Anda di halaman 1dari 26

Oleh : Wildan Taufiq, M.Hum.

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora


UIN Sunan Gunung Djati Bandung
A. Pendahuluan
Sebagai bagian dari rumpun Semit, bahasa Arab memiliki karakteristik bahasa semitik yaitu
irab.[1]Irab adalah perubahan akhir kalimat (kata) karena bermacam-macam amil yang masuk
padanya, baik lafazh atau taqdir (diperkirakan)[2] (Ibn jurm, tth: 5). Sebagai contoh adalah kata

(pulpen)pada kalimat-kalimat berikut:


(Pulpen di atas meja)


(Saya membeli pulpen)


(Saya menulis dengan pulpen)


Mari kita perhatikan Irab kata

pada ketiga kalimat di atas. Pada kalimat pertama kata, kata


yang berkedudukan sebagai mubtada (subjek) diakhiri
dengan harakat dhamah. Pada kalimat kedua kata

yang berkedudukan sebagai maful bih (objek)


diakhiri dengan harakat fatah, sedang pada kalimat ketiga, kata

yang berkedudukan sebagai hal


(keterangan) diakhiri dengan harakat dengan kasrah.
Menurut ulama nahwu, salah satunya Ibn Malik (tth: 31) menyatakan
bahwa terjadi perubahan harakat akhir kata (Irab) tersebut karena adanya amil (yang memerintah).
Amil pada kata

yangpertama yangdiakhiri dengan harakat dhamah (sebagai mubtada) adalah


ibtida (permulaan).[3] Artinya karena ia berada pada permulaan kalimat. Pada kalimat kedua di mana
kata

menjadi maful bih (objek), yang menjadi amilnya adalah fiil ( [)

4 ] atau fiil dan fail


( [)

5 ].
Adapun amil pada kalimat ketiga adalah haraf jar, yaitu ba ().
Pada kalimat pertama, jika posisi mubtadanya diletakkan
setelah khabar (muakhar) menjadi:

