Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "HAKIKAT IMAN KEPADA
ALLAH" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Aqidah. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nina selaku guru Mata Pelajaran Sejarah.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
HAKIKAT IMAN KEPADA ALLAH
TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami tentang keimanan kepada wujud ALLAH , tauhid kepada Allah,
makna Laa Ilaha illallah, hakikat dan dampak dua kalimah syahadah, hal-hal yang membatalkan
dua kalimah syahadah, ilmu Allah, Ma‟iyyatullah, syirik kepada Allah.
1. Dalil-dalil Wahyu
Firman Allah subhanahu wa ta‟ala :
“Sesungguhnya Rob kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam
kepadan siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan- Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing- masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
suci Allah, Rob semesta alam.” (QS. Al-A‟raaf:54).
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah Dia dari (arah)
pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari
sebatang pohon kayu, Yaitu: "Ya Musa, Sesungguhnya Aku adalah Allah, Rob
semesta alam”(QS. Al-Qashas: 30).
2. Dalil-dalil Akal
Keberadaan alam semesta, dan beragam makhluk yang kesemuanya bersaksi atas
keberadaan Penciptanya, yaitu Allah subhanahu wa ta‟ala , sebab di dunia ini tidak ada
satu pihak pun yang mengaku menciptakan alam ini selain Allah subhanahu wa
ta‟ala Akal memandang mustahil keberadaan sesuatu tanpa pencipta, bahkan akal
memandang mustahil terjadinya sesuatu yang paling luas tanpa pencipta. Itu sama
saja seperti keberadaan makanan tanpa ada pihak yang memasaknya, atau
keberadaan permadani diatas tanah tanpa ada pihak yang menggelarnya.
Kalau begitu, bagaimana dengan alam yang besar ini langit dengan orbit-orbit di
sekitarnya, matahari, bulan, bintang- bintang, semuanya berbeda bentuk, ukuran
dimensi dan perjalanannnya? Bagaimana dengan bumi dan apa saja yang diciptakan
di dalamnya,manusia, jin, hewan, disamping berbagai ras manusia dan
individu-individu yang berbeda warna, berbeda bahasa, berbeda pengetahuan,
berbeda pemahaman, berbeda ciri khas, tambang-tambang yang banyak sekali yang
di dalamnya terdapat banyak sekali manfaat, sungai- sungai yang dialirkan di
dalamnya, tanah keringnya di kelilingi laut-laut, tumbuh-tumbuhan dan pohon
yang tumbuh di
dalamnya yang berbeda buahnya, berbeda jenisnya, berbeda rasanya, berbeda
aromanya, berbeda cirri-cirinya, dan berbeda manfaatnya? (Abu Bakar Jabir Al-
Jazairi, 2009:4).
Begitu juga dengan adanya Al-Qur‟an sebagai firman Allah
subhanahu wa ta‟ala di tangan kita yang bisa kita baca, renungkan, dan
pahami makna-maknanya. Itu semua dalil tentang keberadaan Allah subhanahu wa
ta‟ala karena mustahil ada firman tanpa ada pihak yang memfirmankannya, dan
mustahil ada ucapan tanpa ada pihak yang mengucapkannya.
Tidak ada seorangpun sejarawan atau ahli sejarah pun yang berani menghapus
salah satu kisah dari sekian banyak kisah yang telah dikisahkan di dalam kitab
suci-Nya karena teori- teori ilmiyah dan fakta-fakta sejarah menunjukan akan
kebenaran itu semua.
Selain itu, adanya sistem yang sangat cermat dalam bentuk ketentuan-ketentuan
alam pada makhluq, penciptaan, dan pengembangan semua makhluk hidup di alam
raya ini. Semua makhluk hidup tunduk dengan ketentuan-ketentuan tersebut, terkait
dengannya dan tidak keluar daripadanya dalam kondisi apapun. Manusia misalnya,
spermanya menempel pada rahim, kemudian tahapan-tahapan ajaib berlangsung
padanya dan tidak ada yang mampu melakukan intervensi di dalamnya selain Allah
subhanahu wa ta‟ala , tiba-tiba sperma tersebut keluar menjadi manusia sempurna.
Ketentuan umum pada manusia dan hewan juga berlaku pada pohon-pohon, dan
tumbuh-tumbuhan. Hal yang sama adalah orbit bintang, dan benda angkasa,
semuanya tunduk pada-Nya. Seandainya ada yang keluar dari ketentuan-
ketentuan atau hukum-hukum alam tersebut seperti bintang keluar dari
orbitnya, maka duniapun akan hancur dan kehidupan ini berakhir.
