Urgensitas ilmu Fiqih
dalam Islam tidak diragukan lagi. Ia adalah sistem kehidupan yang memiliki kesempurnaan,
keabadian, dan sekian banyak keistimewaan. Ia menghimpun dan merajut tali pesatuan umat
Islam. Ia menjadi sumber kehidupan mereka. Umat Islam akan hidup selama hukum-hukum
fiqih masih direalisasikan. Mereka akan mati apabila pengamalan fiqih telah sirna dari muka
bumi. Fiqih juga bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kehidupan mereka di mana pun
mereka berada, Ia menjadi salah satu kebanggaan terbesar umat Islam.
Hal ini tidak lepas dari sekian banyak karakter dan keistimewaan fiqih yang
membedakannya dengan undang-undang positif produk pemikiran manusia. Pertama, fiqih
memiliki pondasi wahyu ilahi. Kedua, fiqih besifat uniersal. Ketiga, fiqih berkaitan dengan
etika. Selain itu fiqih juga menjadi pendorong dan penggerak terpeliharanya keutamaan,
terealisasinya idealisme yang luhur, dan termanifestasinya etika yang lurus.
D. Ijtihad dan Taklid
Pembicaraan tentang fiqih Islam tidak akan sempurna tanpa membicarakan ijtihad
dan taqlid.
1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi kata ijtihad ( ‫ ) اجتھاد‬berasal dari kata al-jahd, al juhd, ( ‫) الجھد‬
dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan
atau kemampuan (almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit
dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa). Sedangkan kata ijtihad yaitu bentuk
mashdar tsulatsi mazid  dari kata kerja ijtahada-yajtahidu-ijtiihaadan yang berarti ‫ج ّد و بذل‬
‫ وسعھا‬, bersungguhsungguh dan mencurahkan segala kemampuannya, kata ijtihad juga
bermakna kesungguhan, kegiatan dan ketekunan.
Imam Al-Jauhari menyebutkan bahwa kata “Al-Jahdu dan al-Juhdu” kedua-
duanya memiliki arti kemampuan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
 ‫فَيَ ْس َخرُونَ ِم ْنهُ ْم َس ِخ َر هَّللا ُ ِم ْنهُ ْم َولهَ ْ ُم‬ ‫ت َوالَّ ِذينَ ال يَ ِج ُدونَ إِال ُج ْه َدهُ ْم‬ َّ ‫ال‬ ‫الَّ ِذينَ ي ْلَ ِم ُزونَ ْال ُمطَّ ِّو ِعينَ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ فِي‬
ِ ‫ص َدقَا‬
‫أَلِي ٌم‬  ٌ‫َع َذاب‬
16
Ibid, hal. 35-38.
17
Muhammad Baharun, Ahlussunnah Di tengah-tengah Firqah, (Jatim: sidogiri, 2006 ), hal. 12.
…(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orangorang mukmin yang
memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh
(untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab
yang pedih. QS At-Taubah : 79.
ijtihad secara bahasa memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan istilah
syara’ yaitu :
ٍ َ‫ك أ‬
ٍّ ‫مر شا‬
‫ق‬ ْ
ِ ‫بذ ُل الجْ ه ِد إِل ِ درا‬
Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang berat.
Sedangkan ijtihad secara istilah adalah “Mencurahkan semua kemampuan untuk
mencari (jawaban) hukum yang bersifat dzanni, hingga merasa dirinya tidak mampu
untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”
2. Pengertian Taklid
Taklid atau Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
sumber atau alasannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa
mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
Taqlid yang umum  : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia
mengambil rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan
agamanya. Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka
ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-
orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara
mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari
keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus
tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui
ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
Pada dasarnya hukum asal dari taklid adalah dilarang, ia menjadi dibolehkan
ketika seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam
memahami nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Tingkatan Taqlid
Sebenarnya mujtahid Muntasib, Mujtahid fil Madzahib, dan Mujtahid Murajjih
itu juga bisa dikatakan orang yang taqlid. Sebab, walaupun mereka berijtihad, tetapi
mereka menggabungkan diri dalam salah satu madzhab. Namun demikian, mereka
tetaplah disebut sebagai mujtahid karena memang melakukan istinbath. Namun istinbath
yang mereka lakukan tidak keluar dari ushul yang dikonsep imam mereka, bahkan tidak
keluar dari pendapat ulama sebelumnya dari madzhabnya, dan bahkan ada yang hanya
mencari mana pendapat ulama sebelumnya dalam madzhabnya yang dalil-dalilnya lebih
kuat. Namun tingkat keilmuan mereka dan methode yang mereka gunakan telah
mencapai syarat mujtahid pada tingkatan-tingakatan tersebut.
