Anda di halaman 1dari 25

Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "HAKIKAT IMAN KEPADA
ALLAH" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Aqidah. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nina selaku guru Mata Pelajaran Sejarah.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
HAKIKAT IMAN KEPADA ALLAH
TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami tentang keimanan kepada wujud ALLAH , tauhid kepada Allah,
makna Laa Ilaha illallah, hakikat dan dampak dua kalimah syahadah, hal-hal yang membatalkan
dua kalimah syahadah, ilmu Allah, Ma‟iyyatullah, syirik kepada Allah.

SUB POKOK BAHASAN


1) Keimanan terhadap wujud Allah.
2) Mentauhidkan Allah.
3) Makna Laa Ilaha illallah.
4) Hakikat dan dampak dua kalimah syahadah.
5) Hal-hal yang membatalkan dua kalimah syahadah.
6) Ilmu Allah,
7) Ma‟iyyatullah.
8) Syirik kepada Allah

TUJUAN KHUSUS PEMBELAJARAN


1) Mahasiswa mampu menjelaskantentang hakikat keimanan terhadap wujud Allah.
2) Mahasiswa mampu menjelaskantentang tauhid kepada Allah.
3) Mahasiswa mampu menjelaskanmakna Laa Ilaha illallah.
4) Mahasiswa mampu menjelaskanhakikat dan dampak dua kalimah syahadah.
5) Mahasiswa mampu menjelaskanHal-hal yang membatalkan dua
kalimah syahadah.
6) Mahasiswa mampu menjelaskantentang Ilmu Allah,
7) Mahasiswa mampu menjelaskantentang Ma‟iyyatullah.
8) Mahasiswa mampu menjelaskantentang bahaya syirik kepada Allah
BAB II
HAKIKAT IMAN KEPADA ALLAH

Hakekat iman kepada Allah subhanahu wa ta‟ala. sebagaimana disebutkan


dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah: “Wajib kita mengimani.
DialahIlah atau Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan
Dialah yang pasti adanya, Dialah yang pertama tanpa permulaan dan
yang akhir tanpa penghabisan. Tiada sesuatupun yang menyamainya. Yang esa
dalam „uluhiyah-Nya, sifat dan perbuatan-Nya. Yang hidup dan pasti ada dan
mengadakan segala yang ada. Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dan
dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Perihalnya apabila Dia menghendaki
sesuatu Dia berfirman: “jadilah!” maka terjadilah sesuatu itu. Dan Dia maha
mengetahui segala yang mereka kerjakan. Yang berfirman dan memiliki segala sifat
kesempurnaan. Yang suci dari sifat mustahil dan segala kekurangan. Dialah yang
menjadikan sesuatu menurut kemauan dan kehendak-Nya. Segala sesuatu ada di
tanganNya dan kepadaNya akan kembali.” (PP. Muhammadiyah Majelis Tarjih,
2009:14).

Iman kepada Allah subhanahu wa ta‟ala. merupakan rukun


iman yang pertama dan iman kepada Allah subhanahu wa ta‟ala. mencakup iman
kepada wujudnya Allah subhanahu wa ta‟ala, mengimani dan mentauhidkan Allah
subhanahu wa ta‟ala dalam rububiyah, „uluhiyah dan asma‟ wa sifat Allah subhanahu wa
ta‟ala. Hidup manusia harus berdasarkan “TAUHID”, yaitu mengesakan
Allah subhanahu wa ta‟ala , beribadah serta patuh hanya kepada Allah subhanahu wa
ta‟ala semata. Begitulah pokok pikiran pertama dalam Mukaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah. (Musthafa Kamal Pasha, dkk. 2009 :161).
A. Beriman Kepada Wujud Allah SUBHANAHU WA
TA‟ALA.
Wujud (ada)-Nya Allah subhanahu wa ta‟ala adalah sesuatu yang badihiyah.
Badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi
karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi
perlu pembuktian. (Yunahar Ilyas, 2013:2).
Wujud atau keberadaan Allah subhanahu wa ta‟ala telah
dibuktikan oleh dalil-dalil yang sangat banyak. Secara global dalil-dalil tersebut
terbagi menjadi dua yaitu dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.

1. Dalil-dalil Wahyu
Firman Allah subhanahu wa ta‟ala :
“Sesungguhnya Rob kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam
kepadan siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan- Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing- masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
suci Allah, Rob semesta alam.” (QS. Al-A‟raaf:54).

Firman Allah subhanahu wa ta‟ala. ketika memanggil Nabi


Musa as :

“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah Dia dari (arah)
pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari
sebatang pohon kayu, Yaitu: "Ya Musa, Sesungguhnya Aku adalah Allah, Rob
semesta alam”(QS. Al-Qashas: 30).

2. Dalil-dalil Akal
Keberadaan alam semesta, dan beragam makhluk yang kesemuanya bersaksi atas
keberadaan Penciptanya, yaitu Allah subhanahu wa ta‟ala , sebab di dunia ini tidak ada
satu pihak pun yang mengaku menciptakan alam ini selain Allah subhanahu wa
ta‟ala Akal memandang mustahil keberadaan sesuatu tanpa pencipta, bahkan akal
memandang mustahil terjadinya sesuatu yang paling luas tanpa pencipta. Itu sama
saja seperti keberadaan makanan tanpa ada pihak yang memasaknya, atau
keberadaan permadani diatas tanah tanpa ada pihak yang menggelarnya.