,di manakah letak amilnya? Karena sekarang mubtada


tidak ada dalam posisi di awal (ibtida), tetapi di akhir (takhir). Berangkat dari permasalahan itu,
apakah adanya amil sebuah keharusan? Apakah amil berperan dalam menentukan makna kata?
Apakah seseorang bisa menentukan Irab suatu kata hanya dengan mengetahui fungsi atau
kedudukan kata tersebut dalam kalimat (mubtada, khabar, maful bih dsb.), tanpa harus mengetahui
terlebih dahulu mana amilnya?
Inilah yang akan menjadi tema pembahasan dalam diskusi ini,
yaitu mengenai relevankah teori amil dalam kajian nahwu, terutama dalam
pengajaran nahwu.
B.Pengertian dan Sejarah Amil
Amil secara bahasa adalah yang mempengaruhi (al-muatstsir), sedang secara istilah amil adalah
sesuatu yang mengharuskan akhir kata berirab tertentu (Al-Hasyimi, tth:74)[6]; Almah
(1993:37([7]; Abbas Hasan (tth:I:75)[8]; Ghalayaini (1987: 272)[9]
Mengenai amil, Sibawaih hanya menyebut 14 kali dalam kitab-nya, di antaranya mengenai definisi
amil:Aku hanya berkata kepadamu bahwa ada delapan majari (irab) yang akan aku uraikan ketika
salah satu dari keempat (dari delapan) dimasuki sesuatu yang bisa menimbulkan perubahan yang
disebut dengan amil (Abdussalam: 1991: 13). Dari pandangan Sibawaih inilah
pengertian amil berkembang sampai sekarang.
Teori amil lahir dari pemikiran Khalil bin Ahmad al-Farahidiy (100-175 H), yang merupakan guru
besar (al-Ustadz al-Akbar) bagi Sibawaih.[10] Khalil
dikenal sangat menguasai logika Aristoteles.[11] Dengan demikian, teori amil sangat dipengaruhi oleh
filsafat. Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat, salah
satunya adalah pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang ada di
muka bumi ini mengharuskan pengada. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau
irab, mengharuskan ada sesuatu yang
menyebabkan hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan amil (yang berbuat)
(Alamah, 1993:37-38).
C. Macam-macam Amil
Al-Ghalayaini (1987: 4) membagi amil menjadi dua bagian[12]:
1. Amil lafzhi, yaitu amil yang berbentuk lafazh, seperti isim-isim, fiil atau haraf.
2. Amil manawi, yaitu amil yang tidak berbentuk lafazh, artinya ada pengaruh (terhadap irab)
tapi tidak ada bentuknya. Amil ini biasanya hanya merofakan saja. Contohnya adalah amil yang
merofakan mubtada.
Kekosongan (tajarrud) dari amil lafzhi merupakan penyebab maknawi bagi rofanya mubtada dan fiil
mudhari.[13]
D. Amil, Mamul dan Amal
Dalam kaitannya dengan amil, terdapat dua istilah yang merupakan rangkaian yang tidak dispisahkan
satu sama lain, yaitu mamul dan amal. Mamul adalah kata yang bagian akhirnya berubah baik
dengan rofa, nashab, jazam, atau khafadh karena pengaruh amil (Ghalayaini, 1987:274).[14]
Mamul terbagi dua, mamul asli (ashalah) dan mamul turunan (tabayyah). Mamul asli ialah mamul
yang dipengaruhi oleh amil secara langsung, seperti fail dan naibul fail, mubtada dan khabar, isim fiil
naqish dan khabarnya, isim inna dan akhwatnya serta khbarnya, maful-maful, hal, tamyiz,
mustatsna, mudhaf ilaih, dan fiil mudhari ) Ibid: 275).[15]
Sedang mamul turunan (tabaiyyah) ialah kata yang dipengaruhi amil dengan perantara kata yang
diikutinya, seperti naat, athaf, taukid, dan badal. Tawabi itu dirofakan, dinashabkan, dijarkan, dan
dijazamkan karena mengikuti katasebelumnya yang dirofakan dinashabkan, dijarkan, dan dijazamkan.
Dan yangmenjadi amil ialah kata yang diikutinya (matbu) (Ibid). Adapun amal ialah efek (atsar) yang
dihasilkan dari pengaruh amil, yaitu
berupa irab rofa, nashab, khafadh, atau jazam (Ibid).
E. Fungsi Amil
Mengenai fungsi amil, Dr. Mohamed El Mukhtar Ould Bah (1996: 31) mengatakan bahwa amil
berfungsi sebagai dasar untuk menafsirkan sistem irab dan sebagai media penegasan kaidah-kaidah
yang memiliki implikasi pada penggunaan kias dan penggalian illat-illat.
Senada dengan Dr. Ould Bah, Abdul Karim al-Raidh (1988:319) mengungkapkan bahwa fungsi amil
adalah untuk menafsirkan fenomena irab. Yaitu untuk menafsirkan hubungan antara perubahan akhir
kata
dengan perubahan makna serta kedudukannya dalam struktur kalimat.
F. Pandangan Ulama Nahwu tentang Amil.
Pada awal kemunculannya, kajian nahwu hanya membahas seputar pencatatan data-data kebahasaan
(bahasa Arab) serta menginduksinya, yang akhirnya menghasilkan teori salah satunya teori irab serta
tanda-tanda (alamat). Pada periode selanjutnya adalah periode pencarian sebab dan alasan (illat)
bagi teori yang telah ditemukan sebelumnya seperti teori irab (Al-Raidh, 1988:319).
Di antara para ulama yang bekerja keras pada periode ini adalah Imam Khalil
Ahmad al-Farahidi dan muridnya Sibawaih. Mereka telah mengahasilkan teori amil sebagai tafsiran
fenomena irab dalam tata bahasa Arab.
Pada periode selanjutnya teori amil yang dicetuskan Khalil, dikembangkan
oleh para ulama nahwu serta dijadikan teori mutlak bagi kajian nahwu, seperti yang dilakukan Ibn
Malik dan Ibn Ajurum. Dan awal abad ke-11 M. seorang ulama nahwu, yang bernama Abdul Qahir Al-
Jurjani menyusun sebuah kitab yang ia beri judul Awamil al-Jurjani di mana secara khusus membahas
masalah amil.
Namun demikian, sebuah pemikiran walau dari orang yang dianggap lebih
unggul dan lebih dahulu di bidangnya tidak akan selalu mudah diterima oleh oleh
para orang-orang yang lahir setelahnya. Begitu juga dengan teori amil, tidak
semua ulama nahwu menerima pemikiran para pendahulunya. Di antara ulama yang menolak teori
amil adalah Ibn Jinni (330-392 H) , seorang ulama nahwu besar setelah Sibawaih. Ia berpendapat
bahwa sebenarnya yang merafakan, menashabkan, men-jar-kan, dan menjazamkan kata ialah si
mutakallim (pembicara) sendiri, tidak oleh sesuatu yang lain (Al-Qurthubi, tth:77).
Pendapat Ibn Jinni ini kemudian diikuti oleh Ibn Madha al-Qurthubi, seorang ulama nahwu dari
Andalusia. Bahkan ia menambahkan bahwa amil bagi irab semua kata adalah Allah swt.,
sebagaimana pada hakikatnya semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah swt (Ibid). Al-Anbari
(1993: 46) menyanggah pendapat Ibn Jinni serta Ibn Madha dengan menegaskan bahwa amil
sebenarnya berupa penujukan (amarat wa dalalat) seperti penunjukan sesuatu yang terbakar akan
adanya api. Penunjukan itu bisa terjadi ketika ada penunjuknya atau tidak ada. Analogi lain adalah
jika seseorang ingin membedakan dua buah baju. Kemudia ia mencelup salah satunya, maka baju
yang tidak dicelup sama posisinaya dengan baju yang dicelup.
Di antara para ulama nahwu ada yang melakukan kompromi salah satunya adalah al-Rahi. Ia
berpendapat bahwa penyebab setiap makna dalam kata ialah si pembicara, begitu pula pembuat
tanda-tanda (Irabnya). Namun kemudian penandaan kata dengan ciri-ciri Irab itu dipindahkan ke
kata sebagai media yang mana ada di dalamnya. Dengan begitu predikat amil yang ada pada
mutakalim (manusia) pindah ke kata (bahasa) (Al-Raidh, 1988:371).
G. Penutup
Sebagai sebuah pemikiran filosofis, penulis melihat teori amil adalah suatu hasil usaha yang luar
biasa dari para perintis kajian tata bahasa Arab atau nahwu. Mereka berusaha sekuat tenaga
menyusun teori-teori bahasa agar bahasa Arab bisa difahami dengan benar, yang mana tujuan
mereka adalah untuk memahami kitab suci al-Quran.
Para ulama nahwu perintis mencoba mencari dasar-dasar teori nahwu yaitu berupa hukum-hukum
dalam bahasa Arab. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan
antara dua variabel atau lebih dalam suatu hubungan sebab-akibat (kausalitas)
(Suriasumantri,1996:145). Ditemukannya huruf-huruf yang menashabkan
dan menjazamkan fiil mudhari merupakan suatu hasil perintiasan teori-teori
dalam ilmu nahwu.
Namun demikian tidak semua teori akan selalu kokoh tanpa cela. Pada
amil-amil maknawi, misalnya amil rafanya mubtada adalah ibtida. Jika
mubtadanya muakhar, dimanakah letak amilnya (ibtidanya)? Salah satu kasus ini menunjukan
bahwa teori amil tidak sepenuhnya ajeg.
Jika pemikiran seperti amil maknawi ini terus diterima dan diajarkan,
penulis kiran adalah suatu kesia-sian saja, terutama bagi para pemula yang
mengkaji tata bahasa Arab. Karena dalam pandangan penulis fungsi Irab adalah untuk menandai
fungsi sintaksis kata dalam kalimat, apakah sebagai mubtada (subjek), khabar (predikat), maful bih
(objek) dan sebagainya. Misalnya pada kalimat

