Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TEORI SEMANTIK
Disusun untuk memenuhi tugas mata Dalalah kuliah yang diampu
Oleh Mochammad Faizun, S.S., M.Pd.I

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Umi Nailatus Sangadah 126305201014
Alpiyatu Rohmah Al Munawaroh 126305201024

SEMESTER 3
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB 3A
FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat,Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat
kepada umat manusia.
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Dalalah dan juga untuk
khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi. Kami menyusun
makalah ini dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun, kami
menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan.
Maka dari itu kami meminta kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca
makalah ini terutama Dosen Mata Kuliah Dalalah. Agar kedepannya dapat menjadi bahan
koreksi untuk kami menjadi lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Tulungagung, 30 September 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I : PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Makalah 4

BAB II : PEMBAHASAN 5
A. Teori Referensial 5
B. Teori Konseptual 6
C. Teori Behavioristik …………………………………………………….….10
D. Teori Kontekstual 13
E. Teori Medan Makna 17

BAB III : PENUTUP 19


Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi tentang makna seringkali dianggap sebagai studi ilmiah yang banyak menguras
keringat, otak dan keilmuan dari praktisi dan akademisi. Karena objek kajian makna
bagaikan air dilautan yang tak pernah surut meski diserap perut bumi dan berjuta awan di
langit. Disini makna dianggap sebagai sebuah gagasan kompleks dalam sejarah kehidupan,
hal ini tercermin pada sejumlah studi akademik yang bermuara pada kompleksitas gagasan
tersebut. sehingga perhatian terhadap kajian makna tidak hanya menarik perhatian para
linguis dan sastrawan, tetapi juga menarik perhatian dari praktisi filsafat, pragmatik,
semiotik, psikologi, sosiologi dan neurologi. Sehingga dari masing-masing pendekatan yang
digunakan oleh para pemerhati 'makna' yang nantinya melahirkan ciri khas dan keunikan
metodologi tersendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Teori referensial ?
2. Apa yang dimaksud dengan Teori konseptual ?
3. Apa yang dimaksud dengan Teori behavioristik?
4. Apa yang dimaksud dengan Teori kontekstual ?
5. Apa yang dimaksud dengan Teori medan makna ?

C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang Teori referensial
2. Menjelaskan tentang Teori konseptual
3. Menjelaskan tentang Teori behavioristik
4. Menjelaskan tentang Teori kontekstual
5. Menjelaskan tentang Teori medan makna
BAB II
PEMBAHASAN

A. Macam-macam Teori Semantik


1. Teori Referensial ( al - nazariyyah al - ishariyyah )
a. Kerangka Teoritik
Teori referensial dianggap sebagai teori semantik yang kemunculannya paling
awal dalam menjelaskan dan mengurai makna. Pengikut teori ini berpandangan
bahwa makna kata adalah apa yang ditunjuk atau yang diacu di alam nyata. Teori
Referensial juga berpijak pada apa yang disebut dengan fungsi bahasa sebagai wakil
realitas yang menyertai proses berfikir manusia. Makna Teori Referensial lebih
menekankan pada fakta sebaaai objek kesadaran pengamataan dan penarikan yang
disimpulkan secara individual. Dengan demikian, Teori ini mengaitkan makna
dengan masalah nilai serta proses berfikir manusia dalam memaahami realitas melalui
bahasa secara benar. Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk berfikir, pencari
makna dan mengolah makna pada suatu realitas.

Referen atau acuan bisa berupa entitas benda, peristiwa, proses atau kenyataan.
Referen ialah entitas yang ditunujukkan oleh lambang. Jadi, kalau anda mengatakan
kata "Masjid", maka yang ditunjukkan oleh lambang tersebut adalah tempat umat
islam menjalankan aktivitas ibadah, seperti : Sholat dan Dzikir. kata masjid langsung
dihubungkan dengan acuaannya. tidak mungkin muncul asosiasi yang lain.

Penganut teori berusaha membatasi tabiat referen ( mushar ilaih ) kedalam beberapa
kaategori berikut ini :

a) Al - 'Alam maknanya mengacu pada individu yang ada diluar bahasa.


b) Al - 'Afal maknanya mengacu pada peristiwa yang ada di luar bahasa.
c) Al - Sifat maknanya mengacu pada karakteristik - karakteristik sesuatu yang ada
di luar bahasa.
d) Al - Ahwal maknanya menunjuk pada karakteristik - karakteristik kejadian yang
terjadi di luar.
e) Isim al - jinis misalnya kata ‫ شجرة‬maknanya menunjuk pada individu yang tidak
tertentu atau bisa menunjuk pada sekumpulan pohon.
b. Pandangan Ulama Ushul

Ada beberapa pandangan ulama ushul yang bisa dikatakan sama dengan
pandangan para pengikut teori referensial, terutama terkait dengan makna lafad.

Jamaluddin al - shirazy berkata :

‫ وال ينافي كونه للوجود الخارجي وجود استحضار للصور الذهنية‬،‫"اللفظ موضوع للموجود الخارجي‬.
lafad merupakan objek bagi entitas eksternal, keberadaannya bagi wujud eksternal
merupakan wujud nyata dari citra mental.