Demikianlah deskripsi global dalil-dalil wahyu dan dalil- dalil akal tentang
wujud Allah subhanahu wa ta‟ala. Adapun secara spesifik dalil-dalil global tersebut
dirincikan lagi menjadi beberapa argumentasi atau dalil seperti, argumentasi fitrah,
argumentasi logika, argumentasi syara‟, dan argumentasi inderawi.
a. Argumentasi Fithrah
Bukti fitrah tentang wujud Allah subhanahu wa ta‟ala adalah bahwa iman kepada
sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir
atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di
dalam hatinya terdapat sesuatu yang memalingkannya
b. Argumentasi Logika
Bukti logika tentang wujud Allah subhanahu wa ta‟ala adalah proses terjadinya
semua makhluk yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang
menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak
mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan
sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri.
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang
diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan yang
indah, tersusun rapi, dan saling terkait antara sebab-musababnya dan antara
alam semesta satu sama lainnya.
Dalam Tafsir Al-Azhar Buya Hamka menafsirkan ayat tersebut: “apakah mereka
diciptakan tanpa sesuatupun, yaitu terjadi saja sendiri dengan tidak ada yang
menciptakan? Atau manusia ada di dunia ini karena manusia itu sendiri yang
menciptakan diri dengan tidak ada penciptanya? “ataukah mereka yang telah
menciptakan semua langit dan bumi?” Artinya, kalau tidak percaya bahwa Allah
subhanahu wa ta‟ala pencipta alam ini seluruhnya, beranikah kamu menyatakan bahwa
langit dan bumi itu kamu sendiri penciptanya? (Hamka, 1986:89).
Dalam perspektif logika manusia, seandainya ada seseorang berkata kepada anda
tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai,
dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan
penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada anda bahwa istana dengan segala
kesempurnaanya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara
kebetulan tanpa pencipta, pasti anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap
perkataan itu adalah perkataan dusta. Kini tanyakanlah kepada akal anda, masih
mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang ada di dalamnya
tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan? Tentu jawabannya
tidak. Karena pencipta, pengatur dan pemelihara alam semesta ini adalah Allah
subhanahu wa ta‟ala.
Dengan menggunakan akal pikiran untuk merenungkan dirinya sendiri,
merenungkan alam semesta dan lain-lainya seorang manusia bisa membuktikan
adanya Allah subhanahu wa ta‟ala. (Yunahar Ilyas, 2013:13).
c. Argumentasi Syara‟
Bukti syara‟ tentang wujud atau keberadaan Allah subhanahu wa ta‟ala bahwa
seluruh kitab samawi (yang diturunkan dari langit) berbicara tentang itu. Seluruh
hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut
merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rab yang maha Bijaksana dan
Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-
Nya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan
kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti
bahwa kitab-kitab itu datang dari Rab Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang
diberitakan itu
d. Argumentasi Faktual
Bukti inderawi tentang wujud Allah subhanahu wa ta‟ala
dapat dibagi menjadi dua:
1. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya do‟a orang-orang yang
berdo‟a serta penolong-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang
mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah
subhanahu wa ta‟ala.
Allah subhanahu wa ta‟ala. berfirman
:“Dan (ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdo‟a, dan Kami
memperkenankan do‟anya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari
bencana yang besar.” ( QS. Al-Anbiya : 76).
: “Lalu Kami mewahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.”
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”
(QS. Asy-Syuara‟ : 63).
B. Mentauhidkan Allah SUBHANAHU WA TA‟ALA
1. Hakikat dan Kedudukan Tauhid
Dalil-dalil yang menunjukan akan tinggi dan agungnya kedudukan Tauhid
adalah sebagai berikut, Firman Allah subhanahu wa ta‟ala :
"Aku menciptakan jin dan manusia, tiada lain hanyalah untuk beribadah
kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat:56).
Ibadah merupakan penghambaan diri kepada Allah subhanahu wa ta‟ala.. dengan
mentaati segala perintah-Nya dan inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya
ialah penyerahan diri kepada Allah subhanahu wa ta‟ala. semata-mata yang disertai
dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.
Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin,
yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta‟ala dan suatu amal diterima
oleh Allah sebagai suatu ibadah apabila diniati ikhlash, semata-mata karena
Allah subhanahu wa ta‟ala dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam.
Bahwasanya Dia adalah pemberi rizki bagi setiap manusia, bintang dan makhluk
lainnya. Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:
b. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengimani bahwasanya Allah subhanahu wa ta‟ala satu-
satunya Al-Ma‟bud yang berhak untuk diibadahi. (Yunahar Ilyas, 2013:28).
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta‟ala dengan
perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari‟atkan seperti do‟a,
nadzar, kurban, raja‟ (pengharapan), takut, tawakal, raghbah (senang), rahbah
(takut) dan inabah (kembali/taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para
Rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. (Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al Fauzan, 2001:53).