Kalau begitu, bagaimana dengan alam yang besar ini langit dengan orbit-orbit di
sekitarnya, matahari, bulan, bintang- bintang, semuanya berbeda bentuk, ukuran
dimensi dan perjalanannnya? Bagaimana dengan bumi dan apa saja yang diciptakan
di dalamnya,manusia, jin, hewan, disamping berbagai ras manusia dan
individu-individu yang berbeda warna, berbeda bahasa, berbeda pengetahuan,
berbeda pemahaman, berbeda ciri khas, tambang-tambang yang banyak sekali yang
di dalamnya terdapat banyak sekali manfaat, sungai- sungai yang dialirkan di
dalamnya, tanah keringnya di kelilingi laut-laut, tumbuh-tumbuhan dan pohon
yang tumbuh di
dalamnya yang berbeda buahnya, berbeda jenisnya, berbeda rasanya, berbeda
aromanya, berbeda cirri-cirinya, dan berbeda manfaatnya? (Abu Bakar Jabir Al-
Jazairi, 2009:4).
Begitu juga dengan adanya Al-Qur‟an sebagai firman Allah
subhanahu wa ta‟ala di tangan kita yang bisa kita baca, renungkan, dan
pahami makna-maknanya. Itu semua dalil tentang keberadaan Allah subhanahu wa
ta‟ala karena mustahil ada firman tanpa ada pihak yang memfirmankannya, dan
mustahil ada ucapan tanpa ada pihak yang mengucapkannya.
Tidak ada seorangpun sejarawan atau ahli sejarah pun yang berani menghapus
salah satu kisah dari sekian banyak kisah yang telah dikisahkan di dalam kitab
suci-Nya karena teori- teori ilmiyah dan fakta-fakta sejarah menunjukan akan
kebenaran itu semua.
Selain itu, adanya sistem yang sangat cermat dalam bentuk ketentuan-ketentuan
alam pada makhluq, penciptaan, dan pengembangan semua makhluk hidup di alam
raya ini. Semua makhluk hidup tunduk dengan ketentuan-ketentuan tersebut, terkait
dengannya dan tidak keluar daripadanya dalam kondisi apapun. Manusia misalnya,
spermanya menempel pada rahim, kemudian tahapan-tahapan ajaib berlangsung
padanya dan tidak ada yang mampu melakukan intervensi di dalamnya selain Allah
subhanahu wa ta‟ala , tiba-tiba sperma tersebut keluar menjadi manusia sempurna.
Ketentuan umum pada manusia dan hewan juga berlaku pada pohon-pohon, dan
tumbuh-tumbuhan. Hal yang sama adalah orbit bintang, dan benda angkasa,
semuanya tunduk pada-Nya. Seandainya ada yang keluar dari ketentuan-
ketentuan atau hukum-hukum alam tersebut seperti bintang keluar dari
orbitnya, maka duniapun akan hancur dan kehidupan ini berakhir.
Demikianlah deskripsi global dalil-dalil wahyu dan dalil- dalil akal tentang
wujud Allah subhanahu wa ta‟ala. Adapun secara spesifik dalil-dalil global tersebut
dirincikan lagi menjadi beberapa argumentasi atau dalil seperti, argumentasi fitrah,
argumentasi logika, argumentasi syara‟, dan argumentasi inderawi.

a. Argumentasi Fithrah
Bukti fitrah tentang wujud Allah subhanahu wa ta‟ala adalah bahwa iman kepada
sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir
atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di
dalam hatinya terdapat sesuatu yang memalingkannya

Fitrah dalam hadits diatas bisa dipahami sebagai Islam


(Fitrah manusia untuk mentauhidkan Allah subhanahu wa ta‟ala
), karena Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam hanya menyebutkan kedua orang tua
bisa berperan menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi, tanpa menyebut
“mengislamkan”. Jadi hadits di atas bisa dipahami “setiap anak
dilahirkan sebagai seorang muslim…” Namun demikian fitrah manusia tersebut
merupakan potensi dasar yang harus dipelihara dan dikembangkan. Apabila
fitrah tersebut tertutup oleh beberapa faktor luar, manusia akan lari dan menentang
fitrahnya sendiri. (Yunahar Ilyas, 2013:12).

b. Argumentasi Logika
Bukti logika tentang wujud Allah subhanahu wa ta‟ala adalah proses terjadinya
semua makhluk yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang
menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak
mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan
sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri.
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang
diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan yang
indah, tersusun rapi, dan saling terkait antara sebab-musababnya dan antara
alam semesta satu sama lainnya.

Dalam Tafsir Al-Azhar Buya Hamka menafsirkan ayat tersebut: “apakah mereka
diciptakan tanpa sesuatupun, yaitu terjadi saja sendiri dengan tidak ada yang
menciptakan? Atau manusia ada di dunia ini karena manusia itu sendiri yang
menciptakan diri dengan tidak ada penciptanya? “ataukah mereka yang telah
menciptakan semua langit dan bumi?” Artinya, kalau tidak percaya bahwa Allah
subhanahu wa ta‟ala pencipta alam ini seluruhnya, beranikah kamu menyatakan bahwa
langit dan bumi itu kamu sendiri penciptanya? (Hamka, 1986:89).

Dalam perspektif logika manusia, seandainya ada seseorang berkata kepada anda
tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai,
dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan
penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada anda bahwa istana dengan segala
kesempurnaanya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara
kebetulan tanpa pencipta, pasti anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap
perkataan itu adalah perkataan dusta. Kini tanyakanlah kepada akal anda, masih
mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang ada di dalamnya
tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan? Tentu jawabannya
tidak. Karena pencipta, pengatur dan pemelihara alam semesta ini adalah Allah
subhanahu wa ta‟ala.
Dengan menggunakan akal pikiran untuk merenungkan dirinya sendiri,
merenungkan alam semesta dan lain-lainya seorang manusia bisa membuktikan
adanya Allah subhanahu wa ta‟ala. (Yunahar Ilyas, 2013:13).

c. Argumentasi Syara‟
Bukti syara‟ tentang wujud atau keberadaan Allah subhanahu wa ta‟ala bahwa
seluruh kitab samawi (yang diturunkan dari langit) berbicara tentang itu. Seluruh
hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut
merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rab yang maha Bijaksana dan
Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-
Nya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan
kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti
bahwa kitab-kitab itu datang dari Rab Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang
diberitakan itu

d. Argumentasi Faktual
Bukti inderawi tentang wujud Allah subhanahu wa ta‟ala
dapat dibagi menjadi dua:
1. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya do‟a orang-orang yang
berdo‟a serta penolong-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang
mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah
subhanahu wa ta‟ala.
Allah subhanahu wa ta‟ala. berfirman
:“Dan (ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdo‟a, dan Kami
memperkenankan do‟anya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari
bencana yang besar.” ( QS. Al-Anbiya : 76).

2. Nabi membawa mukjizat yang dapat disaksikan atau didengar banyak


orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi
tesebut, yaitu Allah subhanahu wa ta‟ala , karena hal-hal itu berada di luar
kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai penguat dan penolong bagi
para Rasul.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, lalu
terbelahlah laut itu, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-
gunung yang bergulung.

Allah ta’alla berfirman

: “Lalu Kami mewahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.”
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”
(QS. Asy-Syuara‟ : 63).
B. Mentauhidkan Allah SUBHANAHU WA TA‟ALA
1. Hakikat dan Kedudukan Tauhid
Dalil-dalil yang menunjukan akan tinggi dan agungnya kedudukan Tauhid
adalah sebagai berikut, Firman Allah subhanahu wa ta‟ala :
"Aku menciptakan jin dan manusia, tiada lain hanyalah untuk beribadah
kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat:56).
Ibadah merupakan penghambaan diri kepada Allah subhanahu wa ta‟ala.. dengan
mentaati segala perintah-Nya dan inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya
ialah penyerahan diri kepada Allah subhanahu wa ta‟ala. semata-mata yang disertai
dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.

Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin,
yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta‟ala dan suatu amal diterima
oleh Allah sebagai suatu ibadah apabila diniati ikhlash, semata-mata karena
Allah subhanahu wa ta‟ala dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam.

Firman Allah subhanahu wa ta‟ala :


“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap- tiap umat (untuk
menyerukan): "Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu",
Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-
orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl: 36).
2. Keistimewaan Tauhid dan Dosa-Dosa yang
Diampuni Karenanya
Firman Allah subhanahu wa ta‟ala :
: "Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan
kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketenteraman
dan mereka itu adalah orang-orang yang menepati jalan hidayah." (QS. Al- An'
am: 82).
3. Barangsiapa Komitmen dengan Tauhid Dengan
Semurni-Murninya, Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab
Firman Allah subhanahu wa ta‟ala :
: "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang menjadi teladan,
senantiasa patuh kepada Allah dan menghadapkan diri (hanya kepada-Nya); dan
sama sekali ia tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik (kepada
Allah)" (QS.An-Nahl: 120).
sebuah riwayat dari Hushain bin 'Abdurrahman menuturkan:
"Suatu ketika aku berada di sisi Sa'id bin Jubair, lalu ia bertanya: "Siapakah di
antara kalian melihat bintang yang jatuh semalam." Aku pun menjawab: "Aku."
Kemudian kataku:"Ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak dalam
keadaan shalat, tetapi terkena sengatan kalajengking." Ia bertanya: "Lalu apa
yang kamu perbuat?" Jawabku: "Aku meminta ruqyah." Ia bertanya lagi:
"Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal itu?" Jawabku: "Yaitu:
sebuah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya'bi kepada kami." Ia bertanya lagi:
"Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu?" Kataku: "Dia menuturkan
kepada kami hadits dari Buraidah bin Al- Hushaib:"Tidak dibenarkan
melakukan ruqyah kecuali karena 'ain' atau terkena sengatan".Sa'id pun berkata:
"Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah
didengarnya; tetapi Ibnu'Abbas menuturkan kepada kami hadits dari Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam.bahwa beliau bersabda: "Telah diperlukan kepadaku umat-umat.
Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi,
bersamanya satu dan dua orang; serta seorang nabi, dan tak seorang pun
bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; aku pun
mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku: Ini adalah
Musa bersama kaumnya. Lalu, tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar
pula, maka dikatakan kepadaku: ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada
tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk Surga tanpa hisab dan tanpa
adzab." Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka
orang- orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada di antara
mereka yang berkata: Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat
RasuIlullah shallallahu „alaihi wa sallam. Ada lagi yang berkata: Mungkin saja
mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga
mereka tidak pernah berbuat syirik sedikit pun kepada Allah. Dan mereka
menyebutkan lagi beberapa perkara yang lain. Ketika Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallamkeluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka
beliau bersabda: "Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah,
tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan, tidak
melakukan tathayyur" dan mereka pun bertawakkal kepada Tuhan mereka. " Lalu
berdirilah 'Ukasyah bin Mihshan dan berkata:
Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka. Beliau
menjawab: "Kamu termasuk golongan mereka. "Kemudian berdirilah seorang
yang lain dan termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: "Kamu sudah
kedahuluan berkata: MohonkanIah kepada Allah agar aku juga
'Ukasyah."(HR. Bukhari: 3410. Muslim:
220).
4. Macam-MacamTauhid
Secara Global Tauhid terbagi menjadi tiga yaitu Tauhid
Rububiyah, Tauhid uluhiyah dan Tauhid Asma‟ wa Sifat.
a. Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya
Dzat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya
(Rabbul „alamin). Allah subhanahu wa ta‟ala adalah satu-satunya Dzat yang mencipta,
mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia ( Rabun Naas). Allah satu-
satunya Dzat yang mencipta semua makhluk yang ada dijagad raya ini dengan
kemauan dan kekuasaan-Nya semata. (Musthafa Kamal Pasha, dkk, 2005:171).
Tauhid Rububiyah yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta‟ala dalam segala
perbuatan-Nya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap
makhluk. (Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, 1998:19).
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia


memelihara segala sesuatu.” (QS.Az-Zumar: 62).

Bahwasanya Dia adalah pemberi rizki bagi setiap manusia, bintang dan makhluk
lainnya. Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

b. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengimani bahwasanya Allah subhanahu wa ta‟ala satu-
satunya Al-Ma‟bud yang berhak untuk diibadahi. (Yunahar Ilyas, 2013:28).
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta‟ala dengan
perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari‟atkan seperti do‟a,
nadzar, kurban, raja‟ (pengharapan), takut, tawakal, raghbah (senang), rahbah
(takut) dan inabah (kembali/taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para
Rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. (Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al Fauzan, 2001:53).
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:
: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
diibadahi) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS.Al-
Anbiyaa‟ : 25).
Tauhid Uluhiyah berkonsekuensi untuk benar-benar mengimani bahwa Dialah
Allah subhanahu wa ta‟ala , Ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu
baginya.
Al Ilah artinya “al ma‟luh”, yakni sesuatu yang disembah
dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil
Tuhan selain Allah subhanahu wa ta‟ala Mereka menyembah, meminta bantuan
dan pertolongan kepada selain Allah subhanahu wa ta‟ala dengan menyekutukan
Allah subhanahu wa ta‟ala.
Pengambilan sesembahan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah
dibatalkan oleh Allah subhanahu wa ta‟ala dengan dua bukti:
a) Sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan
uluhiyah sedikitpun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak
dapat menarik manfaat, tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati,
tidak memiliki sedkitpun dari langit dan tidak

Allah subahanallahu ta’alla berfirman:

:“Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain daripadaNya (untuk


disembah), yang sesembahan- sesembahan itu tidak menciptakan apapun, bahkan
mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan
dari dirinya dan tidak (pulauntuk mrngambil) sesuatu manfaatpun dan (juga) tidak
kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” ( QS. Al-Furqan
: 3).