Sedangkan di bawah Mujtahid Murajjih terdapat juga tingkatan taqlid yang tidak
sampai kepada tingkat mujtahid.
1. Muwazzin.
Muwazzin adalah ulama yang sanggup membanding-bandingkan antara beberapa
pendapat dan riwayat. Misalnya mereka menetapkan bahwa qiyas yang dipakai dalam
pendapat ini lebih mengena dibanding penggunaan qiyas pada pendapat yang lain.
Atau pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya. Jadi hampir mirip
dengan Mujtahid Murajjih, namun lebih rendah dari Mujtahid Murajjih.
2. Muhafizh.
Muhafizh adalah ulama yang bertaqlid atau bermadzhab namun mempunyai hujjah
dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Mereka mampu membedakan antara
pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha’if, riwayat yang zhahir, madzhab yang
zhahir, riwayat yang nadir (langka). Diantara muhafizh adalah seperti para pengarang
kitab-kitab matan yang mu’tabar seperti kitab al-Kanz, ad-Durrul Mukhtar, al-
Wiqoyah dan al-Majma’. Mereka tidak menukil di dalam kitab-kitabnya pendapat-
pendapat yang ditolak (mardudah) dan riwayat-riwayat yang lemah (dha’if).
3. Muqollid.
Mereka adalah ulama yang mampu memahami kitab-kitab, tetapi tidak mampu
melakukan tarjih terhadap beberapa pendapat atau riwayat. Tingkat keilmuannya
belum cukup mendukung untuk dapat mentarjih. Mereka menerima ibarat yang
terdapat dalam kitab-kitab sebagaimana adanya dan tidak mampu mengklasifikasi
dalil-dalil, pendapat-pendapat maupun riwayat-riwayat.
Dan yang terendah dari tingkatan taqlid adalah taqlid muthlaq seperti yang
dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam,
mereka mengikuti pendapat imam mujtahid dalam madzhabnya, baik dengan mengetahui
dalilnya atau bahkan tanpa mengetahui dalilnya karena kemampuannya yang sangat-
sangat terbatas sekali.
Dengan adanya methode tertentu yang digunakan oleh Mujtahid Muthlaq yang
biasa kita sebut Imam Madzhab, maka seseorang dari madzhab A tidak bisa seenaknya
mengambil pendapat dari madzhab B, yang berbeda, untuk dia pegang dan diamalkan.
Karena pengambilan pendapat atau methode ijtihad madzhab B jelas memeiliki beberapa
perbedaan dengan methode yang digunakan dalam madzhab A.
Memang benar dalam satu madzhab terkadang ada dua atau lebih pendapat. Dan
disitulah tugas mujtahid dalam madzhab tersebut untuk menjelaskannya. Memang bisa
saja terjadi pendapat madzhab A ada pendapat 1 dan 2, begitu pula pendapat madzhab B
ada pendapat 1 dan pendapat 2. Kebetulan pendapat A1 sama dengan pendapat B2. Maka
ketika orang dari madzhab A mengambil pendapat A1, hal ini tidak bisa dikatakan
sebagai pindah madzhab atau pun pencampuran madzhab. Karena orang itu memang
tidak sedang mengamalkan B2, tetapi sedang mengamalkan A1. Walau pendapatnya
sama, namun mungkin dalil dan methode yang digunakan untuk istinbathnya berbeda.
Jadi, tidak ada dikenal dalam ilmu ushul fiqh bahwa seseorang itu boleh memegang 2
madzhab atau lebih dalam waktu bersamaan. Dan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh
orang yang hanya baru ‘merasa mampu berijtihad’. Ijtihad hanya dilakukan oleh orang-
orang yang telah memenuhi syarat-syarat mujtahid..
E. Mengapa Umat Islam Bermazhab?
Sebagai keniscayaan dari fenomena ijtihad dan taklid yang menjadi realitas
keagamaan kaum Muslimin sepanjang masa, adalah lahirnya tradisi bermazhab. Mazhab
terbentuk dari banyak persoalan yang menjadi perselisihan di kalangan ulama. Lalu hasil
pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Secara bahasa arti mazhab adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba -
yazhabu – zihaaban. Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.
Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiyah dalam mengambil
kesimpulan hukum dari kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita
maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.
Mazhab Tidak Hanya Empat Saja Sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4
saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan.
Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja.
1. Pentingnya Bermazhab
Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama
dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada
dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang
sampai anti mazhab.
Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan
kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya
sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari
perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk
bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama MasPaijo,
mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan
mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya
mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-
Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah.
Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang
dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk
memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.
Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada, maka
minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini
orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa
disadarinya.
2. Lalu bolehkah seseorang mendirikan mazhab sendiri?
Jawabnya tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath
(menyimpulkan) sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat
sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya mazhab-mazhab itu ibarat
seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pastimemerlukan sistem operasi
(OS).
Tidak mungkin seseorang menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik
Windows, Linux, Mac OS atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia
komputer menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi,
manusia hanya bicara dengan mesin.
F. Talfiq
Kata talfiq dalam bahasa Arab merupakan bentuk isim masdar dari ‫لفّق‬-
 ‫ تلفيقا‬- ‫يلفً‹‹ق‬yang secara etimologi berarti mencampuradukkan atau menggabungkan
satu persoalan dengan persoalan lain. Atau, talfiq juga diartikan menyamakan
atau merapatkan dua tepi yang berbeda.
Talfiq menurut terminologinya berarti
‫العمل في المسئلة بحكم مؤ لف من مجموع مذ هبين فاكثر‬
Artinya:
“Menyelesaikan satu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan
(gabungan) dua mazhab atau lebih.”
Seperti talfiq dalam masalah persyaratan sahnya nikah, yaitu dengan cara: mengenai
persyaratan wali nikah mengikuti satu mazhab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan
penyebutan mahar mengikuti mazhab yang lain.
G. Perbedaan Mazhab
Di satu sisi, mengikuti salah satu mazhab empat menjadi suatu keharusan bagi kaum
Muslimin. Akan tetapi di sisi lain, kita dapati, diantara mazhab-mazhab empat ada sekian
banyak perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat diantara mazhab fiqih yang empat memang banyak sekali terjadi
dan menjadi realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi apabila dicermati,
perbedaan pendapat itu bukan unsur kekurangan dan sumber  malapetaka bagi kaum
Muslimin. Bahkan sebaliknya, perbedaan pendapat itu termasuk unsur kesempurnaan
syariat Islam dan menjadi rahmat bagi kaum Muslimin.
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya mazhab, sebagai
bagian dari proses sejarah penetapan hukum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in,
hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah Abbasiyah, akan tetapi harus diakui
madzhab telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam penetapan hukum fiqh
Islam.Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan perbedaan persepsi
dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid.Menganut
paham untuk bermahzab, dikarenakan faktor “ketidakmampuan” kita untuk menggali
hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah).
Bermadzhab secara benar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa sungguhnya
pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu
yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam.
Berikut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan, metode penetapan penggalian
hukum (thariqah al-istinbath) di kalangan Imam mujtahid. Dimana bisa disimpulkan secara
garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam);
Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan;
Ketiga: perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
H. Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah
Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain
oleh Allah SWT kemudian diperintahkan kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengerjakannya.
Seperti shalat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket
dari Allah turun kepada Rasulullah s.a.w. kemudian  wajib ditirukan oleh umatnya tanpa
boleh menambah atau memperbaharui sedikit pun.
Ibadah Mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah
ditetapkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang
termasuk mahdhah, adalah: wudhu, tayammum, mandi hadats, shalat, shiyam (puasa), haji,
umrah.
Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip, yaitu:
1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun
as-Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau
logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
2. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasulullah s.a.w. Salah satu tujuan diutus
rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh.
3. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya
berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah at-tasyrî’. Shalat,
adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan
ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun
yang ketat.
4. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan
Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan
untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
Ibadah Ghairu Mahdhah  adalah: seluruh perilaku seorang hamba yang
diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari
Rasulullah s.a.w..
Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah Ghairu Mahdhah atau umum ialah: segala
amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir,
dakwah, tolong-menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan
Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama
tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
2. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah s.a.w., Karenanya
dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang
menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka  bid’ahnya
disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
3. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat
atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut
logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
I. Pengamalan Hadits Dha’if
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik sabdanya,
perbuatannya maupun persetujuannya terhadap hal-hal yang dilakukan para Sahabat
(taqrir). Tidak semua hadits dapat diterima, sebab kadang dijumpai hadits-hadits palsu yang
disandarkan kepada Rasulullah Saw, sementara beliau tidak bersabda demikian. Karenanya
ulama membagi kriteria kualitas hadits menjadi tiga: shahih, hasan, dan dha’if.
Menurut istilah, yang dimaksud hadits dha’if adalah hadits yang belum
mengumpulkan sifat-sifat hadits shohih dan tidak pula sifat-sifat hadits hasan. Sifat-sifat
hadits hasan dan shohih adalah : sanadnya bersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya,
tidak menyelisihi hadits yang lebih kuat, dan tidak bercatat. Hadits dha’if menempati posisi
terendah dari macam-macam hadits.
Suatu hadits dikategorikan menjadi dha’if  dikarenakan dua faktor, yaitu : internal,
kedha’ifan pada diri perawi (seperti lemah ingatannya, tidak diketahui perilaku, dan
sebagainya), atau faktor eksternal, berupa terputusnya sanad (mata rantai para perawi yang
menghubungkan hadits sampai pada Nabi Saw).
Hadits-hadits dhaif  ini boleh diamalkan dalam masalah-masalah keutamaan,
memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak melakukan perbuatan dosa.
J. Bid’ah
Imam an-Nawawi (w. 676 H) dan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H)
mendefinisikan bid’ah dengan redaksi yang hampir sama yaitu: “Melakukan sesuatu yang
baru, yang tidak ditemukan di masa Rasulullah Saw.”
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
(Dalam Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah). Hal ini
sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah,
ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
‫ض‬ ِ ‫بَ ِدي ُع ال َّس َما َوا‬
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101)
maksudnya adalah mencipta (membuat) yang mana tidak ada contoh pada
sebelumnya.
Juga firman-Nya
‫ت بِ ْدعًا ِمنَ الرُّ ُس ِل‬ ُ ‫قُلْ َما ُك ْن‬
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang menyampaikan hal yang baru di antara rasul-
rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9),
Maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini dan
menyampaikan hal Baru (Melainkan Tauhid yang sama seperti Pendahuluku). Lisanul
‘Arob, 8/6 -Asy Syamilah
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan
oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
ِ ْ‫ص ُد بِال ُّسلُو‬
ُ‫ك َعلَ ْيهَا ال ُمبَالَ َغةُ فِي التَّ َعبُ ِ‹د هللِ ُسب َْحانَه‬ َ ‫ضا ِهي ال َّشرْ ِعيَّةَ يُ ْق‬
َ ُ‫ارةٌ ع َْن طَ ِر ْيقَ ٍة فِي ال ِّد ْي ِن ُم ْختَ َر َع ٍة ت‬ َ َ‫ِعب‬
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen)
yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya
adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala
K. Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail NU
Kata istinbath berasal dari kata “istanbatha” yang berarti “menemukan”,
“menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan secara istilah adalah
mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan sunah melalui kerangka teori yang
dipakai oleh ulama ushul, sehingga suatu istinbath identik dengan ijtihad yang oleh para
ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka.
Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh namanya
mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertian yang kedua, selain praktis, dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai
dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath dikalangan NU
terutama dalam kerja baths al-masa’ilnya Syuriah tidak dilakukan karena keterbatasan
pengetahuan. Sebagai gantinya, dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas
masalah-masalah waqi’ah yang terjadi melalui referensi yaitu kutub al fuqaha (kitab-kitab
karya para ahli fiqh).
Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam empat mazhab fiqih berpedoman pada
sumber utama yaitu al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Ulama telah menetapkan metode
dalam berijtihad di masing-masing mazhab. Demikian halnya dalam mazhab Syafi’iyah
yang lebih sering diikuti oleh Nahdlatul Ulama (NU). Dalam operasionalisasinya NU telah
menetapkan metodologi dan sistematika menjawab problematika, sebagaimana ditetapkan
dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung 1992.
L. Karakteristik Aswaja sebagai Metode Berfikir
Menurut Badrun, Ahlussunnah  wal jamaah yang dimaknai sebagai manhajul fiqr,
dideteksi dari ciri-cirinya sebagai berikut.
1. Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk
mencari konteksnya yang baru,
2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi
bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy).
3. Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang (furu’).
4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif.
5. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah
sosial dan budaya.18
Adapun karakter umum dari pola Ahlussunnah  waljamaah tertanam dalam
sikap tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), ta’adul (netral,keadilan),
dan tasamuh (toleran).
1. Tawasuth
Tawasuth adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap
ekstrimis. Dalam hal dosa besar, ia berada di antara teologi Khawarij dan Muktazilah.
Dalam masalah kepemimpinan, ia berada di antara khawarij dan Syiah , penganut garis
moderat di antara madhab liberal Muktazilah  dan madzhab literal Dawud Dahiri, dan
berada di garis tengan antara tradisi tasawuf madzhab kebatinan dengan kalangan
legalistik-formalistik yang membenci tasawuf. Tentu saja, sikap moderat ini memiliki
landasan ortodoksi sehingga bisa dibedakan dengan pengertian pragmatis-oportunis.
Kaitannya dengan konsep berbangsa dan bernegara, Ahlussunnah  waljamaah mampu
mengakomodir berbagai kepentingan golongan sehingga mampu dicapai kesepakatan
yang lebih baik (aslah). Hal ini sesuai dengan Firman Allah:             

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Albaqarah: 143).
2. Tawazun
Tawazun adalah sikap berimbang dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan
hukum atau kebijakan. Proses harmonisasi dan integralisasi antara dalil nash dengan
pertimbangan-pertimbangan rasio menyebabkan posisinya seimbang dalam melakukan
putusan/ kebijakan. Ia tidak terpolarisasi kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan
ekstrim kiri (liberalisme). Dalam hal sosial-politik pun, sikap tawazun diwujudkan
dengan pertimbangan secara komprehensif dan holistik, baik ekonnomi-politik,
geopolitik, sosio-kultur, dan hal-hal lainnya. Posisinya menanggapi kekuasaan, tentu saja
ia tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak suatu rezim, tetapi lebih melihat
prasyarat yang dipenuhi kekuasaan tersebut sudah dipandang memenuhi kaidah-
normativitas  atau kah tidak. Hal ini termaktub dalam surat Alhadid ayat 25

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti


yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS. Alhadid: 25).
3. Ta’adul
Ta’adul ialah sikap adil dalam menyikapi suatu persoalan. Adil adalah sikap
proporsional dalam menyikapi persoalan berdasarkan hak dan kewajiban. Ta’adul
berbeda dengan tamastul yang menghendaki kesamaan. Seseorang mampu mencapai
kesamaan dan kesetaraan jika realitas individu benar-benar sama persis dan setara dalam
segala sifat-sifatnya. Jika terjadi tafadlul (keunggulan), maka keadilan menuntut
perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Dalam konteks politik, sikap ta’adul ini tercermin
dalam proporsional antara kewajiban pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan dan
kemaslahatan publik dan haknya seperti mendapatkan tunjangan dan lain sebagainya.
Dengan hal ini, jika pemerintah tidak melaksanakan tugas itu atau mengambil hak rakyat,
ia telah melakukan aniaya. Begitu pula rakyat yang membangkang dari ketetapan
konstitusinal Negara, maka rakyat pun dinyatakan aniaya. Hal ini ditegaskan dalam
firman allah.

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Alma'idah: 9).
                                                                  
4. Tasamuh

18
Nur sayyid, op.cit, hal 160
Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran,
keyakinan, social kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Keragaman
merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Ia merupakan entitas yang hadir sebagai
ajang untuk bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah
peraudaraan yang utuh. Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis
dalam berkeyakinan karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa dicampur
dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran keyakinan agama
yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam mengelaborasi
perbedaan menjadi sebuah rahmat. Kaitannya dengan budaya, secara substansial budaya
ialah hasil dari akal budi manusia yang memiliki nilai luhur dan merupakan arkeologi
kesejarahan yang patut dihargai sebagai suatu kebijaksanaan. Dalam pandangan
Ahlussunnah  waljamaah, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan
dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan
nilai-nilai keislaman.
Dari sikap tasamuh inilah, Ahlussunnah  wal jamaah merumuskan konsep
persaudaraan (ukhuwwah) universal. Hal ini meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan
keislaman), ukhuwwah wathaniyyah  (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah
basyariyyah  atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk
menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari
firman Allah SWT:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Alhujurat; 13).

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)

Anda mungkin juga menyukai