kita bisa langsung dapat memahami peran


sintaksisnya, Zaid sebagai pelaku karena sebagai mubtada, sedangkan Amar sebagai sasaran karena
sebagai objek. Dengan demikian tanpa mengetahui amil-mamul dari kalimat tersebut, makna
kalimatnya sudah bisa ditangkap.
Kekurang urgensian kedudukan amil dalam kajian nahwu, juga telah ditegaskan Tamam Hassan
(1994: 231). Ia berpendapat bahwa untuk memahami makna suatu kalimat cukup dengan memahami
qarinah-qarinah (indikator-indikator) yang ada di dalamnya. Dengan demikian menurutnya, tidak
perlu lagi memakai teori amil.
Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa teori amil jika dilihat
dari sudut efektivitas dan efisiensi pemahaman kalimat, tidak perlu lagi
digunakan. Teori amil hemat penulis hanya berlaku bagi huruf-huruf yang ketika masuk sebuah kata
dan bisa mengubah irabnya seperti haraf nawasib, jawazim, dan haraf jar.
Daftar Pustaka
Hassan, Tamman. 1994. Al-Lughah al-Arabiyyah Manaha wa Mabnaha. Maroko:
Dar Al-Tsaqafah.
Harun, Abdussalalam (Ed.), 1991, Kitab
Sibawaih,, Beirut,
Dazr al-Jail.
Ibn jurm, tth. Matn al-Ajurumiyyah dalam Ahmad Zaini Dahlan.Syarh Mukhtashar Jiddan ala Matn
al-Ajurumiyyah. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga.
Al-Anbari, Kamaluddin Abi
al-Barakat. 1993. Al-Inshaf fi Masaili al-Khilaf baina al-Nahwiyyin
al-Bashriyyin wa al-Kufiyyin. Beirut:
Al-Maktabah al-Ashriyyah.
Ibn Malik. tth.. Alfiyyah dalam Ibnu Aqil Syarh
al-Allahmah Ibn Aqil ala Alfiyyah Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin
Malik. Indonesia:
Maktabah Nur Asia.
Al-Hasyimi, As-Sayyid
Ahmad. tth.. Al-Qawaid al-Asasiyyah li al-Lughah al-Arabiyyah. Jakarta: Dinamika Berkat Utama.
Almah, Thilal. 1993. Tathawwur al-Nahwi al-Arabiy fi
Madrasatai al-Bashrah wa al-Kufah. Beirut:
Dar al-Fikri al-Lubnaniyyah.
Hasan, Abbas. tth. Al-Nahw al-Wafi.
Ghalayaini, Al-Syaikh
Mushthafa. 1987. Jamiu al-Durus
al-Arabiyyah.Beirut:
Al-Maktabah al-Ashriyyah.
Ould Bah, Mohamed El Mukhtar. 1996. Tarikh al-Nahw al-Arabiy fi
al-Masyriq wa al-Maghrib. ttp: Masyurat al-Munazhzhamah al-Islamiyyah li
al-Tarbiyyah wa al-Ulum wa al-Tsaqafah.
Al-Raidh, Abdul Wakil Abdul Karim. 1988. Zhahirat al-Irabfi
al-Arabiyyah. Tripoli:
Jamiyyah al-Dawah al-Islamiyyah al-Alamiyyah.
Al-Jurjani, Abdul Qahir. tth.. Awamil al-Jurjani dalam Mushtafa
al-Fathani Tashil al-Amani fi Syarh Awamil al-Jurjani. Indonesia: Syirkah Nur Asia.
Al-Qurthubi, Ibn
Madha, tth. Al-Radd ala al-Nuhat. Kairo: Dar al-Maarif.
Qaddur, Ahmad Muhammad. 1993. Madkhal ila Fiqh al-Lughah
al-Arabiyyah. Libanon: Dar al-Fikri al-Muashir.
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta:
Sinar Harapan.
________________________________
[1] Irab telah menjadi karakteristik bahasa-bahasa Semit yang paling tua. Dalam
bahasa Arab, Irab merupakan pengembangan dari bahasa Semit pertama. Sampai
sekarang bahasa Arab menjadi bahasa Semit yang paling kaya dalam pemilikan
Irab (Qaddur, 1993:29)
[2]
( )
[3] # (Para ulama Nahwu Bashrah merafakan
mubtada karena ibtida, begitu pula merafakan khabar dengan mubtada)
[4] Menurut
madzhab Bashrah (Al-Anbari, 1993: 79).
[5] Menurut
madzhab Kufah (Al-Anbari, 1993: 78).
[6]

.
[7]
.
[8]
.
[9]

