Anda di halaman 1dari 4

Makalah Mantuq

a. Pendahuluan

Tulisan ini sebagai tugas akhir semester V matkul U. Fikih yang diampu oleh dosen
Ust. Izzul Madid. Bagian kami adalah menguraikan tentang tema mantuq dalam perspektif U.
Fikih Mutakallimin. Secara gradual kami akan menguraikan tentang pengertian mantuq,
ragam dan pembagian mantuq, syarat dan contoh mantuq, serta beberapa tmbahan bagian
pembahasan dari kami tentang mantuq.

Kajian U. Fikih terkait proses penggalian hokum melalui “pendekatan” teks, secara
singkat dapat dibagi menjadi dua: pertama adalah kajian tentang mantuq, kedua adalah
kajian tentang mafhum. Dua kajian inilah yang menjadi basis pengembangan terhadap kajian
kaidah kebahasaan dalam term U. Fikih.

b. Isi
1. Pengertian Mantuq

Mempelajari hakikat, majaz, mujmal, muawwal, dhahir, mubayyan, ‘amm, khash dan
segala hal yang merupakan atribut (pembahasan tentang) lafadz, merupakan proses
memahami (memperoleh) mantuq secara benar. Ada beberapa istilah dalam pembahasan
mantuq, antara lain: 1. Lafal. 2. Makna. 3. Mahal al-nutqi. 4. ‘Ibarah. 5. Dalil. 6. Madlul. 7.
Dalalah.

Secara sistematis, dalil-madlul-dalalah adalah dialektika dasar untuk memahami


mantuq. Ada sebuah syair: “inna al-kalama lafii al-fawaidi wa innamaa # ju’ila al-lisaanu ‘alaa
al-fawaidi dalilan” (sungguh, setiap ungkapan lisan berada di dalam sekian banyak makna!
Dan petunjuk untuk berbagai makna itu hanya semata berupa lisan) 1. Setiap ucapan atau
tulisan baik berupa kalimat atau hanya berupa satu kata, dipastikan merupakan petunjuk
(dalil) bagi suatu makna (madlul) –setiap kata ataupun kalimat memiliki makna.

Apakah setiap kata atau kalimat sudah bisa dipastikan maknanya? Setiap kata atau
kalimat (dalil) menjadi tertentu kepada sebuah makna (madlul) dikarenakan ada suatu hal
yang mengarahkan dalil itu kepada madlul (dalalah). Dalalah ini setidaknya ada tiga:
wadl’iyyah, lafdhiyyah dan ‘aqliyyah. Atau dalalah ada dua: dalalah lafdziyyah dan dalalah
ghayru lafdziyyah (dalalah lafdziyyah memiliki tiga bahagian: ‘aqliyyah, thabi’iyyah dan

1
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaliy. Al-Mustashfa (Lebanon: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, Cet. III, 2014), h, 131.
wadl’iyyah)2. Untuk menerangkan panjang-lebar tentang dalalah bukan merupakan tugas
bagi kami.

‘Lafadz’, ‘makna’, dan ‘’ibarah’ telah tercakup dalam pemaparan sekilas tentang
sirkel dalil-madlul-dalalah pada paragraph sebelumnya; bahwa makna adalah yang
dihasilkan oleh lafadz dan ‘ibarah. Untuk memahami mahallu al-nutqi perlu menampilkan
mahallu al-sukut sebagai istilah bandingan. Mahallu al-sukut adalah keadaan sebuah makna
yang dipahami berdasarkan makna mantuq (mahallu al-nutqi) dan tidak diperoleh dari
redaksi teks melainkan pun diperoleh melalui makna mantuq tersebut 3. Bisa juga diklaim,
bahwa mahallu al-sukut adalah keadaan sebuah makna bagi nilai yang tidak tertera dalam
redaksi teks4.

Mahallu al-nutqi sebagai bandingan dari mahallu al-sukut adalah keadaan sebuah
makna yang diambil sesuai berdasarkan redaksi teks (makna untuk nilai yang tertera dalam
redaksi teks)5. Redaksi teks sebagai sumber makna, merupakan pengertian mahallu al-nutqi.
Di luar redaksi teks namun berkaitan dengan makna dari teks, merupakan mahallu al-sukut.

