Anda di halaman 1dari 7

GERAKAN NAHWU ANDALUSIA DAN PARA PELOPORNYA

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Madzhab-Madzhab Bahasa Arab

Dosen Pengampu Dr. H. Sugeng sugiono, M.A.

ABDU RABBI FAQIHUDDIN : 18201010024

MAGISTER BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2019
A. Pendahuluan
Kajian linguistik, khususnya sintaksis di Andalusia muncul sekitar abad ke
dua hijriyah, yaitu pada masa kekuasaan Bani Umayyah di andalusia tahun 138-422
hijriyah. Secara historis kemunculan linguistik di Andalusia tidak lepas dari sejarah
penaklukan kota tersebut pada tahun 93 yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad dengan
serdadunya, yang sebagian besar adalah kaum terpelajar yang menguasai ilmu sastra
dan linguistik, sebanyak 7000 orang muslimin. Ketika Thariq bin Ziyad berhasil
menaklukan Andalusia mulai tampak percikan-percikan kajian bahasa meski belum
sistematis. Ketika Bani Umayyah berdiri secara independen di Andalusia di bawah
kekuasaan khalifah Abdurrahman ad-Dakhil (138 H) muncullah arah baru dalam
gerakan ilmiah khususnya kajian bahasa.1
Salah Rawway mencatat bahwa munculnya gairah kajian gratika di Andalusia
ditopang oleh dua aspek penting, yaitu pertama, setelah berakhirnya permasalahan
Andalusia dengan timur (Irak) dimulailah aktivitas kajian gramatika. kedua ,
tersingkirnya Arab sejak menaklukan andalusia pada masa purifikasi negeri tersebut
oleh Eropa dengan cara mengikuti mereka untuk memperkokoh kekuasaan mereka
yang diawali dengan aktivitas gerakan peradaban dan pemikiran. 2

B. Gerakan Nahwu Andalus dan Pelopornya


Berdirinya Bani Umayyah di Andalusia (138 H-422 H), melahirkan sastrawan-
sastrawan terkenal, mereka mendirikan perkumpulan pemuda yang berpusat di
Kordoba dan ibu kota lainnya di Andalusia. Kemunculan ilmu bahasa Arab berangkat
dari mempelajari teks-teks Arab klasik dan syair, motivasi mereka ialah menjaga
bahasa al-Qur'an dan menyelamatkan bahasa serta bacaan mereka. Oleh sebab itu,
banyak dari mereka menjadi penghafal al-Qur'an, mayoritas dari mereka melakukan
perjalanan ke Timur untuk mempelajari ilmu Qira'at (aneka ragam bacaan al-Qur’an).
Setelah mereka berhasil, mereka mengajarkan ilmunya ke masyarakat. Tidak heran
jika banyak ditemukan ulama dari kota Bagdad yang sekaligus sastrawan, dan banyak
menuliskan karyanya dalam hal ilmu Qira'at, salah satunya ialah Abu Musa al-Hawa
ri .3