Jika sesuatu memiliki wujud eksternal dan mental, maka lafad - lafad itu
merupakan objek bagi entitas di dunia nyata. Jika ia tidak memiliki wujud di alam
nyata ( seperti kata (Hantu) dan (Kuntilanak) ) maka lafad tersebut merupakan objek
bagi citra mental.

c. Kritik atas Teori Referensial


a. Banyak sekali benda yang tidak mempunyai entitas di dunia nyata, padahal
benda-benda tersebut memiliki lafad yang mengacu padanya. Misalnya :
- Beberapaa adawat, misalnya ‫ ن أ‬,
- Kata-kata yang memiliki signifikasi makna aqliyyah, misalnya: \¡pla dan lain-
lain.
- Hal-hal yang beraroma khurafat (takhayul), misalnya: .‫ عنقاء نمنم‬:‫ رخ‬:‫غول سعالة‬

- Hal-hal yang ghaib, misalnya :


b. Ungkapan yang menyatakan bahwa makna itu adalah sesuatu yang ada di luar
(referent/acuan) dapat melahirkan satu penyataan, bahwa dua ungkapan yang
mengacu pada satu hal adalah sinonim, dan hal ini tidak bisa diterima, misalnya :
adalah satu, tetapi ‫اء‬YY‫ة المس‬YY‫ نجم‬dan ‫باح‬YY‫ة الص‬YY‫ نجم‬acuan pada kata bukan berarti
keduanya bersinonim.
c. Ada perbedaan antara makna dan referen, terkadang ada dua makna sedangkan
referennya hanya satu, dan terkadang satu orang dipanggil dengan beberapa
panggilan, misalnya : ‫ جد‬.‫ عم‬.‫ أح‬،‫أب‬
d. Jika makna itu adalah sesuatu yang ada di luar, maka setiap sesuatu yang
disandarkan pada sesuatu yang ada di luar bisa disandarkan pada makna, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Misalnya, seandainya kita menganggap makna
-makna itu adalah apel -apel, maka yang kita ketahui adalaah apel - apel itu dapat
dimakan, sedangkan makna itu tidak bisa dimakan. Makna itu bisa dipelajari,
sedangkan apel tidak bisa.
e. Teori ini tidak mungkin bisa kita terapkan pada persoalan - persoalan kebahasaan
hingga elemen - elemen yang paling kecil, seperti pada beberapa makna
fungsional atau apa yang sering kita sebut al adawat atau huruf - huruf arab yang
memiliki signifikasi, misalnya :
f. Terkadang makna suatu kata hanya satu, sedangkan acuan nya banyak, misalnya
kata ganti (damir/pronomina), kata ganti isyarah yang memiliki beberapa makna,
hanya saja terkadang ia memiliki makna linguistik tertentu, namun bisa mengacu
pada berbagai individu atau barang.
g. Terkadang acuan dari suatu kata sudah punah, tetapi maknanya masih tetap,
misalnya :
h.
2. Teori Konseptual (Al-Nazariyah al-Tasawwuriyyah)
a. Makna Menurut Teori Konseptual

Menurut teori ini, makna adalah citra mental (şurah al-dha niyyah) yang
dilahirkan oleh kata bagi pendengar, atau citra mental yang dipikirkan oleh penutur.
Sejatinya, teori ini merupakan penjabaran konsep bapak linguistik modern,
Ferdinand de Saussure, yang berpandangan bahwa tanda bahasa itu terjalin oleh
konsep penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Penganut teori ini beranggapan
bahwa persoalan makna - jika dilihat dari satu sisi- sama dengan prinsip-prinsip
dengan berbagai metodologi dan dasar-dasar penerapannya. Salah satu indikator
yang memperkuat asumsi ini adalah istilah istilah yang digunakan dalam studi
makna, seperti "konsep", "ci tra mental", "relasi pikiran", dan seterusnya."

Teori ini memiliki beberapa istilah lain, yaitu: teori ideasional, teori intensional,
dan teori mentalistik. Teori ini beranggapan bahwa setiap makna adalah konsep, dan
konsep ini harus ada di benak penutur. Selanjutnya penutur mengekspresikan konsep
tersebut melalui medium gambaran bahasa (citra akustik kata) yang diterima oleh
pendengar. Lalu pendengar menerima citra akustik tersebut. Perhatikan ilustrasi
berikut :

konsep penutur

citra bahasa

konsep pendengar

Jika seorang penutur mengujarkan kata al - kitab misalnya, maka ia mengisyaratkan


sebuah konsep di dalam pemikirannya, demikian juga di pikiran pendengar, karena
masing-masing keduanya sama sama memiliki konsep tentang kata al-kitab.
Persamaan konsep ini yang memicu terjadinya proses komunikasi. Sebaliknya, jika
antara penutur dan mitra tutur memiliki perbedaan mengenai konsep al-kitab, maka
besar kemungkinan komunikasi antara keduanya gagal.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa makna yang dimaksud kan oleh teori
konseptual bersifat mentalistik, yang mengasumsikan entitas makna berada di
pikiran penutur bahasa. Dengan demikian, teori ini mengaitkan makna dengan
kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan melalui bahasa (bagaimana
menyampaikan makna melalui struktur kebahasaan tanpa mengabaikan keselarasan
hubungannya dengan realitas). Misalnya, katali tidak hanya bermakna pena, namun
memiliki arti yang lebih luas yang digambarkan oleh pikiran, yaitu alat yang
digunakan untuk menulis, dan sebagainya.
b. Teori Konseptual Menurut John Locke

Teori ini berporos pada pemikiran filsuf berkebangsaan Ing gris, John Locke
(abad ke-19). Dia mengatakan: "Penggunaan kata-kata harus menjadi referen yang
bisa diindra oleh pikiran, dan ide-ide yang mewakili itu adalah signifikansi secara
langsung"." Dalam pandangan Locke, makna itu memiliki entitas mandiri di dalam
benak manusia yang berupa citra mental, sebagai hasil dari diversifikasi indra di
dalam otak. Dengan demikian, Locke sebenarnya menganggap bahasa sebagai
pengemban makna untuk mengkomunikasikan gagasan (konsep).

