YOGYAKARTA
2019
A. Pendahuluan
Kajian linguistik, khususnya sintaksis di Andalusia muncul sekitar abad ke
dua hijriyah, yaitu pada masa kekuasaan Bani Umayyah di andalusia tahun 138-422
hijriyah. Secara historis kemunculan linguistik di Andalusia tidak lepas dari sejarah
penaklukan kota tersebut pada tahun 93 yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad dengan
serdadunya, yang sebagian besar adalah kaum terpelajar yang menguasai ilmu sastra
dan linguistik, sebanyak 7000 orang muslimin. Ketika Thariq bin Ziyad berhasil
menaklukan Andalusia mulai tampak percikan-percikan kajian bahasa meski belum
sistematis. Ketika Bani Umayyah berdiri secara independen di Andalusia di bawah
kekuasaan khalifah Abdurrahman ad-Dakhil (138 H) muncullah arah baru dalam
gerakan ilmiah khususnya kajian bahasa.1
Salah Rawway mencatat bahwa munculnya gairah kajian gratika di Andalusia
ditopang oleh dua aspek penting, yaitu pertama, setelah berakhirnya permasalahan
Andalusia dengan timur (Irak) dimulailah aktivitas kajian gramatika. kedua ,
tersingkirnya Arab sejak menaklukan andalusia pada masa purifikasi negeri tersebut
oleh Eropa dengan cara mengikuti mereka untuk memperkokoh kekuasaan mereka
yang diawali dengan aktivitas gerakan peradaban dan pemikiran. 2
1
Syamsul Hadi.2014. Al-Madzahibu’l-Luhawiyyah. Yogyakarta: UGM.
2
Shalah Rawwaiy. 2003. An-Nahwu-l Araby, Nasy’atuhu Tathawwuruhu, Madārisuhu, Rijāluhu. Kairo: Dhār
Gharib.
3
Syauqi Daif . 1968. Al- Madaris Al-Nahwiyyah. Beirut. Dar Al-Ma’arif. Hal 288
Perkembangan gramatika di Andalusia seiring perkembangan keilmuan di
bidang al-Quran. Para muaddib guru mengajarkan dasar-dasar gramatika di kordoba
dan di kota-kota lainnya melalui kajian teks dan syai’r. Mayoritas mereka adalah para
qurra ‘pembaca’ yang mendedikasikan hidupnya untuk memelihara kemurnian
bacaan al-Qur’an. Dahulu, sebagian besar mereka melakukan perjalanan ke timur,
belajar bacaan al-Qur’an dan bahasa Arab, lalu kembali dan mentransformasikan
ajaran-ajan yang diterimanya di Andalusia.4
Diriwatkan oleh az-Zubaidy bahwa di Andalusia ada seorang tokoh gramatika
bernama Abu Musa al-Hiwary. Ia adalah orang pertama yang mengajarkan ilmu fiqih
dan Bahasa Arab di Andalusia. Ia melakukan perjalanan ke timur pada masa
pemerintahan Abdurrahman ad-Dakhil (178-172 H) dan belajar kepada Imam Malik
dan Abu Zaid serta al-Asmu’i, adapun tokoh yang sezaman dengan dia adalah al-
Ghazi bin Qais. Dia adalah yang menyebarkan riwayat bacaan (Qur’an) Nafi bin
Nua’im di Cordoba.5
Ulama nahwu yang pertama ialah Jaudi bin Utsman al-Maurury. Ia melakukan
pengembaraan ke Timur dan belajar ilmu nahwu kepada al-Kissai dan al-Farra’.
Selain itu ia juga orang pertama yang memperkenalkan karya-karya nahwu mazhab
Kufah di Andalusia dan sekaligus juga ilmuan negeri tersebut yang menyusun buku
tentang nahwu, ia mengajar ilmu nahwu hingga wafat tahun 198 H. Baru setelahnya
muncul tokoh-tokoh lain seperti Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah, ia juga
melakukan perjalanan ke Timur, ia mempelajari ilmu nahwu dari Utsman bin Sa'id al-
Misri , dikenal dengan nama Warsy.
Nahwu yang berkembang di Andalusia semula merupakan mazhab Kufah dan
baru di penghujung abad ke tiga hijriah mazhab Basrah banyak mendapat perhatian,
menyusul kemudian nahwu mazhab Bagdad juga mendapatkan pengaruhnya di sana.
Bertemunya ketiga aliran atau mazhab utama di satu kota besar ini sudah dapat
dipastikan membawa konsekwensi-konsekwensi logis bagi perdebatan ilmu nahwu
yang memang sedang dalam puncak kejayaannya. Diantara fenomena yang sangat
menarik dari semua itu adalah berpindahnya dua kelompok aliran yang pernah
bersaing ketat di Irak, kini mereka kembali bersaing di negeri lain, Andalusia. Secara
umum, para ahli nahwu di Andalusia terbagi ke dalam dua kelompok, Pendukung
mazhab Kufah dan pendukung mazhab Basrah. Namun demikin, oleh karena di
4
ibid. Hal 289.