1
Syamsul Hadi.2014. Al-Madzahibu’l-Luhawiyyah. Yogyakarta: UGM.
2
Shalah Rawwaiy. 2003. An-Nahwu-l Araby, Nasy’atuhu Tathawwuruhu, Madārisuhu, Rijāluhu. Kairo: Dhār
Gharib.
3
Syauqi Daif . 1968. Al- Madaris Al-Nahwiyyah. Beirut. Dar Al-Ma’arif. Hal 288
Perkembangan gramatika di Andalusia seiring perkembangan keilmuan di
bidang al-Quran. Para muaddib guru mengajarkan dasar-dasar gramatika di kordoba
dan di kota-kota lainnya melalui kajian teks dan syai’r. Mayoritas mereka adalah para
qurra ‘pembaca’ yang mendedikasikan hidupnya untuk memelihara kemurnian
bacaan al-Qur’an. Dahulu, sebagian besar mereka melakukan perjalanan ke timur,
belajar bacaan al-Qur’an dan bahasa Arab, lalu kembali dan mentransformasikan
ajaran-ajan yang diterimanya di Andalusia.4
Diriwatkan oleh az-Zubaidy bahwa di Andalusia ada seorang tokoh gramatika
bernama Abu Musa al-Hiwary. Ia adalah orang pertama yang mengajarkan ilmu fiqih
dan Bahasa Arab di Andalusia. Ia melakukan perjalanan ke timur pada masa
pemerintahan Abdurrahman ad-Dakhil (178-172 H) dan belajar kepada Imam Malik
dan Abu Zaid serta al-Asmu’i, adapun tokoh yang sezaman dengan dia adalah al-
Ghazi bin Qais. Dia adalah yang menyebarkan riwayat bacaan (Qur’an) Nafi bin
Nua’im di Cordoba.5
Ulama nahwu yang pertama ialah Jaudi bin Utsman al-Maurury. Ia melakukan
pengembaraan ke Timur dan belajar ilmu nahwu kepada al-Kissai dan al-Farra’.
Selain itu ia juga orang pertama yang memperkenalkan karya-karya nahwu mazhab
Kufah di Andalusia dan sekaligus juga ilmuan negeri tersebut yang menyusun buku
tentang nahwu, ia mengajar ilmu nahwu hingga wafat tahun 198 H. Baru setelahnya
muncul tokoh-tokoh lain seperti Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah, ia juga
melakukan perjalanan ke Timur, ia mempelajari ilmu nahwu dari Utsman bin Sa'id al-
Misri , dikenal dengan nama Warsy.
Nahwu yang berkembang di Andalusia semula merupakan mazhab Kufah dan
baru di penghujung abad ke tiga hijriah mazhab Basrah banyak mendapat perhatian,
menyusul kemudian nahwu mazhab Bagdad juga mendapatkan pengaruhnya di sana.
Bertemunya ketiga aliran atau mazhab utama di satu kota besar ini sudah dapat
dipastikan membawa konsekwensi-konsekwensi logis bagi perdebatan ilmu nahwu
yang memang sedang dalam puncak kejayaannya. Diantara fenomena yang sangat
menarik dari semua itu adalah berpindahnya dua kelompok aliran yang pernah
bersaing ketat di Irak, kini mereka kembali bersaing di negeri lain, Andalusia. Secara
umum, para ahli nahwu di Andalusia terbagi ke dalam dua kelompok, Pendukung
mazhab Kufah dan pendukung mazhab Basrah. Namun demikin, oleh karena di

4
ibid. Hal 289.
5
ibid. Hal 288.
Andalusia pada ayang saat yang bersamaan juga sedang berkembang pengetahuan
spekulatif (filsafat, manthiq dan kalam), maka nahwu mazhab Basrah yang memiliki
karakter rasional lebih diminati dan lebih berkembang dibanding nahwu model
mazhab Kufah. Bahkan nahwu yang berkembang di Andalusia yang kemudian
menjadi mazhab sendiri ini memiliki karakter yang lebih rasional daripada nahwu
mazhab Basrah.
Prinsip-prinsip analogi, ta’lil dan lainya yang menjadi karakter nahwu Basrah
dikembangkan sedemikian rupa oleh para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh saja,
apabila nahwu Basrah telah melahirkan teori nahwu tentang hukum atau
ketentuanketentuan tertentu pada sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia
akan memperlus ketentuan tersebut. Misalnya dalam kasus “mubtada’ ”, nahwu
Basrah telah merumuskan teori dan ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus
dibaca rafa’, maka nahwu Andalusia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
lanjutan mengapa ia harus dibaca rafa’, kenapa tidak dibaca nasab saja, apa
alasannya, kemudian mereka memberinya alasan-alasan (ta’lîlat) yang panjang lebar.
Pertanyaanpertanyaan lanjutan “kenapa, mengapa” semacam itu dalam tradisi nahwu
klasik dengan sebutan “al-Illah al-Tsa niyyah” atau alasan kedua.