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:
: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
diibadahi) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS.Al-
Anbiyaa‟ : 25).
Tauhid Uluhiyah berkonsekuensi untuk benar-benar mengimani bahwa Dialah
Allah subhanahu wa ta‟ala , Ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu
baginya.
Al Ilah artinya “al ma‟luh”, yakni sesuatu yang disembah
dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil
Tuhan selain Allah subhanahu wa ta‟ala Mereka menyembah, meminta bantuan
dan pertolongan kepada selain Allah subhanahu wa ta‟ala dengan menyekutukan
Allah subhanahu wa ta‟ala.
Pengambilan sesembahan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah
dibatalkan oleh Allah subhanahu wa ta‟ala dengan dua bukti:
a) Sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan
uluhiyah sedikitpun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak
dapat menarik manfaat, tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati,
tidak memiliki sedkitpun dari langit dan tidak
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni
segala dosa selain dari (dosa syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. “(QS.
An-Nisa‟ : 48).
Dosa syirik yang tidak terampuni adalah dosa syirik yang dibawa mati,
adapun jika pelaku dosa syirik bertaubat sebelum mati maka dosanya
terampuni. Selain dalil yang disebutkan diatas juga terdapat beberapa dalil
tentang bahayanya kesyirikan diantaranya adalah, Firman Alla ta‟ala :
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah
mengharamkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, Dan tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”(QS. Al-Maidah : 72)
Dan sembelihan disini bersifat umum, tidak ada perbedaan hukum, apakah yang
disembelih berupa Sapi, Kambing, Ayam bahkan Lalat sekalipun. Selama
sembelihan tersebut ditujukan kepada selain Allah seperti ditujukan kepada
kuburan, Jin penunggu laut, pohon-pohon besar atau sebagai persembahan bagi
Jimat atau keris yang mereka miliki, maka pelakunya telah terjatuh dalam
perbuatan Syirik Akbar yang membatalkan keislaman seseorang.
Yunahar Ilyas (2013:40) menyimpulkan, “Tidak menegakan hukum Allah adalah termasuk
salah satu dari pembatal syahadah, berdasarkan firman Allah:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang- orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah 5: 44).
Dalam permasalahan ini, para ulama‟ seperti Ibnu Katsir dan yang semisalnya
membuat perincian hukum berdasarkan keadaan dan dalil-dalil yang ada :
Pertama: Apabila dia berkeyakinan bahwa ada hukum yang lebih sempurna
atau lebih baik dari hukum yang diturunkan oleh Allah, maka dia keislaman dan
syahadatnya batal.
Kedua: Apabila dia berkeyakinan bahwa ada hukum yang
sama baiknya atau sama sempurnanya dengan hukum yang dibawa oleh
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, maka keislaman dan syahadatnya juga
batal.
Ketiga: Apabila dia menganggap bahwa hukum yang
dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam adalah hukum yang sempurna dan
tidak ada yang semisalnya akan tetapi dia menyakini bahwa berhukum dengan
hukum yang dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bukanlah perkara
yang wajib dan dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum selain yang dibawa
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam adalah perkara yang diperbolehkan dan
bukan merupakan suatu keharaman, maka ini juga membatalkan keislaman dan
syahadatnya.
Keempat : Apabila dia menganggap bahwa hukum yang
dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam adalah hukum yang sempurna dan
wajib berhukum dengannya serta tidak diperbolehkan berhukum dengan selainnya
dalam keadaan dia sendiri berhukum dengan hukum selain dari hukum yang dibawa
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan dia berkeyakinan bahwa dengan
perbuatannya berhukum dengan hukum selain yang diturunkan oleh Allah tersebut
dia telah terjatuh dalam keharaman dan akan mendapat adzab atas apa yang telah
dia lakukan, maka dalam keadaan seperti ini dia
telah terjatuh dalam Kafir Ashgor yang tidak menyebabkan dia
keluar dari agama atau syahadatnya tidak batal, namun dia berdosa dan harus
bertaubat.
Adapun dalil tentang batalnya keislaman dan syahadat orang yang membenci
apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam walaupun dia
mengamalkannya adalah
firman Allah ta‟ala :
Dalilnya adalah:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok- olok?"Tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman. ... (QS. At-Taubah : 65-66).
Maka barangsiapa yang merendahkan suatu perkara dari perkara-perkara yang
dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam , baik berupa perkara yang
Fardhu, Wajib atau Sunnah maka sesungguhnya hal itu menjadikan dia murtad
dari agama.” (Muhammad bin Abdul Wahab, Syarah Nawaqidul Islam: 24).