.
[10] Karena dalam al-kitab karyanya,
sangat banyak ditemukan ide-ide Khalil.
[11] Khalil
mempelajari logika Aristotels dari buku terjemahan sahabat karibnya, Ibn
Muqaffa.
[12] Sejalan
dengan pandangan Al-Ghalayaini, seorang ulama nahwu yang hidup awal abad ke-10,
Abdul Qahir Al-Jurjani, menyebutkan bahwa amil dalam bidang nahwu berjumlah
seratus, yang terbagi ke dalam dua kategori besar, amil-amil lafzhi dan
maknawi. Amil-amil lafzhi terbagi dua, simaiy dan qiyasiy. Simaiy berjumlah
kurang lebih sembilan puluh satu amil yang terbagi ke dalam tiga belas macam.
Qiyasiy berjumlah tujuh amil. Adapun amil maknawi berjumlah dua amil
(Al-Fathani, tth: 4-5).
[13]Menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi,
amil maknawi terbagi ke dalam dua bagian: (1) Ibtida, yaitu posisi di
awal kalimat seperti mubtada yang tidak ada kata yang mendahuluinya lagi dan
(2) Tajarrud, yaitu keadaan kosong seperti fiil mudhari ketika tidak
dimasuki amil nawashib dan amil jawazim (Al-Hasyimi, tth:74).
[14]
.
[15] Mubtada menjadi amil karena
merofakan khabar; dan menjadi mamul karena kosong dari amil-amil lafzhi karena
ada di permulaan (ibtida). Mudhaf menjadi amil karena men-jar-kan
mudhaf ilaih; dan ia menjadi mamul karena ia dirofakan, dinashabkan, dan
dijarkan berdasarkan amil-amil yang masuk padanya. Sedang fiil mudhari dan
menyerupainya (kecuali isim fiil) menjadi amil untuk kata yang terletak setelahnya
dan menjadi mamul bagi kata yang mendahuluinya.
Ditulis dalam Linguistik | Bertanda 'amal, 'amil, ma'mul, nahwu, teori amil | Tinggalkan sebuah Komentar
Pemilu dan Dosa
Mei 7, 2009 oleh bsauinsgd
Oleh : Reza Sukma Nugraha
Ada ungkapan menarik dan menggelitik. Penduduk Indonesia dan umat Islam pada umumnya tidak
sukses dalam berkarier dan penghidupannya miskin. Maka, jangan ditambah dengan kepastian masuk
neraka. Demikian kira-kira yang ditulis oleh budayawan populer, Cak Nun, dalam salah satu
tulisannya di salah satu media massa. Semua orang tentu tahu, apa yang sedang ia komentari? Yaitu,
menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal golput.
Lanjut Baca
Ditulis dalam Politik | Bertanda MUI, pemilu, Politik | Tinggalkan sebuah Komentar
Al-I`rab Fi Al-Nahw
A. Pendahuluan
Bahasa Arab adalah bahasa utama bagi umat Islam di samping bahasa
yang lain sebagai penunjang. Hal ini karena sumber ajaran Islam semuanya
berbahasa Arab, yang harus dimengerti dan dipahami oleh semua penganutnya.
Bahasa Arab merupakan bahasa Al-Quran. Seseorang tidak akan dapat
memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari
penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan
menggampangkan bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami
agama serta jahil(bodoh) terhadap permasalahan agama.
Tidak perlu diragukan lagi, memang sepantasnya seorang muslim
mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Allah telah menjadikan
bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran karena bahasa Arab adalah bahasa yang
terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah taala:

: (

2 )
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya

Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: Yang
demikian itu (bahwa Al -Quran diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa
Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena
lagi cocok untuk jiwa manusia.
Jadi, memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Dan kajian
tentang sebuah bahasa terutama bahasa Arab bagi Umat Islam menjadi satu
hal yang sangat krusial.
Juwairiyah Dahlan mengatakan bahwa mempelajari bahasa Arab sebagai
bahasa kitab suci al-Quran bagi kaum muslimin di dunia ini merupakan
kebutuhan yang amat utama. Di samping itu mempelajari bahasa Arab artinya
memperdalam pemahaman agama Islam dari sumbernya yang asli.[1]
Oleh karena itu penulis mencoba menyajikan sedikit hal tentang bahasa
tersebut, dengan fokus penekanan pada qa`idahbahasa itu sendiri (i`rab).
Pembahasan tersebut akan dimulai dengan pengertian, Pembagian i`rab dan
pendapat ulama tentangi`rab. Saran dan kritik konstruktif pembaca selalu
penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

B. Pengertian
Apabila kata-kata tersusun dalam bentuk kalimat maka sebagiannya ada
yang berubah harakat huruf akhirnya, disebabkan oleh perbedaan
kedudukannya di dalam kalimat karena perbedaan `amil yang mendahuluinya.
Dan sebagiannya ada yang tidak berubah huruf akhirnya, walaupun beberapa
`amil yang mendahuluinya berbeda-beda. Maka yang pertama - yang
mengalami perubahan - dinamakan mu`rab dan yang kedua - yang tidak
mengalami perubahan - dinamakan mabni. Maka i`rabadalah bekas yang
ditimbulkan oleh `amil pada akhir kata, sehingga akhir kata tersebut marfu`,
mansub, majrur ataumajzum, tergantung `amil yang masuk pada kata
tersebut.[2]
Mahmud Husaini Maalah mengatakan bahwa i`rab adalah berubahnya
harakat akhir kalimat dari rafa` ke nasab atau ke jar, tergantung posisinya
dalam kalimat.[3]
Sejalan dengan pendapat di atas, Salimuddin A. Rahman dkk. Juga
mengatakan bahwa i`rab adalah perubahan akhir kata baik harakat maupun
huruf yang berfungsi untuk menunjukkan kedudukan kata itu sendiri dalam
suatu kalimat.[4]
Sedangkan Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari al-Ahdali dalam al-
Kawakib al-Durriyah (Syarah Matan al-Ajrumiyah), mengatakan bahwa :