Teori ini juga menganggap bahwa bahasa sebagai sarana mengkomunikasikan ide
atau representasi eksternal - internal makna dari situasi internal. Beberapa peneliti
menyebut teori ini sebagai teori pemikiran, karena menurut teori ini setiap kata
mengacu pada gagasan dalam pikiran dan ide yang dimaksudkan di sini adalah arti
dari kata tersebut.

c. Teori Konseptual Menurut C.K. Ogden dan L.A. Richard

C.K. Ogden dan L.A. Richard dalam bukunya yang berjudul The Meaning of
Meaning (1923) ialah ilmuwan pertama yang mengembangkan Terori Referensial
(al - nazariyyah al - ishariyyah ) atau Teori Denotational, yang terpresentasikan
dalam segi tiga (semantic tringle). Menurut Ogden dan Richards, kata itu mencakup
dua bagian: pertama, suatu bentuk yang terkait dengan fungsinya sebagai simbol.
Kedua, hal terkait dengan konsep pikiran."

Melalui segi tiga makna tersebut, kita bisa mengetahui tiga istilah kunci dalam
karya Ogden dan Ricards: simbol (al-ramz), reference (al-fikrah), dan referent
(mushār ilaih). "Simbol" merupa kan unsur internal linguistik, sedangkan referent
merupakan en titas yang ada di alam nyata, sementara "konsep" adalah persepsi.
Menurut teori tersebut, tidak ada hubungan langsung antara simbol bahasa dan
referennya (antara bahasa dan entitas ekster nal), hubungan keduanya semata-mata
melalui konsep atau per sepsi pikiran manusia."

Dalam pikiran manusia, kata menimbulkan sebuah citra (gambaran) mental ke


alam eksternal. Ini berarti makna kata tersebut adalah gambaran mental antara satu
orang dengan orang lain, dari satu lingkungan ke lingkungan lain, dan dari satu
budaya ke budaya lain yang bervariasi. Artinya, gambaran mental atas suatu bidang
(field) berbeda dari satu orang ke orang lain, dan mungkin juga dari satu komunitas
ke komunitas lain.
d. Teori Konseptual Menurut Al-Farabi (w. 329 H)

Al-Farabi (w. 329 H) berpendapat bahwa "Kata-kata itu mengindikasikan


beberapa hal, di antaranya ialah perkara-perkara yang menjadi objek pikiran, di
mana ia bersifat rasionable, lalu diolah otak yang di dalamnya (membutuhkan)
aktivitas khusus, hanya saja ia lebih dekat dengan hal-hal yang terindra, karena itu
ia ditandai dengan tanda-tanda atau melalui suara-suara". Di tempat lain Al-Farabi
berkata : "Ucapan itu adalah ujaran yang keluar diiringi dengan bunyi. Ia yang
mengekspresikan lisan mengenai apa yang ada di otak. Ia juga merupakan ujaran
yang terpusat di dalam jiwa manusia, yaitu hal-hal yang rasionable yang ditunjuk
oleh lafad. "

e. Teori Konseptual Menurut Fakhr al-Razi (w. 606 H)

Konsep segi tiga antara penanda dan petanda di atas juga menjadi bahan
pembicaraan linguis-linguis Arab klasik. Fakhr al Rāzi (w. 606 H) misalnya,
beliau menyatakan:

‫ واأللفاظ المفردة ما وضعت للموجودات الخارجية بل‬.‫إن اللفظ ال يتغير بحسب تغير الصورة في الذهن‬
‫للمعاني الذهنية‬.

Sesungguhnya lafad itu tidak dapat berubah sampai ada perubahan konsep
dalam pikiran. Kata-kata tunggal tidak ditunjukkan pada referen di luar bahasa,
akan tetapi mengacu pada makna-makna terkonsep dalam otak manusia.

Al-Razi memberikan contoh sederhana untuk memahami konsep tersebut,


"jika seseorang yang melihat sesuatu dari arah kejauhan, ia mengiranya batu, lalu
ia berkata batu. Ketika jarak nya lebih dekat, ia meyakininya pohon, lalu ia
berkata pohon. Tatkala jaraknya lebih dekat lagi, ia berpikir itu kuda. Kemudian
jika telah sampai dan mengetahui bahwa sesuatu itu adalah ma nusia, maka ia pun
berkata manusia". Contoh ini menunjukkan bahwa lafad/kata dapat berubah
sesuai dengan makna yang ter konsep dalam benak manusia, bukan pada benda
dan acuan yang berada di luar. Dari konsep ini Al-Razi melihat adanya hubungan
tidak langsung antara kata dan citra mental. Pandangan Al Răzi ini menyerupai
konsep Richards dan Ogden dalam semantic triangle-nya.