Perkara seperti ini sebagaimana yang banyak ditemui di kalangan kaum sufi, mereka
berkeyakinan bahwa guru, kyai atau ulama meraka telah mencapai tingkatan
“Hakikat”, sehingga tidak lagi dibebani oleh syariat yang dibawa Rasulullah
Shalallahu alaihi wassallam, perkara yang wajib boleh mereka tinggalkansedangkan
perkara yang haram bebas untuk mereka kerjakan. Tidak asing lagi kita melihat
sebagian mereka tidak pernah pergi ke Mesjid untuk Shalat 5 waktu bahkan Shalat
Jum’at sekalipun, tidak jarang pula kita melihat mereka menikahi lebih dari 4 wanita di
waktu yang bersamaan dalam keadaan hal tersebut adalah perkara yang diharamkan.
F. Ilmu Allah
Allah mempunyai ilmu yang tidak terbatas, Dia maha mengetahui apa saja yang
yang ada di langit dan di bumi, baik yang ghaib maupun yang nyata. (Yunahar
Ilyas, 2013:56). Dalil-dalinya adalah Firman Allah:
Artinya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu Amat mudah bagi Allah.” (QS. AL-Hajj 22:
70).
G. Ma‟iyyatullah
Ma‟iyyah berasal dari kata ma‟a, artinya bersama. Maiyyatullah artinya
kebersamaan Allah. Di dalam kitab suci Al- Qur‟an kita menemukan kata ma‟a
yang menghubungkan antara Allah dengan manusia secara umum (Al-Hadid 57:
4, Al-Mujadilah 58: 7) dan juga kata ma‟a yang menghubungkan antara Allah
dengan hambanya yang mempunyai sifat-sifat khusus seperti shabirin ( Al-Baqarah
2: 153) dn muttaqin (Al- Baqarah 2:194) atau dengan Nabi seperti Musa dan
Harun (Thaha 20 :36), Nabi Muhammad dan Abu Bakar Ash Shiddik (At-Taubah 9:
40). (Yunahar Ilyas, 2013:62-63).
Sifat Ma‟iyatullah bagi Allah adalah pembahasan yang
sangat erat hubungannya dengan pembahasan tentang sifat
„Uluw bagi Allah. Karena diantara argumentasi para Ahli kalam dalam mengingkari
sifat „Uluw adalah berhujjah dengan dalil- dalil sifat Ma‟iyah.
H. Syirik
Yunahar Ilyas, (2013:70) menyimpulkan,“Syirik adalah mempersekutukan
Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam dimensi rububiyah maupun ilahiyah. Juga
syirik dalam asma‟ wa sifat Allah. Secara global Syirik terbagi menjadi syirik besar
dan syirik kecil.
1. Syirik Besar
Syirik besar adalah menjadikan sesuatu sebagai sekutu (tan- dingan) bagi Allah.
Ia memohon kepada sesuatu itu sebagaimana ia memohon kepada Allah. Atau
melakukan padanya suatu bentuk ibadah, seperti istighatsah (mohon pertolongan),
menyembelih hewan, bernadzar dan sebagainya. Dalam Shahihain disebutkan, Ibnu
Mas'ud meriwayatkan,
aku bertanya kepada Nabi, "Dosa apakah yang paling besar?" Beliau
menjawab: "Yaitu engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah
sedang-kan Dialah yang menciptakanmu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Macam-Macam Syirik Besar secara global adalah syirkud
du‟a, syirkut to‟ah, syirkul mahabbah dan syirkul khauf.
Diantara contoh kesyirikan adalah sebagai berikut:
a. Syirik dalam do'a
Yaitu berdo'a kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali, untuk
meminta rizki atau memohon kesembuhan dari penyakit atau berdoa kepada
kuburan. Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan
tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat
(yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-
orang yang zha-lim." (Yunus: 106).
Zhalim yang dimaksud oleh ayat ini adalah syirik. Dan
Rasulullah menegaskan dalam sabdanya:
"Barangsiapa meninggal dunia sedang dia memohon kepada selain Allah
sebagai tandingan (sekutu), niscaya dia masuk Neraka." (HR. Al-Bukhari)
b. Syirik (menyekutukanAllah) dalam sifat Allah:
Seperti kepercayaan bahwa para nabi dan wali mengetahui
hal-hal yang ghaib. Allah berfirman:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu
yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfudz)"(Al-An'aam: 59).
2. Syirik Kecil
Syirik kecil yaitu setiap perantara yang mungkin menyebabkan kepada syirik
besar, ia belum mencapai tingkat ibadah, tidak menjadikan pelakunya keluar
Islam, akan tetapi ia termasuk dosa besar