Kalau demikian keadaan sesembahan-sesembahan itu, maka sungguh


sangat batil bila menjadikan mereka sebagai Ilah dan tempat meminta
pertolongan.
b) Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah subhanahu wa ta‟ala adalah
satu-satunyaRab, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka
juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat
melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti
mereka mengEsakan Rububiyah (ketuhanan) Allah.

Allah subahallahu wa ta’alla :

“Hai manusia, Ibadahi-lahRabmu yang telah menciptakanmu dan orang-


orag yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, Dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamumengadakan sekutu- sekutu
bagi Allah, padahal kamu mengetahiu.”(QS. Al- Baqarah : 21-22).
c. Tauhid Asma‟ wa Sifat
Al-Asma‟ artinya nama-nama dan as-Shifat artinya sifat- sifat. Allah subhanahu
wa ta‟ala memiliki nama-nama dan sifat- sifat yang menunjukan kemaha
sempurnaanNya, sebagaimana disebutkan di dalam kitab suci Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam.(Yunahar Ilyas, 2013:51).
Makna Tauhid Asma‟ wa Sifat adalah beriman kepada
nama-nama Allah subhanahu wa ta‟ala dan sifat-sifatNya, sebagaimana diterangkan
dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul- Nya menurut apa yang pantas bagi Allah
subhanahu wa ta‟ala , tanpa ta‟wil dan ta‟thil (menghilangkan nama/sifat Allah subhanahu
wa ta‟ala , tanpa takyif (membagaimanakan hakekat Asma dan Sifat Allah subhanahu
wa ta‟ala.) dan tamtsil (menyerupakan Allah subhanahu wa ta‟ala dengan makhlukNya).
(Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, 2001:97).
Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‟ala , yakni :
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-
Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya dengan nama dan sifat yang
sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa melakukan tahrif
(penyelewengan makna), ta‟thil (peniadaan nama dan sifat tersebut), takyif
(menanyakan bagaimana hakekat nama dan sifat tersebut), dan tamstil
(menyerupakan dengan makhluk).
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:
“Allah mempunyai Asmaaul husna, maka
memohonlah kepadanya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-
namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” ( QS. Al-A‟raf : 180).
Dalam perkara ini ada dua bentuk penyimpangan dari Al-
Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu :
1. Penyimpangan Mu‟aththilah, yaitu penyimpangan terhadap Asma‟ dan
Sifat Allah subhanahu wa ta‟ala dengan cara mengingkari nama-nama dan sifat-
sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja untuk menghindari penyerupaam
Allah subhanahu wa ta‟ala dengan makhluk- Nya. Hal tersebut termasuk
penyimpangan karena argumentasi-argumentasi sebagai berikut,
a. Allah subhanahu wa ta‟ala telah menetapkan untuk diri- Nya nama-nama
dan sifat-sifat, serta telah menafikan
sesuatu yang serupa denganNya.
b. Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan
adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia,
mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-
makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan
pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan,
kaki dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki
dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk- makhluk yang serupa dalam
nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan
antara khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebh jelas lagi.
2. Penyimpangan Musyabbihah, yaitu penyimpangan terhadap Asma‟ wa
Sifat Allah subhanahu wa ta‟ala dengan cara menetapkan nama-nama dan sifat-
sifat, tetapi menyerupakan Allah subhanahu wa ta‟ala dengan makhluknya.
Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash- nash Al Qur‟an, karena Allah
subhanahu wa ta‟ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang
dapat difahaminya. Hal tersebut termasuk penyimpangan karena argumentasi-
argumentasi sebagai berikut:
a. MenyerupakanAllah subhanahu wa ta‟aladenganmakhluk-
Nyajelasmerupakansesuatu yang bathil, menurutakalmaupunsyara‟.
Padahaltidakmungkinnash- nashkitabsuci Al-Qur‟an
dansunnahRasulmenunjukkanpegertianyangbathil.
b. Allah subhanahu wa ta‟ala berbicara dengan hamba-
hambaNya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari
segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan Dzat
dan sifat Allah subhanahu wa ta‟ala adalah hal yang hanya diketahui oleh
Allah subhanahu wa ta‟ala saja.
Apabila Allah subhanahu wa ta‟ala menetapkanuntuk diri-
Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari
segi maknanya, yaitu menemukan suara- suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan
kepada pendengaran Allah subhanahu wa ta‟ala tidak maklum, karena hakekat
pendengaran jelas berbeda, walaupun pada makluk-makhluk sekalipun. Jadi
perbedaan hakikat itu antara pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah subhanahu wa ta‟ala memberitakan tentang
diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arasy-Nya, maka bersemayam dari segi
asal maknanya sudah maklum, tetapi hakekat bersemayamnya Allah itu tidak dapat
diketahui.
Kita harus mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta‟ala
bersemayam di atas „Arsy, tanpa mempertanyakan bagaimana caranya Allah
subhanahu wa ta‟ala bersemayam. Selain tidak akan bisa dijawab karena itu masalah
ghaib, juga tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menghabiskan waktu saja.
(Yunahar Ilyas,
203:53).