f. Teori Konseptual Menurut Syarif al-Jurjani (w. 816 H)

Syarif al-Jurjani mendefinisikan makna melalui ungkapan sederhana. Dia


mengatakan sesungguhnya makna itu adalah "apa yang dimaksud oleh sesuatu".
Menurutnya makna-makna adalah "dari segi di mana kata-kata itu diletakkan berarti
ia merupakan citra mental dan gambaran-gambaran yang dihasilkan oleh pikiran,
dari sisi di mana makna-makna itu diproduksi dari kata-kata dinamakan konsep, dan
jika dilihat dari sudut pandang di mana ia rasional atas jawaban pertanyaan "apa
itu? maka ia dinamakan fakta, dan dalam hal hak prerogatifnya dari segala tipuan
disebut identitas".

Dari penjelasan Syarif al-Jurjani di atas dapat dipahami bahwa kata sebagai
simbol telah merepresentasikan status dal, ada citra mental adalah referent (hal yang
ditandakan), atau entitas dunia luar. Adapun yang menghubungkan antara keduanya
pun untuk menghasilkan makna ialah persepsi yang dimaksudkan, lalu
ditransformasi pikiran untuk mengetahui identitas sesuatu yang dimaksudkan
melalui hal verbal saja, tanpa menggesernya ke sesuatu yang lain (yang berada di
luar).

g. Kritik atas Teori Konseptual

Secara filosofis, teori ini memang hebat dan handal, terutama dalam mengurai
keterkaitan antara bahasa dan pikiran ma nusia selaku user tunggal bahasa. Namun,
dalam studi kebahasaan, teori ini masih banyak menyisahkan persoalan.
Ketidaktuntasan teori ini dalam mengkaji dan mengeksplorasi bahasa sebagai relasi
sistem dan fenomena sosial hingga ke akar-akarnya mengakibatkan ia harus rela jadi
santapan kritik ahli bahasa, sebagaimana yang saya uraian berikut :

a. Kita tahu bahwa ada banyak sekali kata yang tidak bisa menerima konsep, bahkan
tidak jarang juga di antara kata kata itu tidak memiliki konsep akal yang ada di
luar dirin ya. Misalnya, huruf-huruf Arab yang memiliki signifikasi, demikian
juga kata-kata abstrak, misalnya: demokrasi, so sial, ekonomi, sejarah, dan
sebagainya.
b. Teori ini mengkaji bahasa di luar wilayah bahasa itu sendiri.
c. Teori ini bagaikan pisau yang dijadikan alat untuk men guak hal-hal mentalistik
yang ada di pikiran manusia, bukan aspek-aspek internal bahasa itu sendiri,
akibatnya seorang linguis sering kali menghadapi jalan terjal yang sulit dilalui,
terutama di dalam menentukan batasan-batasan bahasa yang sudah tereduksi oleh
inter subjektifitas subjek. Karena yang menjadi garapan seorang linguis bukan
semata-mata cara kerja psikis dan rasio manusia, tapi elemen dan sistem internal-
for mal bahasa, meskipun harus diakui bahasa tidak dapat dipisahkan dari
keduannya.

3. Teori Behavioristik (Al-Nagariyyah al-Sulukiyyah)


a. Kerangka Teoritik
Linguis struktural yang pertama kali mengembangkan pe mikiran-pemikiran
behaviorisme dalam studi bahasa adalah Leonard Bloomfield (1877-1949). Dialah
tokoh linguistik Amerika yang menerapkan prinsip-prinsip behaviorisme pada studi
ba hasa. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya "Language" yang diter bitkan pertama
kali pada tahun 1933. Karya ini selalu dikaitkan dengan aliran strukturalisme
Amerika. Di dalam buku tersebut, Bloomfield banyak menyindir per soalan-persoalan
semantik, sebagai reaksi keras terhadap teori konseptual yang filosofis-mentalistik.
Karena itu ia meneliti ba hasa dari aspek-aspek yang dapat diamati secara langsung,
tidak terkecuali dalam kajian semantik. Dalam pandangan Bloomfield bahasa
merupakan satu tingkah laku manusia (behavior) yang sama dengan tingkah laku
lainnya. Bloomfield mendefinisikan makna sebagai suatu kondisi atau situasi yang
ada dalam tubuh manusia (penutur). Panda ngan ini kemudian berimplikasi terhadap
pandangan Bloomfield dalam semantik, oleh karena itu dia menganggap makna
bagian dari studi bahasa yang bersifat pariferal.

Teori behavioristik (Behavioral Theory) memfokuskan kajian nya pada aspek


perilaku yang dapat diamati secara kasat mata. Dengan demikian, teori perilaku ini
berseberangan dengan prinsip-prinsip teori konseptual yang fokus pada ide atau per
sepsi dalam menentukan makna. Bloomfield (1933) menegaskan bahwa linguistik
adalah sains (science), sebagaimana ilmu fisika dan kimia. Untuk menjaga
objektivitas ilmiah, linguistik harus menggunakan pendekatan materialistik dan
mekanistik, dan menggunakan metode induktif. Karena itulah data kebahasaan
dibatasi pada ujaran yang teramati (observable), dan deskripsi ba hasa adalah
kumpulan generalisasi dari analisis data-data yang diperoleh di lapangan.