Kajian gramatika di Andalusia mengalami perkembangan sejak masa dinasti-


dinasti raja-raja at-Tawaif. Jika para linguis sebelumnya berusaha mengkombinasikan
pemikiran-pemikiran para tokoh gramatika, seperti mazhab Basrah, Kuffah, maupun
Bagdad, juga tidak hanya mengikuti pemikiran model Abu al-Farisi dan Ibnu Jinni,
linguis andalus justru cendrung memperbanyak argumentasi hingga muncul pendapat-
pendapat baru. Di antara mereka adalah al-A’lam as-Syantamari (w. 476 H) meskipun
di satu sisi ia kadang-kadang sepakat dengan pendapat linguis, seperti pendapat as-
Syairafi al-Bisyri (ulama Basrah) dalam pernyataan bahwa partikel min ‫ من‬akan
memiliki arti yang sama dengan rubbama ‫ ربمن‬jika bersambung dengan huruf ‫من‬. Ia
juga sepakat dengan pendapat al Farra’ (Kufah) yang membolehkan menammbah
huruf fa’ ) ‫ (الفن‬kedalam predikat jika berbentuk imperatif dan larangan saja, misalnya
)‫)زين َلَّمن)( و ( زَ يْن ََ َاَََّم َمن‬. Akan tetapi, disisi lain ia dianggap sebagai orang pertama
yang memunculkan metode gramatika model Andalus. Ia sangat memperhatikan
tentang ‘illat kedua, misalnya mubtada’ kenapa dirafa’kan dan tidak dinashabkan.
Tokoh yang sezaman dengan dengan al-A’lam adalah Ibnu Sayyid al-
Bataliaus, seorang gramatikalis yang pendapatnya banyak terinspirasi oleh
keanekaragaman pendapat dalam buku-buku linguistik sebelumya. Di antara pendapat
mazhab kuffah yang diikutinya adalah pemakaian partikel ka’anna tidak akan
memiliki makna tasybih kecuali jika predikatnya berbentuk jamid, seperti, ‫ََننّ مممن ا‬
‫أسن‬. Begitu pula pendapat al-Kisa’iy yang diikutinya tentang nomina Zaid dalam
kalimat, ) ‫ ان زين زنتب‬dapat berbentuk maful atau mansub sesuai isytigal. Selain itu, ia
juga memunculkan pendapatnya sendiri yang berbeda dengan ulama sebelumnya.
Misal kata hatta yang menurutnya tidak hanya berfungsi sebagai konjungsi antar kata,
tetapi juga kalimat. Misalnya ‫ سنيي ت نن نلن المط ين يىنن‬dan dibaca marfu. Sementara
pendapatnya sendiri yang paten adalah mengenai huruf ‫ منن‬yang menunjukan
keta’ziman, seperti ‫األمي م يسود م يسود‬.
Ibnu sayyid juga banyak merumuskan i’rab, di antaranya tentang nomina
setelah illa dalam kalimat ‫ من ان إ ز زين ا ز عمنيا ز ا لن ا أتن‬menurutnya diperbolehkan
menghukuminya dalam empat hal. Pertama dinasabkan karena istisna kedua
dinasabkannya karena hal, ketiga menjadikan yang pertama sebagai hal dan
berikutnya sebagai istisna, keempat sebaliknya.
Di Andalusia terdapat seorang linguis yang berijtihad 'usaha' untuk
memunculkan konsep baru tentang gramatika sebagai tandingan atas pemikiran Khalil
dan Sibawaih. la bernama Ibn Madla' al-Qurtubiy. la belajar sastra dan linguistik, baik
secara otodidak maupun dengan berguru, tak terhitung jumlahnya. Kemudian ia
diangkat menjadi pemimpin para jaksa pada mása al- Muwahhidun masa
kepemimpinan Yusuf Bin Abdul Mu'min. Dinasti Muwahhidun sangat dikenal akan
keberaniannya dalm mempublikasikan alirannya. Hal itu ditandai dengan peristiwa
pembakaran buku-buku mazhab fiqh dan menggiring masyarakat untuk memahami al-
Qur'an dan secara realistis.
Pemberontakan tersebut dilakukan juga oleh lbn Madla' al-Qurtubiy, tetapi
bukan pada masalah fiqh, melainkan bidang gramatika, yaitu dengan mengarang buku
al-Radd 'ala an-Nuhat, dengan maksud untuk mengembalikan graramatika masyriq
'timur' keasalnya. Atau dengan kata lain, ia hendak menolak beberapa pokok bahasan
gramatika masyriq dan memurnikannya dari cabang- cabang dan ta'wil atau analogi
yang sudah usang. la ingin menerapkan mażhab Zahiriy pada bidang gramatika
sebagaimana pemimpinnya. Ibn Madla' hendak menggoyahkan pemikiran Sibawaih.
la mengarang tiga buah kitab, yaitu al-masyrig fi an-Nahwi, Tanzih al-Qur'an amma
la yaliqu bi al Bayān, dan ar-Radd 'ala al-Nuhat. Ketiga buku tersebut berisi bantahan
atas pemikiran Sibawaih dan pendukungnya, serta anjuran untuk membentuk
gramatika baru