C. Makna Laa Ilaaha Ilallah


La yang terdapat pada awal iqrar La Ilaha Illallah adalah La Nafiyata Liljinsi,
yaitu huruf Nafi yang menafikan segala macam jenis ilah. Illa adalah huruf istisna
(pengecualian) yang mengecualikan Allah subhanahu wa ta‟ala dari segala macam
jenis ilah yang dinafikan. Bentuk kalimat seperti ini dinamai
kalimat manfi (negatif) lawan dari kalimat mutsbat (positip). Kalimat Illa berfungsi
mengitsbatkan kalimat yang manfi. Dalam kaidah bahasa arab itsbat sesudah
manfi itu mempunyai maksud alhashru (membatasi) dan taukid (menguatkan).
Dengan demikian kaliamat (La Ilaha Illallah) mengandung pengertian tidak ada
Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain Allah subhanahu wa ta‟ala
semata. (Yunahar Ilyas, 2013:31). Atau dengan istilah La Ma‟buuda Bihaqqin Illallah
Tidak ada Ilah atau sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah.
Kalimat laa ilaaha illallah ini mengandung makna penafian (peniadaan)
sesembahan selain Allah subhanahu wa ta‟ala dan menetapkannya hanya untuk Allah
subhanahu wa ta‟ala semata. Sehingga makna“La Ilaha Illallah” adalah“La Ma‟buuda
Bihaqqin Illallah” yang artinya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
kecuali Allah subhanahu wa ta‟ala
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak diibadahi
melainkan Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-
orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS.Muhammad: 19).
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam berdakwah di Makkah selama13 tahun,
beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab: "Katakanlah, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada
Tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah subhanahu wa ta‟ala.), maka mereka
menjawab: 'Hanya satu tuhan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?'
Demikian itu, karena bangsa Arab memahami makna kalimat ini.
Sesungguhnya barangsiapa
D. Hakikat dan Dampak Dua Kalimat Syahadat
Iqrar La Ilaha Illallah tidak akan dapat diujudkan secara benar tanpa
mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu Iqrar La Ilaha Illallah harus diikuti oleh Iqrar Muhammad
Rasulullah. Dan Iqrar itulah yang dikenal dengan dua kalimat syahadat
(syahadatain) yang menjadi pintu gerbang seseorang memasuki dien Allah subhanahu
wa ta‟ala.(Yunahar Ilyas, 2013:31).
Dalam buku Tanya jawab agama jilid 1 Tim PP.Muhammadiyah Majelis Tarjih,
(1990:31) menjelaskan, “Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Umar, orang yang masuk Islam wajib mengucapkan syahadatain,
karena orang Islam yang sempurna haruslah melakukan lima perbuatan, yakni
mengucapkan syahadat, melakukan shalat, membayar zakat, menunaikan haji bagi
yang mampu serta melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.
“ Dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: Agama
Islam dibangun diatas lima perkara, bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, dan mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,
dan berpuasa pada bulan ramadhan dan berhaji ke baitullah bagi yang mampu”
(Shahih Bukhari: 8. Shahih Muslim:16).
Melihat hadits ini pertama-tama yang harus dilakukan oleh orang yang masuk
Islam adalah mengucapkan syahadat. Dengan mengucapkan syahadat orang mulai
memasuki agama Islam, karena arti syahadat selain lahirnya mengucapkan
ucapan itu, juga sebagai awal pengakuannya bahwa hanya Allah-lah yang
berhak diibadahi dan juga pengakuannya bahwa Nabi Muhammad shallallahu „alaihi
wa sallam adalah Rasul (Utusan Allah subhanahu wa ta‟ala.). (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Majelis Tarjih, 1990:31).
Kalau inti dari syahadah yang pertama adalah beribadah hanya kepada Allah
subhanahu wa ta‟ala semata, maka inti dari syahadah kedua adalah menjadikan
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam sebagai titik pusat keteladanan (uswah
hasanah) baik dalam hubungan dengan Allah subhanahu wa ta‟ala (hablun minallah)
secara vertical, maupun hubungan dengan manusia (hablun minannas) secara
horizontal). (Yunahar Ilyas, 2013:32).
Beriman bahwasanya Muhammad shallallahu „alaihi wa
sallam.sebagai utusan Allah subhanahu wa ta‟ala , adalah membenarkan apa yang
dikabarkannya, menta'ati apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan apa yang
dilarang dan diperingatkan darinya, serta kita beribadah kepada Allah subhanahu wa
ta‟ala dengan apa yang disyari'atkannya.
Para Nabi dan Rasul dakwah pertama dan tujuan terbesar mereka di setiap masa
adalah meluruskan aqidah (keyakinan) terhadap Allah subhanahu wa ta‟ala ,
Meluruskan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Mengajak memurnikan
agama ini untuk Allah subhanahu wa ta‟ala dan hanya beribadah kepada Allah
subhanahu wa ta‟ala semata. Sesungguhnya Dia (Allah) Dzat yang memberikan
manfa'at. Yang mendatangkan mudharat. Yang berhak menerima ibadah, do'a,
penyandaran diridan sembelihan. Dahulu, dakwah para nabi diarahkan kepada
orang-orang yang menyembah berhala, yang secara terang-terangan menyembah
berhala-berhala, patung-patung dan orang-orang shalih yang dikultuskan, baik
yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman kepada Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam.:
:"Katakanlah, 'Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak
(pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya
aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-
banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah
pemberi peringatan, dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman'." (QS.Al-A'raaf: 188).
Dari Umar bin Khattab ra dari Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam.bersabda:"Janganlah kalian berlebih-lebihan
memuji (menyanjung) diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-
lebihan memuji Ibnu Maryam (Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba –Allah–
maka Katakanlah: 'Hamba Allah dan RasulNya'." (Shahih Al- Bukhari:3445.
Imam Ahmad dalam Musnad: 1/23).
Makna "Al-Itharuu-an"ialah berlebih-lebihan dalam memuji (menyanjung). Kita
tidak menyembah kepada Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam., sebagaimana
orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam, sehingga mereka terjerumus
dalam kesyirikan. Dan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam mengajarkan kepada
kita untuk mengatakan: "Muhammad
hamba Allah dan RasulNya."
Sesungguhnya kecintaan kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallamadalah
berupa keta'atan kepadaNya, yang diekspresikan dalam bentuk beribadah kepada
ALLAH Subhanahu Wa Ta‟ala.. semata dan tidak beribadahkepada selainNya,
meskipun ia seorang rasul atau wali yang dekat (di sisi Allah sw.).

E. Yang Membatalkan Dua Kalimat Syahadat


Banyak orang yang keliru mengira, bahwa kalau sudah mengucapkan dua
kalimat syahadat atau sudah memiliki nama yang islami, maka tidak ada satupun
sikap atau perbutan yang bisa membatalkan keislaman atau membatalkan dua
kalimat syahadatnya. Sebetulnya banyak sikap atau perbuatan seorang muslim yang
bisa membatalkan dua kalimah syahadnya. (Yunahar Ilyas, 2013:37).
Sebagaimana layaknya wudhu dan shalat yang memiliki perkara-perkara
pembatal. Maka keislaman seseorang pun dapat menjadi batal pula sebagaimana
shalat dan wudhu. Para ulama menyebutnya pembatal-pembatal keislaman,
sebab- sebab Kemurtadan atau pembatal dua kalimat syahadat. Dan perkara-perkara
pembatal keislaman ini sangatlah banyak. Namun secara global pembatal syahadat
adalah syirik akbar, kufur akbar dan nifak akbar. Secara spesifik diantara pembatal-
pembatal syahadat atau keislaman seseorang adalah sebagai berikut:
1. Syirkul Akbar (Syirik Besar) dalam beribadah kepada
Allah ta‟ala.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni
segala dosa selain dari (dosa syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. “(QS.
An-Nisa‟ : 48).
Dosa syirik yang tidak terampuni adalah dosa syirik yang dibawa mati,
adapun jika pelaku dosa syirik bertaubat sebelum mati maka dosanya
terampuni. Selain dalil yang disebutkan diatas juga terdapat beberapa dalil
tentang bahayanya kesyirikan diantaranya adalah, Firman Alla ta‟ala :
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah
mengharamkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, Dan tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”(QS. Al-Maidah : 72)