. [5]
I`rab adalah berubahnya akhir kalimat (kata) karena berbedanya `amil
yang masuk baik secara lafzhi maupun taqdiri.
Jadi, perubahan yang disebabkan oleh `amil dinamakani`rab dan tidak
adanya perubahan oleh `amil dinamakan bina. Jadii`rab adalah suatu
perubahan di akhir kata yang terjadi disebabkan oleh masuknya `amil. Maka
jadilah harakat akhir dari kata itu dirafa`kan, dinasabkan, dijarkan ataupun
dijazamkan, tergantung kepada apa yang dituntut oleh `amil itu.
Contoh:



Dari kalimat di atas, nampak bahwa kata hilal pertama
berbaris dhommah (marfu`) karena berposisi sebagai fa`il. Sedangkan
kata hilal yang kedua berbaris fathah (mansub) karena berposisi sebagai maf`ul
bih dan pada kata hilal ketiga berbariskasrah (majrur) karena dimasuki oleh
huruf jar.

C. Rukun I`rab
Dalam i`rab mesti ada empat hal atau yang disebut juga dengan
rukun i`rab,[6] yaitu:
1. ``amil, yaitu yang memberi hukum pada salah satu tanda i`rab. Seperti
huruf jar yang memajrurkan isimatau huruf jazam yang menjazamkan fi`il
mudhari`
2. Ma`mul, yaitu kalimat yang dipengaruhi oleh ``amil atau yang memiliki
tanda i`rab.
3. Mauqi`, bayan tentang posisi kalimat - maudhi` al-i`rab -
seperti fa`il atau maf`ul bih atau majrur.
4. `Alamah, harakat yang ada pada ma`mul.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini :

Kata yanfazu adalah fi`il mudhari` (ma`mul)
yang mansubdengan lan (``amil). Dan tanda nashabnya
adalah fathah(alamah) zhahirah di akhirnya. dan jumlah fi`liyah tersebut
menempati posisi rafa` (mauqi`) karena khabar dari mubtada.

D. Macam-Macam I`rab
I`rab ada empat macam,[7] yaitu :
1. Rafa`, Adapun rafa` mempunyai empat tanda, yaituDhommah, Wau,
Alif dan Nun.
2. Nasab, Adapun Nasab mempunyai lima tanda, yaituFathah, Alif, Kasrah,
Ya dan Hazaf Nun.
3. Jar / Khafadh, Adapun Jar/Khafadh mempunyai tiga tanda, yaitu Kasrah,
Ya dan Fathah
4. Jazam, Adapun Jazam mempunyai tiga tanda, yaituSukun, Membuang huruf
akhir dan Membuang Nun.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut :

(






)





, , , ,






, , , ,





Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa :
1. Kata benda tunggal (Isim Mufrad), i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan dhammah
- dinashabkan dengan fathah
- dikhafadkan atau dijarkan dengan kasrah
2. Kata benda jamak yang tidak beraturan (jamak taksir), i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan dhammah
- dinashabkan dengan fathah
- dikhafadkan atau dijarkan dengan kasrah
3. Kata benda jamak perempuan (Jamak Muanas Salim), i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan dhammah
- dinashabkan dengan kasrah
- dikhafadkan atau dijarkan dengan kasrah
4. Kata benda yang menunjukkan dua (Isim Musanna), i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan alif
- dinashabkan dengan ya
- dikhafadkan atau dijarkan dengan ya
5. Kata benda jamak laki-laki (Jamak Muzakkar Salim), i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan waw
- dinashabkan dengan ya
- dikhafadkan atau dijarkan dengan ya
6. Kata benda yang lima (al-Asma al-Khamsah), i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan waw
- dinashabkan dengan alif
- dikhafadkan atau dijarkan dengan ya
7. Lima pola kata kerja mudhari` (al-Af`al al-Khamsah), i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan nun
- dinashabkan dengan membuang nun
- dijazamkan dengan membuang nun
8. Kata kerja mudhari` yang ujungnya tidak bertemu dengandhamir tasniyah, ya
muannas mukhatabah, nun taukid saqilah, nun taukid khafifah, i`rabnya
adalah:
- dirafa`kan dengan dhammah
- dinashabkan dengan fathah
- dijazamkan dengan sukun
9. Kata kerja mudhari` yang ujungnya huruf ilat, i`rabnya adalah:
- dirafa`kan dengan taqdiri
- dinashabkan dengan taqdiri
- dijazamkan dengan membuang huruf ilat.