Cara pandang dan pendekatan linguistik Leonard Bloomfield dkk (Strukturalisme


Amerika) tersebut bisa dikatakan over-materialistik dan serba observable. Namun,
justru pikiran seperti ini mendapat sambutan dan apresiasi yang luar biasa di
Amerika, sehingga mampu menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam bidang
fonologi, morfologi, pembelajaran bahasa asing, dan se bagainya. Sementara sintaksis
tersentuh dari kulit luarnya saja dan semantik terabaikan, karena makna menurut
Bloomfield (1933: 140), sulit diamati secara obyektif, hanya difungsikan seb agai
sarana untuk membantu analisis dan menghasilkan deskrip si struktur. Bloomfield
berpandangan, sesungguhnya makna bahasa ialah situasi di mana pembicara
menuturkan bahasa, dan respons dibutuhkan oleh pendengar melalui pengucapan
struktur bahasa sehingga pembicara mendesak pendengarnya merespons yang situasi.
Situasi dan respons inilah yang dinamakan makna struk tur linguistik. Teori linguistik
Bloomfield ini diterangkan dengan lebih jelas jika kita mengikuti anekdot Jack and
Jill. Dalam anekdot itu di ceritakan Jack dan jill sedang berjalan-jalan, lill melihat
buah apel yang sudah masak di pohon. Jill berkata kepada Jack bahwa dia lapar dan
ingin sekali makan buah apel tersebut. Jack meinanjat pohon apel itu dan kemudian
memetiknya dan memberikannya kepada till. Secara skematis peristiwa ini dapat
digambarkan se bagai berikut :

S r....................s R

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

(1) Jill melihat apel (S = stimulus lingkungan/).

(2) Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel hingga berkata ke pada Jack.

(3) Perilaku atau kegiatan Jill sewaktu berkata kepada Jack (r = .(‫استجابة لغوية‬/respons
Bahasa

(4) Bunyi-bunyi atau suara dikeluarkan Jill waktu berbi cara kepada Jack.

(5) Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu mendengarkan bunyi bunyi atau suara yang
dikeluarkan Jill (s = stimulus bahasa)

(6) Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyi suara Jill sam pai bertindak.

(7) Jack bertindak memanjat pohon, memetik apel, dan mem berikan kepada Jill (R =
respons aksi/),

Nomor (3), (4), dan (5) yaitu (r...s) adalah lambang atau perilaku berbahasa (speech
act) yang dapat diobservasi secara fisiologis, sedangkan yang dapat diamati atau
diperiksa secara fisik hanyalah nomor (4).

Berdasarkan keterangan di atas maka yang menjadi data linguistik bagi teori
Bloomfield adalah perilaku berbahasa atau lambang bahasa (r...s) dan hubungannya
dengan makna (S dan R). Dalam pandangan Bloomfield apa yang terjadi di dalam
otak Jill mulai dari (1) hingga (2) sampai dia mengeluarkan bunyi tidaklah penting,
begitu juga dengan proses yang terjadi di dalam otak Jack setelah ia mendengar
bunyi-bunyi itu yang membuatnya bertindak (5 dan 6) adalah juga tidak penting,
karena keduanya tidak dapat diamati. Akibatnya studi makna kurang diperhatikan
oleh aliran Bloomfieldean. Unsur-unsur linguistik diterangkan berdasarkan distribusi
unsur - unsurnya dalam lingkungan, di mana unsur - unsur itu berada.

b. Kritik atas Teori Bloomfield

Ada beberapa poin penting, dan sekaligus sebagai kritik atas prinsip stimulus dan
respons yang diusung Bloomfield yang ditu angkan dalam anekdot di atas terhadap
makna, di antaranya se bagai berikut :
Keberadaan stimulus dan respons sebagai senjata penting untuk menghasilkan
makna masih banyak menyisahkan per soalan yang tidak kunjung selesai, karena
banyak sekali kata kata yang ada di sekitar kita tidak dapat dipahami dengan model
analisis Bloomfield tersebut. Jika memang k (lapar) dapat dianalisis secara fisik
dengan adanya ras perut, maka bagaimana dengan kata-kata yang tidak de hami
secara fisik?! Seperti, (cinta) (benci), i keb) ‫ الجهل‬,(ilmu) ‫ العلم‬,(kesedihan) ‫زن‬YY‫الح‬,
(bahagiaan (kebaikan) dan (keburukan), dan segud lainnya.

Adanya keterbatasan kemampuan mengungkapkan yang belum jelas dalam


bahasa, walaupun tujuan agar menjadi respons yang bisa dipahami orang lai rasa
cinta, benci, rindu, dan sebaga.ya. Sebaliknya tidak selalu bisa merespons ungkapan
stimulus ba memuat ungkapan multi tafsir.

Adanya kemungkinan beberapa stimulus di balik sa pan, misalnya 'aku lapar' yang
diucapkan seorang boleh jadi karena anak itu memang lapar, atau ka tidur, atau
karena ia ingin bermain-main.