Dan termasuk dari perbuatan syirik adalah menyembelih hewan (berkurban)


yang ditujukan kepada selain Allah. Dalil bahwa berkurban hanya berhak ditujukan
untuk Allah semata, salah satunya adalah firman Allah ta‟ala :
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabbsemesta alam. Tiada sekutu bagiNya;
dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.(QS. Al-An‟am : 162-163)

Dan sembelihan disini bersifat umum, tidak ada perbedaan hukum, apakah yang
disembelih berupa Sapi, Kambing, Ayam bahkan Lalat sekalipun. Selama
sembelihan tersebut ditujukan kepada selain Allah seperti ditujukan kepada
kuburan, Jin penunggu laut, pohon-pohon besar atau sebagai persembahan bagi
Jimat atau keris yang mereka miliki, maka pelakunya telah terjatuh dalam
perbuatan Syirik Akbar yang membatalkan keislaman seseorang.

2. Tidak mengkafirkan orang-orang kafir atau ragu tentang kekafiran


mereka seperti pluralisme
Salah satu bentuk pembatal syahadat, pembatal keislaman adalah Pluralisme
yaitu menganggap semua agama benar dan berhak masuk surga. Para ulama telah
menukil Ijma‟ tentang batalnya keislaman, keimanan dan batalnya kalimat syahadat
seseorang yang tidak mengkafirkan kaum Musyrikin seperti Yahudi dan Nashara.
Sebagaimana dinukil Al Qodhi bin Iyadh dalam “Asy Syifa” (2/281) dan Ibnu
Taimiyah dalam “Majmu‟ Fatawa‟” (2/281). Syahadah dan keislaman mereka
batal dikarenakan telah mendustakan Allah dan RasulNya, karena dengan jelas
Allah telah mengkafirkan Yahudi, Nashara dan
Musyrikin sebagaimana Allah berfirman :
Artinya : ” Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang
yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahanam; mereka kekal di dalamnya.
mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”(QS. Al-Bayyinah : 6)
Selain dalil-dalil diatas juga terdapat beberapa ayat-ayat
yang lainnya yang banyak terdapat dalam Al Qur‟an.
3. Berkeyakinan ada hukum dan petunjuk yang lebih baik dan sempurna
dari Al-Quran dan As-Sunnah (hukum Allah)

Yunahar Ilyas (2013:40) menyimpulkan, “Tidak menegakan hukum Allah adalah termasuk
salah satu dari pembatal syahadah, berdasarkan firman Allah:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang- orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah 5: 44).
Dalam permasalahan ini, para ulama‟ seperti Ibnu Katsir dan yang semisalnya
membuat perincian hukum berdasarkan keadaan dan dalil-dalil yang ada :
Pertama: Apabila dia berkeyakinan bahwa ada hukum yang lebih sempurna
atau lebih baik dari hukum yang diturunkan oleh Allah, maka dia keislaman dan
syahadatnya batal.
Kedua: Apabila dia berkeyakinan bahwa ada hukum yang
sama baiknya atau sama sempurnanya dengan hukum yang dibawa oleh
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, maka keislaman dan syahadatnya juga
batal.
Ketiga: Apabila dia menganggap bahwa hukum yang
dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam adalah hukum yang sempurna dan
tidak ada yang semisalnya akan tetapi dia menyakini bahwa berhukum dengan
hukum yang dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bukanlah perkara
yang wajib dan dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum selain yang dibawa
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam adalah perkara yang diperbolehkan dan
bukan merupakan suatu keharaman, maka ini juga membatalkan keislaman dan
syahadatnya.
Keempat : Apabila dia menganggap bahwa hukum yang
dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam adalah hukum yang sempurna dan
wajib berhukum dengannya serta tidak diperbolehkan berhukum dengan selainnya
dalam keadaan dia sendiri berhukum dengan hukum selain dari hukum yang dibawa
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan dia berkeyakinan bahwa dengan
perbuatannya berhukum dengan hukum selain yang diturunkan oleh Allah tersebut
dia telah terjatuh dalam keharaman dan akan mendapat adzab atas apa yang telah
dia lakukan, maka dalam keadaan seperti ini dia
telah terjatuh dalam Kafir Ashgor yang tidak menyebabkan dia
keluar dari agama atau syahadatnya tidak batal, namun dia berdosa dan harus
bertaubat.

Rincian tersebut dapat dilihat pada kitab: (Tafsir Ibnu


Katsir dan Tafsir At Thabari pada tafsir surat Al Maidah ayat
44 serta “Syarah Aqidah Thahawiyah” Ibnu Abiel Iez: 323-334.)
4. Membenci sesuatu diantara ajaran Rasulullah walaupun dia
mengamalkannya.
Salah satu dalilnya adalah firman Allah Ta‟ala :
: “Yang demikian itu adalah Karena sesungguhnya mereka telah membenci kepada apa
yang telah diturunkan oleh Allah , lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala)
amal-amal mereka.”(QS. Muhammad : 9)

Adapun dalil tentang batalnya keislaman dan syahadat orang yang membenci
apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam walaupun dia
mengamalkannya adalah
firman Allah ta‟ala :

: “Dan tidak ada yang menghalangi nafkah-nafkah mereka untuk diterima


melainkan Karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan tidaklah
merekamengerjakan sembahyang, melainkan dengan rasa malas dan tidak
(pula) mereka
menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.”
(QS. At Taubah : 54)

5. Merendahkan atau mengolok-olok dan mempermainkan


Syariat Islam, ayat-ayat Allah dan Sunnah Rasulullah

Dalilnya adalah:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok- olok?"Tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman. ... (QS. At-Taubah : 65-66).
Maka barangsiapa yang merendahkan suatu perkara dari perkara-perkara yang
dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam , baik berupa perkara yang
Fardhu, Wajib atau Sunnah maka sesungguhnya hal itu menjadikan dia murtad
dari agama.” (Muhammad bin Abdul Wahab, Syarah Nawaqidul Islam: 24).