E. Pembagian I`rab
I`rab terbagi kepada beberapa bagian,[8] yaitu :
1. I`rab Lafzhi ( )
Yang dimaksud dengan i`rab lafzhi adalah bekas yang nyata pada akhir suku
kata yang disebabkan oleh `amil.I`rab lafzhi terdapat pada kata-kata yang
dapat dii`rab, yang huruf akhirnya tidak berupa huruf `ilat (bukanmu`tal akhir)
Contoh:
2. I`rab Taqdiri ) )
Yang dimaksud dengan i`rab taqdiri adalah bekas yang tidak kelihatan pada
akhir kata yang disebabkan oleh adanya `amil. Maka harakatnya menjadi
diperkirakan karena harakat tersebut tidak dapat dilihat. I`rab taqdiriterdapat
pada kata-kata mu`rab yang mu`tal akhir dengan huruf alif, wawu dan ya. Dan
pada kata yangmudhaf pada ya mutakallim.
Contoh:
;e-74.-4OE_ ELgN jgj4O eELE_
p;4N O@O^_` }g` 4g-^4`
NOOgu+- 4g)-E= .OgOg
-44 W

3. I`rab Mahalli ) )
Yang dimaksud dengan I`rab Mahalli adalah anggapan perubahan yang
disebabkan oleh `amil. Maka perubahan tersebut tidak tampak dan juga tidak
diperkirakan tandaharakatnya. I`rab mahalli itu terdapat pada
kata mabni .I`rab mahalli ini juga terdapat dalam hikayat .
Contoh:

F. Pendapat Ahli Tentang I`rab
Perbedaan pendapat ahli nahu tentang i`rab berkisar seputar
pertanyaan; Apakah harakat yang ada pada akhir kalimat(kata) merupakan
tanda beragamnya makna?. Atau ia merupakan bagian dari kalimat itu sendiri?.
Para ahli nahu Arab kecuali Abu Ali Muhammad Bin Mustanir, yang
dikenal dengan Quthrub (w.206H) berpendapat bahwa harakat
pada i`rab menunjukkan pada makna yang berbeda, yang tergambar pada isim,
fa`il, maf`ul bih, idhafah dan sebagainya.[9]
Az-Zujaji berkata: Asal i`rab itu ada pada isim dan asal binaada
pada fi`il dan huruf. Karena i`rab sesungguhnya masuk ke dalam kalimat untuk
membedakan antara fa`il dangan maf`ul, malik dengan mamluk,
mudhaf dan mudhaf ilaih. Semua itu merupakan gambaran isim yang punya
beberapa makna dan itu tidak terjadi pada fi`il-fi`il dan tidak juga pada
huruf.[10]
Ibn faris juga berkata: adapun i`rab bertujuan untuk membedakan
makna, sehingga tercapai tujuan yang diinginkan pembicara. Apabila kita
berkata dengan ungkapan tanpa i`rab, maka tidak akan terwujud
pesan yang disampaikan. Tetapi apabila dikatakan:

Dijelaskan dengan i`rab tentang makna yang diinginkannya. Dan inilah yang
dilakukan orang Arab dalam menyampaikan maksudnya, mereka memberikan
pemahaman yang berbeda melalui harakat dan lainnya.[11]
Contoh kalimat berikut ini, apabila suatu kalimat tidak
memakai i`rab maka akan memberikan makna yang beragam. Tetapi apabila
kalimat tersebut menggunakan i`rab maka akan nampak jelas makna yang
dimaksud.
/ / / !
Adapun Quthrub punya pandangan sendiri tentang harakat ini.
Menurutnya harakat merupakan bagian dari kalimat, untuk membebaskan
(menghindarkan) kalimat apabila bertemu dua huruf yang sukun, ketika
menyambung kalimat. Dia berkata: sesungguhnya kalam Arab itu beri`rab,
karena isim pada kondisiwaqaf (berhenti) biasanya sukun. Walaupun disambung
dia juga akan disukunkan. Karena biasanya isim itu sukun baik dalam keadaan
berhenti maupun bersambung...., kalaupun akan diberi harakat maka itu
hanyalah sebagai akibat dari sukun.[12]
Ini adalah pendapat Quthrub, dan tidak ada pendapat sebelumnya
sebagaimana yang kita ketahui dan tidak ada yang mengikuti pendapatnya
baik dari kalangan linguis maupun ahli nahu. Sampai pada akhirnya
pendapatnya ini mempengaruhi pola pikir Ibrahim Anis.
Dan setelah Ibrahim Anis mempelajari bahasa Arab danlahjahnya secara
terinci dan mendalam. Lalu ia tampil dengan pandangan (pendapat) baru dalam
menjelaskan indikasi i`rabbahasa Arab. Di antara pandangannya adalah sebagai
berikut:
1. Harakat i`rab itu tidak bisa dijadikan dalil. Jadi harakati`rab tidak
menunjukkan fa`il, maf`ul, idhafah dan sebagainya.
2. Harakat-harakat itu untuk membebaskan (menghindarkan) kalimat apabila
bertemu dua huruf yang sukun ketika menyambung kalimat.
3. Ada dua tanda yang masuk dalam membatasi harakat ketika bertemu dua
huruf yang sukun. Pertama, pengaruh sebagian huruf terhadap harakat secara
jelas, seperti pengaruh huruf halaq terhadap baris fathah. Kedua,
kecenderungan kepada harakat yang sejenis secara berurutan, atau disebut
juga dengan Vowel Harmony.
4. Para ahli Nahu klasik mendengar harakat tetapi mereka salah dalam
menafsirkannya apakah itu berbentuk fa`ilatau maf`ul dan lain-lain. Dan ketika
tidak ditemukan harakat untuk menyambung beberapa kalimat.
5. Ketika para ahli nahu yakin bahwa harakat merupakani`rab, mereka memberi
harakat akhir kata yang tidak ada harakatnya, untuk pengembangan qawaid.
Seperti ungkapan mereka : Arrajulu Qaim dengan dhommah lampada
kata Arrajulu. Padahal cukup dengan mengatakanArrajul
Qaim dengan sukun pada huruf lam, ketika tidak ada dharurah yang
membutuhkan harakat.
6. Ada kondisi-kondisi yang tidak butuh kepada harakat akhir kata, seperti yang
ada pada nasar dan syiir.
7. Adapun kalimat yang mu`rab dengan huruf, setiap qabilah punya perbedaan
masing-masing, tetapi para ahli nahu mengeneralisir masalah ini.[13]
Ini adalah pandangan (pendapat) Dr. Ibrahim Anis dalam
menjelaskan i`rab bahasa Arab fusha. Ibrahim Anis mengatakan bahwa kamu
tidak akan mampu untuk menjelaskan perbedaanlahjah Arab ketika berhenti
(waqaf). Seperti lahjah Azd as-Sirah, orang-orang yang apabila mereka waqaf
selalu marfu`. Mereka mengucapkan dengan dhommah dan memanjangkannya,
seolah-olah ada waw. Dan apabila kasrah, mereka membaca kasrah dengan
panjang, seolah-olah ada ya.
Contoh:
Mereka membaca dengan . Dan membaca dengan ,
ketika mereka ingin waqaf.
Ibrahim Anis adalah orang yang termasuk meragukan hakikat i`rab selain
Quthrub. Sebagaimana yang sudah disinggung di awal bahwa Quthrub
berpendapat bahwa i`rab tidak masuk ke dalam bahasa Arab sebagai dalil
untuk membedakan makna. Sesungguhnya dia hanya masuk secara takhfifi ke
dalam lisan. Dan kita melihat bahwa para linguist menolak pendapat ini, dan
tidak ada satupun di antara mereka yang menerimanya.
Perbedaan pendapat tentang harakat akhir (i`rab) ini bukan hanya terjadi
di kalangan ahli nahu dan linguist Muslim, tetapi juga terjadi di kalangan
orientalis. Di antara orientalis yang meragukan hakikat i`rab sebelum Anis,
ketika mengkaji bahasa Arab fusha terutama karakteristiknya (dalam hal i`rab)
yaitu: Karl Vollers dan Paul E. Kahle, Ia berpendapat bahwa teks al-Quran yang
asli telah ditulis dengan salah satu lahjah (dialek) suku yang ada di hijaz. Pada
teks ini tidak ditemukan adanya i`rab.
Sedangkan orientalis yang mengakui adanya i`rab dalam bahasa Arab di
antaranya adalah Th. Noldeke dan G. Bergstrasser.