Ada kemungkinan munculnya beberapa respons ungkapan saja. Misalnya,


perkataan anak "aku l kadang kita meresponsnya dengan berbagai al menyuguhkan
makanan kepadanya, atau justru dengan berkata "bukankah kamu baru saja mal
menyuruhnya pergi ke kamar untuk segera tidur. Ini artinya, stimulus bahasa bisa
melahirkan berbagai respons aksi yang bermacam-macam yang tidak selamanya
sesuai dengan ung kapan bahasa.

Tidak selamanya para penutur bahasa itu terikat oleh si tuasi tertentu, bahkan di
antara mereka banyak sekali yang mengucapkan kata 'apel' misalnya, meskipun saat
itu tidak ada apel sama sekali.

4. Teori Konstekstual (Al-Nazariyyah al-Siyäqiyyah)

Sistem bahasa adalah sistem relasi antar unit, yang bekerja secara serempak untuk
melahirkan makna. Analisis sistem ini selalu inklusif, dapat diinovasi, dan menerima
perubahan, baik dalam struktur leksikal maupun struktural. Jadi, mengidentifika si
makna kata perlu menentukan seperangkat konteks nyertainya. Konsep inilah yang
diusung oleh teori kontekstual. Teori yang dikembangkan oleh John Rupert Firth (1890-
1960) menolak dengan tegas makna-makna struktur bahasa dak dikemas dalam konteks.
Bahkan secara ekstrim Martini r ngatakan "kata yang berada di luar konteks belum
memenuhi untuk memiliki makna". yang ti me syarat yang mengatakan "kata yang
berada di luar konteks belum memenuhi syarat untuk memiliki makna".

a. Kerangka Umum Teori Kontekstualisme


Dalam aliran ini Firth membatasi kerangka umum dalam kajian bahasa dengan
serangkaian langkah sebagai berikut;
1) Bahasa merupakan fenomena sosial. Maka persoalan bahasa adalah kebiasaan dan
konvensi. Jika demikian, bahasa merupakan ciptaan dan kreativitas manusia.
Misalnya jika anda warga Indonesia, bukan karena darah dan jenis anda, tetapi
karena adanya karakteristik dan ciri khas yang ada pada diri anda, salah satu di
antaranya ialah anda berbicara dengan bahsa indonesia.
2) Bahasa dalam pengertian tersebut adalah hasil ciptaan dan produk verbal manusia.
Hasil tersebut merupakan produk kerjasama antara akal dan fisik mereka bekerja
bersamaan.
3) Dalam pandangan Fith, manusia merupakan unit yang memiliki unsur dan aspek
yang lengkap. Penciptaannya terkonstruk dengan unsur material dan ruh, atau
unsur fisik dan akal. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan.
4) Uraian-uraian di atas menggambarkan bahwa event-event kebahasaan baik kata,
ungkapan, atau kalimat- merupakan unit yang unsur-unsurnya saling melengkapi.
5) Manusia adalah bagian dari lingkungan di mana mereka hidup di dalamnya.
Karena itu, manusia layak disebut actor nyata bagi Bahasa, sebab tradisi mereka
terpantul dalam Bahasa.
6) Ketetapan dan integrasi satuan unsur-unsur Bahasa yang ada pada manusia, dan
apa saja yang bersumber dari mereka, seperti bunyi-bunyi Bahasa, melahirkan
metode penelitian dalam Bahasa yang juga memiliki umit, yang aspek dan prinsip
dasarnya saling berintegrasi. Aspek-aspek metode yang integrative itu dapat
digambarkan dalam serangkaian Langkah pokok yang sebagiannya mengantarkan
pada sabagian yang lain. Langkah-langkah tersevut adalah apa yang oleh ilmu
Bahasa disebut cabang-cabang linguistic.
Menurut Fith, cabang-cabang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Phonetics (‫)علم األصوات العام‬
b. Phonology (‫)علم وظانف األصوات‬
c. Morphologi (‫)علم الصرف‬
d. Syintax (‫)علم النحو‬
e. Lexion atau lexicography ( ‫)المعجم أو الدراسة المعجمية‬
f. Semantics ( ‫)علم المعنى‬
7) Makna bahasa. Menurut Fith, makna bahasa itu memiliki konsep khusus.
Menurutnya, makna merupakan serangkaian kekhususan bahasa pada situasi
bahasa tertentu.
Contoh :
Kata ‫ ولد‬adalah sesuatu yang tersusun (spectrum) yang dibentuk oleh berbagai
anasir bahasa yaitu :
- Kekhususan bunyi (‫وتية‬YY‫)الخوص الص‬. Kekhususan bunyi dalam kata ‫ ولد‬dapat
diketahui dan merupakan bagian dari makna umumnya.
- Jika dilihat dari segi morfologi, maknanya yaitu makna morfologis (‫نى‬YY‫المع‬
‫)الصرفي‬.
- Makna morfologis sendiri harus dipandang secara sintaksis (‫)المعنى النحوي‬
- Kata ‫ ولد‬memiliki makna kamus (‫)المعنى القاموسي‬. Makna ini juga bagian dari
makna kata tersebut, hanya saja maknanya masih bersifat abstrak dan sangat
umum.
- Dalam konteks sosial kata ‫ ولد‬mengantarkan pada penggunaannya dalam
tataran sosial tertentu, sehingga maknanya pun menjadi makna sosial
Contoh :
Perkataan ‫ ولد‬makna sosialnya adalah ‫( اسكت‬diamlah)
Dari aspek yang dimiliki oleh kata ‫ ولد‬dapat mengantarkan kita pada
makna linguistik. Menurut Fith, untuk mengetahui makna kata atau ungkapan
tertentu harus menganalisis secara menyeluruh terlebih dahulu. Dilihat dari
penggunaan kata tersebut di berbagai konteksnya.
8) Perhatian terbesar Fith diarahkan pada konsep fonologi. Dari perhatiannya
lahirlah apa yang disebut prosodi (‫)النطريز الفونولوجي‬. Prosodi adalah suatu cara
untuk menentukan arti makna pada tataran fonetis, leksikal, situasional, dan
gramatikal. Fonologi prosodo terdiri dari satuan fonematis yang berupa unsur-
unsur segmental konsonan (‫ )الصوانت‬dan vokal (‫ )الصوامت‬dan prosodi yang berupa
ciri atau sifat struktur yang lebih panjang pada segmen tunggal.
Prosodi dibagi menjadi tiga macam :