6. Berloyalitas kepada kaum kafir musyrikin dan menolong mereka


untuk menghancurkan kaum muslimin
Dalilnya adalah firman Allah ta‟ala :
“Dan barangsiapa diantara kalian berloyalitas kepada mereka (orang-orang
Musyrik) Maka Sesungguhnya diaitu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Maidah :
51)
7. Berkeyakinan bahwa sebagian manusia ada yang boleh keluar dan
bebas dari syariat Muhammad shalallahualaihiwassallam

Perkara seperti ini sebagaimana yang banyak ditemui di kalangan kaum sufi, mereka
berkeyakinan bahwa guru, kyai atau ulama meraka telah mencapai tingkatan
“Hakikat”, sehingga tidak lagi dibebani oleh syariat yang dibawa Rasulullah
Shalallahu alaihi wassallam, perkara yang wajib boleh mereka tinggalkansedangkan
perkara yang haram bebas untuk mereka kerjakan. Tidak asing lagi kita melihat
sebagian mereka tidak pernah pergi ke Mesjid untuk Shalat 5 waktu bahkan Shalat
Jum’at sekalipun, tidak jarang pula kita melihat mereka menikahi lebih dari 4 wanita di
waktu yang bersamaan dalam keadaan hal tersebut adalah perkara yang diharamkan.

F. Ilmu Allah
Allah mempunyai ilmu yang tidak terbatas, Dia maha mengetahui apa saja yang
yang ada di langit dan di bumi, baik yang ghaib maupun yang nyata. (Yunahar
Ilyas, 2013:56). Dalil-dalinya adalah Firman Allah:
Artinya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu Amat mudah bagi Allah.” (QS. AL-Hajj 22:
70).
G. Ma‟iyyatullah
Ma‟iyyah berasal dari kata ma‟a, artinya bersama. Maiyyatullah artinya
kebersamaan Allah. Di dalam kitab suci Al- Qur‟an kita menemukan kata ma‟a
yang menghubungkan antara Allah dengan manusia secara umum (Al-Hadid 57:
4, Al-Mujadilah 58: 7) dan juga kata ma‟a yang menghubungkan antara Allah
dengan hambanya yang mempunyai sifat-sifat khusus seperti shabirin ( Al-Baqarah
2: 153) dn muttaqin (Al- Baqarah 2:194) atau dengan Nabi seperti Musa dan
Harun (Thaha 20 :36), Nabi Muhammad dan Abu Bakar Ash Shiddik (At-Taubah 9:
40). (Yunahar Ilyas, 2013:62-63).
Sifat Ma‟iyatullah bagi Allah adalah pembahasan yang
sangat erat hubungannya dengan pembahasan tentang sifat
„Uluw bagi Allah. Karena diantara argumentasi para Ahli kalam dalam mengingkari
sifat „Uluw adalah berhujjah dengan dalil- dalil sifat Ma‟iyah.

1. Pengertian sifat Ma‟iyah


Yang dimaksud dengan sifat Ma‟iyah yaitu tentang sifat kebersamaan Allah
dengan makhluk-Nya. Seperti ungkapan seseorang: Allah bersama kita. Diantara
manusia ada yang memahami bahwa maksud dari kalimat kebesamaan dalam
ungkapan tersebut adalah bahwa Zat Allah ada di mana-mana dan bercampur-baur
dengan zat makhluk-Nya. Maka bagaimanakah duduk persoalan tersebut menurut
Al Qur‟an dan Sunnah.
2. Penggunaan kalimat bersama (‫ )عم‬dalam bahasa Arab Dijelaskan para oleh
pakar bahasa Arab bahwa kalimat bersama ( ‫)م‬ dalam bahasa Arab
hanya semata-mata menunjukkan tentang kebesamaan secara mutlak, tanpa
mengharuskan untuk saling berdampingan dan bersentuhan atau bercampur.
Karena kebersamaan itu bermacam-macam bentuknya:
a. Ada kebersamaan dalam segi tempat, seperti ungkapan seseorang: saya sama-
sama satu kampung dengannya.
b. Ada kebersamaan dalam segi masa, seperti ungkapan seseorang: saya sama-
sama lahir dengannya.
c. Ada kebersamaan dalam segi kedudukan dan jabatan, seperti ungkapan
seseorang: saya sama-sama-sama satu golongan dengannya.
d. Ada kebersamaan dalam segi pembelaan, sebagaimana
dalam firman Allah:
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Maksudnya Allah bersama kita dalam segi pertolongan dan pembelaan.”
(QS.At- Taubah: 40). Bukan berarti Allah bersama mereka dengan zat-Nya,
karena luas gua tersebut bila dibanding kebesaran Allah tidak ada atinya sama
sekali.
e. Ada kebesamaan dalam sisi pengawasan, sebagaimana dalam firman Allah:
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari
Allah, padahal Allah bersama mereka, ketika pada suatu malam mereka
menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak
redhai.”(QS. An-Nisaa‟: 108).
Maksudnya Allah bersama mereka yaitu melihat dan menyasikan apa yang
sedang mereka putuskan dalam rapat rahasia mereka tersebut. Bukan berarti
Allah menghadiri perundingan mereka tersebut dengan Zat- Nya.
f. Ada kebersamaan yang berarti menyatu, seperti
ungkapan seseorang aku minum teh bersama gula dan susu.
3. Pembagian sifat Ma‟iyah
Yunahar Ilyas (2013: 63-65) menyimpulkan, “Para ulama Ahlussunnah
menjelaskan bahwa Ma‟iyatullah terhadap makluk- Nya terbagi dalam dua bentuk
sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur‟an:
a. Ma‟iyah Ammah (ma‟iyah dalam betuk umum)
Pengertian dari Ma‟iyah Ammah yaitu kebersamaan Allah terhadap seluruh
makhluk dengan ilmu, penglihatan, pndengaran dan pengawasan-Nya. Disebut
Ma‟iyah Ammah karena ia umum terhadap seluruh makhluk, baik yang beriman
maupun yamg kafir sekalipun. Diantara ayat yang menunjukkan tentang
Ma‟iyah Ammah adalah beberapa firman Allah berikut ini:

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak tersembunyi dari


Allah, padahal Allah bersama mereka,
ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak
redhai. Dan Allah itu Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka
kerjakan”. (QS. An-Nisaa‟: 108).
Imam Thobari menjelaskan tentang maksud dari kalimat “Allah bersama mereka”
dalam ayat ini, yakni: Allah melihat dan menyasikan perbuatan mereka tersebut
sekalipun mereka berusaha menyembunyikannya dari manusia namun tidak
tersembunyi atas Allah Dan hal tersebut umum untuk semua makhluk tidak
khusus terhadap kelompok tertentu dari
manusia.
b. Ma‟iyah Al-Khashah (ma‟iyah dalam betuk khusus)
Yunahar Ilyas, (2013:66)menggambarkan tentang ma‟iyyah khusus ini, “mereka
selalu sadar akan pengawasan Allah dimanapun dan kapan saja. Mereka selalu
merasakan ihsanullah
yang tidak terhingga. Mereka mengamalkan firman Allah:
:“ Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah
dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara merekaialah ucapan.
"Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
(QS. An-Nuur 24:51).