Mahallu al-sukut adalah sumber mafhum sedangkan mahallu al-nutqi adalah sumber
mantuq. Dari pengertian di atas, yang bersumber dari mahallu al-nutqi adalah makna dan
bisa juga disebut hokum (yang berada di dalam redaksi teks), sedangkan yang bersumber
dari mahallu al-sukut adalah hokum selain hokum mantuq (dan tidak bisa disebut makna
karena berada di luar redaksi teks) –komparasi dari perdebatan ulama apakah mantuq
adalah makna atau hokum dan juga perdebatan tentang apakah mantuq dalalah atau
madlul.

Menurut Syekh Zakariya al-Anshariy, mantuq adalah “ma dalla ‘alayhi al-lafdzu fi
mahalli al-nutqi” (makna yang ditampilkan oleh sebuah teks). Sebuah makna yang diperoleh
melalui teks untuk menunjukkan nilai (baik hokum atau bukan) sesuai redaksi teks yang
tertera6. Menurut Ibn al-Hajib, mantuq adalah tentang dalalah di dalam mahallu al-nutqi. Al-
Amidiy berpendapat bahwa mantuq adalah suatu hal yang dipahami dari redaksi teks
berdasarkan redaksi teks itu semata.

Sebelumnya dipaparkan bahwa mempelajari apapun tentang kaidah kebahasaan


dalam term U. Fikih merupakan proses untuk memperoleh mantuq secara benar. Bisa juga

2
Wahbah al-Zuhayliy. Ushul al-Fiqhi al-Islamiy (Dar al-Fikr, Juz I, Cet XXIV), h. 346.
3
Zakariyyā al-Anṣāriy. Ghāyah al-Wuṣūl fi Syarḥi Lubb al-Uṣūl. (Surabaya: al-Ḥaramayn, Cet. II), h. 42.
4
Al-Bannaniy. Hasyiyah al-‘Allamah al-Bannaniy (Dar al-Fikr, Juz I), h. 235.
5
Ibid.
6
Zakariyyā al-Anṣāriy. Op.Cit, h. 41.
dipahami, bahwa keberadaan bahasan mantuq dalam U. Fikih menjadi sumber bagi kajian
kaidah kebahasaan; ketika mengetahui bahasan mantuq (sebagaimana pengertian mantuq
yang telah disampaikan) muncullah pertanyaan, bagaimana memperoleh mantuq secara
benar? Dari pertanyaan inilah bersumber kajian kaidah kebahasaan.

2. Ragam dan Pembagian Mantuq

Makna yang ditampilkan oleh sebuah teks (mantuq) terbagi menjadi dua: 1. Sharih.
2. Ghayru sharih (mantuq memiliki sifat ditransitif atau bisa juga bersifat intensi). Mantuq
sharih adalah makna yang merupakan amatan dari makna setiap kata dalam kalimat atau
dari makna satu kata (bukan kalimat). Mantuq ghayru sharih adalah makna secara simplistis
berdasarkan makna satu kata (objek bukan kalimat) atau setiap kata (kalimat) tidak bisa
dibenarkan, namun makna tersebut diterima secara tidak langsung melalui redaksi teks.

Makna yang ditampilkan oleh sebuah teks (mantuq) pun dapat dibagi menjadi dua:
1. Untuk suatu hokum. 2. Untuk hal yang lebih umum dari hokum (bisa hokum bisa benda).
Pendapat pertama disuarakan oleh Imam Ibn al-Hajib. Pendapat kedua disuarakan oleh
Imam al-Amidiy, Syekh Zakariyya al-Anshariy dan beberapa ulama lainnya termasuk Jalalu al-
Din al-Mahalliy.7

Mantuq merupakan makna untuk suatu hokum, tidak lebih merupakan apa yang
diperoleh dari redaksi teks berupa suatu hokum melalui tinjauan syariat; sebagaimana nanti
akan dicontohkan secara konkret. Mantuq merupakan makna untuk hal lebih umum dari
hokum, pun bisa berupa nilai tentang kesosokan/kewujudan suatu benda, di samping bisa
juga berupa hokum menurut syariat; sebagaimana nanti akan diberikan contohnya.