Prosodi yang menyangkut gabungan fonem : struktur


a)
kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal
b) Prosodi yang terbentuk oleh jeda ‫لصونيت‬
( ‫)ا لفواصلاا‬
Prosodi yang realitas fonetisnya melampaui satuan
c)
yang lebih besar daripada fonem suprasegmental

9) Di setiap kajian bahasa, Firth selalu memperhatikan hubungan-hubungan internal


antar satuan-satuan struktur, tetapi di saat yang sama dia juga memperhatikan
surface structure () yang terbatas pada corpun ()
10) Firth menolak dengan tegas teori Saussure yang membedakan antara langue dan
parol. Menurutnya teori ini memiliki konten yang tidak tepat karena manusia
sebagai user bahasa memiliki dua aspek yang tidak bisa dipisahkan satu waktu,
yaitu aspek material (jasad) dan non material (ruh).
11) Fith menempuh metode deskriptif secara mendetail.
12) Firth tidak memungkiri teori yang menyatakan bahwa bahasa itu linguistik yang
memiliki beragam sistem atau cabang. Akan tetapi, dari segi kemandirian dan
keikutsertaannya menyerupai cabang-cabang linguistik.
13) Berdasarkan uraian di atas, Firth adalah seorang yang menjadikan konteks
nonlinguistik dan konteks sosial sebagai dasar teorinya dalam menganalisis
bahasa. Konteks ini memiliki unsur-unsur yang integratif yang sangat penting
dalm proses memahami dan memahamkan. Konteks yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
a. Penutur (‫)المتكلم‬
b. Pendengar (‫)السامع‬
c. Waktu dan tempat (‫)الزمان والمكان‬
d. Ujaran itu sendiri (‫)الكالم نفسه‬
Dari sini dapat difahami bahwa kajian linguistik yang paling penting adalah
konteks. Menurutnya, siapa pun harus melihat aspek-aspek secara keseluruhan
dan hubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga dapat menganalisis
ujaran dengan baik dan benar serta tepat dan juga akurat.
b. Urgensi Teori Kontekstual
Teori Firth ini dianggap ampuh dalam menyibak makna. Banyaknya konsep yang
ditunjukkan oleh kata berarti ia memiliki makna sentral. Banyaknya makna yang
dikandung oleh suatu kata tergantung pada seberapa banyak konteks dan keragaman
distribusi linguistik. Pendekatan yang digunakan pada teori kontekstual termasuk
pendekatan yang tema-temanya paling banyak digunakan dalam analisis semantik
karena teori ini menyediakan sebuah model dalam menentukan makna struktur bahasa.
c. Kolokasi (/collocation)
Makna merupakan jantung dari pengkajian bahasa. Firth memperkenalkan istilah
kolokasi ini untuk menerangkan dua makna, yaitu makna gramatikal dan makna
fonologis. Kolokasi sendiri didefinisikan sebagai berikut :
‫االرتباط المعتاد في اللغة بكلمات أخرى معينة في الجمل‬
Asosiasi yang mengikuti kebiasaan antara dua kata atau lebih untuk menandakan
makna tertentu dalam kalimat.
Kolokasi memiliki peran penting dalam menentukan kontekstualisasi makna suatu
kata. Misalnya pasangan kata berikut :

‫َوسِ ْي ٌم‬ ‫َر ُج ٌل‬

‫َج ِم ْي َل ٌة‬ ‫ِام َْرأَ ٌة‬


Kata ‫ ٌل‬YYYُ‫ َرج‬berdistribusi dengan kata ‫ ْي ٌم‬YYY‫( َو ِس‬tampan), sedangkan kata ٌ‫ َرأَة‬YYY‫اِ ْم‬
berdistribusi dengan kata ٌ‫( َج ِم ْيلَة‬cantik). Dua kata yang saling berpasangan tersebut
tidak dapat saling dipertukarkan satu sama lain, misalnya kata ‫ َر ُج ٌل‬didampingkan
dengan kata ٌ‫( َج ِم ْيلَة‬lelaki yang cantik) begitu juga sebaliknya.