5
ibid. Hal 288.
Andalusia pada ayang saat yang bersamaan juga sedang berkembang pengetahuan
spekulatif (filsafat, manthiq dan kalam), maka nahwu mazhab Basrah yang memiliki
karakter rasional lebih diminati dan lebih berkembang dibanding nahwu model
mazhab Kufah. Bahkan nahwu yang berkembang di Andalusia yang kemudian
menjadi mazhab sendiri ini memiliki karakter yang lebih rasional daripada nahwu
mazhab Basrah.
Prinsip-prinsip analogi, ta’lil dan lainya yang menjadi karakter nahwu Basrah
dikembangkan sedemikian rupa oleh para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh saja,
apabila nahwu Basrah telah melahirkan teori nahwu tentang hukum atau
ketentuanketentuan tertentu pada sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia
akan memperlus ketentuan tersebut. Misalnya dalam kasus “mubtada’ ”, nahwu
Basrah telah merumuskan teori dan ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus
dibaca rafa’, maka nahwu Andalusia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
lanjutan mengapa ia harus dibaca rafa’, kenapa tidak dibaca nasab saja, apa
alasannya, kemudian mereka memberinya alasan-alasan (ta’lîlat) yang panjang lebar.
Pertanyaanpertanyaan lanjutan “kenapa, mengapa” semacam itu dalam tradisi nahwu
klasik dengan sebutan “al-Illah al-Tsa niyyah” atau alasan kedua.
Menurut Ibn Madla' al-Qurtubiy (w. 592H) dalam bukunya ar-Raddu ala an-Nuhat,
setidaknya ada empat pembahasan dalam gramatika yang dianggapnya menjadi faktor
sulitnya mengkaji gramatika. Pertama, adanya teori 'amil (yang menentukan
perubahan bacaan pada akhir kata). Kedua, adanya teori 'illat tawani dan țawalit
(alasan kedua dan ketiga pemberian tanda baca). Ketiga, teori qiyas (mencari
kesamaan tentang alasan perubahan tanda baca pada kata). Keempat, teori at-Tamarin
Ghairu al-'Amaliyyah (kaidah-kaidah perubahan dan penggantian huruf dalam sebuah
kata atau teori i'lal dan ibdal).
Menurut konsep Ibn Madla' al-Qurtubiy adalah:
a. Membuang teori amil. Menurutnya praktik analisis amil ini sangat
membingungkan bagi siapa saja yang mempelajarinya, sedangkan pengucapan
kata dalam kalimat bersifat subjektif. 'Amil adalah kata yang mempengaruhi i’rab
pada kata sesudahnya dalam bentuk rafa’ (dlammah), nasab (fathah), jazm
(sukun), dan jar (kasrah). 'Amil ini ada yang tampak (lafziy) dan tidak tampak
(ma'nawiy). Teori mil ini dianggap teorl yang menyulitkan dalam praktik analisis
dan tidak efisien, maka perlu dikesampingkan.
b. Menghilangkan illat tawani dan tawalit, karena illat ini sangat menguras pikiran
seorang murid dan sebenarnya tidak diperlukan dalam kelancaran dan kefasihan
berbicara.’lllat 'alasan' maksudnya alasan-alasan yang diberikan ketika
menganalisis kalimat dalam strukturnya. 'llat (tawani, maksudnya dua alasan
secara bertingkat, misalnya ّ المسنَّموّ يلنَّوlafaz ّ يلنَّوdibaca rafa’ karena tidak
adanya 'amil (tajarrud) tanda rafa'nya nun. Alasan tadi belum dianggap selesai
yang kemudian diteruskan dengan satu alasan lagi yaitu nun yang digunakan
sebagai tanda rafa’ karena ّ يلَّوtermasuk af'al al-khamsah 'lima verba'.
c. Menghilangkan teori qiyās karena teori ini sulit dicerna oleh murid pemula.
Misalnya, fi’il mudiari bisa dibaca rafa' (dlammah) karena dianalogkan dengan
isim 'nomina'. Analog tersebut didasarkan atas dua hal. Pertama, fi'l mudlari' dapat
dikhususkan dengan menambah huruf sin maka menjadi khusus untuk waktu yang
akan datang. Demikian juga sama dengan nomina yang bisa dikhususkan dengan
diberi al. Kedua, fl mudlari' dapat menerima lam ibtida' sebagaimana nomina. Hal
inilah yang akhirnya menimbulkan masalah. Hal ini tidak perlu sehingga apabila
Fi’il mudlari' dii'rabkan cukup diberi alasan karena tidak diringi nun taukid dan
nun niswah.
d. Membuang analisis at-Tamarin Ghairu al-'Amaliyyah karena hal itu tidak
diperlukan dan hanya akan menambah masalah bila dipaksakan. At- Tamarin
Ghairu al-'Amliyyah berarti latihan yang dibuat-buat, misalnya kata بينberpola َعن
karena bisa dibaca بنوatau بينatau dikenal dengan teori i'lal dan ibdal yang
menyita banyak pikiran.
Daftar Pustaka