G. Kesimpulan
I`rab adalah suatu perubahan di akhir kata yang terjadi disebabkan oleh
masuknya `amil. Maka jadilah harakat akhir dari kata itu dirafa`kan,
dinasabkan, dijarkan ataupun dijazamkan, tergantung kepada apa yang dituntut
oleh `amil itu. Rukun
Dalam i`rab itu mesti ada empat hal, yaitu:
`amil, Ma`mul,Mauqi` dan `Alamah. Dan i`rab ada empat macam, yaitu
: rafa`,nasab, Jar / Khafadh, Jazam. I`rab terbagi kepada beberapa bagian,
: I`rab Lafzhi, I`rab Taqdiri, I`rab Mahalli
Perbedaan pendapat ahli nahu tentang i`rab berkisar seputar
pertanyaan; Apakah harakat yang ada pada akhir kalimat(kata) merupakan
tanda beragamnya makna?. Atau ia merupakan bagian dari kalimat itu sendiri?.
Pendapat pertama dianut oleh sebagian besar ulama nahu seperti az-
Zujaji,. Ibn Faris dan sebagainya. Sedangkan pendapat kedua didukung oleh
Quthrub, Ibrahim Anis dll.
Perbedaan pendapat tentang harakat akhir (i`rab) ini bukan hanya terjadi
di kalangan ahli nahu dan linguist Muslim, tetapi juga terjadi di kalangan
orientalis. Di antara orientalis yang meragukan hakikat i`rab adalah Karl Vollers
dan Paul E. Kahle. Sedangkan yang mengakui adanya i`rab dalam bahasa Arab
di antaranya adalah Th. Noldeke dan G. Bergstrasser.



PRINSIP UMUM PENERJEMAHAN
Menggunakan kalimat pendek. 30-45 kata per kalimat lebih dari cukup
Menghilangkan kata mubazir.
Singkat, simpel, langsung bisa dipahami.
Menghindari bahasa yang sulit dipahami. Jika ada, disertai maknanya.
Membebaskan diri dari ikatan penerjemahan konvensional yang biasanya dipengaruhi kaidah
tatabahasa Arab.
Tidak mengulang-ulang kata yang sama
Kata bervariatif.
Tak terpengaruh struktur asing (Bahasa Sumber)
PERSIAPAN SEBELUM MENERJEMAH
1- Membaca buku terjemahan sebagai pembanding
Variasikan terjemahan dengan buku yg Anda baca (Beda pengarang, penerjemah, penerbit)
Buku pembanding bagai pengawal dalam proses penerjemahan
Kata atau Susunan Kata yang indah dalam buku pembanding, tolong catat untuk
menambah mufradat dan keindahan berbahasa
2- Meraba Calon Pembaca
Perabaan/Pendeteksian calon pembaca sangat penting. Kosa kata, ketebalan buku, dan
penyajian isi buku harus disesuaikan dengan calon pembaca dan keinginan penerbit
Jika calon pembaca diprediksi anak-anak, Anda harus tahu diri. Kosa kata jangan muluk-muluk.
Ketebalan diminimalisir. Jangan sajikan banyak ikhtilaf.
Benar, kita tak berhak merampas hak pengarang. Tapi, kita pun harus menyikapi kenyataan.
Jangan karena idealisme, buku diterjemahkan apa adanya.
3- Mempersiapkan Alat Kerja
Alat Tulis
laptop, komputer, printer, bolpoint, kertas, dll.
Buku Pembantu
kamus, ensiklopedi, buku pembanding, e-book, dll.
Membuat Target
jadwal dan target
Ruang Kerja
letakkan semua alat kerja berdekatan. Usahakan hemat 5 hal : (waktu tenaga ruang gerak biaya).