Menurut kajian Jalal al-Din al-Mahalliy, istilah mantuq ghayru sharih diubah menjadi
tawabi’ al-mantuq. Tawabi’ al-mantuq bukan mantuq karena membutuhkan media akal
(bukan semata redaksi teks melalui makna kata yang tertera) untuk memperoleh makna
yang dimaksud, namun (sekaligus) bukan mafhum (sekalipun sama dalam hal ‘menggunakan
media akal’) karena tawabi’ al-mantuq menggunakan media akal dalam porsi dalalah al-
alfadz sedangkan mafhum menggunakan media akal di luar porsi dalalah al-alfadz 8.

Terdapat tiga dalalah: pertama adalah dalalah mutabaqah, kedua adalah dalalah
tadlammun, ketiga adalah dalalah iltizam. Dalalah iltizam punya tiga bagian: pertama adalah
idlmar atau iqtidla’, kedua adalah isyarah, ketiga adalah ima’ 9. Menurut Jalal al-Din al-

7
Al-Bannaniy. Loc. Cit.
8
Ibid.
9
Zakariyyā al-Anṣāriy. Loc. Cit.
Mahalliy, tidak ada ima’ di dalam bahagian dalalah iltizam 10. Mantuq sharih adalah makna
yang ditampilkan teks melalui dalalah muthabaqah dan tadlammun. Mantuq ghayru sharih
adalah makna yang ditampilkan teks melalui dalalah iltizam.

Melalui sudut pandang berbeda (daripada pembagian sebelumnya), mantuq dibagi


menjadi dua bagian: 1. Nash. 2. Dhahir. Nash adalah makna mantuq yang tidak butuh
terhadap takwil. Dhahir adalah makna mantuq yang berkemungkinan ditakwil. Tentang
nash-dhahir merupakan pembahasan yang impase sebelum diperjelas perbedaan
terminologi mutakallimin dan ahnaf terkait pembahasan tersebut (mungkin akan dijelaskan
oleh yang bertugas membahas dhahir).

Lanjutan paragraph sebelumnya, (semisal) ada yang membedakan antara


‘dimungkinkan menerima takwil’ dan ‘dimungkinan ber-ihtimal’. Lalu dengan sudut pandang
demikian, menyatakan bahwa perspektif ahnaf ‘nash adalah makna yang dimungkinkan
takwil’ dalam artian nash adalah ‘dimungkinkan ber-ihtimal’ untuk mempertahankan status
qath’iy bagi nash (yang dinyatakan oleh ahnaf) –disamping perbedaan ahnaf dengan
mutakallimin tentang nash.

3. Contoh Mantuq

Mantuq sharih berdasarkan ulama yang berpendapat bahwa mantuk hanyalah untuk
(tentang) nilai terkait hokum syariat, semisal: keharaman ta’fif (ta’fif, semisal sindiran maido
dilakukan dengan cara mendesis) kepada orang tua. Berdasarkan ayat “imam yablughanna
‘indaka al-kibara ahaduhuma aw kilahuma, fala taqul lahuma uffin wa la tanharhuma wa qul
lahuma qawlan kariman”.

Mantuq ghayru sharih berdasarkan ulama yang berpendapat bahwa mantuq


hanyalah untuk (tentang) nilai terkait hokum syariat, semisal: maksimal masa haid dan
minimal masa haid adalah lima belas hari. Berdasarkan “tamkutsu ihdahunna syathra
dahriha la tushalli”.

Mantuq sharih berdasarkan ulama yang berpendapat bahwa mantuq bisa untuk
(tentang) nilai selain hokum syariat pun bisa juga untuk (tentang) hokum syariat, semisal:

c. Penutup

10
Al-Bannaniy. Loc. Cit.

Anda mungkin juga menyukai