Menurut Ibn Madla' al-Qurtubiy (w. 592H) dalam bukunya ar-Raddu ala an-Nuhat,
setidaknya ada empat pembahasan dalam gramatika yang dianggapnya menjadi faktor
sulitnya mengkaji gramatika. Pertama, adanya teori 'amil (yang menentukan
perubahan bacaan pada akhir kata). Kedua, adanya teori 'illat tawani dan țawalit
(alasan kedua dan ketiga pemberian tanda baca). Ketiga, teori qiyas (mencari
kesamaan tentang alasan perubahan tanda baca pada kata). Keempat, teori at-Tamarin
Ghairu al-'Amaliyyah (kaidah-kaidah perubahan dan penggantian huruf dalam sebuah
kata atau teori i'lal dan ibdal).
Menurut konsep Ibn Madla' al-Qurtubiy adalah:
a. Membuang teori amil. Menurutnya praktik analisis amil ini sangat
membingungkan bagi siapa saja yang mempelajarinya, sedangkan pengucapan
kata dalam kalimat bersifat subjektif. 'Amil adalah kata yang mempengaruhi i’rab
pada kata sesudahnya dalam bentuk rafa’ (dlammah), nasab (fathah), jazm
(sukun), dan jar (kasrah). 'Amil ini ada yang tampak (lafziy) dan tidak tampak
(ma'nawiy). Teori mil ini dianggap teorl yang menyulitkan dalam praktik analisis
dan tidak efisien, maka perlu dikesampingkan.
b. Menghilangkan illat tawani dan tawalit, karena illat ini sangat menguras pikiran
seorang murid dan sebenarnya tidak diperlukan dalam kelancaran dan kefasihan
berbicara.’lllat 'alasan' maksudnya alasan-alasan yang diberikan ketika
menganalisis kalimat dalam strukturnya. 'llat (tawani, maksudnya dua alasan
secara bertingkat, misalnya ّ‫ المسنَّموّ يلنَّو‬lafaz ّ‫ يلنَّو‬dibaca rafa’ karena tidak
adanya 'amil (tajarrud) tanda rafa'nya nun. Alasan tadi belum dianggap selesai
yang kemudian diteruskan dengan satu alasan lagi yaitu nun yang digunakan
sebagai tanda rafa’ karena ّ‫ يلَّو‬termasuk af'al al-khamsah 'lima verba'.
c. Menghilangkan teori qiyās karena teori ini sulit dicerna oleh murid pemula.
Misalnya, fi’il mudiari bisa dibaca rafa' (dlammah) karena dianalogkan dengan
isim 'nomina'. Analog tersebut didasarkan atas dua hal. Pertama, fi'l mudlari' dapat
dikhususkan dengan menambah huruf sin maka menjadi khusus untuk waktu yang
akan datang. Demikian juga sama dengan nomina yang bisa dikhususkan dengan
diberi al. Kedua, fl mudlari' dapat menerima lam ibtida' sebagaimana nomina. Hal
inilah yang akhirnya menimbulkan masalah. Hal ini tidak perlu sehingga apabila
Fi’il mudlari' dii'rabkan cukup diberi alasan karena tidak diringi nun taukid dan
nun niswah.
d. Membuang analisis at-Tamarin Ghairu al-'Amaliyyah karena hal itu tidak
diperlukan dan hanya akan menambah masalah bila dipaksakan. At- Tamarin
Ghairu al-'Amliyyah berarti latihan yang dibuat-buat, misalnya kata ‫ بين‬berpola ‫َعن‬
karena bisa dibaca ‫ بنو‬atau ‫ بين‬atau dikenal dengan teori i'lal dan ibdal yang
menyita banyak pikiran.

Daftar Pustaka

Daif, Syauqi . 1968. Al- Madaris Al-Nahwiyyah. Beirut. Dar Al-Ma’arif.

Hadi, Syamsul.2014. Al-Madzahibu’l-Luhawiyyah. Yogyakarta: UGM.

Rawwaiy Shalah. 2003. An-Nahwu-l Araby, Nasy’atuhu Tathawwuruhu, Madārisuhu,


Rijāluhu. Kairo: Dhār Gharib.

Anda mungkin juga menyukai