SAAT MENERJEMAH
1- Bacalah dari awal hingga akhir
Baca tema pertema, atau pasal perpasal. Lebih baik, baca satu tema tertentu dari awal sampai
akhir.
Jangan menerjemah kalimat perkalimat. Bikin lama jika kita ketemu kata sulit.
Dengan membaca keseluruhan tema tertentu, sama halnya kita telah menjelajahi medan
bertanding. Jadi, kita tahu titik-titik kelemahan.
Tandai atau tulis kata-kata/bahasan yang sulit pertema
2- Selesaikan dari yang mudah
Kata sulit, berilah tanda dengan pena/spidol/stabello.
Jika kesulitan seolah tak bisa diatasi, baca kembali buku-buku pembanding yang telah
dipersiapkan.
Jangan sungkan bertanya kepada yang lebih paham. Bila perlu diskusikan dengan banyak orang.
Tapi, jangan ditunda-tunda.
Jika belum terselesaikan, shalat dan minta pertolongan kepada Allah SWT. Mintalah pertolongan dengan
perantaraan sabar dan shalat (QS. Al Baqarah [2]:153)

PASCA MENERJEMAH
1- Baca hasil terjemahan
Baca kembali hasil terjemahan Anda!!
Ringkas kalimat yang panjang.
Ejaan dibetulkan.
Kosa kata atau huruf yang hilang, tambahkan.
Kekeliruan, benarkan.
Bahasa indah jangan ditinggalkan.
Kesalahan buku, selain dari diri kita, juga dari software laptop Anda. Telitilah!
Jangan mengulang baca hanya sekali. Bila perlu berkali-kali. Jaga reputasi Anda!
2- Coba persilahkan orang lain membaca karya terjemahan Anda
Berbahagialah Anda, jika ada orang lain mau membaca dan mengoreksi terjemahan Anda. Sebab, ia lebih
cermat mendeteksi kesalahan Anda.
Ucapkan terima kasih kepada siapa saja yang memberi saran konstruktif proporsional!!
Jangan patah semangat. Belajar dari pengalaman dan kesalahan adalah petualangan terindah dalam
menghasilkan karya.
Sebuah karya adalah kepuasan yang tak ternilai harganya. Teruslah menerjemah dan berkarya
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Materi Kuliah
DAFTAR RUJUKAN

Dahlan, Juwairiyah, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab,Surabaya: al-Ikhlas, 1992

al-Ghulayaini, Mustafa, Jami` ad-Durs al-Arabiyah, Beirut: al-Maktabah al-`Asriyah, 2000

Maalah, Mahmud Husaini, An-Nahwu asy-Syafi, Amman, Jordan: Daar al-Bashir, tt.

Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari al-Ahdali, al-Kawakib al-Durriyah - Juz 1 Syarah
Matan al-Ajrumiyah-,Semarang: Usaha Keluarga, tt.

Rahman, Salimuddin A. dkk., Tata Bahasa Arab Untuk Mempelajari al-Quran, Bandung:
Sinar Baru, 1990

at-Tawab, Ramadhan Abd., Fushul fi Fiqh al-Lughah, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1979

Ya`qub, Emil Badi`, Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wakhasaaisuha, Beirut: Daaru al-
Saqafah, al-Islamiyah, 1979




[1] Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab,(Surabaya:
al-Ikhlas, 1992), h. 20
[2] Mustafa al-Ghulayaini, Jami` ad-Durs al-Arabiyah, (Beirut: al-
Maktabah al-`Asriyah, 2000), h. 18
[3] Mahmud Husaini Maalah, An-Nahwu asy-Syafi, (Amman, Jordan: Daar
al-Bashir, 1991), h. 27
[4] Salimuddin A. Rahman dkk., Tata Bahasa Arab Untuk Mempelajari al-
Quran, (Bandung: Sinar Baru, 1990), h. 63
[5] Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari al-Ahdali, al-Kawakib al-Durriyah
-Syarah Matan al-Ajrumiyah- Juz 1, (Semarang: Usaha Keluarga, tt), h. 12-13
[6] Mahmud Husaini Maalah, op.cit, h.28
[7] Mustafa al-Ghulayaini, op.cit, 20-21
[8] Ibid, h. 22-27
[9] Ramadhan Abd at-Tawab, Fushul fi Fiqh al-Lughah, (Kairo: Maktabah
al-Khanji, 1979), h. 371
[10] Ibid, h. 371-372
[11] Ibid, h.372
[12] Emil Badi` Ya`qub, Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wakhasaaisuha,
(Beirut: Daaru al-Saqafah, al-Islamiyah, tt), h. 132-133. baca juga Ramadhan
Abd at-Tawaab, fushul fi fiqh al-Lughah. H. 372-373
[13] Ramadhan Abd at-Tawwab,op.cit, h. 374-375
Diposkan oleh KAMARUL ZAMAN, MA di 22:52
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
ARSIP BLOG
2012 (1)
o Mei (1)
Al-I`rab Fi Al-Nahw
MENGENAI SAYA

KAMARUL ZAMAN, MA
Ana Is My Self

Anda mungkin juga menyukai