H. Syirik
Yunahar Ilyas, (2013:70) menyimpulkan,“Syirik adalah mempersekutukan
Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam dimensi rububiyah maupun ilahiyah. Juga
syirik dalam asma‟ wa sifat Allah. Secara global Syirik terbagi menjadi syirik besar
dan syirik kecil.

1. Syirik Besar
Syirik besar adalah menjadikan sesuatu sebagai sekutu (tan- dingan) bagi Allah.
Ia memohon kepada sesuatu itu sebagaimana ia memohon kepada Allah. Atau
melakukan padanya suatu bentuk ibadah, seperti istighatsah (mohon pertolongan),
menyembelih hewan, bernadzar dan sebagainya. Dalam Shahihain disebutkan, Ibnu
Mas'ud meriwayatkan,
aku bertanya kepada Nabi, "Dosa apakah yang paling besar?" Beliau
menjawab: "Yaitu engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah
sedang-kan Dialah yang menciptakanmu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Macam-Macam Syirik Besar secara global adalah syirkud
du‟a, syirkut to‟ah, syirkul mahabbah dan syirkul khauf.
Diantara contoh kesyirikan adalah sebagai berikut:
a. Syirik dalam do'a
Yaitu berdo'a kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali, untuk
meminta rizki atau memohon kesembuhan dari penyakit atau berdoa kepada
kuburan. Allah berfirman,

"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan
tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat
(yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-
orang yang zha-lim." (Yunus: 106).
Zhalim yang dimaksud oleh ayat ini adalah syirik. Dan
Rasulullah menegaskan dalam sabdanya:
"Barangsiapa meninggal dunia sedang dia memohon kepada selain Allah
sebagai tandingan (sekutu), niscaya dia masuk Neraka." (HR. Al-Bukhari)
b. Syirik (menyekutukanAllah) dalam sifat Allah:
Seperti kepercayaan bahwa para nabi dan wali mengetahui
hal-hal yang ghaib. Allah berfirman:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu
yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfudz)"(Al-An'aam: 59).

c. Syirik(menyekutukan) Allah dalam Nama dan Sifat-Nya


Diantara contohnya adalah paham wahdatul wujud (manunggaling kaulo gusti)
atau berkeyakinan bersatunya Tuhan dengan makhluk,mempercayai bahwa
Allah menitis kepada para makhluk-Nya. Ini adalah aqidah Ibnu Arabi, seorang
shufi yang meninggal dunia di Damaskus. Sampai- sampai Ibnu Arabi
mengatakan:
"Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah Tuhan. Duhai sekiranya,
siapakah yang mukallaf"
Seorang penyair shufi lainnya, yang mempercayai aqidah hulul bersenandung:
"Tiada anjing dan babi itu, melainkan tuhan kita (juga).Dan tiadalah Allah itu,
melainkan seorang rahib yang ada di gereja."
Keyakinan bersatunya Tuhan dengan makhluk sudah ada sejak zamannya KH.
Ahmad Dahlan dengan istilah manunggaling kaulo gusti atau wahdatul wujud
dengan tokohnya syaikh Siti Jenar. Dan KH. Ahmad Dahlan sudah memulai
usaha untuk memberantas kesyirikan tersebut yang diwujudkan dalam bentuk
lahirnya\
Persyarikatan Muhammadiyah dengan salah satu misi besarnya menegakkan
keyakinan tauhid yang murni, sesuai dengan ajaran Allah subhanahu wa ta‟ala ,
yang dibawa oleh seluruh Rasul Allah sejak nabi Adam as hingga nabi
Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam .

d. Syirik(menyekutukan) Allah dalam Rububiyah-Nya


Diantara contohnya adalah berkeyakinan bahwa sebagian para wali memiliki
keleluasaan untuk bertindak dalam urusan makhluk. Percaya bahwa mereka bisa
mengatur persoalan- persoalan makhluk. Mereka namakan para wali itu
dengan "wali Quthub". Padahal Allah Ta'ala telah menanyakan orang-
orang musyrik terdahulu dengan firmanNya:
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi,
atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah
yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan
menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-
Nya)?"(QS. Yunus: 31).

e. Syirik khauf (takut):


Yaitu keyakinan bahwa sebagian dari para wali yang telah meninggal dunia atau
orang-orang yang ghaib bisa melakukan dan mengatur suatu urusan serta
mendatangkan mudharat (bahaya). Karena keyakinan ini, mereka menjadi takut
kepada para wali atau orang-orang tersebut.
Karena itu, dijumpai sebagian manusia berani bersumpah bohong atas nama
Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali, karena takut
kepada wali tersebut. Hal ini adalah kepercayaan orang-orang musyrik.
Adapun takut kepada hewan liar atau kepada orang hidup yang zhalim maka
hal itu tidak termasuk dalam syirik ini. Itu adalah ketakutan yang merupakan
fitrah dan tabiat manusia, dan tidak termasuk syirik. Namun yang termasuk
syirik adalah takut kepada hantu, takut kepada jin, takut kepada hari yang
dianggap sial juga takut kepada kuburan dan lain-lain. Ketakutan
tersebut adalah syirik karena takut adalah salah satu bentuk ibadah hati manusia
yang harus diberikan hanya kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu)
dengan kawan-kawannya (orang- orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu
takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar- benar orang yang
beriman.”(QS.Ali Imraan: 175).
f. Syirik hakimiyah:
Termasuk dalam syirik hakimiyah (kekuasaan) yaitu berkeyakinan bahwa
undang-undang atau hukum buatan manusia lebih baik dari Al-Qur‟an dan
As-Sunnah atau undang-undang dan hukum buatan Allah atau membuat dan
mengeluarkan undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Islam serta
membolehkan diberlakukannya undang- undang tersebut. Atau memandang
bahwa hukum Islam tidak lagi sesuai dengan zaman.

2. Syirik Kecil
Syirik kecil yaitu setiap perantara yang mungkin menyebabkan kepada syirik
besar, ia belum mencapai tingkat ibadah, tidak menjadikan pelakunya keluar
Islam, akan tetapi ia termasuk dosa besar

Anda mungkin juga menyukai