d. Kritik atas Teori Kontekstual


1) Firth tidak menggunakan teori universal untuk Menyusun Bahasa, cukup
menggunakan teori semantik padahal makna harus diungkapkan secara berurutan.
2) Firth tidak membatasi Ketika menggunakan istilah konteks beserta urgensitasnya.
3) Teori ini tidak begitu bermanfaat Ketika konteks tidak dapat menjelaskan makna
kata.
4) Fakta membuktikan, bahwa makna yang lahir dari konteks tidak hanya bersumber
dari konteks saja.
5) Kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa tidak semua kata akan bermakna jika
berada pada konteks, karena ada sederetan kata yang memiliki acuan dan makna
tanpa konteks.
Kesimpulan dari kritik di atas adalah sesungguhnya Ketika kata itu
diletakkan di berbagai konteks, maka ia tidak seperti air yang warnanya bisa
tunduk pada warna bejananya, tetapi seperti bunglon yang dapat berganti warna
sesuai dengan warna yang dihinggapi. Artinya, kata itu memiliki kemampuan-
kemampuan tertentu, kemampuan muncul di tempat yang sesuai.

5. Teori Medan Makna (Nazariyyat al-Huqul al-Dalaliyyah)


a. Pengertian Medan Makna
Mukhtar Umar, mendefinisikan semantic field sebagai “bagian yang saling
melengkapi dari suatu sistem linguistik yang mengupas sebuah medan tertentu yang
masuk dalam kelompok besar sebuah makna.
Lyons mendefinisikan sebagai “kumpulan bagian sebuah kata atau leksem
bahasa”

b. Kerangka Teoritik
Medan makna (semantic field atau lexical field) merupakan seperangkat atau
kumpulan kata yang maknanya saling berkaitan. Dalam teori ini kita juga harus
memahami sekumpulan kosakata yang maknanya berhubungan agar memahami
makna suatu kata. Sebagai contoh misalnya nama warna (‫ )األلوان‬membentuk medan
makna tertentu, misalnya:‫فر‬YY‫ر – أزرق – أص‬YY‫ر – أبيض أحم‬YY‫ أخض‬-dan begitupula nama
perabot dapur dan seterusnya.
Menurut teori ini, untuk memahamai makna kata harus memahami pula
serangkaian kata yang secara semantis saling berhubungan. Dalam mengurai bidang
makna para penganut teori ini menyepakati berapa prinsip dasar berikut:
1) Tidak ada unik fleksikal (lexeme) yang memiliki lebih dari satu bidang
semantik.
2) Tidak ada unik lexikal yang tidak bisa berkembang kecuali dalam bidang
tertentu.
3) Tidak boleh mengabaikan peran konteks ketika kata atau kalimat
dihadirkan sesuai konteks yang meliputinya.

c. Urgensi Medan Makna dalam Analisis Linguistik


1. Medan Kolokasi menujukkan pada hubungan sintagmatik, tentang hubungan
linier antara unsur-unsur bahasa dalam tatanan tertentu. Istilah lain dari hubungan
sintagmatik adalah kolokasi. Kata kolokasi berasal dari bahasa latin colloco yang
berati “di tempat yang sama” dengan menunjuk pada hubungan sintagmatik.
Artinya, kata-kata tersebut berada dalam atu kolokasi atau satu tempat atau satu
lingkungan.
Dalam bahasa Arab hubungan Sintagmatik ini dapat dicontohkan pada hubungan
pasangan berikut :

(melihat-mata) ‫عين‬-‫يري‬
(mendengar- ‫أذن‬-‫يسمع‬
telinga)
(memukul- ‫يضرب – يد‬
tangan)
(berjalan-kaki) ‫ رجل‬-‫يمشي‬

2. Medan Set menunjukkan hubungan Paradigmatik tentang hubungan antara unsur-


unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu
yang dapat dipertukarkan. Dan kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu
saling bisa disubstitusikan.
Hubungan antar unsur-unsur itu dikatakan hubungan in-absentia.
Contohnya, menjelang malam, saya merasa lapar sekali, untung ada (---). Garis
dalam kurung dapat diisi martabak, nasi goreng, roti, dan sebagainya. Kata di
dalam kurung menunjuk acuan referen “dapat dimakan”

d. Kritik atas Teori Medan Makna


1. Dalam bahasa sehari-hari, kesamaan, sinonim, ketaksaan, dan faktor-faktor
serupa, akan memberikan gambaran realistis jika dijadikan klaim bahwa
keseluruhan kosakata yang ada diliputi oleh medan-medan dengan cara organs
yang sama dalam medan-medan itu dibangun.
2. Mesti diakui, sesungguhnya pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set
dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai teori medan makna, tetapi
makna unsur-unsur leksikal itu sendiri seringkali bertumpang tindih dan batasan-
batasannya sering kabur.
3. Pengelompokan kata dalam teori ini kurang memperhatikan perbedaan antara
yang disebut makna denotasi dan makna konotasi, antara makna dasar kata atau
leksem dengan makna tambahan dari kata itu.
4. Pengelompokan kata atau unsur-unsur leksikal secara konotasi dan set yang
digagas dalam teori ini hanya menyangkut satu segi makna, yaitu makna dasarnya
saja.
BAB III
PENUTUP
Saran

Demikianlah makalah ini yang kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, masih banyak kesalahan-kesalahan baik berupa
kesaahan tulisan atau kesalahan materi. Karena itulah kritik dan saran yang membangun dari
segenap pembaca dan dosen pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buku rujukan dari dosen pengampu mata kuliah ad dalalah format pdf scan dari buku cetak

Anda mungkin juga menyukai